Istilah Good Governance mengemuka di era reformasi berkaitan erat dengan datangnya era globalisasi. United Nations Developmen Programme (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life.
Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing (Modul I AKIP, 2000 : 5).
Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan sektor ketiga (Thoha : 12).
Kualitas tata kepemerintahan akan dapat dicapai apabila didukung oleh birokrasi yang bersih, berwibawa dan profesional. Untuk dapat demikian, maka governance harus diawali dari upaya merancang bangun perumusan kebijakan, proses implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
Dengan jernih Mas’oed menjelaskan, bahwa governance merupakan kegiatan, proses atau kualitas memerintah. Bukan tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok, melainkan dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena kebijakan. Dalam proses “governance”, pemerintah hanya merupakan salah satu aktor yang bekerjasama dengan aktor non-pemerintah. Dan dalam economic governance, pemerintah bukan berfungsi sebagai “a direct provider of growth, but as a partner, catalyst and facilitator” (Modul Ekonomi Politik Pembangunan, 276).
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini serta merta menyadarkan masyarakat akan hak, kewajibannya dan tanggung jawabnya sehingga mereka tidak dapat lagi dimanajemeni dengan kontrol dan kekerasan. Cara-cara lama yang menjustifikasi pembangunan demi kepentingan negara (pemerintah) tanpa memperhatikan kepentingan rakyat sudah seharusnya ditinggalkan karena bertentangan dengan karakteristik tata kepemerintahan yang demokratis. Jadi, good governance bukan hanya menyangkut keunggulan pengelolaan dalam arti teknis dan strategis saja, melainkan juga menyangkut standar-standar etika yang rentangnya sangat luas: dari hal transparansi, pertanggungjawaban (akuntabilitas), namun juga pengelolaan yang berlandaskan etika dan moral (Abeng, 2000 :104).
Pada dasarnya good governance adalah penyelenggaraan pemerintah negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara domain-domain negara, sektor swasta dan masyarakat (society). Negara (pemerintah) memegang peranan penting dalam mewujudkan governance karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi sektor swasta dan masyarakat (society), serta fungsi penyelenggaraan pemerintahan melekat padanya (Modul I AKIP, 2000 : 8).