menurut miriam budiardjo (1978 ;177), dewasa ini perwakilan politik dianggap paling wajar. disamping itu beberapa negara merasa bahwa azas “functional or occupational representation” perlu diperhatikan dan sedapat mungkin diakui kepentingannya disamping sistem perwakilan politik, sebagai cara untuk memasukkan unsur keahlian ke dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan umum. dalam pada itu dilihat bahwa masalah yang sampai sekarang belum dipecahkan ialah bagaimana menetapkan patokan yang objektif mengenai sifat-sifat dari golongan fungsional yang akan diikut sertakan dan bagaimana menentukan kriteria untuk mengukur kekuatan golongan fungsional masing-masing.
di indonesia azas perwakilan fungsional juga telah dikenal disamping azas perwakilan politik. pemilihan umum tahun 1971 diselenggarakan dengan mengikut sertakan baik partai-partai politik maupun golongan fungsional. dengan adanya penerapan konsep perwakilan politik dalam menentukan wakil-wakil rakyat atau kelompok yang akan mewakili kepentingan politik mereka dalam arena pemerintahan, menyebabkan terciptanya hubungan antara wakil dan yang terwakili. bagaimana jalinan hubungan antara wakil dan terwakili ini tergambar dalam dua teori (teori mandat dan teori kebebasan).
dari definisi perwakilan politik yang dikemukakan riswandha imawan (2001), dalam melakukan aktifitas para wakil perlu menentukan posisi mereka terhadap fihak yang diwakili. dalam kaitan ini, dikenal adanya dua teori perwakilan politik (styabudi, 1991 :34 -37)
pertama, teori mandat (sering disebut functional representation)
menurut teori yang pertama kali dikenalkan oleh j.j. rousseau ini, wakil dilihat sebagai penerima mandat dimana ia harus merealisasikan kekuasaan fihak yang diwakilinya dalam proses kehidupan politik. menurut teori ini, tindakan wakil di lembaga perwakilan harus sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh fihak yang diwakilinya. oleh karena itu pandangan, sikap dan tindakan wakil harus sejalan dengan mandat yang diberikan. bila terjadi perbedaan pandangan, sikap dan tindakan antara wakil dengan fihak yang diwakili, dapat berakibat turunnya reputasi para wakil.
kedua, teori kebebasan (sering disebut political representation)
ajaran ini dikembangkan oleh abbe sieyes di perancis, serta block stone di inggeris. menurut teori ini, wakil dapat bertindak bebas tanpa tergantung oleh instruksi yang diberikan oleh pihak yang diwakilinya. wakil merupakan orang yang terpercaya, terpilih, serta memiliki kesadaran akan hukum dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya. oleh sebab itu mereka dapat melakukan tindakan apapun atas nama mereka.
berdasarkan atas dua teori ini, beberapa pakar mengemukakan adanya beberapa varian atau tipe perwakilan politik.
- varian dari gilbert abcarian (1970) dan neal riemer (1967). menurut gilbert abcarian ada empat tipe hubungan antara wakil dengan fihak yang diwakili, yaitu :
- trustee (wakil sebagai wali). disini wakil bertindak bebas menurut petimbangannya sendiri, tanpa perlu berkonsultasi dengan konstituen (fihak yang diwakilinya)
- delegate (wakil sebagai utusan). disini wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili. wakil sangat terikat dengan batas kewenangan dan kepentingan-kepentingan yang telah disepakati dengan konstituen. dengan demikian wakil harus bertindak sesuai dengan mandat yang diberikan padanya.
- politico. dalam tipe ini wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali, dan ada kalanya pula bertindak sebagai utusan. tindakan wakil mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi. jadi wakil dapat bertindak atas dasar hati nurani (conscience), pemilih (constituent) dan partai (party).
