MAKALAH : LSM/NGO DALAM DISKURSUS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI INDONESIA

Latar Belakang Masalah
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi pembangunan sekarang sudah banyak diterima, bahkan telah berkembang berbagai pemikiran dan literatur tentang hal tersebut. Meskipun dalam kenyataannya strategi ini masih belum maksimal di aplikasikan. Dilain pihak konsep pembangunan yang selama ini diterapkan belum mampu menjawab tuntutan-tuntutan yang menyangkut keadilan dan pemerataan serta keberpihakannya kepada masyarakat, sehingga pembangunan yang digagas belum mampu mengangkat penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Upaya meningkatkan keberpihakan pembangunan kepada kepentingan masyarakat, sepertinya tidak dapat dilepaskan dari upaya pemberdayaan masyarakat agar mampu berpartisipasi dalam pembangunan dimaksud.

Padahal keberhasilan Pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan menjadi tolak ukur keberhasilan maupun kegagalan pembangunan. Meski kemiskinan, dari dulu hingga sekarang selalu menjadi tema sentral dan krusial dalam pembangunan. Namun, sejumlah kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam pembentuk pemberdayaan masyarakat terus digulirkan dari masa ke masa, tetapi pada kenyataannya selama ini program tersebut mulai dari Inpres Desa Tertinggal (IDT), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) sampai dengan BLT dan PNPM dan lain-lain terkesan kurang efektif dalam pelaksanaannya.

Bila di zaman dulu ada KUT dan IDT, sekarang untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri mulai tahun 2007. Mulai tahun 2008 PNPM Mandiri diperluas dengan melibatkan Program Pengembangan Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah (PISEW) untuk mengintegrasikan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah sekitarnya. PNPM Mandiri diperkuat dengan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai departemen/sektor dan pemerintah daerah.

PNPM Mandiri merupakan suatu Gerakan Nasional yang digagas dan dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dalam wujud pembangunan berbasis pemberdayaan masyarakat untuk penanggulangan kemiskinan. PNPM Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.

Maksud dan tujuan PNPM pun tidak jauh berbeda dengan program IDT di zaman dulu, yaitu sama-sama sebagai ”obat penawar” mengentaskan kemiskinan. Berkaca dari pelaksanaan IDT, dari sekian lama waktu dan banyaknya dana yang dipergunakan, bisa dkatakan belum ada fakta riil yang jadi indikator keberhasilan penanggulangan kemiskinan.

Diduga hal ini merupakan salah satu faktor penyebab program pengentasan kemiskinan selama ini tidak begitu efektif sebagai ”obat penawar” ketika diimplementasikan di lapangan. Untuk itu strategi penanggulangan kemiskinan harusnya berangkat dari tesis bahwa kemiskinan sebagai fenomena multidimensi. Penanggulangan kemiskinan tidak lagi bisa hanya mengandalkan bantuan uang semata. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang komprehensif untuk menguatkan masyarakat miskin sehingga memiliki daya untuk meningggalkan kotak kemiskinannya dengan kaki mereka sendiri.

Asumsi dari pemerintah yang memandang permasalahan kemiskinan di Indonesia secara umum dan parsial dengan formula kebijakan berupa penyeragaman berbagai bentuk program dengan pendekatan yang monolitik sentralistik telah mengakibatkan terjadinya bias kebijakan.

Pada titik inilah kemudian peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) / NGO mengambil peran dalam pengentasan kemiskinan dalam bentuk pemberdayaan masyarakat. Menilik sejarah lahirnya LSM/NGO sebagai gerakan alternatif terhadap hegemoni teori modernisasi dalam pembangunan. Konon, dari sinilah tumbuh ortodoksi yang kuat bahwa merajalelanya kemiskinan di Dunia Ketiga disebabkan karena gagalnya model pembangunan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh teori modernisasi atau doktrin developmentalisme.

Pada sisi lain, hubungan LSM dengan negara sama sekali tidak dapat dipisahkan mengingat keterbatasan negara dalam memenuhi setiap kebutuhan masyarakat. Terutama di dalam masyarakat yang sangat heterogen seperti di Indonesia ini. Kehadiran LSM yang tersebar luas dipenjuru nusantara merupakan suatu hal yang sangat niscaya. Bahkan sebagai contoh, di negara-negara seperti di Jepang, peran LSM/NGO merupakan hal yang sangat esensial dari pelaksanaan suatu pemerintahan.

