latar belakang : perencanaan partisipatif

wacana pembangunan yang partisipatif di indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak 30 tahun lalu, dimana konsep pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah dimasukkan dalam gbhn pada dekade 1970-an. sementara kebijakan yang lebih konkret dimulai pada dekade 1980-an. sejak dekade 1990-an, kegiatan pembangunan daerah dirancang lebih partisipatif melalui lembaga pengambilan keputusan tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga nasional (siregar, 2001; chandra et al, 2003). akan tetapi, pada saat itu partisipasi masyarakat tidak lebih dari jargon pembangunan semata, dimana partisipasi diartikan sebatas pada upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah. berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak.

sejalan dengan ”kelahiran” otonomi daerah, konsep perencanaan pembangunan partisipatif kemudian mulai digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di indonesia. diikuti dengan adanya undang–undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional telah menggeser paradigma perencanaan pembangunan dari yang bersifat sentralistik dengan pendekatan top down planning, menjadi perencanaan pembangunan yang bersifat desentralistik dengan pendekatan bottom up planning melalui pola perencanaan partisipatif, yang dimulai dari musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbang-desa) hingga nasional.

konsep pembangunan yang partisipatif merupakan suatu proses pemberdayaan pada masyarakat sehingga masyarakat mampu untuk mengidentifikasi kebutuhannya sendiri atau kebutuhan kelompok masyarakat sebagai suatu dasar perencanaan pembangunan. partisipasi masyarakat memiliki banyak bentuk, mulai dari yang berupa keikutsertaan langsung masyarakat dalam program pemerintahan maupun yang sifatnya tidak langsung, seperti berupa sumbangan dana, tenaga, pikiran, maupun pendapat dalam pembuatan kebijakan pemerintah. namun demikian, ragam dan kadar partisipasi seringkali hanya ditentukan berdasarkan banyaknya individu yang dilibatkan.

partisipasi mendorong setiap warga masyarakat untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. partisipasi masyarakat dapat terwujud seiring tumbuhnya rasa percaya masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. rasa percaya ini akan tumbuh apabila masyarakat memperoleh pelayanan dan kesempatan yang setara (equal). pembedaan perlakuan atas dasar apapapun dapat menumbuhkan kecemburuan dan mendorong terjadinya konflik sosial di masyarakat.