sekilas tentang penilaian kinerja


secara umum penilaian kinerja merupakan kunci penting menuju perbaikan dan
kemajuan baik bagi suatu lembaga maupun individu. hanya dengan penilaian kinerja,
suatu lembaga atau individu dapat mengetahui apakah mereka telah berhasil dalam
mencapai tujuan, atau tidak. bila tidak diketahui hasilnya, maka jenis dan tingkatan
insentif tidak dapat diusulkan atau diberikan. selain itu, dengan melihat kesuksesan atau
kegagalan maka seseorang pengambil keputusan atau lembaga dapat belajar dan
menjadi sadar terhadap tingkat efektivitas dari cara yang ditempuh selamaini. jadi,
melakukan penilaian kinerja itu sendiri merupakan arena belajar yang sangat efektif
bagi individu dan organisasi (lihat osborne & gaebler, 1992, 146-155).

meskipun demikian, cara pandang terhadap penilaian kinerja sangat bervariasi
sesuai dengan paradigma yang dianut. sebelum era reformasi berkembang paradigma
birokrasi klasik, human relations dan human resources, yang banyak memberi warna
terhadap dinamika penilaian kinerja. paradigma birokrasi klasik misalnya, memandang
aparat sebagai faktor produksi (model “economic man”) yang dapat dimanipulasi.
evaluasi merupakan alat untuk menentukan jenis manipulasi yang pantas diberikan
(model “tell and sell”) baik berupa insentif maupun hukuman. sedangkan paradigma
human relations melihat aparat sebagai makhluk sosial (model “social man”) yang
kebutuhan sosialnya perlu dipenuhi, sehingga evaluasi kinerja merupakan alat untuk
mendengarkan keluhan mereka (model “tell and listen”). disamping itu, paradigma
sumberdaya manusia memandang aparat sebagai sumberdaya (model “human
resources”) yang harus dikembangkan untuk meningkatkan martabatnya sekaligus
pencapaian tujuan organisasi. dalam hal ini kegiatan evaluasi kinerja bertujuan untuk
memecahkan masalah (model “problem-solving”) baik menyangkut perbaikan metode
dan teknik yang digunakan dan optimalisasi hasil yang dicapai.

di era reformasi ini, berkembang paradigma manajemen publik baru (lihat
hughes, 1994; ferlie, dkk, 1997) yang mengoreksi paradigma terdahulu yang kurang
efektif dalam memecahkan masalah, memberikan pelayanan publik, termasuk
membangun masyarakat. gerakan “reinventing government” atau “post-bureaucratic
management” merupakan wujud nyata dari paradigma tersebut. manajemen publik baru
ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi atau model, seperti model pertama
adalah “the efficiency drive”, model kedua adalah “downsizing and decentralization”,
model ketiga yaitu “in search of excellence” dan model terakhir yaitu “public service
orientation”. dan model terakhir menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang
hendak dicapai organisasi publik, perhatian yang lebih besar kepada aspirasi,
kebutuhan, dan partisipasi user dan warga masyarakat, memberikan otoritas yang lebih
tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka,
menekankan “societal learning” dalam pemberian pelayanan publik, dan penekanan
pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas

tentang konsep kualitas pelayanan


konsep tentang kualitas itu sendiri oleh goetsh dan davis (dalam tjiptono, 1996:51) diartikan sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. berbeda halnya dengan ibrahim (1997:1) yang mendefinisikan kualitas sebagai suatu strategi dasar bisnis yang menghasilkan barang dan jasa yang memenuhi kebutuhan dan kepuasan internal dan eternal, secara eplixit dan implisit.

sedangkan gazpersz (1997:4) membedakan pengertian kualitas dalam dua pengertian, yaitu : definisi konvensional dan definisi strategik. definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik langsung dari suatu produk seperti : performansi (performance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics) dan sebagainya. sedangkan definsi strategik menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of costumers).

mengacu kepada kedua definisi tersebut, sehingga menurut gaspersz (1997:5) bahwa : pada dasarnya kualitas mengacu kepada keistimewaan pokok, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan aktraktif yang memenuhi keinginan dan kepuasan pelanggan serta segala sesuatu yang bebas dari kekurangan dan kerusakan.