Kehadiran LSM/NGO di negara-negara dunia ketiga memang sebuah keniscayaan mengingat euforia demokrasi sedang menggejala di setiap pelosok pemerintahan. Keberadaan LSM/NGO sangat diperlukan guna menopang rakyat kecil dan pengawas bagi kekuasaan yang seringkali arogan, sehingga tercipta pemerintahan yang demokratis.

Dalam proses pembangunan sebuah negara, LSM/NGO memainkan tiga jenis peranan yang sangat vital yaitu :
  1. Mendukung dan memberdayakan masyarakat pada tingkat “grassroots”, yang sangat esensial dalam rangka penanggulangan kemiskinan.
  2. Meningkatkan pengaruh politik yang luas, melalu jaringan kerja sama, baik di dalam negeri maupun dengan lembaga-lembaga internasional
  3. Ikut mengambil bagian dalam penentuan arah dan agenda pembangunan.
Dalam hal peranannya sebagai organisasi yang mempunyai peran non-politik, LSM/NGO dinilai mampu melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dalam hal penaggulangan kemiskinan. Terlepas dari semua kelemahan-kelemahan yang melekat pada LSM/NGO juga patut dinilai positif dalam proses melakukan pemberdayaan masyarakat dikarenakan sifat dasarnya yang mandiri, yang berangkat dari permasalahan masyarakat bawah.

Beberapa LSM yang terus senantiasa aktif melakukan pendampingan dan pemberdayaan terhadap masyarakat lemah seperti yang dilakukan oleh YLBHI, INFID, LP3ES, WALHI, JPPR, YTBI dll. Yang senantiasa aktif melakukan pemberdayaan masyarakat.

Kehadiran dan eksistensi LSM/NGO adalah suatu keniscayaan terhadap tumbuhnya kesadaran untuk pengentasan kemiskinan. Yang didalamnya terdapat suatu ruang yang bisa diisi oleh masyarakat guna melakukan aktivitas sosial, ekonomi, dan pengembangan masyarakat tanpa adanya dominasi oleh sekelompok kecil orang. Itu semua hanya mungkin diwujudkan melalui peran serta LSM/NGO dalam melakukan aktivitas sosial-politiknya. Yaitu sebagai organisasi yang menjembatani kepentingan rakyat dengan pemerintah, dan sebagai organisasi yang aktif dalam melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat dengan tujuan pengentasan kemiskinan yang membelit rakyat.

Pokok Masalah
Kemiskinan merupakan persoalan serius yang memerlukan penanganan secara intensif dan selalu diusahakan untuk diminimalisir karena kemiskinan adalah suatu fenomena yang sangat kompleks dan bersifat multifaset/multidimensional dan perlu ditangani secara bersama-sama oleh semua pihak. Sampai saat ini, Pemerintah---melalui program pemberdayaan masyarakat---masih belum sepenuhnya mampu mengatasi kemiskinan rakyat. Disinilah peran LSM/NGO diperlukan dan turut berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat.

Permasalahan utama yang sangat mendasar dalam hal pemberdayaan masyarakat oleh LSM/NGO adalah stigma LSM/NGO yang tumbuh disebagian dibenak masyarakat yang masih menaruh curiga terhadap kehadiran dan aktivitas dari LSM/NGO. Pada satu sisi LSM/NGO dipersepsikan alat bagi neo liberalisme atau agen Negara Asing, hal ini dikarenakan sebagian besar dana kegiatan-kegiatan yang dilakukan LSM/NGO di Indonesia di danai oleh negara asing dan tentunya ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh NGO untuk memperoleh dana tersebut. Disisi lain, sampai saat ini tidak ada mekanisme pertanggungjawaban LSM/NGO terhadap masyarakat.

Apa yang kita lihat selama ini adalah banyak sekali LSM yang sangat lemah dalam mengadopsi sistem manajemen moderen, ketergantungannya pada pola-pola hubungan patron-client, dan dalam sumber daya manusia. LSM di Indonesia dalam praktiknya juga masih terkungkung dalam wacana pembangunanisme (developmentalisme) yang tidak kritis terhadap masalah-masalah ketimpangan struktural, kelangkaan partisipasi, dan ketergantungan terhadap kekuatan diluar.

