kerangka teori : pembagian kekuasaan

dalam pemerintahan yang demokratis kekuasaan tidak berada dan dijalankan oleh satu badan tapi dilaksanakan oleh beberapa badan atau lembaga. tujuan dari dibagi-baginya penyelenggaraan kekuasaan tersebut, agar kekuasaan tidak terpusat hanya pada satu tangan yang dapat berakibat pada terjadinya pemerintahan yang otoriter dan terhambatnya peran serta rakyat dalam menentukan keputusan-keputusan politik.

dengan adanya pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara sebagai salah satu ciri negara demokrasi, di dalamnya terdapat beberapa badan penyelenggara kekuasaan seperti, badan legislatif, eksekutif, yudikatif dan lain-lain. pada umumnya negara yang menerapkan sistem pembagian kekuasaan mengacu pada teori “trias politica” montesquieu dengan melakukan beberapa variasi dan pengembangan dari teori tersebut dalam penerapannya.

trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making functions) ; kedua kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang ( dalam peristilahan baru sering disebut rule application function) ; ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule adjudication function). trias politica adalah satu prinsip normative bahwa kekuasaan- kekuasaan (functions) ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalah gunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. dengan demikian diharapkan hak-hak azasi warga negara lebih terjamin.

doktrin ini pertama kali dikemukakan oleh john locke (1632 – 1704) dan montesquie (1689 – 1755) dan pada taraf ini ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of powers). filsuf inggeris john locke mengemukakan konsep ini dalam bukunya berjudul two treatises on civil government (1690) yang ditulisnya sebagai kritik atas kekuasaan absolut dari raja-raja stuart serta membenarkan revolusi gemilang tahun 1688 (the glorious revolution of 1688) yang telah dimenangkan oleh parlemen inggeris. menurut locke kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah satu sama lain. kekuasaan legislatif ialah kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang.; kekuasaan eksekutif ialah kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan mengadili (locke memandang mengadili itu sebagai “uitvoring”, yaitu dipandangnya sebagai termasuk pelaksanaan undang-undang) dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hubungan luar negeri) (miriam budiardjo 1978 : 151).

akan tetapi, sekalipun ketiga kekuasaan sudah dipisah satu sama lain sesempurna mungkin, namun para penyusun undang-undang dasar amerika serikat masih juga menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak akan melampaui batas kekuasaannya. maka dari itu dicoba untuk membendung kecenderungan ini dengan mengadakan suatu sistem “checks and balances” (pengawasan dan keseimbangan) dimana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.

berbicara teori check and balances akan lebih lengkap bila melihat teori itu dalam sistem ketatanegaraan amerika karena teori ini sudah cukup lama diterapkan. bambang cipto (1995) ; sejarah kolonial amerika memberikan cap khusus pada sistem politik amerika modern. selama berkuasa pihak pemerintah kolonial inggris menentukan siapa yang akan menjadi gubernur. pengalaman pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif agaknya cukup dalam terbenam ke dalam kesadaran masyarakat amerika pada awal-awal kemerdekaan. dorongan dari pemikiran montesqueiu menjadikan kecenderungan ke arah prinsip pemisahan kekuasaan sangat kuat mewarnai pemikiran politik para bapak pendiri amerika. itulah sebabnya parlemen di negara-negara bagian amerika lebih dikenal sebagai legislature daripada “parlemen”. sementara diluar amerika digunakan istilah “parlemen”, “diet” , atau “assembly” yang maknanya adalah tempat untuk mendiskusikan urusan politik.

sekalipun demikian harus diingat bahwa amerika mengenal sistem “checks and balances. sistem ini menutup kemungkinan bagi tumbuhnya sebuah badan pengambil keputusan tunggal atau monopoli kekuasaan pada satu badan politik. dengan sendirinya legsilature dalam sistem amerika bukan satu-satunya pembuat dan pelaksana undang-undang. sebagai konsekwensinya badan eksekutif juga memiliki wewenang untuk menjalankan fungsi yang sama seperti yang dilakukan oleh legislature. jika disimak penjelasan di atas, akan terlihat bahwa perbedaan antara satu sistem parlemen dengan sistem parlemen lainnya terletak pada derajat pemisahan tersebut. jadi secara prinsip masing-masing parlemen memiliki wewenang yang kurang lebih sama namun pada tingkat tertentu mereka menunjukkan perbedaan.

