dalam teori ekonomi tradisional, pembangunan bertujuan untuk membangun kapasitas ekonomi nasional. peningkatannya diawali dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang kemudian akan mempengaruhi pendapatan nasional bruto atau gross national product ( tadaro, 1983 :18).
didalam literatur, ekonomi pembangunan diartikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapitan melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi ( kartasasmita, 1997).
dalam pandangan masyarakat awam, pembangunan diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. seringkali kemajuan dimaksud terutama adalah kemajuan material, karena pembangunan selalu diartikan sebagai kemajuan yang dicapai masyarakat dibidang ekonomi.
konsep pembangunan yang berorientasi pertumbuhan mempunyai sisi negatif, yaitu tidak begitu diperhatikannya masalah keadilan. mengenai dominasi konsep pembangunan yang menekankan pertumbuhan juga dijelaskan oleh korten ( 1993 : 65 : 66 ), mengatakan bahwa : “ pemikiran dan tindakan pembangunan di banyak negara utara dan selatan selama beberapa dekade dikuasai oleh visi pembangunan berpusat pertumbuhan”. lebih lanjut ia mengatakan dalam bentuknya yang murni, visi konvensional mendefinisikan pembangunan hampir seluruhnya menurut pertumbuhan nilai ekonomi semua yang bisa dihasilkan system produksi masyarakat, tanpa menghiraukan dampaknya terhadap cadangan sumber daya atau lingkungan hidup, atau bahkan sumbangan apa yang sesungguhnya bagi kesejahteraan umat manusia.
hipotesis strategi ini adalah bahwa pembangunan dikendalikan oleh permintaan eksternal dan tekanan inovasi, dan bahwa pembangunan yang dilakukan sebagian kecil sector atau wilayah akan secara spontan mengucurkan hasilnya kebawah atau sistem-sistem lainnya ( trikle down effect ), walaupun pada mulanya menurut kuznet (dalam todaro, 1983 : 208) pertumbuhan ekonomi, kemerataan cenderung rusak kemudian dalam tingkat selanjutnya akan lebih baik. strategi ini dalam prakteknya cenderung berpusat pada kota dan sektor industri padat modal, didominasi oleh teknologi tinggi dan berfokus pada proyek-proyek rekayasa.
untuk itu negara-negara berkembang harus menjalankan kebijaksanaan pembangunan yang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja ( employment-oriented ) dalam bidang-bidang industri dan pertanian, dan harus mengembangkan teknologi-teknologi “menengah” (intermediate technology) yang sesuai dengan basis sumber-sumber mereka. dalam hal ini soedjatmoko (1995) mengatakan bahwa :
strategi pembangunannya haruslah dengan gamblang dan konsisten ditujukan pada peningkatan swasembada, pada peningkatan kemampuan untuk berusaha sendiri pada tiap langkah, terutama didaerah- daerah pedesaan, dan ditujukan untuk memadukan suatu struktur sosial yang akan membuat hal-hal tersebut memang terlaksana.
pengertian pembangunan harus dilihat secara dinamis bukan statis. pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usulan tanpa akhir. sesuai dengan konsep pbb yang menyatakan , “development is not a static concepth. it is continuously changing” ( united nation, 1975). proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya ( katz dalam tjokrowinoto, 1983 : 31). pembangunan supaya menjadi proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri ( self sustaining process ) tergantung pada manusia dan struktur sosialnya ( tjokroamidjoyo, 1995 : 1 )
katz ( dalam ndraha , 1985:30 ) mengemukakan bahwa pembangunan ( development) adalah segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial besar-besaran dari suatu keadaan kehidupan nasional menuju keadaan baru yang lebih baik. perubahan sosial tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan dan berlangsung secara terus menerus yang oleh mubyarto (1988 :41) diuraikan sebagai berikut :
pertama, pengembangan kemampuan melalui upaya peningkatan produktivitas dengan cara : memperluas kesempatan kerja; peningkatan produksi dengan intensifikasi; menggunakan teknologi tepat guna;
kedua, pembangunan sebagai peningkatan kualitas manusia, yang terdiri dari : peningkatan kemampuan fisik; penguasaan sumber daya alam; penguasaan pengetahuan dan teknologi;
ketiga, pembangunan sebagai pengembangan kapasitas dengan perluasan partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat yang meliputi : desentralisasi pembangunan; meningkatkan partisipasi dan kebebasan memilih; peningkatan peran serta lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan.
model pembangunan yang berpusat pada manusia, berwawasan lebih jauh dari pada sekedar angka pertumbuhan gnp atau pengadaan pelayanan sosial. peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan sustainability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksanaan pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka, gran (dalam tjokrowinoto, 1986 : 34)
pembangunan yang dilaksanakan setiap negara berkembang mempunyai perbedaan prinsip yang dilandasi falsafah, hakikat, tujuan, strategi maupun kebijaksanaan dan program pembangunannya. namun demikian pembangunan yang dilakukan negara berkembang secara global merupakan suatu proses kegiatan yang terencana dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi , perubahan sosial, dan modernisasi bangsa guna meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat.
strategi pendekatan pembangunan manusia dinegara-negara berkembang pada dekade tahun 1990 – an hingga kini lebih dititik beratkan pada pembangunan sosial dan lingkungan yang diupayakan agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan strategi “sustained development” sustained development” yang dicirikan oleh :
pertama, pembangunan yang berdimensi pelayanan sosial dan diarahkan kepada kelompok sasaran melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa pelayanan sosial disektor kesehatan dan gizi, sanitasi, pendidikan dan pendapatan bagi kesejahteraan masyarakat.
