Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, posisi pemerintah daerah semakin menguat dan sebaliknya dominasi pemerintah pusat mulai berkurang. Dalam undang-undang tersebut diberikan penegasan tentang makna otonomi daerah pada pasal 1 ayat (5) : bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengenai kewenangan daerah dipertegas lagi dalam pasal 10 ayat (1) bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Adapun urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi : politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi (peradilan), moneter dan fiskal nasional serta agama. Dengan demikian selain kelima urusan tersebut merupakan kewenangan pemerintah daerah.
Disisi lain euforia otonomi daerah sering menimbulkan konflik antara pemerintah pusat dan daerah sebagai akibat daerah hanya menuntut kewenangan yang menjadi miliknya tanpa menyadari bahwa kewenangan tersebut harus diartikan sebagai membesarnya pula tanggung jawab pemerintah daerah dan seluruh rakyat di daerah untuk menciptakan keadilan, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat demi terciptanya tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal yang perlu disadari bahwa fungsi pemerintahan hanya tiga hal yaitu pelayanan kepada masyarakat (services), membuat pedoman/arah atau ketentuan kepada masyarakat (regulation) dan pemberdayaan masyarakat (empowering) (Kaloh, 2007 : 10).
Pada dasarnya ada hubungan yang sangat signifikan antara otonomi daerah dengan penanggulangan kemiskinan. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah daerah diberi kepercayaan peran yang sangat besar dengan dukungan sumber pendapatan daerah, baik melalui pendapatan asli daerah maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Otonomi daerah juga memberi keleluasaan pemerintah daerah untuk merencanakan, melaksanakan, mengendalikan dan mengevaluasi program atas kebijakan pemerintah daerah. Dalam era otonomi luas ini menuntut jajaran pemerintah daerah dapat mengambil peran yang lebih besar dalam upaya mempercepat pengentasan kemiskinan. Dengan peran yang lebih besar pada pemerintah daerah ini maka peran pemerintah pusat makin bergeser pada hal-hal yang bersifat konsepsional.
Berdasarkan kebijakan nasional telah dikembangkan visi pembangunan bidang kesejahteraan dalam mengatasi kemiskinan yaitu membangun masyarakat yang maju dan sejahtera, sehat dan mandiri, serta bebas dari kemiskinan dan mampu mengatasi bencana karena sadar siap mengatasinya. Disamping itu juga dikembangkan prioritas pembangunan di bidang kesejahteraan rakyat dan pengentasan kemiskinan, yaitu : pertama pengembangan sumber daya manusia terutama pemberdayaan anak-anak dan wanita, kedua menanggulangi kemiskinan melalui proses pemberdayaan dan mempermudah akses keluarga miskin terhadap kesempatan berusaha, modal dan pemasaran produk-produk yang dihasilkan, ketiga penanganan bencara dan musibah (Kaloh, 2007 : 246).
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 telah diamanatkan tugas dan sebagian urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah melalui desentralisasi kewenangan dan memperkuat otonomi daerah. Dalam kaitan pelaksanaan desentralisasi berarti juga menyerahkan proses pembangunan kepada masyarakat terutama masyarakat miskin dalam upaya menolong dirinya sendiri.
Sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter menimbulkan berbagai permasalahan antara lain masih banyaknya penduduk yang berada di bawah batas garis kemiskinan, jumlah tenaga kerja penggangguran meningkat. Selain itu heterogennya kondisi geografis, demografis dan aspek-aspek lainnya, sehingga makin menyadarkan pemerintah bahwa mengatasi kemiskinan dalam kondisi yang serba beragam tersebut perlu didekati secara spesifik sehingga intervensi yang dilakukan pemerintah akan lebih terarah. Berdasarkan hal-hal tersebut maka diperlukan model-model yang berorientasi perwilayahan yang menjadi kantong-kantong kemiskinan. Selama ini pemerintah dianggap gagal melakukan program pengentasan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat, karena kebijakan yang diambil sifatnya sentralistik. Sudah saatnya, pemerintah mengembalikan lagi arah kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan melibatkan daerah secara penuh.
Menurut Kaloh (2007 : 247) program-program penanggulangan kemiskinan harus dilakukan secara terpadu, bukan saja pada proses perencanaan tetapi pada sasaran yang disesuaikan dengan karakteristik dari masing-masing wilayah tersebut. Hal ini sebagai penyempurnaan pendekatan yang selama ini telah dilaksanakan dengan penyeragaman suatu program pembangunan di semua wilayah Indonesia tanpa menghiraukan kondisi-kondisi yang melingkupinya. Dengan adanya model keterpaduan program mengatasi kemiskinan yang lebih spesifik maka nilai tambah dari suatu program akan semakin besar.
Postingan Terkait :
Tentang Konsep kemiskinan
Ukuran Atau Batasan Kemiskinan
Penyebab Kemiskinan
Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan