Tampilkan postingan dengan label teori kepemimpinan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teori kepemimpinan. Tampilkan semua postingan

teori kepemimpinan (1)

teori atas pendekatan tentang kepemimpinan secara kronologis dapat digolongkan atas 3 (tiga) jenis, yaitu teori kecenderungan sikap (traits theory), teori pengikut (fallowers theory), dan teori situasional (situasional theory).

traits theory
teori tentang kecenderungan sikap ini menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan dalam arti bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin atau tidak, yang penting apakah pada orang itu memiliki sifat kepemimpinan kepemimpinan intelektual dan ciri ciri fisik tertentu atau tidak. misalnya, seseorang jujur, imaginatif, dinamis, cerdas, dan ukuran fisiknya memadai, meyakinkan akan menjadi pemimpin. teori ini mendapat banyak kritikan dan kecaman, karena banyak sekali orang yang tidak memiliki sifat sifat yang dipersyaratkan, temyata berhasil sebagai pemimpin. lagi pula diantara para teoritis ini terdapat perbedaan pendapat tentang jenis dan jumlah sifat sifat yang disyaratkan sebagal pemimpin.

fallowers theory
teori pengikut tidak lagi menekankan pada sifat sifat seseorang pemimpin, tetapi beralih penekanan pada pengikut pemimpin itu yaitu bawahannya. menurut teori ini, pemimpin yang efektif adalah orang yang paling dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan atas kepemimpinan para pengikutnya. pemimpin itu direstui memimpin hanya selama dia bertindak atau melaksanakan apa yang dikehendaki pengikut pengikutnya. salah satu sifat menjadi pemimpin yang baik adalah dapat menentukan kebutuhan kebutuhan pengikutnya, sekalipun mereka sendiri tidak memungkinkan dapat menyatakan kebutuhan-kebutuhannya. jelaslah bahwa jika jumlah pengikut atau bawahan besar akan timbul kesulitan bagi pemimpin itu untuk mengetahui dan memenuhi keinginan mereka yang beraneka ragam. disamping itu juga timbul masalah konfilk kepentingan, yaitu apabila si pemimpin terlalu jauh memenuhi keinginan keinginan bawahannya dan kurang memperhatikan kepentingan organisasi.

situasional theory
teori yang umumnya diterima adalah teori situasional yang menyatakan bahwa kepemimpinan itu dalam kenyataannya adalah suatu proses dan dengan tidak sendirinya melekat dalam diri seseorang. jenis kepemimpinan yang paling efektif berbeda dari situasi ke situasi dan terpenting pada keadaan sekitamya. dengan demikian seseorang yang berhasil sebagai pemimpin dalam satu situasi mungkin tidak akan berhasil didalam situasi yang lain. apabila kepemimpinan alamiah akan muncul pada suatu saat tertentu, tergantung pada apa yang diperlukan pada saat itu.

WPBisnisOnline

tentang teori kepemimpinan

kepemimpinan sebagai suatu konsep, batasannya pengertiannya sangat luas dan dapat ditinjau dari berbagai sudut pendekatan. teori kepemimpinan telah banyak dikembangkan, terutama di dalam ilmu manajemen. meskipun demikian teori-teori tersebut dapat dimanfaatkan untuk memberikan pijakan bagi diskusi tentang kepemimpinan publik, yang lokusnya adalah masyarakat.

kepemimpinan pada dasarnya merupakan inti dari fungsi manajemen yaitu pengerahan sumber daya untuk mencapai tujuan. g.r. terry (dalam thoha, 1995;253) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kegiatan mempengaruhi orang agar mereka bertindak mencapai tujuan. sementara itu pfiffner dan presthus serta a.gary yukl (dalam tjokroamidjojo, 1985 ; 110), secara lebih tegas menyatakan bahwa kepemimpinan adalah pengkoordinasian dan pemotivasian individu maupun kelompok untuk mencapai suatu tujuan. definisi-definisi ini menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses pengerahan individu maupun kelompok untuk berperilaku dan mengelola sumber daya yang mengarah kepencapaian tujuan.

