konsep, teori manajemen konflik

menurut webster dalam dean g. pruitt dan jeffrey z. rubin (2004) : istilah “conflict” bahwa di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. tetapi arti kata ini kemudian berkembang dengan masuknya “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide dan lain-lain”. dengan kata lain, isitilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi fisik itu sendiri. secara singkat istilah “conflict” menjadi begitu meluas sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep tunggal.

secara terbatas terbatas berdasarkan definisi webster yang kedua, bahwa konflik dapat diartikan sebagai persepsi pandangan mengenai perbedaan kepentingan, atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. kemudian penulis mengartikan bahwa konflik merupakan suatu masalah yang muncul dan terjadi secara tiba-tiba atau tidak, yang disebabkan oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan golongan atau individu berbeda untuk mencapai tujuan tertentu.

konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu interaksi yang bersifat antafonistis (berlawanan, bertentangan atau berseberangan). konflik terjadi karena perbedaan, kesenjangan dan kelangkaan posisi sosial dan posisi sumber daya atau karena disebabkan sistem nilai dan penilaian yang berbeda secara ekstrim, sebagaimana dikemukakan oleh kusnadi dan bambang wahyudi (2001).

kemudian kusnadi dan bambang wahyudi (2001) mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan ke dalam berbagai klasifikasi yang relevan, yaitu :

pertama, konflik menurut hubungannya dengan tujuan organisasi.
konflik ini terdiri dari :
  1. konflik fungsional, yaitu konflik fungional adalah konflik yang mendukung tercapainya tujuan organisasi (bisnis maupun non bisnis) dan karenanya seringkali bersifat konstruktif. konflik fungsional sangat dibutuhkan oleh organisasi (bisnis maupun non bisnis).
  2. konflik disfungsional, yaitu konflik disfungsional dalah suatu konflik yang menghambat tercapainya tujuan organisasi (bisnis maupun non bisnis) dan karenanya seringkali bersifat destruktif (merusak). konflik disfungsional meskipun tidak diinginkan akan tetapi keberadaan konflik disfungsional ini tidak dapat dihindari. konflik disfungsional karena pasti ada pada setiap organisasi maka harus diupayakan untuk menjadi konflik fungsional. konflik disfungsional akan merugikan semua pihak, baik individu, kelompok maupun organisasi. konflik disfungsional akan mengarah kepada kehancuran organisasi. oleh karena itu, berbagai penyebab munculnya konflik disfungsional ini harus dieliminir semaksimal mungkin.

kedua, konflik menurut hubungannya dengan posisi pelaku yang berkonflik. konflik ini terdiri dari : konflik vertikal, yaitu konflik vertikal adalah konflik antar tingkatan kelas antar tingkatan kelompok seperti konflik orang kaya dengan orang tidak punya atau konflik antara pemimpin atau manajer (pimpinan) dengan pengikut atau dengan anak buahnya. kemudian konflik horisontal, yaitu konflik ini terjadi antara individu atau kelompok yang sekelas atau sederajat seperti konflik antar bagian dalam perusahaan atau konflik antar organisasi masa yang satu dengan lainnya. selanjutnya konflik diagonal, yaitu konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi yang menimbulkan pertentangan secara ekstrim dari bagian yang membutuhkan sumber daya tersebut. kasus konflik di aceh, awalnya karena disebabkan perlakuan yang tidak adil atas alokasi sumber daya ekonomi oleh pemerintah pusat.

ketiga, konflik menurut hubungannya dengan sifat dari pelaku yang berkonflik. konflik ini terdiri dari :
  1. konflik terbuka adalah konflik yang diketahui oleh semua pihak yang ada di dalam organisasi atau konflik yang diketahui oleh seluruh masyarakat dalam suatu negara.
  2. konflik tertutup adalah konflik yang hanya diketahui oleh pihak yang terlibat saja sehingga pihak yang ada di luar tidak tahu jika terjadi konflik.
keempat, konflik menurut hubungannya dengan waktu. konflik ini terdiri dari :
  1. konflik sesaat. konflik ini disebut juga dengan konflik spontan dimana terjadinya konflik ini hanya sesaat atau sementara. umumnya pemicunya karena kesalahpahaman yang tidak begitu berarti dan begitu pihak yang berkonflik diberi atau memberi penjelasan maka konflik langsung berakhir.
  2. konflik berkelanjutan adalah suatu konflik yang berlangsung sangat lama dan sangat sulit untuk diselesaikan dimana penyelesaian konflik tersebut masih harus melalui berbagai tahapan yang sangat rumit. dan meskipun suatu konflik telah selesai akan tetapi dikemudian hari tidak menutup kemungkinan muncul konflik baru yang merupakan kelanjutan dari konflik terdahulu.
kelima, konflik menurut hubungannya dengan pengendalian. konflik ini terdiri dari : (a) konflik terkendali adalah suatu konflik dimana para pihak yang terlibat dengan konflik dapat dengan mudah mengendalikan konflik dan konflik selesai atau tidak meluas. (b) konflik tak terkendali adalah suatu konflik dimana para pihak yang terlibat dengan konflik tidak dapat dengan mudah mengendalikan konflik dan konflik tidak selesai dan malahan semakin meluas.

