Di Indonesia sejak dimulainya program privatisasi atau swastanisasi pada tahun 1980, menyebabkan jumlah pelayanan publik yang diproduksi oleh pemerintah semakin berkurang. Kebijakan privatisasi atau swastanisasi mengemuka dalam dekade terakhir ini tidak terlepas daripada fenomena good governance karena disadari bahwa jauh sebelum teori ini mewarnai literatur Administrasi publik, dominasi dan intervensi negara (pemerintah) atas rakyat melampaui batas kekuasaan negara sehingga terlihat adanya penaklukan negara atas rakyat (Maliki, 1999).
Namun sesuai perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat, di samping virus globalisasi ekonomi, maka ide-ide pembangunan mengalami perubahan dari sektor publik ke sektor swasta. Seperti yang dikemukakan oleh Nurmandi (1999 : 35-36), bahwa perubahan sosial ekonomi yang diiringi oleh pertumbuhan penduduk yang cepat di daerah perkotaan merupakan faktor pendorong bagi pemerintah untuk mengubah sedemikian rupa praktek penyelenggaraan pemerintahan, dari peran regulator ke peran baru sebagai fasilitator.
Dalam pendekatan ekonomi, pemerintah kota dipandang sebagai salah satu aktor ekonomi, yaitu sebagai produsen barang dan jasa bagi masyarakat kota. Dari perkembangan ekonomi kontemporer dalam skala global, peran pemerintah kota sebagai aktor ekonomi berfungsi mendorong dinamika investasi asing dan pertumbuhan ekonomi nasional. Proses globalisasi ekonomi sebuah bangsa, khusunya bangsa Indonesia telah menyebabkan pergeseran peran pemerintah baik pemerintah di tingkat pusat maupun daerah dari peran-peran tradisional selama ini.
Menurut Cowan (1990 : 6) privatization may be defined as the transfer of a function, activity, or organization from the public to the private sector. Di sini Cowan lebih menekankan privatisasi sebagai pergeseran fungsi, kegiatan, organisasi sektor publik ke sektor swasta, dan tidak secara jelas menyebutkan perlunya kompetisi.
Berbeda dengan definisi tersebut, Dwiyanto, dalam materi kuliah “Prinsip Administrasi Publik” mengatakan, privatisasi merupakan pergeseran dari mekanisme publik menjadi mekanisme pasar sehingga melahirkan kompetisi dalam pelayanan publik. Tujuan kompetisi adalah terciptanya persaingan yang sehat (win-win) antara para pelaku di pasar sehingga tersedia komoditas (barang dan jasa) berkualitas baik serta harga terjangkau oleh masyarakat. Dengan kompetisi, masyarakat akan diuntungkan karena tersedia alternatif-alternatif yang harus dipilih.
Sementara Savas (1987 : 3) dalam privatization the key to better government, menjelaskan bahwa “privatization is the act of reducing the role of government, or increasing the role of the private sector, in an activity or in ownersship of assets.“ [adalah tindakan/aksi mengurangi peranan pemerintah, atau meningkatkan peranan sektor swasta dalam aktivitas atau dalam kepemilikan aset]. Dalam arti luas dikatakan bahwa privatisasi adalah kunci bagi keterbatasan dan kebaikan pemerintah : keterbatasan ukuran, ruang lingkup dan kekuasaan karena lembaga-lembaga masyarakat lain; kebaikan karena kebutuhan masyarakat dipenuhi secara lebih efisien, efektif dan berkeadilan.
Lebih lanjut dijelaskan, privatisasi bukan satu-satunya penyelesaian (panacea), namun privatisasi mempunyai masalah tersendiri. Sebagian masalah timbul dari konsep dasar, dan sebagian masalah muncul karena sulit memenuhi syarat yang dibutuhkan untuk keberhasilan privatisasi, dan masalah lain muncul selama implementasi.
Permasalahan konsep diketahui dari perbedaan persepsi terhadap kata privatisasi yang muncul ditengah masyarakat. Sebagian kalangan memandang privatisasi merupakan ancaman bagi pemerintah karena dapat mengurang eksistensi pemerintah, meningkatnya peran swasta serta menghilangkan barang publik menjadi barang swasta sehingga harga barang semakin tinggi ketika diproduksi oleh sektor swasta. Kalangan lain mengatakan privatisasi adalah untuk menghindari adanya monopoli maka diperlukan daya saing tinggi (kompetisi) agar harga barang menjadi lebih murah dan berkualitas sekaligus mengantisipasi persaingan di pasar bebas. Selain itu, kesulitan persyaratan menyangkut adanya prinsip saling menguntungkan (win-win solutions). Sedangkan masalah selama implementasi adalah motivasi sebagian pendukung atau kurangnya dukungan masyarakat dalam pelaksanaannya.