menurut sugiyono (1994;87) ada 3 (tiga) gaya kepemimpinan yaitu direktif, supportive dan partisipatif. kemudian thoha (1995 ; 300) mengatakan bahwa : spektrum kepemimpinan di negara yang sedang berkembang perlu memperhatikan paradigma tertentu. secara terbatas, dapat didaftar berbagai gaya kepemimpinan atas dasar 4 hal :
  1. keluasan wilayah para anggota dalam mengambil keputusan atau frekuensi dan intensitas penggunaan otoritas oleh pemimpin;
  2. intensitas orientasi pemimpin pada prestasi dan pada orang;
  3. peluang anggota untuk terlibat dalam pengambilan keputusan;
  4. dukungan dan arahan yang diberikan oleh pemimpin kepada para anggota.
berdasarkan pendapat tentang perilaku kontinum gaya kepemimpinan adalah gaya kepemimpinan yang berlanjut yang digunakan seorang pemimpin dalam menggunakan otoritasnya atau tidak, sebab pemimpin yang banyak menggunakan otoritasnya atau otokratik alatnya adalah paksaan, sehingga terjadi mobilisasi terhadap pengikut-pengikutnya. oleh karenanya pemimpin yang otokratis selalu tertuju pada kekuasaan. menurut french dan raven (dalam gary yukl, 1998 ; 167), kekuasaan yang berasal dari kewenangan formal kadang-kadang disebut legitimate power (kekuasaan yang sah). terkait dengan itu menurut ndraha (2000 ; 241-244), mengemukakan kepemimpinan adalah gejala sosial dan kemampuan seseorang (suatu pihak) untuk mempengarhi orang lain melalui dirinya sendiri sehingga (agar) perilaku orang lain itu (berubah atau tetap) integratif.
sementara itu, likert (dalam thoha, 1995 ; 300) mengemukakan empat jenis gaya kepemimpinan yang didasarkan pada peluang anggota untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan organisasi.
  1. gaya eksploitatif-otoritatif, dalam hal ini pemimpin bersifat eksploitatif kepada anggota dengan cara menciptakan ketakutan dan juga ancaman hukuman kepada para anggota. dia melakukan komunikasi satu arah saja, dan tidak pernah meminta keterlibatan anggota dalam merumuskan kebijakan.
  2. gaya otoritatif yang baik hati (benevolent autoritative), sekalipun membuka saluran komunikasi keatas, pemimpin dengan gaya ini mengabaikan gagasan anggota. kecuali itu dia masih sering menciptakan ketakutan dan hukuman, sehingga bawahan tetap tidak merasa bebas.
  3. gaya konsultatif, dengan gaya ini pemimpin membuka partisipasi bagi para anggota, tetapi dia sendirilah yang pada akhirnya membuat keputusan.
  4. gaya partisipatif, dalam hal ini pemimpin memberikan kepercayaan penuh kepada para anggota dengan mempersilahkan anggota untuk menetapkan tujuan dan merencanakan kegiatan organisasi, sehingga para anggota tersebut merasa bebas.

likert (dalam thoha, 1995 ; 310) menilai bahwa gaya yang terakhirlah, yang partisipatif, yang paling efektif untuk diterapkan guna mencapai tujuan organisasi. dari penelitiannya, dia menyimpulkan bahwa organisasi yang produktif pada umumnya dipimpin oleh seorang yang berperilaku partisipatif.

atas dasar intensitas perilaku pemimpin dalam mengarahkan maupun mendukung para anggotanya, hersey dan blanchard (dalam thoha, 1995 ; 310 – 315) merumuskan empat gaya dasar kepemimpinan, yaitu : partisipasi, konsultasi, delegasi dan instruksi.

seorang pemimpin dikatakan partisipatif, jika memberikan dukungan kepada para anggotanya dan sekaligus sangat sedikit memberikan pengarahan. sebaliknya, dia dikatakan instruktif jika banyak memberikan pengarahan tetapi tidak pernah mendukung ide-ide bawahan. pada konsep lain bahwa kepemimpinan sangat erat sekali hubungannya dengan kekuasaan, menurut weber (dalam thoha, 1995 ; 89-90), merumuskan kekuasaan itu sebagai suatu kemungkinan yang membuat seorang aktor di dalam suatu hubungan sosial berada dalam suatu jabatan untuk melaksanakan keinginannya sendiri dan yang menghilangkan halangan. kemudian walter nord (dalam thoha, 1995 ; 90), mengemukakan kekuasaan itu sebagai suatu kemampuan untuk mempengaruhi aliran, energi dan dana yang tersedia untuk mencapai suatu tujuan yang berbeda secara jelas dari tujuan lainnya.

dapat disimpulkan bahwa kekuasaan seorang pemimpin dalam jabatannya lebih banyak digunakan otoritasnya dari pada penggerakkan dan pengerahan kepada masyarakat atau pengikutnya. kepemimpinan yang diharapkan adalah kepemimpinan yang mampu melibatkan seluruh masyarakat dalam proses pelaksanaan pembangunan, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi.