hubungan legislatif eksekutif juga dipengaruhi oleh masa bakti masing-masing anggota. besarnya tingkat kemandirian baik kongres maupun eksekutif amerika dimungkinkan antara lain oleh masa bakti yang berbeda. prinsip pemisahan kekuasaan dicerminkan dalam cara pemilihan anggota kedua badan yang ditopang oleh kedua masyarakat pemilih berbeda serta masa bakti berbeda. kongres tidak berhak untuk menentukan pemilihan kepala eksekutif, demikian pula sebaliknya. kecuali dalam kasus luar biasa dalam mana proses pemilihan presiden gagal menentukan calon presiden, maka terbuka peluang bagi kongres untuk ikut serta dalam penentuan kepala eksekutif. kongres bahkan tidak mudah menghentikan tugas kepresidenan kecuali dengan prosedur impeachment yang sangat jarang dilakukan. keterbatasan-keterbatasan di atas sangat diyakini oleh masyarakat politik amerika sehingga menimbulkan apa yang kemudian dikenal luas sebagai prinsip checks and balances. (ibid)

dari uraian di atas, menunjukkan bahwa sistem atau mekanisme check and balances itu berlaku dalam pemerintahan yang menganut sistem parlementer.

menyangkut pelaksanaan sistem “checks and balances” dengan kewenangan presiden, miriam budiardjo (1978) menjelaskan ; dalam rangka “checks and balances” ini presiden diberi wewenang untuk memveto rancangan undang-undang yang telah diterima oleh congress, akan tetapi di fihak lain veto ini dapat dibatalkan oleh congress dengan dukungan 2/3 suara dari kedua majelis. mahkamah agung mengadakan check terhadap badan eksekutif dan badan legislatif melalui yudicial review (hak uji). dilain fihak hakim agung yang telah diangkat oleh badan eksekutif seumur hidup dapat dihentikan oleh congress kalau ternyata telah melakukan tindak kriminil. begitu pula presiden dapat di –“impeach” oleh badan itu. presiden boleh menandatangani perjanjian internasional, tetapi baru dianggap sah jika senat juga mendukungnya. begitu pula untuk pengangkatan jabatan-jabatan yang termasuk wewenang presiden, seperti hakim agung dan duta besar, diperlukan persetujuan dari senat. sebaliknya menyatakan perang (suatu tindakan eksekutif) hanya boleh diselenggarakan oleh congress. jadi sistem “checks and balances” ini, yang mengakibatkan satu cabang kekuasaan lain, tidak dimaksud untuk memperbesar efisiensi kerja (seperti yang dilihat di inggris dalam fungsi dari kekuasaan eksekutif dan legislatif), tetapi untuk membatasi kekuasaan dari setiap cabang kekuasaan secara lebih efektif.

oleh karena keadaan tersebut di atas, maka ada kecenderungan untuk menafsirkan trias politica tidak lagi sebagai pemisahan kekuasaan (saparation of powers), tetapi sebagai pembagian kekuasaan (devision of powers) yang diartikan bahwa hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada badan yang berbeda (distinct hands), tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi.

dahlan thaib (2000) mengemukakan bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan maka tidak ada campur tangan antara organ-organ negara itu dalam operasional kekuasaan masing-masing. dengan sistem yang demikian maka di dalam ajaran trias politica terdapat suasana “check and balances” , dimana di dalam hubungan antara lembaga-lembaga negara itu terdapat sikap saling mengawasi, saling menguji, sehingga tidak mungkin masing-masing lembaga negara itu melampaui batas kekuasaan yang telah di tentukan. dengan demikian akan terdapat hubungan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara tersebut.

oleh karena itu dapat dipahami bahwa sistem check and balances dapat mencegah lembaga atau badan-badan yang telah mempunyai kekuasaan masing-masing untuk tidak melakukan hal-hal yang bukan menjadi bagian kekuasaannya. penyelenggaraan kekuasaan akan menjadi lebih efektif karena antara cabang kekuasaan yang satu dengan yang lain hubungannya diatur sedemikian rupa dalam kerangka keseimbangan dan pengawasan.

penjelmaan konsep trias politica dalam penyelenggaraan pemerintahan di indonesia antara lain dapat dilihat dari undang-undang dasar negara. dengan menelaah tiga undang-undang dasar yang pernah berlaku di indonesia, yaitu ; undang-undang dasar 1945 yang berlaku dari 1945 sampai 1949 yang kemudian diganti dengan uud federal dan uud sementara 1950, selanjutnya diberlakukan kembali tahun 1959 melalui dekrit presiden 5 juli 1959. miriam budiardjo (1978) berpandangan bahwa ketiga undang-undang dasar tersebut tidak secara eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politica yang dianut, tetapi oleh karena ketiga undang-undang dasar menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa indonesia menganut trias politica dalam arti pembagian kekuasaan. hal ini jelas dari pembagian bab dalam undang-undang dasar 1945. misalnya bab iii tentang kekuasaan pemerintah negara, bab vii tentang dewan perwakilan rakyat dan bab ix tentang kekuasaan kehakiman. kekuasaan legislatif dijalankan oleh presiden bersama-sama dengan dewan perwakilan rakyat. kekuasaan eksekutif dijalankan presiden dibantu oleh menteri-menterinya, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman.

