Menurut Katz, 1971 (dalam Tjokrowinoto, 1987) pembangunan dirumuskan sebagai proses perubahan yang terencana dari suatu situasi nasional yang satu ke situasi nasional yang lain yang dinilai lebih tinggi. Konteks rumusan yang demikian itu menghendaki pentingnya perencanaan dalam melakukan perubahan kondisi. Perencanaan pembangunan sangat dilandasi pilihan paradigma yang ditentukan oleh penyelenggara Negara berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian pengertian pembangunan menjadi “culture specific”, “situation specific” dan “time specific”. Budaya, situasi dan waktu yang mewarnai pembangunan tersebut kiranya melandasi arti pentingnya peninjauan kembali kebijakan pembangunan dalam konteks situasi yang berkembang akhir-akhir ini.
Paradigma pembangunan yang berpihak kepada pertumbuhan ekonomi selama era pemerintahan Orde Baru telah gagal membangun masyarakat yang mandiri, bahkan secara sistematis telah meminggirkan kepentingan pokok rakyat. Dalam hal pemanfaatan sumberdaya air yang secara tegas dinyatakan sebagai aset yang dimiliki negara (pasal 33 UUD 1945), dalam pengelolaannya menimbulkan berbagai masalah, sebagaimana diuraikan diatas merupakan contoh nyata dari kelemahan kebijakan yang melandaskan paradigma pertumbuhan.
Menurut Djayadiningrat (1990) pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengabaikan kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya. Secara lebih operasional Cernea (1986) mengartikan "sustainable development" sebagai kemampuan proyek (kegiatan) pembangunan untuk menciptakan "net surplus" yang memadai untuk menjadi input pembangunan selanjutnya (Tjokrowinoto,1996, p.12-13).