pembangunan yang berhasil tidak terlepas dari adanya komunikasi, syed a. ralim (dalam depari, 1985 ; 55) dalam tulisannya menegaskan mengenai betapa pentingnya peranan komunikasi dalam membantu pembangunan desa, yaitu : masyarakat desa akan terlibat dalam komunikasi pembangunan melalui keluarga, lembaga-lembaga sosial desa ataupun kegiatan-kegiatan organisasi lainnya. ciri khas dari pesan-pesan pembangunan pada hakekatnya bersifat ideologi ataupun informatoris. pesan-pesan ideologi menyampaikan ide-ide politik dan tujuan untuk mengatur tindakan-tindakan bersama dan akhirnya menggalakkan solidaritas sosial.

lebih jauh mulyasa (2002 ; 139), mengemukakan bahwa : “kurang komunikasi akan mengakibatkan kurangnya hasil yang dapat diwujudkan, bahkan sering gagal dalam mencapai tujuan”. dengan demikian salah satu faktor penting dalam pembangunan adalah komunikasi yang mampu meningkatkan kerjasama, sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat diwujudkan.

Landasan Teori : Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan

Kedudukan dan peranan seorang pemimpin sangat penting dalam mengarahkan dan menggerakkan bawahannya untuk mau dan mampu bekerja aktif dan efektif guna mewujudkan tujuan organisasi.

Kepemimpinan seseorang dalam prakteknya akan bertumpu pada kemampuan mengimplementasikan konsep kepemimpinan. Hal ini berarti, seorang pemimpin dengan kepemimpinannya harus mampu mempengaruhi bawahannya dalam melaksanakan pekerjaan guna mencapai tujuan tertentu. Dengan demikian, kepemimpinan adalah proses di mana seseorang berusaha mempergunakan pengaruhnya terhadap para bawahan (pengikutnya) dengan tujuan mempengaruhi perilaku mereka sesuai dengan keinginannya.

Hal ini sejalan dengan pendapat Stogdill (1974:10) yang mengemukakan “leadership is a process (act) of influencing the activities of an organized group in its efforts toward goal setting and goal achievement” (proses tindakan mempengaruhi aktifitas kelompok yang terorganisasi dalam usaha menetapkan tujuan dan pencapaian tujuan). Sementara itu Cowley (dalam Stogdill 1974:12) menjelaskan bahwa “leader is a person who has a program and moving toward an objective with his group in a definite manner”. Dengan kata lain bahwa pemimpin merupakan individu yang memiliki program dan bersama anggota kelompok bergerak untuk mencapai tujuan dengan cara yang pasti.

Seorang pemimpin harus mampu mencurahkan segenap daya kekuatannya untuk membawa dan mempengaruhi perilaku bawahannya menuju tujuan yang digariskan dalam program kerjanya, karena untuk mendapatkan hasil kerja yang utuh dalam suatu kepemimpinan seorang pemimpin dituntut mampu memadukan kemampuan mempengaruhi bawahan dengan sumber daya lainnya secara tepat dan benar, yaitu; melalui perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pengawasan dan pengendaliannya, yang kesemuanya diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.

Ada tiga teori kepemimpinan yang paling terkenal, yakni teori sifat, teori perilaku dan teori kontingensi (Stogdill, 1974:35-167; Stoner, 1986:113-142; Sutarto, 1995:39-137). Teori sifat memandang bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat/karakter yang dimiliki pemimpin itu. Sedangkan teori perilaku berpandangan bahwa keberhasilan seorang pemimpin di dasarkan atas perilakunya. Dengan kata lain pendekatan ini menjelaskan bahwa keberhasilan atau gagalnya seorang pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin itu sendiri. Bahkan Shekdon dan Steven (dalam Sutarto, 1995:38) menemukan adanya 76 tipe stuktur badan yang berhubungan dengan perbedaan kepribadian seorang pemimpin.

Menurut Sutarto (1995:64) “gaya bersikap dan bertindak pemimpin akan nampak dalam beberapa hal, diantaranya cara melaksanakan suatu pekerjaan, cara memberikan tugas, cara memberikan perintah, cara berkomunikasi, cara menegakkan disiplin dan cara menegur kesalahan bawahan”.

Sedangkan teori perilaku berpandangan bahwa keberhasilan seorang pemimpin didasarkan atas perilakunya. Pendekatan ini menjelaskan bahwa keberhasilan atau gagalnya seorang pemimpin ditentukan oleh gaya bersikap dan bertindak pemimpin itu sendiri. Menurut  Sutarto (1995:64) gaya bersikap dan bertindak pemimpin akan nampak dalam beberapa hal, diantaranya; “cara melaksanakan suatu pekerjaan, cara memberikan tugas, cara memberikan perintah, cara berkomunikasi, cara menegakkan disiplin dan cara menegur kesalahan bawahan”.