dalam bab iii uud 1945, mengatur antara lain mengenai kekuasaan yang dimiliki oleh presiden seperti, kekuasaan bidang pemerintahan, membentuk undang-undang, membentuk peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang, memegang kakuasaan tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara. dengan persetujuan dpr presiden dapat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. bab ini juga mengatur tentang pemilihan presiden dan wakil presiden serta masa jabatannya, pemberian grasi, amnesti abolisi dan rehabilitasi, dan lain-lainnya. jika diamati secara mendalam, pemberian grasi, amnesti, abolisi dan reahabilitasi dapat dikategorikan pada kekuasaan presiden dalam bidang yudikatif.

dalam bab vii uud 1945, mengatur tentang dewan perwakilan rakyat (dpr) antara lain mengenai, susunan dpr, masa sidang dpr sedikit-dikitnya satu kali dalam setahun, persetujuan terhadap suatu undang-undang, pengesahan rancangan undang-undang yang berasal dari dpr oleh presiden. bab ini juga mengatur hak presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

sedangkan dalam bab ix uud 1945 mengatur, tentang kekuasaan kehakiman. kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang dimana susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman tersebut diatur lagi dengan undang-undang. disini juga diatur syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim, yang pengaturannya labih lanjut dilakukan dengan undang-undang.

miriam budiardjo melihat penggunaan konsep trias politica dengan cara pandang terhadap pasal-pasal dan bab yang terdapat dalam hukum dasar yang berkaitan dengan pengaturan pembagian kekuasaan dalam negara, serta penerapannya pada lembaga-lembaga penyelenggara kekuasaan tersebut.

sementara inu kencana (1994: 118 -119) dalam bukunya “sistem pemerintahan indonesia” mengemukakan beberapa model pembagian kekuasaan yang dikutip dari beberapa pakar. disini ia menggunakan kata praja untuk kekuasaan. pendapat-pendapat tersebut dapat digolongkan serta diberi istilah sebagai berikut :

eka praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh satu badan. bentuk ini sudah tentu diktator(autokrasi) karena tidak ada balance (tandingan) dalam era pemerintahannya. jadi yang ada pihak eksekutif saja, dan bisa muncul pada suatu kerajaan absolut atau pemerintahan facisme.

dwi praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh dua badan. bentuk ini oleh frank j. goodnow dikategorikan sebagai lembaga administratif (unsur penyelenggara pemerintahan) dan lembaga politik (unsur pengatur undang-undang).

tri praja ialah apabila kekuasaan dipegang oleh tiga badan. bentuk ini diusulkan oleh para pakar yang menginginkan demokrasi, yaitu dengan pemisahan atas lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. tokohnya montesquieu dan john locke, serta yang agak identik gabriel almond.

catur praja ialah apabila kekuasaan dipegang oleh empat badan. bentuk ini baik apabila benar-benar dijalankan dengan konsekwen, bila tidak akan tampak kemubaziran. van valen hoven pernah mengkategorikan bentuk ini menjadi regiling, bestuur, politie dan rechspraah.

panca praja adalah apabila kekuasaan dipegang oleh lima badan. bentuk ini sekarang dianut oleh indonesia karena walaupun dalam hitungan tampak enam badan yaitu konsultatif, eksekutif, legislatif, yudikatif, inspektif, dan konstitutif. namun dalam kenyataannya konstitutif (mpr) anggota-anggotanya terdiri dari anggota legislatif bahkan ketuanya sampai saat ini dipegang oleh satu orang.

karena kaburnya gagasan trias politica dewasa ini, maka ada usaha untuk mencari peristilahan yang lebih mendekati kenyataan. salah satu usaha kearah ini dapat dilihat dalam analisis gabriel d. almond seorang sarjana yang terkenal sebagai penganut pendekatan tingkah laku. sarjana ini lebih suka memakai istilah rule making function, dari pada istilah fungsi legislatif untuk menghindarkan pengertian seolah-olah ketentuan-ketentuan dan perundang-undangan yang akhirnya mengikat masyarakat politik hanya ditentukan dalam badan legislatif. istilah “rule making” mencakup juga kegiatan membuat ketentuan-ketentuan yang mengikat yang diselenggarakan dalam badan eksekutif dan panitia-panitia kecil, dewan-dewan ataupun rapat-rapat diluar lingkungan badan legislatif. dalam analisa ini istilah rule application function mengganti istilah fungsi eksekutif, sedangkan istilah rule adjudication function mengganti istilah fungsi yudikatif.(miriam budiardjo :1978 ;151-158)

pada tingkat penyelenggaraan pemerintahan daerah di indonesia pembagian kekuasaan diberikan kepada badan legislatif daerah (dprd) dan badan eksekutif daerah (pemerintah daerah). jika dipahami lebih jauh, dalam menjalankan kekuasaannya masing-masing badan tersebut juga mengenal dan melaksanakan mekanisme “check and balances” yang dapat dianggap sebagai miniatur dari mekanisme check and balances yang terdapat pada penyelenggaraan pemerintahan yang lebih tinggi.