latar belakang masalah : partispasi masyarakat desa dalam pembangunan pedesaan

pembangunan pedesaan dari dulu hingga sekarang selalu menjadi tema yang menarik diperbincangkan dalam diskursus pembangunan. hal ini dikarenakan pembangunan pedesaan merupakan bagian integral sekaligus titik sentral dari pembangunan nasional. pembangunan memiliki hakikat dan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat, demikian juga dengan pembangunan pedesaan yang bertujuan mensejahterakan masyarakat desa.

tidak berlebihan jika kemudian pembangunan, dilaksanakan sebagaimana kecenderungan yang terjadi di negara-negara berkembang lebih kepada mengejar pencapaian pertumbuhan ekonomi semata. padahal pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses yang multidimensional mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat, dan institusi dengan tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan serta pengentasan kemiskinan. jadi hakikatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat untuk bergerak menuju suatu kehidupan yang lebih baik, secara material maupun spiritual. (todaro dan smith : 2006).

dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan sejumlah program pembangunan pedesaan dengan beberapa penyebab kegagalannya mengundang sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa sesungguhnya pembangunan pedesaan itu, pembangunan bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat desa, tapi apakah masyarakat desa ikut terlibat secara penuh dan mendapatkan manfaat sehingga hasil pelaksanaan berbagai program pembangunan pedesaan telah efektif mengubah taraf kesejahteraan masyarakat desa.

sejalan dengan pernyataaan diatas, maka pembangunan pedesaan yang telah dilaksanakan maupun yang akan dilaksanakan tidak dapat berjalan begitu saja tanpa didukung oleh partisipasi masyarakat. dalam pembangunan desa partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan sebagai pendukung agar pembangunan lebih berhasil.

konsep pembangunan yang partisipatif merupakan suatu proses pemberdayaan pada masyarakat sehingga masyarakat mampu untuk mengidentifikasi kebutuhannya sendiri atau kebutuhan kelompok masyarakat sebagai suatu dasar perencanaan pembangunan. adanya partisipasi masyarakat dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan desa.

berkenaan partisipasi tersebut bintoro tjokroamidjojo (1986 : 207) menyatakan bahwa keterlibatan atau partisipasi masyarakat mempunyai arti :
  1. keterlibatan dalam penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan.
  2. keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan lain-lain.
  3. keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangungan secara berkeadilan.
sementara syamsi (1986 : 1928) yang menyimpulkan tentang bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, yang pada hakekatnya terdiri dari partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam memanfaatkan hasil dan partisipasi dalam penilaian.

partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah.
namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan berdasarkan banyaknya individu yang dilibatkan. partisipasi mendorong setiap warga masyarakat untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung

sejalan dengan ”kelahiran” otonomi daerah, undang no. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. konsep perencanaan pembangunan partisipatif kemudian mulai digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di indonesia. diikuti dengan adanya undang–undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional telah menggeser paradigma perencanaan pembangunan dari yang bersifat sentralistik dengan pendekatan top down planning, menjadi perencanaan pembangunan yang bersifat desentralistik dengan pendekatan bottom up planning melalui pola perencanaan partisipatif, yang dimulai dari musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbang-desa) hingga nasional.

otonomi daerah menjadi landasan hukum bagi setiap pemerintah desa untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. masyarakat diberikan peran yang lebih besar dalam pembangunan desa dan dituntut berkreativitas dalam mengelola potensi desa serta memprakarsai pelaksanaan pembangunan desa. otonomi desa tidak hanya disuarakan oleh kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga dihadirkan melalui rekayasa dan ekspesimentasi secara konkret di level bawah, dalam bentuk perencanaan dan penganggaran pembangunan pedesaan yang partisipatif, pengembangan sumberdaya alam berbasis desa, pengembangan ekonomi lokal dan sebagainya.
memang dengan adanya otonomi daerah, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pembangunan pedesaan akan berbeda dengan pembangunan pedesaan sebelumnya. bahkan ada juga kecenderungan melakukan hal yang sama. misal adanya pembangunan pedesaan yang dibuat, dipilih dari atas, atau dikenal dengan istilah top down dan pelaksananya lebih didominasi oleh elit desa.

meskipun pengusulannya dimulai dari desa, melalui mekanisme musrenbang, namun pada kenyataannya usulan-usulan tersebut tidak lebih dari “buah pemikiran” kepala desa dan aparatnya atau beberapa elit desa saja. sebenarnya dengan pelaksanaan pembangunan yang melibatkan langsung masyarakat desa, akan menunjukkan hasil yang jauh lebih optimal, lebih baik dan efisien daripada pembangunan pedesaan yang dijalankan tanpa pelibatan masyarakat. memberikan kesempatan luas kepada masyarakat desa dalam membangun desanya sendiri hal ini akan mempercepat kesejahteraan masyarakat secara lebih merata dalam jangka panjang.

Toko Buku Online Terlengkap