Teori Pilihan Publik

Teori Pilihan Publik menggunakan prinsip yang sama seperti yang digunakan para ekonom untuk menganalisa kegiatan masyarakat di pasar dan menerapkannya pada kegiatan masyarakat dalam pembuatan keputusan publik Ekonom-ekonom yang mengkaji perilaku dalam pasar swasta mengasumsikan bahwa orang digerakkan terutama oleh kepentingan pribadi. Walaupun banyak orang mendasarkan sejumlah tindakan mereka karena kepedulian mereka terhadap orang lain, motif dominan dalam tindakan orang di pasar –baik mereka merupakan, pengusaha, pekerja, maupun konsumen, adalah suatu kepedulian terhadap diri mereka sendiri. Ahli Ekonomi Pilihan Publik membuat asumsi yang sama bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Teori pilihan publik berusaha mengkaji tindakan rasional dari aktoraktor politik, baik di parlemen, lembaga pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih, pencinta lingkungan hidup dan sebagainya.

Buchanan (dalam Rachbini, 2002) mengulas teori pilihan publik dari dua aspek, yaitu dari pertama dari aspek pendekatan catallaxy (ekonomi sebagai ilmu pertukaran) Para pelaku politik menawarkan berbagai kebijakan publik kepada masyarakat.  Pembeli kebijakan publik ini adalah masyarakat pemilih yang akan memilih kebijakan yang benar-benar dapat mewakili kebutuhan mereka.

Kedua, dari aspek konsep homo economicus (konsep manusia ekonomi). Konsep ini menjelaskan bahwa manusia cenderung memaksimalkan manfaat utilitas untuk dirinya karena dihadapkan pada kelangkaan sumber daya. Dalam pasar politik, politisi sebagai pelaku memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak factor seperti gaji,reputasi publik, kekuasaan dan ruang untuk mengontrol birokrasi. Sementara para pemilih akan mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan.

Berdasarkan kedua aspek utama dalam kajian ilmu tersebut, maka sebagai pemasok (supplier) adalah para politisi, parpol, birokrasi dan pemerintah; sedang sebagai peminta (demander) adalah pemilih (voters). Jenis transaksi komoditas publik, alat transaksi suara dan jenis pertukaran adalah politik sebagai pertukaran.
Kebijakan publik yang akan diambil tentunya berdasarkan asas pertukaran yang didasari pemikiran rasional. Interaksi antara penawaran dan permintaan terjadi, di mana politisi dipandang sebagai produsen yang menawarkan cara terbaik untuk mengonsumsi komoditas publik dan masyarakat pemilih sebagai konsumen, yang akan memanfaatkan dan mengkonsumsi komoditas publik tersebut.  Sekiranya kekuatan permintaan dan penawaran seimbang, maka kebijakan publik yang diambil akan menguntungkan kesemua pihak. Teori ini mengasumsikan bahwa setiap individu bertindak rasional tanpa mengindahkan kekayaan lembaga, budaya, dan politik masyarakat yang ada.

Pilihan publik dalam aplikasinya sangat erat kaitannya dengan mayarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan dan aturan-aturan pemilihan umum. Ini bisa dilihat dalam sistem ketatanegaraan kita yang mengedepankan demokratisasi yang berwujud pada pemilihan-pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif.

Menurut Didik j. Rachbini (2002) fungsi dari pilihan publik dalam kebijakan ekonomi adalah :
  1. Menunjukkan bagaimana sikap (behavior) yang diinterpretasikan sesuai medium budaya dan ideologi yang ada.
  2. Mengiluminasikan kondisi-kondisi keberhasilan tindakan kolektif dan untuk menunjukkan mengapa sebagian kepentingan bias lebih diagregasikan dan sebagian lainnya tidak.
  3. Bisa menjadi petunjuk bagi decision maker untuk menentukan pilihan kebijakan yang paling efektif.

Belajar 3# : Teori Good Governance


Secara teoretis, terdapat tiga komponen penting yang terkait satu sama lain dalam good governance. Pertama adalah institusi negara (state). Komponen pertama ini memiliki peran penting, khususnya dalam meletakkan landasan bagi keberadaan pemerataan, keadilan, dan kedamaian serta membangun lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi pembangunan.

Komponen kedua adalah masyarakat madani (civil society). Komponen yang kedua ini memiliki peran penting dalam membangun landasan bagi adanya kebebasan dan persamaan, termasuk kebebasan mengekspresikan diri yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga adalah sektor swasta (privat sector). Keberadaan komponen ketiga ini penting untuk meletakkan landasan bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Sektor swasta dapat berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, meningkatkan volume produksi dan perdagangan, membangun SDM, dan langkah-langkah penting lainnya.

Good governance tidak hanya penting bagi eksistensi negara bangsa yang berkeadilan dan berkemakmuran, namun juga penting juga diterapkan di daerah, termasuk unit-unit politik yang lebih bawah lagi. Lebih-lebih ketika otoritas dan kekuasaan negara banyak didesentralisasikan ke daerah. Konsep desentralisasi sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan pendelegasian masalah-masalah teknis administratif, tetapi juga masalah-masalah kekuasaan.

Melalui good governance, di daerah akan ditemukan sebuah entitas atau kehidupan politik yang berkarakteristik seperti adanya partisipasi, memiliki visi yang strategis, rule of  law, transparansi, responsif, pertanggungjawaban dan efektivitas serta efisien. Karakteristik demikian sangat diperlukan guna mencapai tujuan desentralisasi itu, yakni adanya pengelolaan daerah yang sesuai dengan konteks kedaerahan.