Sementara itu menurut penelitian Ohio (dalam Thoha, 1996:273) seorang pemimpin mempunyai orientasi kepemimpinan terhadap dua dimensi, yakni; “pemimpin yang mementingkan hasil atau perilaku tugas dan pemimpin yang mementingkan bawahan atau perilaku hubungan”. Berdasarkan pandangan teori perilaku, gaya kepemimpinan yang efektif dipengaruhi oleh orientasi perilaku pimpinan itu sendiri. Penemuan Greene (dalam Thoha, 1996:283) menyatakan bahwa: ketika para bawahan tidak melaksanakan pekerjaan dengan baik, pemimpin cenderung untuk menekankan pada struktur pengambilan inisiatif (perilaku tugas). Sebaliknya ketika para bawahan dapat melaksanakan pekerjaan secara baik, pemimpin menaikkan penekanannyua pada pemberian perhatian (perilaku hubungan).

Teori kepemimpinan situasional atau teori kontingensi dikembangkan Fiedler (dalam Hersey , 1996:189), yang mengemukakan bahwa “kepemimpinan yang efektif dipengaruhi oleh faktor perilaku pemimpin dan faktor-faktor situasi”. Penelitian tersebut didasarkan pada tiga macam variable penting yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan yang efektif, yakni; “hubungan antara pemimpin dengan bawahan (perilaku hubungan), struktur tugas (perilaku tugas) dan variabel kuasa atau wewenang dari posisi yang dimiliki pemimpin (kedudukan pemimpin)” (Fiedler dalam Hersey , 1996:189).

Menurut pendapat Hersey et al, (1996:191-192) berdasarkan variabel perilaku tugas, variabel perilaku hubungan dan variabel kesiapan terdapat empat gaya kepemimpinan, yakni gaya telling (memberitahukan), selling (menjajakan), participating (mengikutsertakan), dan delegating (mendelegasikan). Gaya kepemimpinan telling (memberitahukan) digunakan apabila tingkat kesiapan bawahan rendah, dengan perilaku hubungan yang rendah dan perilaku tugas tinggi, gaya kepemimpinana selling (menjajakan) digunakan apabila tingkat kesiapan rendah dengan perilaku hubungan tinggi dan perilaku tugas tinggi, gaya kepemimpinan participating (mengikutsertakan) digunakan apabila tingkat kesiapan sedang  ke tinggi dnegan perilaku hubungan tinggi dan perilaku tugas rendah, sedangkan gaya kepemimpinan delegating (mendelegasikan) digunakan apabila tingkat kesiapan bawahan tinggi, dengan perilaku hubungan rendah dan perilaku tugas rendah.

Berdasarkan penjelasan diatas, penerapan gaya kepemimpinan dipengaruhi perilaku pemimpin itu sendiri (perilaku tugas atau hubungan) dan pengetahuan pimpinan akan tingkat kesiapan dari orang-orang yang dipimpinnya (bawahan). Penerapan gaya kepemimpinan yang dipraktekkan memiliki konsekuensi sendiri terhadap perilaku bawahannya, antara lain terhadap disiplin kerja bawahannya.

Stogdill (1974:30) mengidentifikasikan beberapa fungsi kepemimpinan berdasarkan pendapat ahli teori perilaku sebagai berikut
1)    Defining objectives and maintaining goal direction (mendefinisikan tujuan dan menentukan sasaran)
2)    Providing means for goal attainment (menentukan sasaran daripada kelompoknya)
3)    Providing and maintaining group structure (menentukan struktur dari kelompok)
4)    Facilitating group action ang interaction (memperhatikan kegiatan kelompok dan bentuk interaksi)
5)    Maintaining group cohesiveness and member satisfaction (memperhatikan kekompakan kelompok dan mendapatkan kepuasan anggotanya)
6)    Facilitating group task performance (mempersiapkan kelompok untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya)

Berdasarkan pendapat di atas, dalam kepemimpinan harus memperhatikan komponen penetapan sasaran dalam mengarahkan tujuan, penetapan cara mencapai tujuan, penetapan dan memelihara struktur kelompok, menentukan tindakan dan interaksi kelompok, memelihara keterpaduan kelompok dan kepuasan anggota, serta memudahkan tugas kelompok.