keenam, konflik menurut hubungannya dengan sistematika konflik. konflik ini terdiri dari :
  1. konflik non sistematis adalah konflik yang bersifat acak dimana terjadinya secara spontanitas dan tidak ada yang mengomando serta tidak ada tujuan tertentu yang ditargetkan. dalam konflik ini maka pihak yang berkonflik tidak melakukan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. konflik ini disebut pula dengan konflik acak.
  2. konflik sistematis adalah konflik yang bersifat sistemik dimana terjadinya telah direncanakan dan diprogram secara sistematis dan ada yang mengomando serta mempunyai tujuan tertentu yang ditargetkan. dalam konflik ini maka pihak yang berkonflik melakukan analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman. setiap sikap dan perilaku dari satu pihak senantiasa dianalisis secara cermat dan hati-hati tentang berbagai respon yang diambil sehingga akan diperoleh keuntungan. dalam konflik ini analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman diperhitungkan secara serius, cermat, hati-hati dan sistematis.
ketujuh, konflik menurut hubungannya dengan konsentrasi aktivitas manusia di dalam masyarakat. konflik ini terdiri dari : (1) konflik ekonomi adalah konflik yang disebabkan oleh karena adanya perebutan sumber daya ekonomi dari pihak yang berkonflik. (2) konflik politik adalah konflik yang dipacu oleh adanya kepentingan politik dari pihak yang berkonflik. misalnya perebutan pengaruh perbedaan di parlemen atau di masyarakat. (3) konflik sosial adalah konflik yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan kepentingan sosial dari pihak yang berkonflik. (4) konflik budaya adalah konflik yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan kepentingan budaya dari pihak yang berkonflik. suatu misal, di pentas nasional, budaya dari suku bangsa tertentu ingin mempunyai dominasi yang kuat yang mengenyampingkan budaya dari suku lainnya. (5) konflik pertahanan adalah konflik yang dipicu oleh adanya perebutan hegemoni dari pihak yang berkonflik. suatu misal, pecahnya perang irak karena irak mencaplok (memerangi) kuwait sehingga irak mendapat serangan balasan dari tentara sekutu multinasional atau perang antara israel dan palestina. (6) konflik antar agama adalah konflik yang dipicu oleh adanya sentimen agama. perang salib merupakan contoh dari jenis konflik antar agama.

kedelapan, konflik menurut hubungannya dengan pelaku. konflik yang muncul di dalam organisasi harus diselesaikan dan dikelola secara baik dan tepat agar tidak merugikan organisasi. untuk mengelola konflik secara efektif dan efisien, maka manajer (pimpinan) harus mengenal secara tepat dimana konflik tersebut terjadi agar manajer (pimpinan) tersebut dapat memilih strategi manajemen yang tepat.

kemudian menurut dean g. pruitt dan jeffrey z. rubin (2004 : 200) konflik terdiri dari tiga model, yaitu :
pertama, model agresor-defender. model agresor-defender menarik garis pembeda di antara kedua pihak yang berkonflik. salah satu pihak, sang “agresor” (penyerang), dianggap memiliki suatu tujuan atau sejumlah tujuan yang mengakibatkannya terlibat dalam suatu konflik bersama pihak lainnya, sang “defender” (pihak yang bertahan). agresor biasanya mulai dengan taktik-taktik contentious yang ringan karena mengingat ongkos yang harus dikeluarkannya bila terjadi eskalasi. tetapi bila tidak berhasil, ia akan berpindah ke taktik-taktik yang lebih berat dan berlanjut ke eskalasi.

kedua, model spiral-konflik. model spiral-konflik eskalasi ditemukan dalam bentuk tulisan yang dibuat oleh banyak ahli teori. model ini menjelaskan bahwa eskalasi merupakan hasil dari suatu lingkaran setan antara aksi dan reaksi. taktik-taktik contentious yang dilakukan oleh suatu pihak mendorong timbulnya respon contentious dari pihak lain. respon ini memberikan sumbangan terhadap tindakan contentious lebih lanjut dari pihak yang bersangkutan. ini membuat lingkaran konflik menjadi utuh dan kemudian membentuk lingkaran berikutnya.

ketiga, model perubahan struktural model ini menjelaskan bahwa konflik, beserta taktik-taktik yang digunakan untuk mengatasinya, menghasilkan residu. residu ini berupa perubahan-perubahan yang terjadi baik pada pihak-pihak yang berkonflik maupun masyarakat di mana mereka tinggal. residu ini kemudian mendorong perilaku contentious lanjutan yang levelnya setara atau lebih tinggi dan mengurangi usaha untuk mencari resolusi konflik. dengan demikian, konflik yang tereskalasi merupakan perubahan yang bersifat anteseden dan sekaligus konsekuen.

situasi tertentu dapat menciptakan konflik. dengan mengetahui penyebab konflik, maka pimpinan akan lebih mudah mengantisipasi konflik dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan konflik agar tidak menjadi disfungsional. menurut kusnadi dan bambang wahyudi (2001), diantara penyebab konflik yang seringkali menjadi pemicu terjadinya konflik disfungsional adalah :
1. adanya kepribadian yang saling bertentangan.
2. adanya sistem nilai yang saling bertentangan.
3. adanya tugas yang batasannya kurang jelas dan seringkali bersifat tumpang tindih.
4. adanya persaingan yang tidak fair.
5. adanya persaingan yang diberi fasilitas yang sangat terbatas (tidak cukup).
6. proses komunikasi yang tidak tepat.
7. adanya tugas yang saling bergantung satu sama lain.
8. kompleksitas organisasi (bisnis maupun non bisnis) yang cukup tinggi.
9. adanya kebijakan-kebijakan yang kurang jelas dan tidak dapat diterima secara rasional.
10. adanya berbagai tekanan yang cukup besar.
11. adanya keputusan yang dibuat berdasarkan kolektif. dalam hal ini umumnya kelompok mayoritas yang mempunyai dominan.
12. adanya harapan yang sangat sulit untuk dipenuhi.
13. permasalahan dilematis yang sangat sulit untuk diselesaikan.