Tampilkan postingan dengan label distribusi pendapatan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label distribusi pendapatan. Tampilkan semua postingan

latar belakang : dilema distribusi pendapatan (2)

golongan masyarakat yang mendapat kesempatan lebih besar dalam pertumbuhan ekonomi akan berusaha untuk memperbesar bagiannya sedangkan golongan masyarakat yang tidak beruntung akan menerima bagian yang kecil.

kartasasmita (1996:52-53) mengatakan walaupun keberhasilan pembangunan jangka panjang pertama cukup mengesankan, dan dapat menjadi landasan yang cukup kuat untuk melanjutkan pembangunan pada tahap berikutnya, tetapi disadari pula betapa banyaknya masalah pembangunan yang belum terselesaikan.

bahkan keberhasilan telah melahirkan banyak masalah baru, di antaranya masalah kesenjangan atau ketimpangan antardaerah, antarsektor, antarusaha dan antargolongan pendapatan dalam masyarakat. sejak awal pembangunan, kesenjangan itu sudah ada tetapi terasa makin lebar karena ketidakseimbangan dalam kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan. ketimpangan dalam kesempatan berpartisipasi ini telah menimbulkan rasa ketidakadilan.

menurut arndt (1987:11) distribusi pendapatan di suatu negara adalah hasil dari berbagai macam faktor ekonomi, sosial, institusional dan politik. salah satu penyebab ketidakmerataan distribusi pendapatan adalah ketidakseimbangan regional dalam kepadatan penduduk, pendapatan per kapita dan pembangunan antara pulau jawa dan bali dengan pulau-pulau di luar jawa.

pembangunan ekonomi indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. untuk mencapai maksud tersebut dikehendaki suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. oleh karena itu pembangunan ekonomi tidak saja diharapkan dapat mengubah struktur produksi nasional melalui perubahan komposisi pdb, melainkan juga harus mampu mengubah distribusi pendapatan nasional agar makin merata. keinginan ini juga tertuang dalam gbhn yang menghendaki pemerataan distribusi pendapatan tidak hanya antarlapisan masyarakat, namun juga antardaerah sebagaimana yang tercantum dalam trilogi pembangunan yang menjadikan pemerataan pembangunan sebagai prioritas.

oetama (1990) menyatakan pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga arah perencanaan pembangunan daerah tidak akan terlepas dari perencanaan pembangunan secara nasional (lihat wahyudi,1997:5). hal ini terutama untuk menghindari adanya kesenjangan pembangunan antardaerah. persoalan bagaimana kemudian terjadi kesenjangan akan bisa dicermati dari distribusi penduduk, sumber-sumber ekonomi, struktur ekonomi hingga distribusi pendapatan karena masing-masing daerah mempunyai potensi yang berbeda.

setiap upaya pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah. dalam upaya untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus secara bersama-sama mengambil inisiatif pembangunan daerah. oleh karena itu pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya dengan menggunakan sumber daya yang ada harus mampu menaksir potensi sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk merancang membangun perekonomian daerah.

sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi dan semakin kecilnya kesenjangan pendapatan antarpenduduk, antardaerah dan antarsektor. akan tetapi pada kenyataannya bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selamanya diikuti pemerataan secara memadai.

salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan daerah adalah dengan mengamati seberapa besar laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai daerah tersebut yang tercermin dari kenaikan produk domestik regional bruto (pdrb).

landasan teori : indeks gini dalam mengukur distribusi pendapatan

pembangunan ekonomi secara umum, banyak yang mendefinisikan sebagai suatu proses yang akan menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. oleh karena itu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat berdasarkan besarnya kenaikan pendapatan per kapita penduduk. hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk.

distribusi pendapatan dapat diukur dengan berbagai cara. dalam studi ini pengukuran menggunakan indeks gini. indeks ini merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).

menurut todaro (2000:188) untuk negara-negara sedang berkembang dapat dinyatakan bahwa distribusi pendapatan sangat tidak merata jika angka indeks gini terletak antara 0,5 sampai dengan 0,7. distribusi pendapatan dengan ketidak merataan sedang, jika angka indeks gini terletak antara 0,36 sampai dengan 0,49. distribusi pendapatan relatif merata jika angka indeks gini antara 0,2 sampai 0,35.

untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat morries d morries (kuncoro,2000:25). memperkenalkan physical quality life index (pqli) yang lebih lazim diterjemahkan sebagai indeks mutu hidup. pqli merupakan indeks komposit (gabungan) dari tiga indikator yaitu harapan hidup pada usia satu tahun, angka kematian bayi dan tingkat melek huruf. untuk masing-masing indikator, kinerja ekonomi suatu negara dinyatakan dalam skala 1 hingga 100, di mana 1 merupakan kinerja terjelek, sedangkan 100 adalah kinerja terbaik.

untuk indikator harapan hidup, batas atas upper limit seratus ditetapkan 77 tahun yang dicapai oleh swedia tahun 1973, sedangkan batas bawah lower limit satu ditetapkan 28 tahun dan ini merupakan tingkat harapan hidup terendah yang ditemukan di guinea-bissau pada tahun 1950. untuk angka kematian bayi, batas atasnya adalah 9/1000 kelahiran (angka ini dicapai swedia di tahun 1973), sedangkan batas bawahnya adalah 229/1000 kelahiran ditemukan di gabon pada tahun 1950. tingkat melek huruf yang diukur berdasarkan angka persentase satu hingga seratus, dapat dihitung secara langsung.

kinerja suatu negara dalam tingkat harapan hidup, tingkat kematian bayi dan tingkat melek huruf diperingkatkan pada skala antara satu hingga seratus. indeks gabungan atau indeks mutu hidup untuk negara tersebut dapat dihitung dengan merata-ratakan ketiga skor peringkatnya.

untuk mengetahui pengaruh pendapatan per kapita terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan digunakan data panel dengan model fixed effect. regresi untuk data panel adalah regresi dengan kombinasi antara data runtut waktu time series yang memiliki observasi temporal biasa pada suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan data silang tempat atau suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan observasi atas sejumlah vaiabel. alasan penggunaan data panel ini adalah untuk meningkatkan jumlah observasi (mengatasi masalah keterbatasan jumlah data runtut waktu) dan dengan data panel akan diperoleh variasi antar unit yang berbeda menurut ruang dan variasi yang muncul menurut waktu (kuncoro, 2001:124)

kronik : dilema pertumbuhan ekonomi

dalam kajian pembangunan, salah satu pembahasan menarik yang menjadi perhatian adalah mengenai dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersama. pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain (todaro, 2000). dinyatakan lebih lanjut bahwa pembangunan ekonomi mensyaratkan gnp yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil.

seperti yang dipaparkan oleh syahrir (1986) pada akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural lebih lanjut dinyatakan oleh (esmara, 1986) dan (meier, 1989) bahwa fakta ini pula yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) (lihat kuncoro, 1997). lebih lanjut dinyatakan oleh todaro (2000 ) kini di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang mulai muncul himbauan dan tuntutan dari masyarakat luas yang semakin lama semakin kuat, bagi dilakukannya peninjauan kembali atas tradisi “pengutamaan gnp” sebagai sasaran kegiatan ekonomi yang utama. kecenderungan ini mulai berlangsung sejak dekade 1970-an. upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan pun mulai dikedepankan sebagai fokus utama pembangunan.

perbedaan tingkat pembangunan antardaerah, mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah, dan kalau hal ini dibiarkan dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi suatu negara. gagasan ini timbul setelah melihat kenyataan bahwa kalau perkembangan ekonomi diserahkan pada kekuatan mekanisme pasar, biasanya cenderung untuk memperbesar dan bukannya memperkecil keetidakmerataan antardaerah, karena kegiatan ekonomi akan menumpuk di tempat-tempat dan daerah tertentu, sedangkan tempat-tempat atau daerah lainnya akan semakin ketinggalan (arsyad, 1999).