- partisan. dalam tipe ini wakil bertindak sesuai dengan program dari partai atau organisasinya . wakil melepas hubungannya dengan konstituen begitu proses pemilihan selesai. selanjutnya wakil hanya terikat pada partai atau organisasi yang mencalonkannya.
dari varian abcarian ini dapat diketahui (riswandha :2001), bahwa para wakil rakyat indonesia tergolong sebagai wakil partisan. berdasarkan sistem perwakilan yang dianut, rakyat hanya memberikan suaranya kepada opp. setelah itu, berdasarkan suara yang didapat diketahui jumlah wakil yang datang dari satu opp, menjadi urusan dpp-opp untuk menentukan siapa saja yang dipercaya mewakili rakyat indonesia.
sisi positif dari hadirnya para wakil partisan ini adalah, mekanisme kerja di lembaga legislatif dijamin lebih mudah. namun sisi negatifnya, aktivitas para wakil sering tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat yang berkembang secara dinamis.
2. varian dari hoogerwerf. menurut hoogerwerf hubungan antara wakil dengan fihak yang diwakili dapat digolongkan kedalam lima tipe :
a. tipe utusan. yakni wakil yang bertindak sesuai dengan perintah dari fihak yang diwakilinya.
b. tipe wali. yakni wakil yang memperoleh kuasa penuh dari fihak yang diwakili, dan ia dapat bertindak atas dasar pertimbangan sendiri. dengan demikian keberadaan wakil tidak tergantung pada fihak yang diwakilinya.
c. tipe politics. yakni kombinasi antara tipe utusan dan tipe wali. tergantung pada situasi, wakil kadang harus berperan sebagai wali, kadang sebagai utusan.
d. tipe kesatuan. yakni seluruh anggota lembaga perwakilan dipandang sebagai wakil dari seluruh rakyat, tanpa membedakan asal partai politik yang mempromosikan mereka.
e. tipe penggolongan. yakni anggota lembaga perwakilan dilihat sebagai wakil dari kelompok teritorial, sosial, dan politik tertentu.
dari klasifikasi hoogerwerf ini tampaknya para wakil rakyat indonesia berada pada situasi dilematis. disatu sisi, mereka dapat dimasukkan sebagai tipe kesatuan. di lembaga perwakilan, para wakil rakyat harus lebih berorientasi kepada kepentingan rakyat, tanpa memandang pengelompokan politik yang ada. ini sesuai dengan sumpah para wakil sendiri “mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan .” disisi lain seperti yang dikemukakan oleh abcarian, ada ikatan yang sangat erat antara para wakil rakyat indonesia dengan organisasi politiknya, bahkan dengan kelompok teritorialnya.
ambiquitas ini bisa dimaklumi dalam kerangka prinsip dasar berpolitik di indonesia, yakni : akomodatif dan keseimbangan. prinsip ini memang sesuai dengan kebutuhan masyarakat indonesia yang sangat heterogen. namun prinsip ini harus diperlakukan secara dinamis. maksudnya interpretasi terhadap prinsip ini harus pula disesuaikan dengan perkembangan riil masyarakat sebagai dampak dari hasil program pembangunan yang di laksanakan.
namun dari sudut ilmu politik, wakil yang “benar” adalah wakil tipe kesatuan (integrated). dua alasan bisa dikemukakan. pertama, dilihat dari perspektif hukum tata negara, maka mandat bebas dimiliki oleh trustee, mandat imperative dimiliki oleh delegate, dan mandat representatif dimiliki oleh tipe kesatuan seperti dikemukakan hoogerwerf. kedua, partai politik hanyalah alat “kendaraan” yang digunakan oleh orang untuk menjadi wakil rakyat. lembaga perwakilan (dprd) merupakan arena dimana dia berbuat atas nama dan kepentingan rakyat yang diwakili. hingga pada saat dia beraktivitas sebagai wakilnya rakyat, tidak relevan bila dikaitkan dengan alat atau “kendaraan” yang digunakannya.
dengan demikian keberadaan partai politik sangat penting untuk mengantar para perwakilan politik kekedudukannya sebagai wakil politik di dpr atau dprd. pengertian partai politik itu sendiri secara umum menurut miriam budiardjo (1978 ;160) adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –(biasanya) dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.