sedangkan triguno (1997:76) mendefinisikan kualitas sebagai :  suatu standar yang harus dicapai oleh seorang/kelompok/lembaga/ organisasi mengenai kualitas sumber daya manusia, kualitas cara kerja, proses dan hasil kerja atau produk yang berupa barang dan jasa. selanjutnya ia juga mengatakan bahwa berkualitas mempunyai arti memuaskan kepada yang dilayani, baik internal maupun eksternal, dalam arti optimal pemenuhan atas tuntutan/persyaratan pelanggan/masyarakat.
garvin (dalam lovelock, 1994; ross, 1993) memahami perbedaan pengertian kualitas dari berbagai ahli, karena itu garvin mengelompokkan pengertian kualitas tersebut dalam lima perspektif, dimana kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. kelima macam perspektif kualitas tersebut menurut garvin adalah sebagai berikut :

  1. transcedental approach, yang memandang kualitas sebagai innate excellence, dimana kualitas dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan.
  2. product based approach, yang menganggap bahwa kualitas merupakan karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur.
  3. user based approach, yang memandang bahwa kualitas tergantung kepada orang yang memandangnya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensi seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
  4. manufacturing based approach, yang memandang bahwa kualitas sebagai kesesuaian/sama dengan persyaratan (comformance to requirements). dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations driven.
  5. value based approach, yang memandang kualitas dari segi nilai dan harga dengan mempertimbangkan trade off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai "affordable exellence".

berdasarkan uraian di atas, garvin menyimpulkan bahwa pada hakekatnya kualitas akan mengacu pada kreteria sebagai berikut :
1) kondisi produk/jasa
2) strategi dasar yang menghasilkan jasa
3) karakerisitik produk
4) keistimewaan produk yang bebas dari kekurangan dan kerusakan
5) standard yang harus dicapai.

kelima kriteria tersebut pada akhirnya diarahkan untuk memenuhi dan memuaskan pelanggan/consumer atau masyarakat. dalam hal ini kualitas suatu produk atau jasa hanya dapat ditentukan oleh pelanggan sendiri, karena merekalah yang merasakan produk atau jasa yang dihasilkan oleh suatu organisasi baik bisnis maupun publik. oleh karena itu kualitas selalu berfokus pada pelanggan (custumer focused quality).

kualitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang terbaik, yaitu suatu sikap atau cara karyawan dalam melayani pelanggan atau masyarakat secara memuaskan. menurut triguno (1997:78) pelayanan yang terbaik, yaitu "melayani setiap saat, secara cepat dan memuaskan, berlaku sopan, ramah dan menolong, serta profesional dan mampu".

sedangkan menurut tjiptono (1996:58) secara garis besar ada empat unsur pokok yang terkandung di dalam pelayanan yang unggul (service excellence), yaitu :
1. kecepatan.
2. ketepatan.
3. keramahan.
4. kenyamanan.

keempat komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, artinya pelayanan menjadi tidak excellence bila ada komponen yang kurang. kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat kepada organisasi (institusi) yang bersangkutan.

selanjutnya wyckof (dalam tjiptono, 1996:59) mengartikan kualitas jasa atau layanan, yaitu : tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan". ini berarti, bila jasa atau layanan yang diterima (perceived service) sesuai dengan diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan dipersepsikan baik dan memuaskan, jika kualitas jasa atau layanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas jasa atau layanan akan dipersepsikan buruk.

dengan demikian, fungsi pemerintah bukan hanya terbatas pada aktivitas pemberian pelayanan kepada masyarakat, tetapi juga harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut betul-betul berkualitas. pemerintah indonesia sendiri sebenarnya telah menyadari akan pentingnya penerapan konsep kualitas dalam pelayanan kepada masyarakat. hal ini tercermin dari dikeluarkannya inpres nomor 1 tahun 1995 tentang perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat dan lebih dipertegas dengan kepmenpan nomor 81 tahun 1995 yang menegaskan bahwa pelayanan yang berkualitas hendaknya sesuai dengan sendi-sendi sebagai berikut :

