perspektif : otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah (2)

sebagai alasan pragmatisnya mengapa otonomi daerah menjadi mutlak dilakukan adalah adanya kenyataan yang harus diterima dimana indonesia adalah merupakan sebuah negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan khazanah keanekaragama suku, agama ras, tradisi dan kebudayaan yang berbeda. hal ini memberi konsekuensi yang menentukan untuk dipilihnya suatu model alternatif pendekatan, sistem dan mekanisme politik yang dapat menjamin representasi keseluruhan relasi kepentingan yang ada didalamnya.

adanya kedua motif paradigmatik tadi, maka secara politis mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin melakukan pembaharuan tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, adil dan profesional. secara mendasar itu penting karena hal tersebut akan membawa kekuatan dan pengaruh yang strategis dalam proses pengembalian hak dan kedaulatan rakyat dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus sebagai respon dan antisipasi terhadap tuntutan perubahan atas meme (sikap dan tindakan yang didorong oleh bergesernya sistem pemahaman baru baik secara individual maupun secara kolektif) repolitisasi tatanan masyarakat lokal kedepannya.

ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya repolitisasi tatanan masyarakat lokal tersebut, diantaranya: pertama, adalah adanya kebijakan otonomi daerah yang didalamnya memuat azas kedaulatan rakyat, demokratisasi pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, dan pemerataan keadilan. kedua, adanya undang-undang no. 31 tahun 2002 tentang partai politik yang memungkinkan dibangunnya kembali komunikasi politik antara rakyat dan pemerintah secara demokratis, serta memungkinkannya rakyat untuk menyatakan pendapat, memiliki aspirasi dan berasosiasi. suatu prakondisi bagi berkembangnya masyarakat berperadaban atau negara berbasis kerakyatan (civil polities). ketiga, lahirnya undang-undang nomor 32 tahun 2004 terutama pada bagian viii , jo. peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang susunan dan kedudukan mpr, dpr,dpd, dan dprd, serta aturan pelaksanaan dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah no. 6 tahun 2004 tentang pemilihan , pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. jo. peraturan pemerintah republik indonesia nomor 17 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.

adanya pergeseran paradigma serta adanya berbagai landasan hukum (konstitusi) sebagaimana disebutkan secara essensial telah membawa perubahan yang mendasar terhadap ditentukannya sistem pemilihan umum yang tadinya bersifat perwakilan (representative election) menjadi pemilihan secara langsung (direct election). dimana model altrnatif sistem pemilihan umum ini didasarkan kepada beberapa asumsi, diantaranya : pertama, bahwa prasyarat untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat madani (civil society) adalah harus terbukanya peluang dan cukupnya otoritas publik didalam memanifestasikan hak dan kewajibannya. dalam hal ini, maka pemerintah berkewajiban memberikan desentralisasi yang utuh yaitu desentralisasi politik, administratif, budget, dan ekonomi dan pasar secara bersamaan yang bukan hanya sampai kepada level pemerintahan yang paling bawah saja (kelurahan), tetapi sekaligus menyentuh kepada dimensi kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh sebagai kewajiban negara dalam rangka penyelenggaraan pendidikan warga . kedua, secara pragmatis adanya beberapa kenyataan kelemahan yang dimanfaatkan serta disalahgunakan didalam penyelenggaraan sistem demokrasi perwakilan ( representative democration). banyak masyarakat yang tidak sepenuhnya merasa terwakili dengan berbagai keputusan politik dan kebijakan melalui sistem perwakilan baik secara kelembagaan maupun secara individual oleh anggota dewan perwakilan (legislatif). sehingga kini adagium ”suara rakyat adalah suara tuhan” (vox populi vox dei) sudah mulai kehilangan nilai sakralitasnya lagi.

ketiga, kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih langsung oleh pemilih akan memiliki legitimasi yang kuat, pemerintahan menjadi relatif lebih stabil sehingga tidak mudah digoyahkan. keempat, karena rakyat terlibat langsung didalam memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri, dengan model pengisian pejabat publik oleh masyarakat dalam proses akuntabilitasnya kepada pemilik kedaulatan (konstituen) menjadi lebih kongkret, dengan demikian hal tersebut akan memperkuat fungsi kontrol sosial didalam penyelenggaraan pemerintahan. sehingga akuntabilitas kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik administratif, yuridis, politis dan terutama moral akan disampaikan langsung kepada masyarakat. dengan cara demikian ada dorongan yang kuat agar dana-dana publik yang dikelola oleh pemerintah sebagian besar dialokasikan kembali untuk kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi seperti yang selama ini terjadi. dengan harapan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan meningkat, karena prinsip kedaulatan di tangan rakyat dapat diwujudkan secara faktual. sisi lain mengingat kembali pemerintahan adalah bisnis kepercayaan, dengan adanya kepercayaan dari masyarakat maka partisipasi akan lebih mudah digalang.