pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (todaro, 2000 : 20).
pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses kperubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. (rogers,1983 : 25).
pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (todaro, 2000 : 20).
untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. asumsi para pakar yang berpendapat bahwa semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. semangkin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dan menentukan keberhasilan pembangunan. hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya.
korten dalam supriatna (2000 : 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. begitu juga menurut conyers (1991 : 154), yang mengatakan terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu:
pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut.
ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
gagasan tentang pelibatan peran warga dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi sesungguhnya bukanlah topik yang baru. semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (economic growth) meninggalkan permasalahan kesenjangan ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan, diantaranya teori-teori redistribution with growth yang dikembangkan oleh chenery (1974), human development oleh justin pikunas (1976), dan people centre development oleh david c. korten (1986).
perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era delivered development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan menempatkan warga sebagai obyek pembangunan dan kemudian ingin diganti denga era partisipatory development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan mereka sebagai subyek dalam proses pembangunan.(ponna wignaraja dalam david c korten, 1986 : 60).
namun tidak dapat juga di sangkal bahwa perencanaan dengan melibatkan masyarakat diangap tidak efektif dan cenderung menghambat pencapaian tujuan pembangunan. ada beberapa pertimbangan untuk kemudian tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu waktu yang lebih lama, serta kemungkinan besar akan banyak sekali pihak-pihak yang menentang pembangunan itu.
menurut soetrisno (1995 : 48) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksanaan pembangunan. defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
para perencana dan pelaksana menggunakan suatu konsep hirarkis dalam menyeleksi pembangunan pedesaan pada prakteknya. di dalam proses pembangunan itu terlihat ada satu hal yang terjadi dalam interaksi antara para pelaksana pembangunan dan rakyat, yaitu tentang bagaimana para aparat pembangunan melihat usulan-usulan pembangunan. dalam pikiran para aparat pelaksana terdapat “hierarki proyek pembangunan” tersebut, dimana proyek yang datang dari pemerintahan dan proyek yang direncakanan pemerintahan adalah benar-benar proyek yang mencerminkan “kebutuhan rakyat”, dan karena merupakan kebutuhan maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. sedangkan apa yang diusulkan oleh rakyat hanya merupakan “keinginan”, bukan mencerminkan hal yang benar-benar harus ada. karena merupakan keinginan, maka pada umumnya proyek-proyek yang diusulkan oleh rakyat selalu akan diganti dengan usulan-usulan proyek yang digolongkan sebagai proyek “kebutuhan” dan memperoleh prioritas rendah.