instruksi presiden nomor 7 tahun 1999 menyebutkan bahwa agar terselenggaranya good govermence di indonesia diperlukan akuntabilitas kinerja pada setiap instansi pemerintah. akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan tersebut merupakan perwujudan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan agar dapat berlangsung secara berdayaguna, berhasilguna, bersih, bertanggungjawab, dan transparan. dengan demikian kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan akan terkontrol dan selalu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (lakip).
pengukuran kinerja pada unit kerja dipergunakan untuk penilaian atas keberhasilan/kegagalan pelaksanaan kegiatan/program/kebijaksanaan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan misi dan visi organisasi. pengukuran kinerja mencakup penetapan indikator kinerja dan penetapan capaian indikatar kinerja yang ada pada suatu instansi pemerintah yang selanjutnya dievaluasi dengan cara menghitung nilai capaian kinerja dari pelaksanaan kegiatan/program/kebijaksanaan yang telah ditetapkan (lan dan bpkp, 2000).
beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan dalam rangka kelancaran pengukuran kinerja adalah, melibatkan manajemen puncak (top management), kepekaan terhadap pentingnya pengukuran kinerja (sense of urgency), keselarasan dengan aturan strategik, adanya kerangka kerja konseptual, adanya sistem komunikasi yang baik dan melibatkan karyawan yang ada dalam organisasi (lan.2000). selanjutnya dodoo (1997) mengemukakan bahwa untuk menjamin tercapainya tujuan diperlukan partisipasi karyawan dalam proses pembaharuan sepereti halnya kinerja manajemen. kepemimpinan rencana peningkatan kinerja oleh staf dan adanya dukungan dari pimpinan, akan menjamin tercapainya kemajuan.
kaplan dan norton (1996:75) memperkenalkan suatu model pengukuran kinerja baru yang disebut balanced scorecard. balanced scorecard melengkapi ukuran kinerja keuangan tradisional dengan membutuhkan tiga perspektif yaitu, pelanggan, proses bisnis internal dan pertumbuhan dan pembelanjaran.
dalam hubungan ini sudibyo (1997:40) mengemukakan bahwa balanced scorecard (bsc) mengukur kinerja manajemen dari dimensi finansial dan non finansial, jadi di samping memberikan indikator kinerja seperti yang lazim diberikan oleh fungsi akuntasi, bsc juga memberikan indikator-indikator kinerja penting lannya yang dimensinya tidak finansial seperti kepuasan konsumen, tedensi konsumen, perolehan konsumen baru, waktu pelayanan (delivery time) kualitas, kepuasan kerja, tingkat penguasaan skill, segmen pasar dan lain sebagainya. selanjutnya dikatakan pula bahwa ukuran-ukuran kinerja yang dipakai dalam bsc diidentifikasi serat diseleksi tidak secara asal-asalan dari populasi berbagai ukuran potensi, melainkan diturunkan secara hati-hati dan rasional dari visi dan strategi perusahaan. bsc mendorong dan memaksa manajemen untuk menjabarkan visi, misi dan strategi kedalam tujuan-tujuan strategis, sepesifik dan sekonkrit mungkin.