Untuk postingan yang kedua dinihari ini, seperti postingan pertama : belajar 1# : konsep partisipasi. postingan yang kedua ini masih tentang konsep partisipasi. Tapi dalam postingan yang kedua ini, pembahan tentang konsep partisipasi lebih pada tinjauan partisipasi dalam perspektif perundang-undangan.
Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60 an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.
Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD’45 yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga Negara, dan partisipasi politik sebagai prinsip dasar demokrasi. Presiden Suharto sejak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “top-down”.
Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Dalam kaitan ini masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa tidak memiliki dan tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan tersebut.
Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrument hukum berupa undangundang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapatkan aspirasi masyarakat, dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.
Selain UU 32/2004, berbagai peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU 25/2004 tentang system perencanaan pembangunan nasional (SPPN), UU no.7/2004 tentang sumber daya air, UU No.20/2003 TENTANG Sistem Pendidikan Nasional, UU No.23/1992 tentang kesehatan, UU No.24/1992 tentang penataan ruang, UU No.41/1999 tentang kehutanan, dan masih banyak lagi peraturan yang secara sektoral mengatur partisipasi masyarakat. Semua peraturan tersebut pada intinya memberikan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya.
Sesungguhnyalah penyusunan kebijakan publik sejak awal harus melibatkan masyarakat secara bersama-sama menentukan arah kebijakan (model bottom-up), sehingga melahirkan suatu kebijakan yang adil dan demokratis. Pembuat kebijakan yang demokratis menawarkan dan mejunjung tinggi pentingnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Melalui cara partisipatif seperti itu akan melahirkan suatu keputusan bersama yang adil dari pemerintah untuk rakyatnya, sehingga akan mendorong munculnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Keputusan pemerintah yang mencerminkan keputusan rakyat akan mendorong terjadinya suatu sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Model bottom-up ini memiliki kelemahan yakni prosesnya sering kali lamban dan tidak didukung oleh dana yang memadahi dan seringkali rencana dibuat jauh melebihi kemampuan anggaran dana yang dimiliki, sehingga kegiatan pembangunan tidak dapat direalisasikan. Ketidakseuaian antara rencana dan anggaran yang dimiliki daerah disebabkan karena rencana rencana dibuat berdasarkan pada kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan bukan kebutuhan nyata (real need). Pasca reformasi, partisipasi masyarakat menjadi perbincangan banyak kalangan mulai dari penyelenggara negara sampai masyarakat dipelosok negeri ini.
Aparat Negara mengerti betul bagaimana sebuah kebijakan harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif, dan apabila mereka ditanya jawabanya adalah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Kenyataannya, sampai sekarang masih terjadi gap atau jarak yang tak terjamah oleh publik dalam memberikan masukan untuk menentukan kebijakan pembangunan. Instrumen hukum yang mengatur partisipasi masyarakat belum menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat itu dilaksanakan, sehingga partisipasi hanya sebatas wacana tanpa ketahuan seperti apa bentuk dan implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini akan mendeskripsikan implementasi partisipasi publik di Indonesia, sehingga diperoleh pemahaman mengenai bagaimana mekanisme perencanaan partisipasif disusun oleh pemerintah dan masyarakat.
Tampilkan postingan dengan label partisipasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label partisipasi. Tampilkan semua postingan
Belajar 1# : Konsep Partisipasi Masyarakat
Memposting tentang partisipasi masyarakat lagi. Maklum, beberapa minggu ini, saya lagi “dipaksa” belajar tentang partisipasi masyarakat untuk penyusunan sebuah karya ilmiah, jadi banyak mengumpulkan bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat. Berikut hasil mengumpulkan bahan belajar tentang partisipasi masyarakat :
Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga (Gaventa dan Valderama, 1999). Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah.
Partisipasi sosial dalam konteks pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam kunsultasi atau pengambilan keputusan di semua tahapan siklus pembangunan (Stiefel dan Wolfe,1994). Dalam hal ini partisipasi social ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka (Gaventa dan Valderama, 1999).
Dalam konsep pembangunan, pendekatan partisipasi dimaknai; pertama, sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan dalam mempromosikan proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver 2002, dalam Cooke dan Kothari, 2002:36). Kedua, pendekatan ini juga dikenal sebagai partisipasi dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan (ends). Konsep ketiga, partisipasi adalah elite capture yang dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program partisipatif, melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi.
Dalam argumen effisiensi, Cleaver mengatakan bahwa partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas individu-individu, sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka (dalam Cooke dan Kothari, 2002:37).
