Pembangunan pedesaan, dari dulu hingga sekarang selalu menjadi tema yang menarik diperbincangkan dalam diskursus pembangunan. Hal ini dikarenakan pembangunan pedesaan merupakan bagian integral sekaligus titik sentral dari pembangunan nasional. Kemampuan pemerintah dalam melaksanakan pembangunan, termasuk di desa sering dijadikan tolak ukur keberhasilan (kegagalan) pembangunan.
Sebagaimana hakikat dari pembangunan, yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, demikian juga dengan pembangunan pedesaan. Bahkan pembangunan pedesaan lebih dari sekedar mensejahterakan masyarakat semata, pembangunan pedesaan selalu diidentikan dengan upaya pemerintah untuk mengatasi keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat desa.
Beragam upaya pemerintah telah dilakukan untuk mengatasi keterbelakangan, ketertinggalan dan kemiskinan masyarakat desa, diantara yang kita kenal adalah Kredit Usaha Tani (KUT) dan Inpres Desa Tertinggal (IDT). Selain itu juga ada program pembangunan pedesaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Namun, dari berbagai program pembangunan pedesaan tersebut, yang telah dilaksanakan oleh pemerintah dilihat dari sekian lama waktu dan banyaknya dana yang dipergunakan, belum ada fakta riil yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan pedesaan.
Hal ini paling tidak dikarenakan program pembangunan pedesaan umumnya hanya dilihat dari sudut kacamata ekonomi yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, pembangunan yang bersifat fisik saja, struktur sosial yang tidak seimbang dan adanya urban bias dalam pengambilan keputusan pembangunan.
Dalam pembangunan yang hanya berorientasi pembangunan pertumbuhan ekonomi, termasuk pembangunan pedesaan, nampaknya memang cenderung lebih mementingkan aspek efisiensi ekonomistik dari pada aspek efektivitas yang mempertimbangkan sisi sosiokultural masyarakat yang akan menerima program-program pembangunan. Kesannya masyarakat tak lebih hanya dalam posisi sekedar sebagai objek pembangunan belaka (Mukhtar Sarman : 2008;106)
Tidak berlebihan jika kemudian pembangunan pedesaan, dilaksanakan sebagaimana kecenderungan yang terjadi di negara-negara berkembang lebih kepada mengejar pencapaian pertumbuhan ekonomi semata. Padahal harusnya pendekatan pembangunan pedesaan tidak hanya terpaku pada pertumbuhan ekonomi atau hanya pembangunan fisik desa saja, melainkan tergantung pada bagaimana orientasi pembangunan mampu membawa perubahan sosial yang lebih baik bagi masyarakat.
Selain permasalahan di atas, pembangunan pedesaan juga tidak lepas dari masalah bias kepentingan politik. bias kepentingan politik dapat dilihat dari masih adanya pembangunan yang tidak merata, tidak tepat sasaran. Ada desa yang selalu mengalir lancar proyek-proyek dari tahun ke tahun ke desanya, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah mendapat bagian kue pembangunan.
Bias kepentingan tersebut dirasakan oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk diskriminasi. Kondisi semacam ini, kalau dibiarkan terus menerus bisa menciptakan kecemburuan antar masyarakat. Dampaknya, akan terbangun rasa enggan, tidak peduli (apatis), bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian tersebut.
Dari pengalaman-pengalaman pelaksanaan sejumlah program pembangunan pedesaan dengan beberapa penyebab kegagalannya mengundang sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa sesungguhnya pembangunan pedesaan itu, apakah program-program pembangunan pedesaan yang telah ada itu benar-benar dibutuhkan masyarakat, dan apakah hasil pelaksanaan berbagai program pembangunan pedesaan telah efektif mengubah taraf kesejahteraan masyarakat desa.
Berangkat dari beberapa pertanyaan diatas, kemudian muncul gagasan untuk melakukan perubahan paradigma dalam pembangunan pedesaan. Momentum perubahan paradigma ini mendapatkan tempat ketika lahir Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Adanya otonomi daerah menjadi landasan hukum bagi setiap pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Masyarakat diberikan peran yang lebih besar dalam pembangunan daerah dan dituntut berkreativitas dalam mengelola potensi daerah serta memprakarsai pelaksanaan pembangunan daerah.
Otonomi daerah juga memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi daerah itu sendiri merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur diri sendiri secara mandiri, tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.
Selain itu adanya otonomi daerah membuka ruang partisipasi masyarakat maupun peran daerah dan desa. Otonomi desa tidak hanya disuarakan oleh kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga dihadirkan melalui rekayasa dan ekspesimentasi secara konkret di level bawah, dalam bentuk perencanaan dan penganggaran pembangunan pedesaan yang partisipatif, pengembangan sumberdaya alam berbasis desa, pengembangan ekonomi lokal dan sebagainya. Semua ini secara tidak langsung akan mendongkrak kemandirian desa, sekaligus memberikan kontribusi bagi penanggulangan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan yang berkelanjutan.
Memang dengan adanya otonomi daerah, tidak ada jaminan bahwa pelaksanaan pembangunan pedesaan akan berbeda dengan pembangunan pedesaan sebelumnya. Bahkan ada juga kecenderungan melakukan hal yang sama. Misal adanya pembangunan pedesaan yang dibuat, dipilih dari atas, atau dikenal dengan istilah top down dan pelaksananya adalah dinas/instansi pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari desa, bahkan RT melalui mekanisme Musrenbang, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah daerah. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan yang didambakan masyarakat, melainkan kebutuhan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah.
Sebenarnya dengan pelaksanaan pembangunan yang melibatkan langsung masyarakat desa, akan menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan pedesaan yang dijalankan dengan mekanisme proyek. Memberikan kesempatan luas kepada desa mengatur rumah tangganya sendiri dengan memberikan kewenangan disertai dengan biaya perimbangan akan mempercepat pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. hal ini juga akan mempercepat kesejahteraan masyarakat secara lebih merata dalam jangka panjang.