dimensi etika : enam dimensi strategis administrasi publik

pendahuluan
dimensi etika dianalogikan dengan sistem sensor di dalam administrasi publik. dimensi ini dianggap sebagai dimensi strategis dalam administrasi publik.

secara logis, isu ketika sangat vital didalam administrasi publik karena adanya keleluasaan atau dikresi yang diberikan kepada para eksekutif. john a. rohr (1989:60) yang mendasarkan pendapatnya pada buku morality and administration in democratic government karya paul appleby, menyatakan bahwa diskresi administrasi menjadi “starting point” bagi masalah moral atau etika dalam dunia administrasi publik. selanjutnya, masalah moral atau etika jauh lebih memperihatinkan dan lebih fatal akibatnya daripada kekeliruan manusia yang dilakukan dalam pemerintahan.

etika dapat menjadi suatu faktor yang mensukseskan tetapi juga sebaliknya menjadi pemicu dalam menggagalkan tujuan kebijakan, struktur organisasi, serta manajemen publik. bila moralitas para penyusun kebijakan rendah, maka kualitas yang dihasilkanpun sangat rendah. kebobrokan moralitas atau etika dari mereka yang merencanakan, mengimplementasikan, dan memonitor serta mengevaluasi pelayanan publik akan sangat berpengaruh pada hasil akhir. tingkat moralitas atau etika para pemberi pelayanan publik akan mempengaruhi pencapaian hasil.

batasan dan ruang lingkup
bertens (2000) menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti, salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. filsuf besar aristoteles, kata bertens, telah menggunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang adat kebiasaan. bertens juga mengatakan bahwa di dalam kamus umum bahasa indonesia, karangan purwadiminta, etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). dalam kamus besar bahasa indonesia (departemen pendidikan dan kebudayaan, 1998), disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

bertend berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting etika, yaitu etika (1) sebagai nilai-nilai moral dan nilai-nilai norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistim nilai”, (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”. the incyclopedia of philosophy yang menggunakan etika sebagai (1) “way of life”, (2) “moral code” atau rules of conduct, dan (3) penelitian tentang unsur pertama dan kedua diatas (lihat denhard, 1988:28).

etika lebih menggambarkan tentang perbuatan itu sendiri, yaitu apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan, misalnya mengambil barang milik orang lain tanpa ijin tidak pernah diperbolehkan. sementara etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia, dan berlaku hanya dalam pergaulan dan berinteraksi dengan orang lain, dan cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya memberi sesuatu kepada orang lain dengan tangan kiri merupakan cara yang kurang sopan menurut kebudayaan tertentu, tapi tidak ada persoalan bagi kebudayaan lain. karena itu etiket lebih bersifat relatif, dan cenderung mengutamakan simbol lahiriah, bila dibandingkan dengan etika yang cenderung berlaku universal dan menggambarkan sunggguh-sungguh sikap batin.

nilai-nilai moral nampak dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan “six great ideas” (lihat denhard, 1988) yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). pemberian pelayanan publik, tutur kata, sikap, dan perilaku para pemberi pelayanan seringkali dijadikan obyek penilaian dimana nilai-nilai besar tersebut dijadikan ukurannya.

dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartikan sebagai filsafat dan “profesional standar” (kode etik), atau “righ of rules of coduct” (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik (lihat denhard, 1988). menurut the public administration dictionary (chandler dan plano, 1988: 17), etika didefinisikan sebagai filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan perilaku manusia, dalam kaitannya dengan benar atau salah suatu perbuatan, dan baik atau buruk motif dan tujuan dari perbuatan tersebut (lihat chandler dan plano, 1988: 17).

perubahan paradigma
etika atau moral menjadi salah satu dimensi terpenting dalam administrasi publik. aliran-aliran etika atau moral yang berkembang saat ini, seperti teleology, utilitarianisme, dan deontologi. mereka yang mengutamakan tujuan sebagai penilaian pokok etika, tentu akan berbeda dengan mereka yang kewajiban atau aturan yang harus ditaati.

