untuk mendudukkan perwakilan politik di dpr dan dprd biasanya dilakukan melalui pemilu. dalam praktek penyelenggaraan pemilu pada umumnya banyak negara mengacu pada dua sistem yang sudah cukup dikenal yaitu sistem pemilihan mekanis dan sistem pemilihan organis.
dalam literatur ilmu politik, setidaknya dikenal dua sistem pemilihan wakil rakyat (grofman and lijphart ; 1986 dalam riswandha :2001) :
pertama, sistem pemilihan mekanis
sistem ini dapat dilaksanakan dengan dua cara, yakni sistem distrik dan proporsional (macridis and brown :1968 :318). sistem distrik merupakan sistem yang paling tua, yang dasar utamanya adalah jumlah penduduk. disini, wilayah negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan dan jumlah wakil dalam lembaga perwakilan disesuaikan dengan jumlah distrik yang ada.
sistem ini dikenal pula sebagai single member constituency, sebab setiap distrik hanya diwakili satu orang yang diputuskan dengan melihat siapa yang memperoleh suara terbanyak. disini berlaku prinsip the winner takes all, pemenang mengambil semuanya. hingga suara pemilih yang dimiliki calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi. sekalipun hanya terjadi selisih perolehan suara yang sangat kecil antar calon.
misalnya dalam satu distrik ada 100 ribu pemilih. ada dua calon yakni a dan b. dalam pemilu a mendapat 55 ribu suara , sementara calon b 45 ribu. pemenangnya, atau wakil rakyat dari distrik itu adalah calon a. sedangkan suara yang diperoleh calon b dianggap hilang.
untuk mengatasi kelemahan yang ada pada sistem distrik, dikenalkan sistem proporsional . disebut pula sistem perwakilan berimbang, multy member constituency sebab dalam satu daerah pemilihan dimungkinkan adanya lebih dari satu orang wakil. jadi dalam sistem ini tidak dikenal adanya prinsip the winner takes all seperti yang dikenal dalam sistem distrik.
gagasan pokok dari sistem proporsional adalah jumlah kursi di lembaga perwakilan yang diperoleh satu partai, sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat. wilayah administratif dari negara dijadikan basis penentuan wakil.
kedua, sistem pemilihan organis
melalui sistem organis ini, wakil rakyat ditentukan melalui pengangkatan dan penunjukan. pada umumnya sistem ini digunakan karena ada kelompok fungsional dalam masyarakat yang dipandang perlu untuk punya wakil di lembaga perwakilan rakyat. dalam sistem ini rakyat satu negara dianggap sebagai individu-individu yang menggabungkan diri dalam berbagai persekutuan hidup (organisasi).
persekutuan ini didasari oleh kesamaan profesi, lapisan sosial, keahlian, maupun asal atau keturunan. persekutuan ini umumnya didirikan sebagai pengendalian hak politik untuk menunjuk wakilnya di lembaga perwakilan sesuai dengan jumlah yang diminta konstitusi atau undang-undang yang mengatur lembaga perwakilan tersebut. ini dimungkinkan, sebab pada umumnya fungsional tidak ikut dalam pemilu. (saragih ;1985 dalam riswandha :2001)
jika memperhatikan sistem-sistem pemilihan di atas dan dikaitkan dengan pelaksanaan pemilu di indonesia tahun 1999, maka sistem yang digunakan dalam pemilu tersebut adalah sistem pemilihan semi distrik. sebagaimana ditulis dalam makalah diskusi “hubungan eksekutif dan legislatif di daerah”, workshop dprd lombok tengah (2000), sistem tersebut berimplikasi pada semakin kuatnya posisi politik elit partai di tingkat daerah berhadapan dengan elit partai politik partai nasional yang selalu berupaya untuk mendapatkan dukungan pemilih di daerah.
adanya perwakilan politik yang keberadaan mereka di dpr dan dprd melalui pemilu, kepadanya melekat fungsi-fungsi tertentu yang harus mereka jalankan. miriam budiardjo (1978 ;182), mengemukakan, diantara fungsi badan legislatif yang paling penting ialah :
1. menentukan policy (kebijaksanaan) dan membuat undang-undang. untuk itu dewan perwakilan rakyat diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah dan hak budget.
2. mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga supaya semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan. untuk menyelenggarakan tugas ini, badan perwakilan rakyat di beri hak-hak kontrol khusus.
peranan lembaga legislatif pada dasarnya menunjukkan derajat pelaksanaan fungsinya. secara umum fungsi-fungsi lembaga legislatif (hitchner and harbold 1972, dalam muchlis hamdi ;2001), termasuk lembaga legislatif daerah, mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. representasi opini dan kepentingan
2. formulasi kebijakan
3. kontrol keuangan
4. supervisi eksekutif
5. pembuatan undang-undang
dari perumusan fungsi itu, peranan lembaga legislatif paling tidak bisa dikelompokkan menjadi tiga, yakni sebagai wakil rakyat, pengontrol eksekutif, dan pembuat undang-undang. dalam pelaksanaan berbagai fungsi tersebut, anggota legislatif umumnya dipahami mempunyai berbagai kemungkinan corak perilaku, misalnya seperti yang dikemukakan oleh (jacobsec dan lipman ;1963, dalam muchlis hamdi ;2001) dapat dibedakan atas tiga, yakni :
1. utamanya sebagai agen dari pemilihnya, mempunyai komitmen untuk mengikuti instruksi dan keinginan dan untuk mengetengahkan kepentingan lokal atau
2. sebagai pejabat negara yang seharusnya bertindak untuk rakyat sebagai keseluruhan, di atas pertimbangan yang bersifat parokial, atau
3. seharusnya berkonsultasi dan bertindak dengan pimpinan partainya, mensubordinasikan pertimbangan pribadinya atau kepentingan pemilihnya pada program umum yang ditetapkan partai.
fungsi wakil dan fungsi lembaga perwakilan juga dapat dilihat dari tujuannya. sebagaimana diungkapkan riswandha (2001), tujuan dari perwakilan politik adalah menterjemahkan will of the people menjad will of the state. karena itu fungsi dpr bisa dibedakan pada dua kategori besar, yakni fungsi wakil dan fungsi lembaga perwakilan. sebagai wakil mereka menjalankan fungsi representasi demografis, pembuatan keputusan, dan pembentukan legitimasi.
reperesentasi adalah fungsi badan perwakilan vis-a-vis keanekaragaman demografis (seks, umur, tempat tinggal), sosiologis (pengelompokan sosial dan stratifikasi sosial ), ekonomi, (jenis pekerjaan dan pemilikan atau kekayaan), cultural (adat, agama, kepercayaan, orientasi sosial dan kesenian), maupun politik dalam masyarakat.
pembuatan keputusan merupakan fungsi badan perwakilan rakyat saat dihadapkan pada berbagai masalah demi terwujudnya tujuan bersama. diharapkan para wakil rakyat mampu mengantisipasi perkembangan masa depan, mengidentifikasi problem-problem utama, dan merumuskan preskripsi untuk mengatasinya. implisit dalam dimensi ini adalah, wakil rakyat harus mampu menjadi mediator penyelesaian berbagai konflik secara resmi.
pembentukan legitimasi adalah fungsi badan perwakilan atas nama rakyat berhadapan dengan pemegang kekuasaan (eksekutif). badan inilah yang secara konstitusional membentuk citra demokratis pemerintah., sekaligus penentu stabilitas politik. karena itu bila lembaga perwakilan rakyat, dalam hal ini dpr maupun dprd, terlalu pasif dan tidak pernah memberikan koreksi atau mengingatkan eksekutif, justru mereka yang kehilangan legitimasinya.
sebagai sebuah institusi, para wakil dalam dewan atau lembaga perwakilan memiliki empat fungsi dasar, yakni :
1. fungsi legislasi (perundangan) meliputi pembuatan aturan sendiri, menentukan pucuk pimpinan eksekutif secara mandat, serta menjadi mediator kepentingan rakyat dengan pemerintah.
2. fungsi budget (penganggaran) meliputi merancang dan menentukan arah serta tujuan aktifitas pemerintahan.
3. fungsi pengawasan, meliputi aktifitas memfasilitasi perkembangan kepentingan dalam masyarakat vis-a-vis agenda yang telah ditentukan oleh pemerintah. lembaga perwakilan menilai apakah aktivitas pemerintahan masih selaras dengan aspirasi masyarakat, serta memastikan bahwa perkembangan aspirasi masih bisa di akomodir dalam rencana kerja pemerintah.
4. fungsi regulator konflik, meliputi aktivitas menampung dan menyerap konflik kepentingan yang berkembang dalam masyarakat, sehingga konflik pada tataran masyarakat dapat diubah menjadi konflik internal lembaga perwakilan sebagai bagian dari sebuah sistem politik.
untuk dapat melaksanakan fungsi-fungsi itu, lembaga perwakilan dilengkapi dengan hak-hak ; mengajukan pertanyaan ; mengajukan usul pernyataan pendapat ; minta keterangan (interpelasi) ; mengadakan penyelidikan (angket) dan mengubah aturan yang berlaku (amandemen).
aktualisasi fungsi dan hak tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling berkaitan. james lee (1975) dalam riswandha (2001) memasukkan faktor-faktor tersebut dalam tiga kelompok :
1. stimuli eksternal, yang mencakup afiliasi partai politik, kepentingan pemilih, input-out put eksekutif, dan aktivitas kelompok-kelompok penekan.
2. setting psikologis, yaitu predisposisi personal, sikap, dan peran-peran yang dijalankan, serta harapan-harapannya.
3. komunikasi intra-institusional, baik formal maupun informal yang berpotensi menggantikan atau membesarkan pengaruh faktor-faktor lain yang telah disebutkan.