Menurut Putra dkk (2001 : 93), ada berbagai alasan perlunya dilakukan privatisasi : Pertama, alasan yang bersifat praktis, yaitu bagaimana biaya dapat dikurangi, proyek jangka pendek dapat dioptimalkan secara ekonomis, pelayanan dapat disediakan lebih hemat, sumber-sumber yang terbatas dapat diganti dan beberapa kegiatan pemerintah dapat ditingkatkan. Kedua, alasan yang bersifat ideologis, yaitu karena suatu realitas politik, pegawai- pegawai pemerintah biasanya kurang efisien dan kurang ekonomis, sifat monopoli, tidak ada kemauan untuk bekerja dengan baik, ukuran pemerintah yang lebih kecil adalah yang lebih baik, pemerintah seharusnya hanya menyediakan pelayanan yang tidak bisa dilakukan swasta, mengurangi pajak, serta meningkatkan kegiatan ekonomis.
Lebih dari itu, Savas (1987), menambahkan dua alasan perlunya privatisasi. Pertama, alasan komersial, bahwa pengeluaran pemerintah adalah salah satu bagian terbesar dari ekonomi. Karenanya, pemerintah harus secara langsung menyatakan kepemilikan perusahaan dan aset yang dapat digunakan pada sektor khusus (swasta). Kedua, alasan populis, bahwa masyarakat mempunyai pilihan dalam pelayanan publik. Mereka diberi kebebasan mencari dan menentukan kebutuhan, mempererat persaudaraan dalam keluarga, tetangga, dan etnis tertentu, serta penyederhanaan birokrasi.
Meskipun alasan dilakukan privatisasi adalah untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, tetapi beberapa pakar menyatakan bahwa sering kali privatisasi bahkan justru meningkatkan biaya publik. Permasalahan ini sekaligus menghambat keberhasilan pelaksanaan privatisasi. Oleh karena itu, Savas (1987 : 286) mensinyalir beberapa hambatan terhadap privatisasi yaitu penolakan oleh pegawai negeri, birokrasi dan politik adalah sebuah norma dan harus diatasi. Di samping itu, ada masalah kebijakan mengenai penjualan, penentuan harga, dan ditribusi jatah ketika memprivatisasikan perusahaan-perusahaan milik negara.
Selanjutnya dengan jelas dikemukakan Dwiyanto (1996 : 19-20) bahwa keberhasilan upaya pengembangan kemitraan pemerintah dan swasta dalam pelayanan publik ditentukan oleh banyak faktor, yakni : (1) kemitraan yang menekankan pada coproduction dan coprovision hanya akan bisa berjalan efektif kalau diikuti oleh perubahan sikap dan orientasi pejabat birokrasi pemerintah; (2) pemerintah perlu terus mengembangkan dan memberikan fasilitas untuk pengembangan sektor swasta; (3) pemerintah perlu mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan operasional pelayanan publik kalau sektor swasta-organisasi voluntir dan perusahaan bisnis sudah bisa melakukannya; (4) pengalihan peran pemerintah kepada swasta hendaknya dilakukan secara transfaran dan terbuka; dan (5) pemberian kekuasaan yang besar kepada sektor swasta perlu diikuti oleh perbaikan efektivitas kontrol birokratik dan politik.
Dalam Modul II, Pembekalan Teknis Manajemen Stratejik dan Teknik Penganggaran/Keuangan (2000 : 16-17) dijelaskan bahwa syarat dasar bagi kemitraan adalah adanya prinsip saling menguntungkan (win-win solutions atau positive sum game). Konsep kemitraan antara pemerintah daerah dengan pihak swasta dikenal juga sebagai kebijakan privatisasi/swastanisasi.
Sedangkan kemitraan menurut Ramelen (1997 : 26) adalah pemberian sebagian kewenangan pemerintah kepada pihak swasta untuk melaksanakan sebagian atau seluruh kegiatan pembangunan dan/atau pengoperasian infrastruktur.
Bidang pelayanan publik yang umum dikelola dengan prinsip kemitraan ini adalah pembangunan proyek infrastruktur, yang mencakup pembangunan proyek-proyek di bidang energi, jalan raya, pengelolaan sampah, air minum, fasilitas pasar, dan kegiatan infrastruktur lainnya. Di Indonesia pola kemitraan yang paling sering dikembangkan adalah Concession atau Konsesi. Konsesi menurut Barton (Nurmandi, 1999 : 209) didefinisikan sebagai suatu persetujuan antara pemerintah dengan pihak swasta, di mana pemerintah memberikan suatu aset (berupa tanah atau jenis lain) kepadanya dalam suatu periode tertentu sesuai dengan masa kontrak dan mengembalikan kepada pemerintah setelah masa kontraknya selesai. Konsesi ini pada prakteknya mempunyai beberapa jenis, yaitu BOT, BOOT dan BOO.
Menurut Nurmandi (1999 : 210), Build, Operate, and Transfer (BOT) adalah suatu bentuk konsesi di mana pihak swasta membiayai dan membangun sebuah fasilitas, mengoperasionalkannya dan memeliharanya. Kemudian, proyek dioperasikan oleh pihak swasta selama jangka waktu tertentu dan mengalihkannya kembali kepada pemerintah setelah masa kontraknya habis. Dalam praktik kemitraan, bagaimanapun bentuk yang dipilih sudah tentu memiliki konsekuensi logis terhadap kedua pihak, begitu pula terhadap kerjasama BOT.
CARI OLEH OLEH KHAS BANJARMASIN KALIMANTAN SELATAN
DI TOKOPEDIA AJA