faktor-faktor kegagalan program penanggulangan kemiskinan

latar belakang

upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan melalui berbagai macam program pembangunan. kita telah sering mendengar program-program yang ditujukan bagi petani atau warga miskin, seperti proyek peningkatan pendapatan petani dan nelayan kecil (p4k), koperasi unit desa (kud), supra insus, kupedes, dan program kawasan terpadu (pkt). namum pada kenyataannya kemiskinan tetap bercokol dipedesaan yang ada di indonesia.

salah satu program baru yang dilaksanakan oleh pemerintah pada tahun 2004 yang merupakan perluasan dan peningkatan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan selama ini, adalah inpres no. 5 tahun 1993 tentang “peningkatan penanggulangan kemiskinan” atau yang lebih dikenal dengan nama idt (inpres desa tertinggal).

inpres ini dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan kemiskinan secara berkelanjutan di desa tertinggal. melalui inpres ini akan dipadukan program sektoral ataupun regional yang mencakup desa-desa tersebut sehingga secara efektif akan berdampak besar terhadap penanggulangan kemiskinan.

pelaksanaan program idt dilakukan langsung oleh masyarakat desa tertinggal itu sendiri, dibantu oleh aparat pemerintah daerah pada tingkat yang paling dekat dengan rakyat. karena itu, peranan aparat pemerintah desa/kelurahan akan sangat penting, yang harus ditunjang oleh lembaga masyarakat yang ada di desa/kelurahan, seperti lembaga ketahanan masyarakat desa (lkmd) dan pemberdayaan kesejahteraan keluarga (pkk).

melalui program idt juga disediakan dana khusus, yang dimaksudkan sebagai pendorong terhadap kelompok penduduk miskin untuk menumbuhkan, memperkuat kemampuan, serta membuka kesempatan berusaha agar dapat meningkatkan taraf hidupnya. perkembangan selanjutnya dari usaha penduduk miskin tersebut akan sangat tergantung pada upaya pembangunan lain yang dilaksanakan di desa/kelurahan tertinggal. dengan demikian, keterpaduan dan koordinasi program pembangunan dalam kaitan penanggulangan kemiskinan dapat berfungsi sebagai dukungan bagi penduduk miskin untuk mengentaskan diri dari kemiskinan, dan memungkinkan usaha yang dilakukan penduduk miskin tersebut berkembang secara berlanjut.

secara konsepsional program idt sangatlah baik, dilihat dari maksud dan tujuan serta sasaran dari program ini, akan tetapi dari evaluasi program idt menunjukan bahwa hanya sedikit desa di indonesia yang terbukti berhasil mencapai target sasaran program idt. dibanyak daerah yang terjadi justru kegagalan karena berbagai sebab. seperti yang dikemukakan oleh muhtar sarman dan sayogyo (2000 ; 27) disebutkan bahwa kegagalan program idt antara lain disebabkan keterisolasian desa karena ketiadaan prasarana dasar dan sangat terpencarnya lokasi-lokasi pemukiman penduduk menyebabkan tidak dapat berkembangnya secara optimal potensi ekonomi rakyat yang berorientasi pasar dan melemahkan kinerja petugas pendamping pokmas dalam melaksanakan tugasnya.

program penanggulangan kemiskinan tampaknya tidak akan selesai, seiring dengan bertambahnya data jumlah orang miskin di indonesia. berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh bps tahun 2005, di indonesia terdapat10 juta rumah tangga miskin atau sekitar 40 juta jiwa penduduk. didalamnya termasuk 4 juta rumah tangga atau sekitar 16 juta jiwa yang tergolong sangat miskin. adapun rumah tangga yang mendekati miskin berjumlah 5,5 juta atau sekitar 22 juta jiwa. dengan demikian jumlah seluruh rumah tangga yang dikatagorikan miskin adalah 15,5 juta rumah tangga atau sekitar 62 juta jiwa yang tersebar di seluruh indonesia baik di daerah perkotaan maupun pedesaan.

bertepatan dengan kenaikan bahan bakar minyak (bbm) dalam negeri pemerintah telah meluncurkan salah satu program penanggulangan kemiskinan berupa program kompensasi pengurangan subsidi bbm dengan memberikan subsidi langsung tunai (slt) kepada rumah tangga miskin (rtm), sebagaimana ditetapkan dalam intruksi presiden nomor 12 tahun 2005 tanggal 10 september 2005 tentang pelaksanaan bantuan langsung tunai kepada rumah tangga miskin.

program ini sangat menarik untuk menjadi kajian, dimana bentuk penanggulangan dari program ini menititik beratkan kepada bantuan langsung uang tunai kepada rumah tangga miskin berdasarkan hasil pendataan bps yang proses pendataannya hanya dilaksanakan kurang lebih 3 bulan. dari proses waktu pendataan rtm sampai dengan penyerahan uang tunai kemasyarakat sepertinya program ini “tergesa-gesa” dilakukan oleh pemerintah, dimana sebagai alasan pembenar dari pemerintah atas kenaikan bbm menurut beberapa pengamat masalah sosial lebih cenderung kepada upaya dari pemerintah untuk “meredam” aksi-aksi unjuk rasa menentang kebijakan menaikkan harga bbm dalam negeri tanpa memberikan solusi penanggulangan kemiskinan jangka panjang.

