secara umum, dalam pembangunan pedesaan membutuhkan perubahan pada dua ranah: pemerintah sebagai hulu kebijakan dan desa (pemerintah desa dan masyarakat) sebagai hilir pembangunan. di ranah hulu kebijakan, pemerintah sebenarnya tidak pernah berhenti melakukan intervensi terhadap pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. tetapi selama ini pemerintah menghadapi dilema yang serius dalam menjalankan intervensi terhadap desa.
kalau pemerintah tidak intervensi salah, tetapi kalau melakukan intervensi selalu membuahkan kegagalan. para pihak menunjukkan bahwa masalah kemiskinan dan keterbelakangan bisa terjadi karena pemerintah yang tidak hadir atau tidak melakukan intervensi. tetapi pengalaman empirik menunjukkan bahwa intervensi pemerintah terhadap desa dan penanggulangan kemiskinan lebih banyak membuahkan kegagalan daripada keberhasilan.
di masa lalu, intervensi terhadap desa melalui uu no. 5/1979, bukan hanya gagal dalam membuat desa menjadi modern, tetapi malah menciptakan peminggiran dan melemahkan institusi dan kearifan lokal. intervensi dalam penanggulangan kemiskinan juga demikian. selama beberapa tahun terakhir, anggaran penanggulangan kemiskinan mengalami peningkatan sebesar 250% tetapi penurunan angka kemiskinan hanya sebesar 2% (tnp2k, 2010). keberhasilan yang minimal (jika bukan kegagalan) ini tidak lain karena intervensi yang ditempuh pemerintah menggunakan pendekatan yang keliru, misalnya pendekatan money driven development melalui distribusi bantuan langsung masyarakat.
di ranah hilir kebijakan, desa memang merupakan hulu kemiskinan, tetapi sekecil apapun desa juga memiliki aset penghidupan (manusia, sosial, ekonomi) yang bisa menjadi modal emansipasi lokal atau people driven development untuk membangun kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan. tetapi sayangnya, intervensi dari atas bukan membangkitkan emansipasi lokal itu melainkan menjadikan desa sebagai obyek penerima manfaat kebijakan pemerintah semata, aset penghidupan lokal mengalami erosi dan emansipasi lokal menjadi tumpul. belakangan, desa maupun masyarakat tidak mau disebut miskin, tetapi ketika pemerintah hadir, baik dalam melakukan pendataan maupun memberikan bantuan keuangan, mereka menyebut dirinya miskin.
karena itu agenda pembangunan pedesaan harus ditempuh dengan perubahan kebijakan pemerintah dari atas dan gerakan emansipasi lokal dari dalam dan dari bawah. reformasi kebijakan paradgima berpikir baru diperlukan untuk mengubah cara pandang pemerintah yang keliru terhadap desa, sekaligus mengubah strategi intervensi pemerintah terhadap pembangunan perdesaan.
dalam konteks ini, kami menaruh perhatian besar pada perubahan dari community driven development (yang digunakan bank dunia dan pemerintah indonesia) menjadi people driven development, serta dari money driven development (yang dijalankan pemerintah melalui blm) menjadi asset driven developmeny melalui emansipasi lokal.
sementara rute emansipasi lokal bisa belajar dari banyak pengalaman yang digerakkan oleh aktor-aktor di luar pemerintah maupun oleh desa sendiri. emansipasi lokal itu digerakkan oleh berbagai kekuatan: kesadaran kolektif di level grass roots, partipasi masyarakat bawah termasuk kaum kaum perempuan, katalisasi yang dilakukan oleh ngos, maupun regulasi seperti uu no. 25/2005 dan
uu no. 32/2004 yang membuka ruang partisipasi warga maupun peran daerah dan desa. otonomi desa tidak hanya disuarakan oleh kekuatan-kekuatan lokal tetapi juga dihadirkan melalui rekayasa dan ekspesimentasi secara konkret di level bawah, dalam bentuk perencanaan dan penganggaran yang partisipatif, pengembangan sumberdaya alam berbasis desa, pengembangan ekonomi lokal dan sebagainya. semua ini secara inkremental mendongkrak kemandirian desa, sekaligus memberikan kontribusi bagi pembangunan pedesaan secara berkelanjutan.