  1. kesederhanaan, dalam arti bahwa prosedur/tatacara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat tidak terbelit-belit, mudah, dipahami dan mudah dilaksanakan.
  2. kejelasan dan kepastian, dalam arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai prosedur pelayanan, persyaratan pelayanan, unit kerja atau pejabat yang bertanggung jawab melayani, rincian biaya/tarif dan tatacara pembayaran, jadwal pelayanan, hak dan kewajiban pelayanan dan pelayan, pejabat yang menerima keluhan.
  3. keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta memberikan kepastian hukum.
  4. keterbukaan dalam arti bahwa semua proses pelayanan wajib diinformasikan kepada masyarakat.
  5. efisien, dalam arti bahwa persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dan harus dicegah adanya pengulangan pemenuhan kelengkapan persyaratan.
  6. ekonomis, dalam arti bahwa pengenaan biaya pelayanan harus diitetapkan secara wajar.
  7. keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan harus terdistribusi secara merata.
  8. ketepatan waktu, dalam arti bahwa pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

berdasarkan sendi-sendi kualitas pelayanan kepada masyarakat tersebut, maka secara umum sendi-sendir tersebut telah mencerminkan karakteristik pelayanan yang diinginkan pelanggan yaitu pelayanan yang lebih cepat (faster), lebih murah (cheaper) dan lebih baik (better) (gazperzs, 1997:12)

uraian tentang etos kerja, catatan pelengkap


kata etos berasal dan bahasa yunani yaitu "ethos" yang mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang diyakini, cara berbuat, sikap serta persepsi terhadap nilai kerja (tasmaran, 1995:5). dari kata ini lahirlah istilah "ethis"  yaitu : pedoman moral dan perilaku atau yang lebh dikenal dengan istilah etika yang artinya cara bersopan santun sehingga dengan kata etika muncul istilah etika bisnis, etika kerja (etos kerja) dan lain-lain yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku dan bertindak dalam melaksanakan suatu aktivitas atau kegiatan dalam kehidupan.

garna (1996:2) mengemukakan etos sebagai berikut : ethos juga disebut filsafat moral (moral philosophy) yang berasal dari kata kerja latin, mos, mores, cara hidup atau adat kebiasaan. dalam pergaulan atau aktifitas kehidupan manusia, selalu menganggap perlu melakukan dan memperoleh ketertiban dalam pergaulan untuk saling menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan serta hak asasinya, maka etika akan menjadi acuan pokok dalam pergaulan sosial tersebut.

pendapat ini sejalan dengan pendapat ravianto (1998:81), bahwa "etos kerja berhubungan erat dengan sikap moral, walaupun kedua-duanya tidak seluruhnya identik". kata kerja memiliki makna yang dalam dan bervariasai menurut tingkat kepentingan tiap-tiap orang, menurut garna, (1999:3) bahwa : dalam masyarakat modern (work) merupakan salah satu kekuatan pembatas dalam kehidupan manusia, karena kerja itu menajamkan identitas orang dan menempatkan dalam suatu sistem stratifikasi oleh pengaruhnya kepada kedudukan atau posisi sosial atau ekonomi serta mempengaruhi kehidupan fiskal dan emosional. pekerjaan seseorang menentukan berbagai posisi mengandung curahan waktu dan mempengaruhi kualitas kehidupan.

istilah kerja itu secara populer digunakan untuk menunjukkan sejumlah ikhtiar terhadap berbagai tujuan, dalam arti ekonomi, kerja itu menunjukkan kepada sejumlah aktifitas yang berorientasi untuk menghasilkan barang dan pelayanan bagi kebutuhan seseorang atau dibayar. menurut pandangan simamora (1995:36) bahwa : "… pada hakekatnya kerja adalah disamping untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi juga harus mempunyai nilai terhadap lingkungan kerja atau perusahaan dan masyarakat luas."

definisi etos kerja sendiri jarang ditemukan, tetapi rujukan-rujukan kearah itu cukup banyak dan beragam, seperti kumorotomo (1992:330), mendefinisikan etos kerja bagai pegawai sebagai berikut : bagi seorang pegawai negeri atau pejabat pemerintah, etos kerja yang baik bukan saja akan menghasilkan sikap-sikap produktif seperti kerja keras, jujur, berperhitungan dan hemat, tetapi juga menciptakan mekanisme kendali diri (inner check) guna menghadapi berbagai persoalan dalam tugas kedinasan maupun mengatasi godaan dan iming-iming dari luar.