Yang disebut belakangan ini berbentuk ketergantungan pada negara maupun founding agencies baik dalam bentuk dana, keahlian, dan kemampuan. Sehingga LSM-LSM yang seharusnya bersinergi dan menampilkan diri sebagai aktor-aktor dalam gerakan-gerakan sosial baru (New Social Movement) ternyata lebih sering menampakkan diri sebagai agen-agen subkontraktor pembangunan dari lembaga-lembaga milik pemerintah maupun swasta asing.

Tentang LSM
Makin meningkatnya pendidikan dan tingkat pendapatan, terutama ketika terjadi ketidakpuasan di lapisan masyarakat, mulai timbul gejala baru dalam demokrasi, yaitu partisipasi. Dalam sejarah Barat, partisipasi itu timbul dari bawah, di kalangan masyarakat yg gelisah. Gejala itulah yg dilihat oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) seorang pengamat sosial Prancis dalam kunjungannya ke Amerika pada tahun 30-an abad ke 19 yakni timbulnya perkumpulan dan perhimpunan sukarela (voluntary association).

Selain menyelenggarakan kepentingan mereka sendiri, dengan melakukan berbagai kegiatan inovatif, perkumpulan dan perhimpunan itu juga bertindak sebagai pengimbang kekuatan negara (as a counter-weights to state power). Ada 3 macam peranan yg dijalankan oleh perkumpulan dan perhimpunan tersebut yaitu: Pertama, menyaring dan menyiarkan pendapat dan rumusan kepentingan yang jika tidak dilakukan pasti tidak akan terdengar oleh pemerintah atau kalangan masyarakat umumnya. Kedua, menggairahkan dan menggerakkan upaya-upaya swadaya masyarakat daripada menggantungkan diri pada prakarsa negara. Ketiga, menciptakan forum pendidikan kewarganegaraan, menarik masyarakat untuk membentuk usaha bersama (co-operative ventures) dan dengan demikian mencairkan sikap menyendiri (isolatif) serta membangkitkan tanggung jawab sosial yg lebih luas.

Perkumpulan dan asosiasi itulah yg kemudian menjadi “sokoguru masyarakat" (civil society). Dan apa yang disebut oleh Tocqueville itu tak lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dalam masyarakat Barat dewasa ini disebut sebagai Non Government Organisation (ORNOP, Organisasi non pemerintah) dan perkumpulan sukarela (voluntary association).

David Korten, seorang aktivis dan pengamat LSM memberikan gambaran perkembangan LSM. Ia membagi LSM menjadi 4 generasi berdasarkan strategi yg dipilihnya. Generasi pertama, mengambil peran sebagai pelaku langsung dalam mengatasi persoalan masyarakat. Pendekatannya adalah derma, dengan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang kurang dalam masyarakat. Generasi ini disebut sebagai "relief and welfare". LSM generasi ini memfokuskan kegiatannya pada kegiatan amal untuk anggota masyarakat yang menyandang masalah sosial.

Generasi kedua, memusatkan perhatiannya pada upaya agar LSM dapat mengembangkan kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Peran LSM di sini bukan sebagai pelaku langsung, tetapi sebagai penggerak saja. Orientasinya pada proyek-proyek pengembangan masyarakat. Generasi ini disebut sebagai small scale, self reliance local development.

Generasi ini melihat masalah sosial dengan lebih kompleks. Tidak sekedar melihat soal yang langsung kelihatan saja tapi juga mencari akar masalah. Fokusnya pada upaya membantu masyarakat memecahkan masalah mereka, misal program-program peningkatan pendapatan, industri kerajinan dan lain-lain. Semboyan yang populer adalah "Berilah Pancing dan Bukan Ikannya!"

Generasi ketiga, keadaan di tingkat lokal dilihat sebagai kiblat saja dari masalah regional atau nasional. Masalah mikro dalam masyarakat tidak dipisahkan dengan masalah politik pembangunan nasional. Karena itu penanggulangan mendasar dilihat hanya bisa dimungkinkan kalau ada perubahan struktural. Kesadaran seperti itulah yg tumbuh pada LSM generasi ini bersamaan dgn otokritiknya atas LSM generasi sebelumnya sebagai "pengrajin sosial". LSM generasi ini disebut sebagai "sustainable system development".

