secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan. dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan.
pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.
asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat (p. rosodjatmiko, 1982: 22-23).
dalam tataran teoritis, bagaimana otonomi diberikan dan bagaimana batas cakupannya, para ahli mengidentifikasikannya ke dalam 3 (tiga) ajaran yaitu formil, materiil, dan nyata (riil). keseluruhan ajaran itu menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
dalam sistem otonomi formil, pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci di dalam undang-undang. basis ajaran ini adalah tidak ada perbedaan sifat urusan yang diselenggarakan oleh pusat dan daerah. menurut tresna (t.t.: 32-36), sistem ini memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri.
jadi, titik berat sistem otonomi formil adalah pertimbangan daya guna dan hasil guna pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab (koesoemahatmadja, 1979: 18). berbalikan dengan sistem otonomi formil, maka sistem otonomi materiil memuat secara rinci pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. basis ajaran ini adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. jadi, urusan-urusan pemerintahan itu dianggap dapat dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan (moh. mahfud, 1998: 97).
sementara itu, sistem otonomi riil dianggap sebagai kompromi antara kedua sistem terdahulu (tresna, t.t.: 34). dalam sistem ini, penyerahan urusan kepada daerah otonom didasarkan kepada faktor-faktor riil. di samping itu, sifat kompromistis nampak bahwa sistem ini mengutamakan sistem otonomi formil karena mengandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem otonomi materiil nampak dengan adanya urusan pangkal yang diserahkan dan dikembangkan kepada daerah (bagir manan, 1990: 33; the liang gie, 1980: 58).
bidang-bidang kewenangan yang dimiliki baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah meliputi 4 (empat) bidang, yaitu (a) pengaturan; (b) pengurusan; (c) pembinaan; dan (d) pengawasan. bidang kewenangan pengaturan mencakup kewenangan untuk membuat aturan, pedoman, norma, maupun standar. pemerintah pusat membuat pengaturan hal-hal yang bersifat nasional maupun internasional. propinsi memiliki kewenangan pengaturan yang bersifat regional, sedangkan kabupaten/kota memiliki pengaturan yang bersifat lokal.
bidang pengurusan dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya pemberdayaan institusi pemerintah, nonpemerintah maupun masyarakat agar menjadi makin mandiri. sedangkan kewenangan pengawasan mencakup tindakan untuk menegakkan aturan, norma, serta standar yang telah disepakati.