dari beberapa program penanggulangan kemiskinan, kiranya program subsidi langsung tunai merupakan program yang secara konsepsional sangat jelek yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah. tanpa adanya tujuan yang jelas, sasaran dan tindak lanjut dari program slt, menjadikan program ini seperi “obat penenang” disaat masyarakat marah akan kebijakan pemerintah menaikkan harga bbm dalam negeri.

pokok masalah

beberapa program pemerintah dalam rangka penanggulangan dampak kemiskinan, baik dari program produk orde baru yaitu inpres desa tertinggal (idt) sampai dengan produk pada masa reformasi berupa program subsidi langsung tunai (slt). secara konseptual, program idt dirasa cukup memadai untuk pemicu gerakan nasional menanggulangi kemiskinan. begitu pula dengan program slt bagi penerima bantuan dirasakan sangat membantu sesaat terhadap dampak kenaikan bbm dalam negeri. namun demikian, dalam pelaksanaan dan kenyataannya ada beberapa hal yang perlu didiskusikan.

paling tidak ada 2 pokok masalah substansial dalam kaitan pelaksanaan program idt dan program slt, yaitu :
  1. faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan program idt sampai gagal, padahal secara konsepsional sangat baik ?.
  2. mengapa program slt secara konsepsional paling jelek dibanding dengan program-program penanggulangan kemiskinan, khususnya dibanding program idt ?
telaahan empiris

kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. kemiskinan antara lain ditandai oleh sikap tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah, yang tercermin didalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan, dan terbatasnya kesempatan berpartispasi dalam pembangunan.

apabila kondisi tersebut dilihat dari pola hubungan sebab akibat, orang miskin adalah mereka yang serba kurang mampu dan terbelit di dalam lingkaran ketidakberdayaan. rendahnya pendapatan mengakibatkan rendahnya pendidikan dan kesehatan sehingga mempengaruhi produktivitas, malah yang lebih membahayakan karena faktor ekonomi seseorang bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupnya seperti melakukan tindakan kriminalitas atau pelanggaran ketertiban umum.

untuk mengentaskan penduduk dari lingkaran kemiskinan diperlukan kebijaksanaan, komitmen, organisasi dan program serta pendekatan yang tepat. lebih dari itu, diperlukan juga suatu sikap yang tidak memperlakukan orang miskin hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek.

baik program idt dan program slt secara garis besar tujuannya adalah sama yaitu mempercepat upaya mengurangi jumlah penduduk miskin. namun sebenarnya ada perbedaan dalam hal dana program yang dikucurkan, dimana pada idt dana yang diberikan sifatnya hibah (bergulir) untuk pengembangkan usaha. akan tetapi karena kurang memadainya pengetahuan dan keterampilan baik tingkat maupun jenisnya, mengakibatkan kurang adanya alternatif mata pencaharian yang dijalani.

seperti di kecamatan padang batung hampir 90 persen mata pencaharian penduduknya adalah petani tadah hujan. sedangkan pada slt dana diberikan berupa bantuan secara langsung tunai kepada rumah tangga miskin. selain itu program idt terpusat di desa-desa tertinggal sedangkan slt meliputi seluruh wilayah baik desa maupun kota yang termasuk dalam kreteria rumah tangga miskin.

program idt merupakan bagian dari gerakan nasional untuk menanggulangi kemiskinan. sebagai gerakan didalamnya harus ada semangat kebersamaan yang kuat untuk maju. lingkungan sosial budaya masyarakat banjar yang mengakibatkan kurang tingginya hasrat untuk lebih maju dalam kehidupan duniawi ditambah budaya “saadanya” dan “kawarung” sebelum bekerja menghambat produktivitas.

dari faktor kelembagaan dalam program idt selain dari pemerintah diperkaya dengan dukungan dari unsur masyarakat dan lembaga-lembaga teknis lainnya. keterpaduan lembaga tersebut dalam pelaksanaan program idt ditujukan untuk membantu kelancaran dan efektivitas sasaran program idt. unsur-unsur tersebut ditempatkan sebagai mitra yang tidak bersifat struktural tetapi kosultatif, pendampingan, dan fungsional, dengan tidak membebani dana yang tersedia dalam program idt. pada kenyataannya dibeberapa desa yang melaksanakan program idt peran pemerintah daerah sangat dominan dalam pelaksanaan program idt baik dari tahap perencanaan sampai dengan pengawasan. harapan akan adanya kemitraan dari berbagai unsur, padanya kenyataan dilapangan keterlibatan unsur-unsur dari luar instansi pemerintah sebagai tenaga pendamping khusus lebih banyak didikte oleh pemerintah, terlebih dominasi dari aparat pemerintah yang mengelola program idt pada tingkat kabupaten, seperti kantor pemberdayaan masyarakat desa.