Generasi keempat disebut sebagai "people movement". Generasi ini berusaha agar ada transformasi struktur sosial dalam masyarakat dan di setiap sektor pembangunan yang mempengaruhi kehidupan. Visi dasarnya adalah cita-cita terciptanya dunia baru yg lebih baik. Karena itu dibutuhkan keterlibatan penduduk dunia. Ciri gerakan ini dimotori oleh gagasan dan bukan organisasi yang terstruktur.

Perjalanan LSM di Indonesia pada awal kemunculannya melalui perspektif sejarah dan mengacu pada pembagian generasi di atas, ada yang berpendapat bahwa cikal-bakal LSM di Indonesia telah ada sejak pra-kemerdekaan. Lahir dalam bentuk lembaga keagamaan yang sifatnya sosial/amal (dapat dikategorikan generasi pertama).

Tahun 50-an tercatat muncul LSM yg kegiatannya bersifat alternatif terhadap program pemerintah, dua pelopornya misal LSD (Lembaga Sosial Desa) dan Perkumpulan Keluarga Kesejahteraan Sosial. Tahun 60-an lahir beberapa lembaga yg bergerak terutama dalam pengembangan pedesaan. Pendekatan dengan proyek-proyek mikro menjadi ciri utama masa ini, terutama yang menyangkut aspek sosial ekonomi pedesaan. Pada kurun waktu ini pula lembaga-lembaga ini merintis jaringan kerjasama nasional misal lahir Yayasan Sosisal Tani Membangun yg kemudian berkembang menjadi Bina Desa, Bina Swadaya.

Ciri LSM yang muncul dan berkembang pada th 70-an merupakan fenomena yang unik. Ini dipengaruhi oleh ORBA. LSM merupakan reaksi sebagian anggota masyarakat atas kebijakan pembangunan yang ditempuh saat itu. Dasar penggeraknya adalah motivasi untuk mempromosikan peran serta dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Meski juga berorientasi pada proyek mikro, juga mengaitkan persoalan kebijaksanaan pada tingkat makro, Contohnya LSM yang lahir pada generasi ini adalah LBH, YLKI, LP3ES. Sejak masa itu sampai kini, perkembangan LSM di Indonesia sangat pesat. Visi, misi, pendekatan dan isu beragam.

Perkembangan LSM tidak bisa lagi dilihat secara linier dan mengikuti urutan waktu generasi per generasi. Perjalanan LSM di Indonesia sekitar tahun 1970-an disebut sebagai ORNOP yang merupakan terjemahan dari NGO. Ornop/NGO bisa merupakan satu lembaga bisnis (swasta), organisasi profesi, klub olah raga, kelompok artis, jama'ah aliran agama, lembaga dana, yang penting semua organisasi yang bukan pemerintah.

Interaksi antar kelompok ORNOP ini mempengaruhi tatanan sosial politik masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Masing-masing memperjuangkan kepentingannya dan pemerintah hanya berfungsi sebagai wasit (yang adil). Segala sesuatu dimulai dari masyarakat dalam suasana yang hampir-hampir bebas dari intervensi negara. Istilah ORNOP kemudian dirubah menjadi LSM karena di satu sisi, adanya kesan dan anggapan bahwa istilah ORNOP memiliki konotasi negatif seakan-akan melawan pemerintah (jaman ORBA alergi sekali dengan yg berbau oposisi, atau non-pemerintah).

Di lain pihak, dalam kalangan aktivisnya saat itu ada kesadaran bahwa gerakan mereka ini dilandasi oleh suatu misi positif, yakni mengembangkan kemandirian dan membangun kesadaran, tidak semata-mata "bukan pemerintah/non government". Pergeseran ORNOP menjadi LSM sebenarnya menimbulkan perbedaan arti, landasan ORNOP adalah untuk "non governmentalism", sedangkan LSM adalah "auto governmentalism" dengan kata lain yang dibangun oleh LSM bukan "non kepemerintahan" tetapi keswadayaan dan kemandirian. Penggantian istilah ORNOP menjadi LSM sesungguhnya telah memberikan perbedaan makna yang sangat mendasar.