kesenjangan ekonomi antardaerah merupakan fenomena yang sudah lama ada. ada tiga faktor mengapa terjadi kesenjangan ekonomi yaitu pertama, ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) yang bersifat alamiah dan struktural. pemilikan faktor produksi yang berbeda di tiap daerah maka timbulnya kesenjangan ekonomi antardaerah dinilai wajar. meskipun dianggap wajar, kesenjangan tetap tidak diharapkan sehingga pelu berbagai kebijakan pemerintah agar kesenjangan ekonomi antardaerah tidak semakin melebar (menuju proses convergence). kedua, mobilitas faktor produksi baik tenaga kerja maupun modal. migrasi tenaga kerja dan modal dari suatu daerah yang kurang maju ke daerah lain yang lebih maju akan meningkatkan kesenjangan ekonomi antardaerah. ketiga, kebijakan pemerintah dalam menetapkan strategi pembangunan hoover (1975).

williamson (1965) yang meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan data ekonomi negara yang sudah maju dan negara sedang berkembang, ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. pada tahap yang lebih matang, ada keseimbangan pertumbuhan ekonomi antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan (lihat brojonegoro, 1999).

profesor kuznets yang telah berjasa besar dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. observasi inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva kuznets “u terbalik”. konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antarwaktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan koefisien gini) sejalan dengan pertumbuhan gnp per kapita (lihat todaro, 2000).

tentang pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan

tentang pertumbuhan ekonomi
menurut boediono, pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dalam definisi ini ditekankan pada aspek :
  1. perekonomian berkembang dari waktu ke waktu;
  2. kenaikan output per kapita karena kenaikan pendapatan akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat, agar pendapatan per kapita naik maka pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari pada kenaikan jumlah penduduk;
  3. aspek lainnya adalah pertumbuhan ekonomi harus berlangsung dalam jangka panjang yang akan meningkatkan pertumbuhan pendapatan.
pembangunan ekonomi pada umumnya dimaksudkan agar kesejahteraan rakyat di suatu negara meningkat. pembagian hasil-hasil pembangunan yang semakin merata. terciptanya kesempatan kerja yang memadai dan tentu saja pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

teori distribusi pendapatan dan pengukuran distribusi pendapatan

ada tiga pandangan yang berkembang mengenai ketidakmerataan distribusi pendapatan yaitu :
  1. kuznets (1955) berpendapat bahwa pada tahap-tahap awal pertumbuhan, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik atau lebih dikenal dengan kurva “ u terbalik” (lihat todaro,2000:207);
  2. pendapat lewis (1950) mengaitkannya dengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. tahapan pertumbuhan awal akan terpusat pada sektor industri modern. pada tahap ini, lapangan pekerjaan terbatas namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi. kesenjangan pendapatan antara sektor industri modern dengan sektor pertanian tradisional pada awalnya akan melebar dengan cepat sebelum pada akhirnya menyempit kembali (lihat todaro, 2000:207);
  3. peneliti lain menyatakan bahwa faktor penentu utama atas pola-pola distribusi pendapatan bukanlah laju pertumbuhan ekonomi, tetapi adalah struktur ekonomi (lihat todaro, 2000:211).
pengukuran distribusi pendapatan. ukuran distribusi yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi pada umumnya adalah distribusi ukuran yang lebih dikenal dengan distribusi pendapatan antarkelompok size distribution of income yang menjelaskan besarnya pembagian antarperorangan atau rumah tangga.

kurva lorenz
metode yang lazim digunakan adalah deciles dan quintile yaitu berdasarkan persentase pendapatan secara komulatif dan persentase penerima pendapatan secara komulatif pula. tingkat distribusi pendapatan cara deciles yaitu dengan membagi pendapatan menjadi 5 kelompok penerima pendapatan secara berurutan dari kelompok 20% penduduk termiskin sampai 20% penduduk terkaya berdasarkan proporsi pendapatannya, sedangkan cara quintile yaitu dengan membagi pendaapatan menjadi 10 kelompok penerima pendapatan secara berurutan pula dan 10% penduduk termiskin sampai 10% penduduk terkaya. hasil pengelompokkan tersebut merupakan dasar untuk menggambarkan sebuah kurva lorenz. kurva lorenz yaitu kurva yang memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama satu tahun (todaro, 2000:183).