Perbedaan cara pandang atas partisipasi dalam konteks pembangunan seperti di atas, akan memberikan implikasi yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif dan cara bagaimana komunitas sasaran mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak terjadi. Dengan kata lain tidak ada interaksi antara kedua pihak, sehingga desain program dan kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan sepenuhnya berada di tangan para elite (community leader). Sementara masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program bahkan hanya sebagai tukang. Sebaliknya, pendekatan tujuan memandang hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif mengarah pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga harus ada kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program/kebijakan pembangunan. Masyarakat sasaran harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan (Parfitt, 2004:539).
Dari berbagai pengertian partisipasi tersebut, paling tidak ada dua pengertian partisipasi, (1) partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai dukungan rakyat dengan ukuran kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga; (2) partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dari pengertian kedua ini tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu secara mandiri.
Dari sudut pandang sosiologis, pengertian pertama tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi masyarakat, melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi berarti mendorong proses belajar bersama, berkomonikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan warga sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan ditingkat politik formal dan memberi ruang bagi masyarakat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian pengertian partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan mulai dari menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dengan dilandasi oleh kesadaran akan tujuan itu.
Pengertian partisipasi mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada system pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan. Menurut Peters (1996), partisipasi dapat tumbuh subur pada tata pemerintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dibanding hirarki dan teknokrasi. Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan pengetahuan. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan stakeholders.
Mengapa pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan pembangunan penting dilakukan, karena pelibatan masyarakat dalam membuat kebijakan merupakan faktor utama dalam good governance yang memberikan manfaat besar terhadap kepentingan public, diantaranya meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat dan sebagai sumber bahan masukan terhadap pemerintah sebelum memutuskan kebijakan. Bagi pendukung partisipasi, keunggulan partisipasi adalah menjamin ketercapaian tujuan, menjamin keberlanjutan, menjamin terakomodasinya suara kelompok marjinal terutama kelompok miskin dan perempuan. Bagi pengkritik model partisipasi berpendapat bahwa partisipasi dapat menyebabkan pembengkakan biaya dan waktu untuk formulasi kebijakan.
Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga (Gaventa dan Valderama, 1999). Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah.
Partisipasi sosial dalam konteks pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam kunsultasi atau pengambilan keputusan di semua tahapan siklus pembangunan (Stiefel dan Wolfe,1994). Dalam hal ini partisipasi social ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka (Gaventa dan Valderama, 1999).
Dalam konsep pembangunan, pendekatan partisipasi dimaknai; pertama, sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan dalam mempromosikan proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver 2002, dalam Cooke dan Kothari, 2002:36). Kedua, pendekatan ini juga dikenal sebagai partisipasi dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan (ends). Konsep ketiga, partisipasi adalah elite capture yang dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program partisipatif, melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi.
Dalam argumen effisiensi, Cleaver mengatakan bahwa partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas individu-individu, sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka (dalam Cooke dan Kothari, 2002:37).
Perbedaan cara pandang atas partisipasi dalam konteks pembangunan seperti di atas, akan memberikan implikasi yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif dan cara bagaimana komunitas sasaran mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak terjadi. Dengan kata lain tidak ada interaksi antara kedua pihak, sehingga desain program dan kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan sepenuhnya berada di tangan para elite (community leader). Sementara masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program bahkan hanya sebagai tukang. Sebaliknya, pendekatan tujuan memandang hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif mengarah pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga harus ada kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program/kebijakan pembangunan. Masyarakat sasaran harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan (Parfitt, 2004:539).
Dari berbagai pengertian partisipasi tersebut, paling tidak ada dua pengertian partisipasi, (1) partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai dukungan rakyat dengan ukuran kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga; (2) partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dari pengertian kedua ini tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu secara mandiri.
Dari sudut pandang sosiologis, pengertian pertama tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi masyarakat, melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi berarti mendorong proses belajar bersama, berkomonikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan warga sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan ditingkat politik formal dan memberi ruang bagi masyarakat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian pengertian partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan mulai dari menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dengan dilandasi oleh kesadaran akan tujuan itu.
Pengertian partisipasi mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada system pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan. Menurut Peters (1996), partisipasi dapat tumbuh subur pada tata pemerintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dibanding hirarki dan teknokrasi. Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan pengetahuan. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan stakeholders.