garna (1996:244) mendefinisikan etos kerja sebagai sebagai berikut : sejumlah nilai-nilai budaya yang diungkapkan oleh sikap atau tindakan seseorang atau kelompok orang, yang didalamnya terkandung nilai-nilai moral dan pandangan tentang kerja. etos kerja itu adalah sesuatu yang berada dibelakang derajat dari kualitas kerja seperti kerja keras, kerja tepat waktu, jujur dan ulet dalam bekerja, berorientasi kepada prestasi, kreatif dan berorientasi pada perubahan.

jadi secara sederhana etos kerja pegawai dapat dilihat dari kualitas kerja seperti : kerja keras, kerja tepat waktu, jujur, ulet, kreatif, berorientasi pada prestasi serta pada masa depan. etos kerja menjadi kekuatan spritual bagi segala macam pekerjaan dalam birokrasi pemerintahan, kekuatan penggerak itu bersifat otonom dan menjadi semacam "idiologi birokrasi", segenap aparat akan bekerja sungguh-sungguh tanpa dorongan dari luar. pandangan kumorotomo tersebut sejalan dengan pendapat anoraga (1997:29), bahwa etos kerja adalah suatu pandangan dan sikap bangsa atau ummat terhadap kerja. lebih lanjut dijelaskan bahwa : kalau pandangan dan sikap itu, melihat kerja sebagai suatu hal luhur untuk eksistensi manusia, maka etos kerja akan tinggi. sebaliknya kalau melihat kerja sebagai suatu hal yang tidak berarti untuk kehidupan manusia, apalagi kalau sama sekali tidak ada pandangan atau sikap terhadap kerja, maka etos kerja itu sendirinya rendah. oleh sebab itu untuk menimbulkan pandangan dan sikap yang menghargai kerja sebagai sesuatu yang luhur, diperlukan dorongan atau motivasi.

etos kerja juga erat kaitannya dengan budaya kerja, sebagaimana dikemukakan dalam lan-ri (1992:9) bahwa "program budaya kerja diciptakan sebagai salah satu upaya menuju kesana, kearah terciptanya etika kerja." etos kerja yang erat kaitannya dengan budaya kerja merupakan nuansa mental yang melahirkan sikap kerja yang baik, yang menurut paramita (dalam ndraha, 1999:189) merupakan "sekelompok pikiran dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerja sama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat. lebih lanjut ndraha (1999:188) mengemukakan bahwa :  budaya dan nilai kerja sebagai nilai utama, disebut budaya kerja, pendapat ini menunjukkan bahwa nilai kerja memiliki potensi untuk dilakukan atau dibudayakan kehidupan sehari-hari, yang sekaligus memberikan kejelasan tentang kaitannya yang sangat erat antara etos kerja dan budaya kerja.

sebelum meneliti tentang etos kerja pegawai, tampaknya perlu dijelaskan dahulu hubungan antara etos kerja dengan aktifitas pemerintah, yang menurut kumorotomo (1992:326) bahwa : etos kerja menyangkut pada sistem nilai-nilai yaitu apa yang pantas, suatu masyarakat, yang kaitannya dengan birokrasi  pemerintahan, sebagaimana ditunjukkan bahwa pekerjaan administrasi itu tidak hanya menyangkut pekerjaan fisik, tetapi juga menyangkut proses berfikir dan pengambilan keputusan seseorang pada posisinya yang tertentu itu.

kondisi pelayanan publik, sebuah pengantar singkat


dalam menyiapkan bangsa indonesia memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas yang gemanya sudah mulai terasa sekarang ini, peran aparat pemerintah dalam hal ini pegawai negeri menjadi sangat penting dan strategis terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. pentingnya peran aparat pemerintah tersebut karena pelayanan merupakan salah satu fungsi yang harus dijalankan oleh setiap pemerintah mulai dari tingkat pusat hingga pada tingkat daerah, disamping fungsi pembangunan dan pemberdayaan.