indeks gini
berdasarkan kurva lorenz besarnya indeks gini dapat diketahui dengan menghitung bidang yang terletak antara garis kemerataan dengan kurva lorenz dibagi dengan separuh bidang di mana kurva lorenz berada. dari besarnya nilai indeks gini tersebut tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat diketahui.

todaro (2000:188) menyatakan bahwa indeks gini atau koefisien gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). dalam kenyataan nilai indeks gini sebesar nol atau satu tidak mungkin terjadi, karena tidak mungkin distribusi pendapatan suatu negara mengalami merata sempurna atau tidak merata sempurna. indeks ini mempunyai beberapa kelebihan, seperti teknik penghitungannya yang relatif mudah dan tidak terikat pada distribusi/penyebaran pendapatan yang sedang diamati dan digunakan sebagai alat pembanding dalam mengamati kecendrungan sifat distribusi pendapatan masyarakat.

Kronik Teori : Pertumbuhan Versus Distribusi Pendapatan


Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersama. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain (Todaro, 2000). Dinyatakan lebih lanjut bahwa pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil.

Dinyatakan oleh syahrir (1986) pada  akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural Lebih lanjut dinyatakan oleh (Esmara, 1986) dan (Meier, 1989) bahwa Fakta ini pula yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) (lihat Kuncoro, 1997).

Lebih lanjut dinyatakan oleh Todaro (2000 ) kini di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang mulai muncul himbauan dan tuntutan dari masyarakat luas yang semakin lama semakin kuat, bagi dilakukannya peninjauan kembali atas tradisi “pengutamaan GNP” sebagai sasaran kegiatan ekonomi yang utama. Kecenderungan ini mulai berlangsung sejak dekade 1970-an. Upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan pun mulai dikedepankan sebagai fokus utama pembangunan.

Perbedaan  tingkat pembangunan antardaerah, mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah, dan kalau hal ini dibiarkan dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi suatu negara. Gagasan ini timbul setelah melihat kenyataan bahwa kalau perkembangan ekonomi diserahkan pada kekuatan mekanisme pasar, biasanya cenderung untuk memperbesar dan bukannya memperkecil keetidakmerataan antardaerah, karena kegiatan ekonomi akan menumpuk di tempat-tempat dan daerah tertentu, sedangkan tempat-tempat atau daerah lainnya akan semakin ketinggalan (Arsyad, 1999).

Kesenjangan ekonomi antardaerah merupakan fenomena yang sudah lama ada. Ada tiga faktor mengapa terjadi kesenjangan ekonomi yaitu pertama, ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) yang bersifat alamiah dan struktural. Pemilikan faktor produksi yang berbeda di tiap daerah maka timbulnya kesenjangan ekonomi antardaerah dinilai wajar. Meskipun dianggap wajar, kesenjangan tetap tidak diharapkan sehingga pelu berbagai kebijakan pemerintah agar kesenjangan ekonomi antardaerah tidak semakin melebar (menuju proses convergence).

Kedua, mobilitas faktor produksi baik tenaga kerja maupun modal. Migrasi tenaga kerja dan modal dari suatu daerah yang kurang maju ke daerah lain yang lebih maju akan meningkatkan kesenjangan ekonomi antardaerah.

Ketiga, kebijakan pemerintah dalam menetapkan strategi pembangunan Hoover (1975).  Selanjutnya dinyatakan oleh Dumairy (1997) Strategi pembangunan dalam pembangunan jangka panjang tahap pertama ( PJP I) lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan, akibatnya sisi pemerataan kurang mendapat perhatian. Tidak mengherankan selama 30 tahun pembangunan yang dilaksanakan masih menimbulkan kesenjangan.

Williamson (1965)  yang meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan data ekonomi negara yang sudah maju dan negara sedang berkembang, ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang, ada keseimbangan pertumbuhan ekonomi antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan (lihat Brojonegoro, 1999).

Profesor Kuznets yang telah berjasa besar dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets “U terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antarwaktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita  (lihat Todaro, 2000).

https://www.tokopedia.com/bungaslangkar/paket-oleh-oleh-khas-banjarmasin-kalimantan-selatan