Teori Motivasi

Menurut  Timpe (2000 : ix) bahwa “determinan yang penting bagi prestasi individu adalah motivasi”. Beberapa variabel penting dan menarik telah digunakan untuk menjelaskan perbedaan prestasi di kalangan  pegawai. Misalnya , variabel  kemampuan, naluri, tingkat aspirasi, faktor-faktor pribadi seperti umur, pendidikan, dan latar belakang keluarga menerangkan, mengapa beberapa karyawan berprestasi baik dan yang lainnya tidak. Salah satu definisi mengemukakan bahwa motivasi berhubungan dengan (1) arah perilaku; (2) kekuatan respon (yaitu usaha) setelah karyawan memilih mengikuti tindakan tertentu; dan (3) kelangsungan perilaku, atau seberapa lama orang tersebut terus berperilaku menurut cara tertentu Gibson et al ,(1993 : 93).

Pandangan lain menyarankan bahwa analisis  tentang motivasi harus memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang mendorong dan mengarahkan kegiatan seseorang. Seorang ahli  menekankan pada aspek motivasi yang mengarah  pada  tujuan  (goal  –  directedness  aspect  of   motivation) dikutip dari Gibson  et al (1993 : 93). Ahli lain menyatakan bahwa motivasi “berhubungan dengan bagaimana perilaku itu bermula, diberi tenaga, disokong , diarahkan, dihentikan dan reaksi subyektif yang ada dalam organisme ketika semua itu berlangsung” McCormick (1985 : 268).

Banyak ahli yang berupaya merumuskan berbagai teori untuk meningkatkan motivasi yang berdampak pada kinerja  individual. Berbagai teori motivasi dan perilaku berupaya merumuskan apa yang membuat orang  berkinerja baik dan berkinerja buruk. Kriteria baik  dan buruk inilah yang menjadi pembahasan dari teori motivasi. Pimpinan  organisasi mengharapkan dari para pegawainya berkinerja baik. Harapan tersebut dikarenakan adanya suatu premis bahwa pegawai yang memiliki tingkat kinerja yang baik akan berpengaruh pada tercapainya tujuan organisasi.

Pandangan dari para ahli dengan sudut  yang berbeda telah menghasilkan berbagai konsep dan teori berlainan,  yang dapat membantu para manajer atau pemimpin memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang akan mempengaruhi aktivitas  para pegawai terhadap upaya mencapai tujuan organisasi.

Kebanyakan menajer harus mempertimbangkan  suatu motivasi untuk sekelompok orang , yang dalam banyak hal tidak dapat diduga sebelumnya. Keanekaragaman tersebut menyebabkan perbedaan  pola perilaku, yang dalam beberapa hal berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.

Kebutuhan menunjukkan kekurangan yang dialami seseorang pada suatu waktu  tertentu. Kekurangan  tersebut mungkin bersifat fisiologis (kebutuhan akan makanan), bersifat psikologis (kebutuhan akan harga diri) atau bersifat sosiologis (kebutuhan akan interaksi sosial). Kebutuhan dianggap sebagai penggerak atau pembangkit perilaku. Artinya , jika kebutuhan akibat kekurangan itu muncul, maka individu lebih peka terhadap usaha motivasi dari pihak luar.

Proses motivasi, seperti dimaksudkan oleh sebagian besar ahli teori diarahkan untuk mencapai tujuan (goal directed). Tujuan atau hasil yang dicari karyawan dipandang sebagai kekuatan yang menarik orang. Tercapainya tujuan yang diinginkan dapat mengurangi kebutuhan yang belum terpenuhi.

Orang berusaha memenuhi berbagai  macam kebutuhannya.  Kebutuhan yang tidak terpenuhi menyebabkan orang mencari jalan untuk  mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh kekurangan-kekurangan tersebut. Oleh  karena itu orang memilih suatu tindakan dan terjadilah perilaku yang mengarah pada pencapaian tujuan. Setelah lewat beberapa waktu, para manajer menilai perilaku tersebut. Evaluasi prestasi menghasilkan beberapa macam imbalan atau hukuman. Hasil tersebut dinilai oleh orang yang bersangkutan  dan  kebutuhan  yang  belum  terpenuhi  ditinjau  kembali. Pada gilirannya , hal  ini  menggerakkan  proses  dan  pola  melingkar  (siklus)  dimulai   lagi (Gibson et al, 1993 : 95).