telah terjadi perubahan yang mendasar mengenai kebijakan desentralisasi di indonesia, kebijaksanaan desentralisasi yang dianut pada masa orde baru lebih berorientasi kepada penggunaan model penyelenggaraan desentralisasi yang biasa disebut sebagai “the struktural efficiency model” daripada kepada penggunaan “the local democracy model”. model yang pertama lebih mengutamakan pentingnya pemberian pelayanan secara efisien kepada local communities, akibatnya telah mendorong intervensi pusat yang lebih besar untuk mengontrol pemerintah daerah guna menjamin efisiensi dan kemajuan ekonomi, penekanan yang lebih besar kepada “uniformity and conformity”, mengabaikan nilai-nilai lokal dan keanekaragaman daerah, yang pada akhirnya mengabaikan nilai-nilai demokrasi. sedangkan model yang kedua lebih menekankan kepada democratic and locallity values daripada efficiency values. disamping itu, local democracy model menghargai local differences and system diversity, because local authority has both the capacity and the legitimacy for local choice and local voice (a.f. leemans, john halligan and chris aulich, dalam hoessein, 1998)
implementasi undang-undang no. 22/1999 kemudian direvisi menjadi uu no. 32 tahun 2004 sangat erat sekali kaitannya dengan perubahan kebijaksanaan desentralisasi di indonesia, undang-undang ini membawa pergeseran paradigma terhadap penyelenggaraan pemerintahan mulai dari pemerintah pusat sampai kepada pemerintahan desa. inilah konsekwensi dari sebuah tuntutan kebijakan dan paradigma baru yang harus dipiih. undang-undang ini telah memberikan otonomi yang jauh lebih besar kepada daerah otonom yaitu pemerintah daerah kabupaten dan kota. otonomi daerah dianggap sebagai opsi yang tepat untuk meningkatkan derajat keadilan sosial serta distribusi kewenangan secara proporsional antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten dan kota dalam hal penentuan kebijakan publik, penguasaan aset ekonomi dan politik serta pengaturan sumber daya lokal.
otonomi daerah telah membawa beberapa perubahan mendasar yang memberikan otonomi yang jauh lebih besar kepada daerah otonom yang selama ini dikenal sebagai dati ii, beberapa perubahan yang bisa diidentifikasi diantaranya adalah : undang-undang ini menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah kabupaten dan daerah kota. dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi.
konsekwensi dari perubahan ini maka kecamatan tidak lagi menjalankan urusan-urusan dekonsentrasi yang merupakan urusan-urusan pemerintah pusat yang ada di daerah. camat tidak lagi menjadi kepala wilayah yang merupakan wakil pemerintah pusat yang menjadi penguasa tunggal dibidang pemerintahan dalam wilayahnya yang memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat disegala bidang. urusan-urusan yang dilaksanakan oleh pemerintahan kecamatan adalah urusan-urusan yang merupakan pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati/walikota.
disisi lain, pelaksanaan otonomi di daerah pada hakekatnya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah kecamatan adalah organisasi yang paling depan berhadapan dengan masyarakat, sudah selayaknyalah organisasi ini mendapat perhatian lebih jauh lagi dengan cara “memberdayakan” pemerintahan kecamatan.