dewasa ini kehidupan masyarakat mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan sebelumnya dan kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. perubahan yang dapat dirasakan sekarang ini adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang semakin kritis. hal itu dimungkinkan, karena semakin hari warga masyarakat semakin cerdas dan semakin memahami hak dan kewajibannya sebagai warga.

kondisi masyarakat yang demikian menuntut hadirnya pemerintah yang mampu memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dalam segala aspek kehidupan mereka, terutama dalam mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya dari pemerintah. dalam kaitannya itu rasyid (1997:11) mengemukakan bahwa : pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.

selanjutnya osborn dan gaebler (1995:192) mengemukakan bahwa pemerintahan yang demokratis lahir untuk melayani warganya. tugas pemerintah adalah mencari cara untuk menyenangkan warganya. berdasarkan hal tersebut di atas, dapat dipahami bahwa pemerintah yang terbentuk merupakan pelayan masyarakat yang harus memberikan kepuasan kepada masyarakat. komitmen ini hanya bisa dipegang kalau rakyat merasa bahwa pemerintahan yang berjalan masih mengarah kepada upaya untuk melindungi dan melayani masyarakat.

pemerintahan di masa kini orientasinya diharapkan lebih ditekankan pada pelayanan kepada masyarakat. hal ini berbeda dengan pemerintahan di masa sebelumnya, yang orientasinya diarahkan kepada aspek kekuasaan. hal ini berarti bahwa pemerintahan di masa kini harus memberi perhatian yang lebih besar pada upaya untuk meningkatkan  kualitas pelayanan kepada masyarakat daripada menonjolkan diri sebagai kekuasaan semata.

perhatian terhadap eksistensi pelayanan, makin berkembang pula seiring dengan munculnya berbagai masalah pelayanan, mulai dari pembuatan akta, ktp, perijinan sampai pada pengadaan sarana, prasarana umum dan sosial.

dalam konteks indonesia sendiri masyarakat sering mengeluhkan pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. sebagaimana yang dikemukakan rasyid (1997:144) : hal ini terlihat dari banyaknya keluhan yang disampaikan oleh masyarakat melalui berbagai media cetak tentang perilaku birokrasi yang cenderung bersifat arogan dan tidak menunjukkan citra sebagai pelayanan masyarakat, karena yang nampak adalah sosok penguasa yang ingin dilayani bukan untuk melayani.

hal ini disebabkan birokrasi pemerintah lebih berorientasi pada pejabat atasan (dwiyanto dkk, 1993:38), oleh karena itu kesan pertama dari hampir setiap warga masyarakat yang datang berurusan ke kantor-kantor pemerintah adalah bertemunya mereka dengan pegawai berseragam yang kurang ramah, kurang informatif, mata duitan dan kurang profesional (rasyid, 1997:142). belum lagi nada sinisme yang melihat ciri birokrasi pemerintah yang selalu membuat sesuatu pekerjaan yang sesungguhnya sederhana menjadi rumit. (siagian, 1994:116).

keterbatasan kemampuan pemerintah dalam mengoptimalkan fungsi pelayanan masyarakat semakin memperburuk persepsi masyarakat tentang keberadaan pemerintah. apalagi jika dibandingkan dengan sistem pelayanan oleh pihak swasta, organisasi pelayanan pemerintah atau birokrasi pemerintah yang sering dikatakan  sumber kelambanan, pungli dan inefisiensi. sementara itu birokrasi swasta seringkali dianggap memiliki ciri-ciri yang sebaliknya. seperti cepat, efisien, inovatif dan berkualitas.

semua masalah tersebut menunjukkan fenomena ambivelensi birokrasi pemerintah indonesia yang telah membudaya selama kurun waktu yang sangat lama. arogansi kekuasaan masih menjadi bagian yang seperti sudah inheren dalam birokrasi pemerintahan, banyak pejabat pemerintah yang merasa seakan-akan jabatan yang dipegangnya adalah miliknya, dan mereka sepertinya "sudah kawin dengan kekuasaanya". akibatnya seringkali muncul berbagai aksi dan tuntutan  masyarakat termasuk gerakan reformasi yang dikobarkan oleh masyarakat saat ini.