dilihat dari sejarah administrasi publik, etika merupakan isu yang relatif muda. di dalam aliran klasik / birokrasi klasik, etika belum di sentuh oleh max weber, f.w. taylor, l. gullick, l. urwick, dan baru dapat secara jelas terlihat pada kehendak untuk memisahkan antara administrasi dan politik atau yang dikenal dengan “the politics-administration dichotomy”. bahkan, menurut chandler dan plano (1988:18), asalkan administrator publik mengerjakan pekerjaan mereka secara efisien dan ekonomis maka mereka telah dianggap sebagai pihak yang bermoral.

paul appleby melihat bahwa administrasi dan politik adalah bagian dari parsel yang sama. moralitas merupakan bagian dari dunia birokrasi. dan kini, aspek etika menjadi sorotan utama bagi para administrator karena mereka harus membuat keputusan yang tidak saja mempertimbangkan nilai efesiensi, ekonomis dan prinsip-prinsip administrasi, tetapi juga aspek moralitas. masalah etika ini kemudian lebih dituntut untuk diperhatikan karena terjadi kompetisi antara kepentingan publik dan kepentingan lain (competing enterests).

menurut chandler dan plano (1998) dalam etika terdapat empat aliran utama yaitu emperical theory, rational theory, dan relevation theory. rational theory melihat bawa baik dan buruk sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. dalam konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang unik dan membutuhkan penerapan yang unik dari logika manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula tentang baik atau buruk. intutitive theory berargumen bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman dan logika, tetapi dari manusia secara alamiah memiliki pemahaman tentang apa yang benar dan yang salah, apa yang baik dan yang buruk. teori ini menggunakan hukum moral alamiah atau “natural moral law”. relevation theory berpendapat bahwa yang benar atau salah berasal dari kekuasaan diatas manusia yaitu berasal dari tuhan sendiri.

disamping empat aliran utama diatas, yang sering dipertentangkan dalam administrasi publik karena pengaruhnya kepada administrator adalah pendekatan teleologis atau utilitarianisme, deontologist, dan virtue ethics. pendekatan pertama dan kedua seringkali bertentangan satu sama lain, bahkan dalam beberapa kasus membingungkan publik. pendekatan teleologis dan utilitarianisme merupakan pendekatan yang berorientasi pada tujuan dan di fukoskan kepada akibatnya (lihat heichelbech, 2003: 1189-1191).

menurut aristoteles, tujuan atau maksudlah yang menentukan apakah sesuatu itu hebat dan bemamfaat. denga kata lain, etis tidaknya sesuatu di tentukan oleh maksud dan tujuannya. sayangnya pernyataan tersebut di tentang oleh ”scientific revolution” yang berpendapat bahwa bukan tujuan atau maksud yang menetukan sesuatu itu hebat atau berharga, tetapi lebih ditentukan oleh prinsip-prinsip ilmiah yang digunakan.

jeremy bentham dalam tulisannya yang berjudul the principle of morals and legislation, berpendapat bahwa prinsip etis tidaknya sesuatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan. dengan kata lain, etika benar-benar perduli terhadap kebahagiaan para individu bukan yang lain. dalam kacamata mill, suatu kegiatan itu etis bila menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar dan lebih luas lagi cakupannya.

apa yang dikatakan dalam utilitarianisme dikritik karena dalam kenyataan tidak mudah menghitung utilitas atau kegunaan secara tepat. demikian pula tidak dipersoalkan kebahagiaan siapa, apakah yang ingin dibahagiakan itu adalah yang secara legitimate berhak mendapatkannya. kepentingan yang dilayani harus benar-benar kepentingan dari orang-orang yang membutuhkannya secara sah. kritik yang lain datang dari kelompok utilitarian kontemporer atau dikenal dengan nama cosequentialist, dimana mereka mempertanyakan mengapa harus kebahagiaan yang dijadikan ukuran, apakah tidak sebaiknya mempertimbangkan juga kepentingan lain seperti hak-hak dasar atau hak asasi manusia.

deontologi merupakan salah satu cabang etika yang menekankan kewajiban, tugas, tanggung jawab dan prinsip-prinsip yang harus diikuti. tokoh utamanya adalah immanuel kant dan john rawls (lihat heichelbech,2003:339-340). deontologi berbeda dengan utilitarianisme dalam hal tidak memperhatikan atau memperdulikan kosekuensi atau akibat dari suatu perbuatan sebagai pertimbangan moral, tetapi lebih menekankan compliace dan enformance (ketaatan dan kesesuaian) terhadap suatu kewajiban, tanggung jawab, aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku.