Mengapa pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan pembangunan penting dilakukan, karena pelibatan masyarakat dalam membuat kebijakan merupakan faktor utama dalam good governance yang memberikan manfaat besar terhadap kepentingan public, diantaranya meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat dan sebagai sumber bahan masukan terhadap pemerintah sebelum memutuskan kebijakan. Bagi pendukung partisipasi, keunggulan partisipasi adalah menjamin ketercapaian tujuan, menjamin keberlanjutan, menjamin terakomodasinya suara kelompok marjinal terutama kelompok miskin dan perempuan. Bagi pengkritik model partisipasi berpendapat bahwa partisipasi dapat menyebabkan pembengkakan biaya dan waktu untuk formulasi kebijakan.
konsep tentang partisipasi
hoofsteede (dalam khairuddin, 1992;124), memberi pengertian partisipasi adalah ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses. menurut westra (1981;136), partisipasi adalah : penyertaan mental emosi seseorang dalam suatu situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya tujuan organisasi dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap organisasi tersebut.
kemudian jnanabrota bhattacharyya (dalam ndraha, 1987;102), mengartikan partisipasi sebagai : pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. dalam kamus sosiologi modern menyebutkan partisipasi adalah suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial. ini merupakan kesadaran manusia yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk berkelompok, serta melalui komunikasi dan kegiatan bersama.
dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan pengertian partisipasi adalah keterlibatan mental emosi dan kesediaan berkontribusi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi masyarakat dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan. bila dilihat dari wujud keberhasilan pelaksanaan pembangunan maka salah satu faktor penting adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. partisipasi masyarakat menurut josef riwu kaho (1997 ; 112) didasarkan pada pertimbangan : bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya.
dengan demikian sebenarnya konsep partisipasi masyarakat sangat berkaitan dengan ide-ide dan prinsip-prinsip dasar demokrasi “dari, oleh dan untuk masyarakat”, jadi tidaklah salah bila partisipasi masyarakat ditetapkan sebagai salah satu prasyarat utama pembangunan. hal yang sama sondang p. siagian (2001 ; 53), mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan pembangunan akan lebih terjamin apabila seluruh warga masyarakat membuat komitmen untuk turut berperan sebagai pelaku pembangunan dengan para anggota elit masyarakat sebagai panutan, pengarah, pembimbing, dan motivator. sejalan dengan pemikiran tersebut, bintoro tjokroamidjojo (1995 ; 206) mengemukakan partisipasi masyarakat dalam konteks pembangunan terbagi atas tiga jenis, yaitu :
menurut keith davis ( 1962 ; 427) partisipasi itu sendiri adalah sebagai berikut : “participation is defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them”. kemudian davis (1962) menyimpulkan bahwa ; (1) participation means mental and emotional involvement; (2) motivates persons to contribute to the situation; dan (3) encurages people to accept responsibility in activity.
dengan terjemahan bebasnya, partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional yang mendorong orang-orang untuk ikut ambil bagian dalam situasi dan turut bertanggung jawab dalam kegiatan tersebut. artinya bahwa tidak hanya keterlibatan emosi dan mental dalam suatu situasi saja yang menjadi ukuran, namun kesediaan untuk bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada.
berkaitan dengan itu cohen dan uphoff (1977 ; 8) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terdiri dari :
1). participation in decision making;
2). participation in implementation;
3). participation in benefits, and
4). participation in evaluation.
dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat itu dapat terjadi dalam empat tingkatan yaitu partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil dan partisipasi dalam evaluasi. dalam hubungannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, dikemukakan oleh bintarto (1989 ; 27) bahwa : pembangunan, dalam hal ini pembangunan desa pada hakekatnya adalah suatu proses modernisasi yang mengatur masyarakat, bangsa, dan negara indonesia kearah kehidupan dan penghidupan yang lebih baik dimasa mendatang.
sejalan dengan hal itu, uma lele (dalam supriatna, 1997 ; 67) merumuskan pembangunan sebagai berikut : “community rural development is a improving standard of the mass of the low-income population residing in rural areas and making the process of their development self sustaining”. (pembangunan masyarakat pedesaan sebagai upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagian besar penduduk yang berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah pedesaan seraya menciptakan pembangunan yang berkelanjutan).
secara umum bahwa pembangunan juga merupakan usaha merubah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan secara optimal potensi sumber daya alam dan mengembangkan sumber daya manusia dengan jalan meningkatkan kualitas hidup, keterampilan dan prakarsa dengan bantuan dan bimbingan teknis, dana ataupun sarana produksi, sesuai dengan bidang dan kegiatan masyarakat masing-masing. seperti yang dikemukakan oleh supriatna (2000 ; 41) bahwa : pembangunan nasional pada prinsipnya merupakan perubahan sosial yang besar dari suatu situasi ke situasi lain yang lebih bernilai, dari statis ke dinamis, masyarakat tradisional menuju masyarakat industri atau modern. selanjutnya khairuddin (1992 ; 125) mengungkapkan bahwa : partisipasi dari masyarakat luas mutlak diperlukan, oleh karena mereka itulah yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan, rakyat banyak memegang peranan sekaligus sebagai obyek dan subyek pembangunan.