pada awal penetapan desa yang mendapatkan dana idt sampai pelaksanaan program, menimbulkan beberapa persoalan antara lain mengenai kriteria desa yang mendapatkan idt yang mengakibatkan kecemburuan masyarakat bagi desa yang tidak menerima dana idt.

sedangkan dalam kasus slt karena bantuannya bersifat individu kepada rumah tangga miskin, maka keterlibatan kelompok masyarakat dalam hal pemberdayaan dan pengembangan usaha setelah menerima dana dari program slt tidak menjadi fokus utama, sehingga dapat dikatakan bahwa program slt secara konsepsional sangat jelek, dimana dilapangan tidak hanya menyebabkan munsulnya kasus-kasus “salah sasaran” tetapi juga menjadi semacam anti klimaks dari program-program anti kemiskinan.

ada varian lain antara program idt dan slt dalam hal menentukan kriteria miskin. di program idt penentuan kriteria miskin ditentukan dari hasil musyawarah masyarakat desa sendiri, siapa yang termasuk miskin dan layak menerima hibah dana idt. penetapan ini mempunyai keuntungan dan kerugian bagi desa itu sendiri, keuntungannya dengan adanya hasil musyawarah penetapan warga masyarakat yang termasuk miskin tidak menimbulkan gejolak di wilayah tersebut, karena sudah merupakan hasil kesepakatan bersama. adapun kerugian dari pengukuran yang secara subyektif dari masyarakat menimbulkan dampak membengkaknya data orang miskin dan desa-desa yang berpenduduk miskin dalam satu kecamatan, karena besarnya usulan jumlah desa miskin dari masing-masing kabupaten, maka pada tingkat penetapan oleh pemerintah pusat berdasarkan dana yang terbatas ditetapkanlah desa-desa miskin berdasarkan jatah yang tersedia.

sedangkan pada slt kriteria miskin ditentukan oleh biro pusat statistik (bps) pusat, permasalahan yang timbul dengan kriteria yang sudah ditentukan adalah pada saat pengukuran kriteria miskin dilapangan karena wilayah indonesia yang secara geografis, wilayah, sosial budaya beraneka ragam. contoh kasus adalah ciri rumah tangga miskin adalah tidak memiliki kendaraan bermotor, dilihat dari kultur warga masyarakat hulu sungai kendaraan bermotor dianggap merupakan satu kebutuhan bagi masyarakat, seperti yang sering dikatakan apabila tidak mempunyai sepeda motor seperti orang “patah batis” artinya tidak bisa kemana-mana dan berusaha. rumah yang jauh dikatakan layak huni, apabila diketahui memiliki kendaraan bermotor tidak secara otomatis dicoret dari kriteria rumah tangga miskin.

dari segi pemanfaatan dari dana yang diberikan, pada program idt adalah kemajuan dari anggota dan pokmas dalam pengembangan usaha meliputi dana idt yang diterima dan sumber lain yang menjadi tambahan modal berusaha. pengembangan usaha anggota dari pokmas memberikan kontribusi nyata bagi anggota lain dengan bergulirnya dana idt melalui pengembalian modal yang dapat dimanfaatkan oleh anggota lain. persoalan yang sering dalam hal program-program dana bergulir adalah pola pikir masyarakat pedesaan yang sudah terbiasa menerima bantuan dari pemerintah, beranggapan bahwa dana dari program idt bersifat bantuan dimana pemerintah tidak akan mempersulit rakyat kecil apabila terjadi “macet” pengembalian karena berbagai alasan.

adapun slt yang diterima rumah tangga miskin yang dimaksudkan untuk membantu rumah tangga miskin sebagai akibat kenaikan bbm dalam negeri seperti kenaikan harga sembilan bahan pokok, pada kenyataanya pemanfaatannya lebih parah dari pada program idt. pada saat penerimaan slt masyarakat miskin bersifat lebih konsumtif, contoh kasus pada saat penerimaan slt tahap i sebesar 600 ribu rupiah, masyarakat menyewa mobil untuk mengambil slt di kantor camat setelah selesai bersama-sama langsung pergi ke pasar untuk membeli barang-barang keperluan yang bukan kebutuhan dasar. adalagi contoh unik, dimana masyarakat menjual/menggadaikan kartu slt kepada orang lain untuk menerima dana tunai cepat karena tidak sabar menunggu pembagian tahap berikutnya.

khusus kepada program penangulangan kemiskinan melalui program slt yang secara konsepsional sangat jelek dibanding dengan program-program lain, perlu menjadi perhatian pemerintah kedepan dalam merencakan program penangulangan kemiskinan di indonesia, dimana tujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat miskin tidak bisa dilakukan sesaat akan tetapi secara menyeluruh, terencana dan berkesinambungan.