substansi dari moral dan etika ini tidak dapat dipahami dengan memprediksi hasil atau akibat, atau kesesuaian dengan kewajiban, tetapi dipahami dari “internal imperative to do right”. disini, yang di tekankan adalah keharusan untuk berbuat baik, tidak karena dorongan mendapatkan hasil atau keharusan mengikuti kewajiban atau prinsip yang telah ditentukan. kektiga aliran tersebut, menurut bowman, membentuk segitiga etika (ethical triangle), dimana aliran deontologi memusatkan perhatian pada kewajiban dan prinsip yang harus diikuti (it is imperative that actions categorically follow principles irrespective of result), aliran utilitarian pada akibat atau konsekuensi (action should produce the greatest good for the greatest number), sementara aliran virtue pada integritas (goodness is the result of internal imperative to do right, not sanction from moral rules of rewards from expected consequences).

model i-the 1940’s, dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, di perlukan seorang administrator yang senantiasa menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan dari pada hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada (denhardt, 1988:6).

model ii- the 1950’s, yang berintikan bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan standar atau asummsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan.

model iii-the 1960’s, agar menjadi etis seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata tergantung pada kebiasaan dan tradisi. standar etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar moral yang absolut.

david k. hart, menilai bahwa administrasi publik saat ini sudah bersifat ‘impartial” dan sudah waktunya merubah paradigma lama dengan paradigma yang baru untuk memperbaiki keperayaan publik yang pada waktu itu sudah pudar. nilai keadilan yang disarankan disini sebenarnya hanyalah merupakan sebagian dari “core values” yang telah disebutkan diatas, sehingga pengalaman di tahun 1970-an tersebut lebih menggambarkan penyempurnaan content atau dari isi etika itu sendiri, sebagai pelengkap dari tinjauan tentang “process” dan “context” yang telah diungkapkan dalam model-model sebelumnya.

model iv-the 1970’s, agar menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan administrative. standar-standar ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespon tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-satndar tersebut.

model v- after rohr, agar menjadi etis maka seorang administrator harus secaca independen masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan. isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai social dipahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah sosial baru diungkapkan.
model vi- after cooper, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator harus mampu mengatur independent proses menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat pada tingkatan organisasi itu.

tiga hal pokok yang menarik perhatian dalm paradigma itu yaitu (1) proses menguji dan mempertanyakan standard etika dan asumsi, secara independent; (2) isi standard etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standard tersebut baik sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari munculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi dan peranan yang dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika.

apliksi etika dan moral
ketiadaan kode etik telah memberikan peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan prilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan atau tata tertib yang ada.

nilai-nilai yang dijadikan kode etik bagi administrator publik di amerika serikat adalah menjaga integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, beri perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengambangan profesionalisme, komunikasi terbuka, kreatifitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistem “merit” dan program “affirmative action”.

beberapa isu penting
menurut dennis thompson (shafritz dan hyde,1997), di dalam administrasi publik terdapat isu etika yang kontroversil dan dilematis, yaitu etika netralitas dan etika struktur. etika netralitas menuntut seorang administrator untuk netral, artinya menerapkan prinsip etika sesuai kebijakan organisasi atau sebagaimana diputuskan oleh organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip yang dianutnya. sementara itu, etika struktur menyatakan bahwa organisasilah yang bertanggungjawab atas semua keputusan dan kebijakan yang dibuat, dan bukan individu aparat.

sementara itu ada kelompok yang kurang yakin teradap keabsolotan norma-norma tersebut mereka digolongkan sebagai kaum relativis. kaum teleologis berpendapat bahwa tidak ada suatu prinsip moralitas yang bisa dinggap universal, kalau belum diuji atau dikaitkan dengan konsekuensinya.

konflik paragmatis yang sering terjadi antara kaum relativis dengan absolutis merupakan hal yang biasa sekali terjadi di dalam kebiasaan hidup dan sudah menjadi tradisi akademis di negara-negara maju. konflik seperti ini sangat berguna untuk merangsang dan meningkatkan sensitivitas beretika bagi masyarakat meskipun tidak selamanya berakhir dengan kepuasan kepada kedua pihak yang bertentangan. kenflik seperti ini, sadar atau tidak, ternyata telah meningkatkan kedewasaan dalam beretika.