kemudian jnanabrota bhattacharyya (dalam ndraha, 1987;102), mengartikan partisipasi sebagai : pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. dalam kamus sosiologi modern menyebutkan partisipasi adalah suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial. ini merupakan kesadaran manusia yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk berkelompok, serta melalui komunikasi dan kegiatan bersama.
dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan pengertian partisipasi adalah keterlibatan mental emosi dan kesediaan berkontribusi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi masyarakat dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan. bila dilihat dari wujud keberhasilan pelaksanaan pembangunan maka salah satu faktor penting adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. partisipasi masyarakat menurut josef riwu kaho (1997 ; 112) didasarkan pada pertimbangan : bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya.
dengan demikian sebenarnya konsep partisipasi masyarakat sangat berkaitan dengan ide-ide dan prinsip-prinsip dasar demokrasi “dari, oleh dan untuk masyarakat”, jadi tidaklah salah bila partisipasi masyarakat ditetapkan sebagai salah satu prasyarat utama pembangunan. hal yang sama sondang p. siagian (2001 ; 53), mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan pembangunan akan lebih terjamin apabila seluruh warga masyarakat membuat komitmen untuk turut berperan sebagai pelaku pembangunan dengan para anggota elit masyarakat sebagai panutan, pengarah, pembimbing, dan motivator. sejalan dengan pemikiran tersebut, bintoro tjokroamidjojo (1995 ; 206) mengemukakan partisipasi masyarakat dalam konteks pembangunan terbagi atas tiga jenis, yaitu :
- partisipasi atau keterlibatan dalam perencanaan pembangunan.
- partisipasi dalam keterlibatannya memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
- partisipasi atau keterlibatan dalam memetik hasil dan memanfaatkan pembangunan.
menurut keith davis ( 1962 ; 427) partisipasi itu sendiri adalah sebagai berikut : “participation is defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them”. kemudian davis (1962) menyimpulkan bahwa ; (1) participation means mental and emotional involvement; (2) motivates persons to contribute to the situation; dan (3) encurages people to accept responsibility in activity.
dengan terjemahan bebasnya, partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional yang mendorong orang-orang untuk ikut ambil bagian dalam situasi dan turut bertanggung jawab dalam kegiatan tersebut. artinya bahwa tidak hanya keterlibatan emosi dan mental dalam suatu situasi saja yang menjadi ukuran, namun kesediaan untuk bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada.
berkaitan dengan itu cohen dan uphoff (1977 ; 8) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terdiri dari :
1). participation in decision making;
2). participation in implementation;
3). participation in benefits, and
4). participation in evaluation.
dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat itu dapat terjadi dalam empat tingkatan yaitu partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil dan partisipasi dalam evaluasi. dalam hubungannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, dikemukakan oleh bintarto (1989 ; 27) bahwa : pembangunan, dalam hal ini pembangunan desa pada hakekatnya adalah suatu proses modernisasi yang mengatur masyarakat, bangsa, dan negara indonesia kearah kehidupan dan penghidupan yang lebih baik dimasa mendatang.
sejalan dengan hal itu, uma lele (dalam supriatna, 1997 ; 67) merumuskan pembangunan sebagai berikut : “community rural development is a improving standard of the mass of the low-income population residing in rural areas and making the process of their development self sustaining”. (pembangunan masyarakat pedesaan sebagai upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagian besar penduduk yang berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah pedesaan seraya menciptakan pembangunan yang berkelanjutan).
secara umum bahwa pembangunan juga merupakan usaha merubah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan secara optimal potensi sumber daya alam dan mengembangkan sumber daya manusia dengan jalan meningkatkan kualitas hidup, keterampilan dan prakarsa dengan bantuan dan bimbingan teknis, dana ataupun sarana produksi, sesuai dengan bidang dan kegiatan masyarakat masing-masing. seperti yang dikemukakan oleh supriatna (2000 ; 41) bahwa : pembangunan nasional pada prinsipnya merupakan perubahan sosial yang besar dari suatu situasi ke situasi lain yang lebih bernilai, dari statis ke dinamis, masyarakat tradisional menuju masyarakat industri atau modern. selanjutnya khairuddin (1992 ; 125) mengungkapkan bahwa : partisipasi dari masyarakat luas mutlak diperlukan, oleh karena mereka itulah yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan, rakyat banyak memegang peranan sekaligus sebagai obyek dan subyek pembangunan.