kedua, pembangunan yang ditujuakan pada pembangunan sosial seperti mewujudkan keadilan , pemerataan dan peningkatan budaya , serta menciptakan kedamaian.
ketiga, pembangunan yang berorientasi pada manusia sebagai subjek pembangunan melalui “ people-centered development” dan promote the empowerment people” ( soehadi, dalam supriatna, 1997 : 12).
salah satu harapan dari pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat lapisan paling bawah . namun pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa ( 1940-1970) menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat dilapisan bawah tidak menikmati kucuran hasil pembangunan seperti yang diharapkan. bahkan kesenjangan semakin melebar. hal ini disebabkan karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu , lebih dapat memanfaatkan kesempatan antara lain karena posisi yang menguntungkan sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. jadi dengan demikian yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.
menurut haq ( 1995 : 37 ) kegagalan pembangunan disebabkan perencanaan pembangunan terlalu terpukau oleh laju pertumbuhan gnp yang tinggi dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan. akibatnya pengangguran semakin meningkat, pelayanan sosial yang semakin buruk, dan kemiskinan absolut dan relatif semakin menjadi-jadi.
akibat dari pembangunan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan adalah banyak menimbulkan distorsi, seperti kurang memperhatikan sektor tradisional, sektor informal dan sektor pertanian yang merupakan sektor-sektor yang banyak digeluti oleh masyarakat lapisan bawah , mendorong berkembangnya konglomerasi dan monopoli, memacu berkembangnya industri yang menghasilkan barang mewah, dan merebaknya ketimpangan atau kesenjangan baru.
jadi sebagai jawaban atas kegagalan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, muncullah konsep pembangunan yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok ( basic needs). konsep pembangunan ini memfokuskan perhatian pada penduduk miskin dengan program-program kesejahteraan atau bantuan bagi orang miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan, peningkatan, gizi, sanitasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
dalam hal pembangunan yang menekankan pada usaha pemenuhan kebutuhan pokok, haq ( 1995 : 82 ) mengatakan bahwa : siasat pembangunan tersebut sulit dilaksanakan dan sampai saat ini belum ada bukti bahwa perencana pembangunan didunia ketiga , bahkan di negara-negara yang secara resmi memeluk kebijaksanaan memerangi kemiskinan, telah megambil langkah-langkah dalam siasat pembangunan . ini berarti bahwa pembangunan yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok inipun tidak berkembang.
tidak berkembangnya pembangunan yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok sesuai pendapat moelyarto (1995: 34 ) adalah karena : tindakan-tindakan untuk mendukung strategi kebutuhan dasar pada umumnya bersifat membengkaknya anggaran pelayanan sosial, staf dan fasilitas. namun hasilnya bagi kaum miskin seringkali tidak berbeda dari program bantuan dan kesejahteraan yang semata-mata bertujuan mengurangi sebagian akibat terburuk kemiskinan. hasilnya jarang bisa berlanjut dan juga tidak selalu meningkatkan partisipasi ekonomi.
dibandingkan dengan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi model pembangunan yang menekankan pada kebituhan pokok merupakan langkah maju dalam memberikan pertimbangan pada aspek pembangunan manusia. namun para pendukung pembangunan yang berpusat pada manusia telah mengkritik model pembangunan kebutuhan pokok karena kurang memperhatikan keterpusatan dari posisi manusia dalam pembangunan.
sesuai pendapat korten sebagaimana dikutip oleh moelyarto ( 1995: 35 ) bahwa : “ terwujudnya masyarakat mencapai kemakmuran yang melimpah, yang menjadikan simiskin menerima secara pasif pelayanan apapun yang dipilih serta diberikan oleh birokrasi pemerintah berdasarkan kearifan, yang waktu dan tempatnya ditentukann pula oleh birokrasi pemerintah, adalah tidak dapat diterima”.
model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan dasar dalam perkembangannya telah mengalami kegagalan . pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan menimbulkan ketidakadilan, gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, hal ini menyebabkan jurang yang lebar antara kemajuan bidang ekonomi dengan bidang-bidang lainnya terutama bidang sosial. memang terjadi peningkatan ekonomi secara makro yang sangat berarti, ditandai dengan peningkatan gnp namun ternyata peningkatan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan penghasilan dikalangan masyarakat bawah ( grassroots). akibatnya ditengah kemakmuran yang dicapai terdapat begitu banyak kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan sosial yang cukup tajam. sesuai pendapat midgley ( 1995 : 4 ) menyebut gejala ini sebagai gejala pembangunan yang terdistrosi ( distorted development) di mana pembangunan ekonomi tidak diikuti oleh pembangunan sosial yang setaraf. jadi masalah nya bukan tidak ada pembangunan ekonomi, melainkan lebih pada gejala-gejala menyelaraskan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dan kegagalan kita untuk memberikan jaminan bahwa hasil-hasil kemajuan pembangunan ekonomi dapat disebar secara merata dimasyarakat. sedangkan pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar tidak menciptakan lingkungan yang manusiawi, kebutuhan akan harga diri diabaikan serta akan mengakibatkan membengkaknya anggaran pelayanan sosial. menyadari kegagalan-kegagalan tersebut, maka berkembang berbagai pemikiran untuk mencapai alternatif terhadap paradigma yang semata-mata memberikan penekanan kepada pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan dasar. salah satu diantaranya muncul paradigma pembangunan sosial.