Teori governance dengan salah satu pendekatannya yang disebut socio cybernatics approach (Rhodes, 1996). Inti dari pendekatan ini adalah bahwa sejalan dengan pesatnya perkembangan masyarakat dan kian kompleknya isyu yang harus segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy making), maka hasil akhir (outcome) yang memuaskan dari kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan sektor pemerintah saja.  Berkaitan dengan hal tersebut Abdul Wahab (1999 : 5) dengan lugas menyatakan bahwa “Kebijakan publik yang efektif dari sudut teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi”.

Pendekatan governance lebih mementingkan pada tindakan bersama (collective action), keinginan pemerintah untuk memonopoli proses kebijakan dan memaksakan berlakunya kebijakan tersebut akan ditinggalkan dan diarahkan ke arah proses  kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan partisipatif.  Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling memberi pengaruh (mutually inclusive) demi tercapainya kepentingan bersama.

World Bank memberikan definisi istilah governance sebagai cara kekuasaan negara digunakan untuk mengatur sumber daya ekonomi dan sosial dalam pembangunan masyarakat (the way state power is used in managing economic and social resources for development of society). Sementara UNDP dalam LAN dan BPKP (2000 : 5) mendefinisikan sebagai berikut : “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s  affair at all levels”. Menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative.  Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap keadilan, kesejahteraan, dan kualitas hidup (equity, poverty and quality of live). 
 
Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi atau penyusunan kebijakan. Administrasi governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), privat sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan aktif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.

Pada hakekatnya konsep governance menggambarkan adanya perubahan makna pemerintahan yang merujuk kepada : a) suatu proses baru dalam memerintah (a new process of governing); b) perubahan kondisi dalam tata aturan (a changed condition of ordered rule); dan c) metode baru tentang peran serta masyarakat dalam pemerintahan (the new methode by which society is governed). (Rhodes, 1996 : 652 – 653).

Good governance mengarahkan kepada upaya untuk  memperbaiki dan meningkatkan proses manajemen pemerintahan sehingga kinerjanya menjadi lebih baik. Pola dan gaya pemerintahan harus segera dibenahi dan dikembangkan dengan menggunakan konsep good governance sebagaimana diuraikan oleh Stoker (1998) dalam lima proposisi kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai berikut  :
  1. Governance refers to a complex set of institution and actors that are drawn from but also beyond government.
  2. Governance recognizes the blurring of boundaries and responsibilities for tackling social and economic issues.
  3. Governance identifies the power dependence involved in the relationships between institution involved in collective action.
  4. Governance is about outonomous self governing networks of actors.
  5. Governance recognizies the capacity to get thing done which does not ret on the power of government to command or use its authority. It sees government as able to used new tools and techniques to steer and guide.

Belajar 2 # postingan tentang konsep partisipasi lagi

Untuk postingan yang kedua dinihari ini, seperti postingan pertama : belajar 1# : konsep partisipasi. postingan yang kedua ini masih tentang konsep partisipasi. Tapi dalam postingan yang kedua ini, pembahan tentang konsep partisipasi lebih pada tinjauan partisipasi dalam perspektif perundang-undangan.

Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60 an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.

Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD’45 yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga Negara, dan partisipasi politik sebagai prinsip dasar demokrasi. Presiden Suharto sejak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “top-down”.

Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Dalam kaitan ini masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa tidak memiliki dan tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan tersebut.

Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrument hukum berupa undangundang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapatkan aspirasi masyarakat, dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.

Selain UU 32/2004, berbagai peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU 25/2004 tentang system perencanaan pembangunan nasional (SPPN), UU no.7/2004 tentang sumber daya air, UU No.20/2003 TENTANG Sistem Pendidikan Nasional, UU No.23/1992 tentang kesehatan, UU No.24/1992 tentang penataan ruang, UU No.41/1999 tentang kehutanan, dan masih banyak lagi peraturan yang secara sektoral mengatur partisipasi masyarakat. Semua peraturan tersebut pada intinya memberikan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya.

Sesungguhnyalah penyusunan kebijakan publik sejak awal harus melibatkan masyarakat secara bersama-sama menentukan arah kebijakan (model bottom-up), sehingga melahirkan suatu kebijakan yang adil dan demokratis. Pembuat kebijakan yang demokratis menawarkan dan mejunjung tinggi pentingnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Melalui cara partisipatif seperti itu akan melahirkan suatu keputusan bersama yang adil dari pemerintah untuk rakyatnya, sehingga akan mendorong munculnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Keputusan pemerintah yang mencerminkan keputusan rakyat akan mendorong terjadinya suatu sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Model bottom-up ini memiliki kelemahan yakni prosesnya sering kali lamban dan tidak didukung oleh dana yang memadahi dan seringkali rencana dibuat jauh melebihi kemampuan anggaran dana yang dimiliki, sehingga kegiatan pembangunan tidak dapat direalisasikan. Ketidakseuaian antara rencana dan anggaran yang dimiliki daerah disebabkan karena rencana rencana dibuat berdasarkan pada kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan bukan kebutuhan nyata (real need). Pasca reformasi, partisipasi masyarakat menjadi perbincangan banyak kalangan mulai dari penyelenggara negara sampai masyarakat dipelosok negeri ini.

Aparat Negara mengerti betul bagaimana sebuah kebijakan harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif, dan apabila mereka ditanya jawabanya adalah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Kenyataannya, sampai sekarang masih terjadi gap atau jarak yang tak terjamah oleh publik dalam memberikan masukan untuk menentukan kebijakan pembangunan. Instrumen hukum yang mengatur partisipasi masyarakat belum menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat itu dilaksanakan, sehingga partisipasi hanya sebatas wacana tanpa ketahuan seperti apa bentuk dan implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini akan mendeskripsikan implementasi partisipasi publik di Indonesia, sehingga diperoleh pemahaman mengenai bagaimana mekanisme perencanaan partisipasif disusun oleh pemerintah dan masyarakat.