Landasan Teori : Derajat Otonomi Fiskal (DOF)


Cepat Mendatangkan Duit Berlimpah
Dapatkan Info Lengkapnya dBC Network.

Sangat cocok utk Semua Kalangan

-------------------------------------------------------------

Salah satu aspek yang dapat menentukan keberhasilan otonomi daerah adalah kemandirian pemerintah daerah. Dengan demikian implikasi dari pengembangan otonomi daerah bukan semata-mata merupakan penambahan urusan yang diserahkan, akan tetapi juga seberapa besar wewenang yang diserahkan tersebut memberikan kemampuan mengambil prakarsa dalam pengelolaan keuangan daerah termasuk desentralisasi fiskal sehingga daerah dapat mengurangi derajat ketergantungannya kepada pusat dan dapat membiayai kegiatan pembangunan daerahnya.

Derajat otonomi fiskal di Kabupaten dan Kota di Indonesia pada umumnya masih rendah. Hal ini tercermin dalam indeks kemampuan rutin (IKR) yang masih rendah, artinya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari masing-masing Kabupaten dan Kota belum mampu untuk membiayai keseluruhan belanja rutin daerahnya. Pengukuran derajat otonomi fiskal daerah menjelaskan mengenai kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumahtangganya dengan menghitung rasio pendapatan asli derah terhadap total penerimaan daerah tanpa transfer (Radianto, 1997 : 47). Pada struktur pengeluaran daerah, derajat otonomi fiskal dapat tercermin dalam angka indeks kemampuan rutin yaitu proporsi antara Pendapatan Asli Daerah dengan pengeluaran rutin tanpa transfer pemerintah pusat (Kuncoro, 1995 : 9 dan Radianto, 1997 :42).

Selanjutnya Bird dan Vaillancourt (2000 :167-169) menyatakan bahwa sistem fiskal yang sangat sentralistik merupakan penyebab mengapa kemampuan pemerintah daerah untuk menjalankan fungsi-fungsinya tergantung kepada pusat. Hal ini telah mengakibatkan kecilnya porsi penerimaan sendiri dalam struktur penerimaan daerah. Ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pemerintah pusat telah menyebabkan kurangnya insentif pencarian sumber-sumber untuk menutupi biaya daerah.

Ketergantungan terhadap subsidi pemerintah pusat memang umum terjadi hampir di semua negara tidak terkecuali negara-negara maju seperti Amerika Serikat, di mana pada tahun 1900, sekitar 34% dari pengeluaran pelayanan publik dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 66% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Sejak tahun 1949, komposisi pengeluaran sektor publik tersebut bergeser menjadi 70% dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 30% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Proporsi ini bergerak pada tingkat yang hampir sama sampai tahun 1990, yaitu 67% dilaksanakan oleh pemerintah federal dan 33% oleh negara bagian dan pemerintah lokal. Namun tingkat ketergantungan negara bagian dan pemerintah  lokal  tersebut  tentu  saja  tidak  mengurangi  kewajiban mereka
untuk meningkatkan PAD-nya, (Sidik 2000 : 3).