Formalisasi kemudian dilakukan pemerintah terhadap LSM melalui UU. No. 4 tahun 1982 ttg pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (kemudian diatur pula dgn UU No. 8 tahun 1985 tentang keormasan, dan Inmendagri No. 8 tahun 1990). Pada pasal 19 UU No. 4 tahun 1982 disebutkan : "Lembaga Swadaya Masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan Lingkungan Hidup", sedangkan dalam penjelasannya LSM mencakup antara lain:
  1. Kelompok profesi yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan
  2. Kelompok hobi yang mencintai kehidupan alam terdorong untuk melestarikannya
  3. Kelompok minat yang berminat untuk membuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup.
Batasan, fungsi dan peran LSM dibandingkan dengan pengertian aslinya (dalam arti NGO) menjadi teredusir. Karena keberadaan LSM terutama saat ORBA sarat dengan intervensi pemerintah maka ada beberapa LSM yang kemudian dalam pergerakannya memakai bentuk Yayasan, karena Yayasan lebih fleksibel.

Dalam PBB, sejak tahun 1970-an, NGO memperoleh status resmi (consultative status). NGO juga mempunyai kode etik yang berlaku secara internasional. Sampai sekarang hampir semua kesempatan dalam pertemuan delegasi NGO berhak hadir dengan suara penuh/disediakan forum-forum khusus untuk NGO. Kehadiran NGO dalam sistem PBB ini telah pula dilembagakan secara permanen, di bawah UNDP, disebut NGO Forum, di Indonesia NGO Forum ini mungkin karena kekaburan makna dan keunikan LSM kita, sering menjadi olok-olok "Gongo" (Government NGO), atau LSM-LSM plat merah.

Perkembangan selanjutnya di Indonesia, UU No. 4 tahun 1982 digantikan oleh UU No. 23 tahun 1997, UU ini tidak menjelaskan definisi LSM, sementara itu UU. No. 8 tahun 1985 telah dicabut diganti dengan UU politik Dji Sam Soe/No. 2, 3, 4 yang tidak memuat mengenai LSM (jadi untuk sementara ini, LSM diatur dengan Inmendagri, tapi logikanya Inmendagri ini juga tidak berlaku karena peraturan yg di atasnya telah dicabut) dan kemudian di era Reformasi bentuk Yayasan pun mulai diintervensi pemerintah dengan dikeluarkannya UU Yayasan.

Pemecahan Masalah
Bahwa sampai saat ini dalam pemberdayaan masyarakat, peran pemerintah masih terbatas dan belum mampu sepenuhnya dalam penanggulangan kemiskinan. Disinilah perlunya peran dan keterlibatan LSM/NGO dalam melaksanakan program dan pemberdayaan masyarakat.

Untuk itu diperlukan pula reposisi LSM/NGO ditengah masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dalam bentuk :
  1. LSM/NGO perlu memfasislitasi tumbuh kembangnya kelembagaan rakyat yang kuat, yang bersifat sektoral, seperti pada organisasi buruh, petani, masyarakat adat dll.
  2. LSM/NGO perlu tampil ke publik luas, dalam arti semakin “go public” ke masyarakat, sehingga posisi dan perannya mampu lebih dirasakan oleh masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui penyebaran brosur, pertemuan dengan masyarakat, kerja sama dengan media cetak-elektronik seluas-luasnya.
  3. LSM/NGO perlu semakin aktif dalam membangun hubungan dengan berbagai elemen masyarakat sipil lainnya. Seperti media massa, mahasiswa, serikat buruh, petani, partai politik dengan tetap mengedepankan nilai dan sikap non-partisan.
  4. Perlunya penguatan LSM/NGO sebagai sebuah entitas dan komunitas yang spesifik di dalam masyarakat sipil, dan penguatan institusionalisasi LSM/NGO dalam hal eksistensi, sumber daya manusia, sarana, dana, dan manajemen. LSM/NGO juga perlu lebih membuka diri untuk menjadi organisasi yang lebih berakar di masyarakat.
  5. LSM/NGO juga dituntut untuk senantiasa membenahi kondisi internal dalam tubuh. Organisasinya, mengingat ini seringkali tidak diperhatikan dalam forum evaluasi oleh LSM/NGO yang bersangkutan.
Kedepan yang juga perlu diangkat adalah hubungan antara LSM/NGO dengan kelembagaan lokal. Karena sebagaimana yang telah disinggung di atas, lembaga di tingkat lokal adalah kekuatan yang potensial bagi NGO/LSM sebagai organisasi yang independen.

Seringkali dalam melakukan aktivitas atau kegiatannya LSM sering menempatkan rakyat sebagai subordinat yang harus senantiasa bergantung pada kelompok kelas menengah yang tergabung dalam LSM. Ini menjadikan masyarakat seolah hanya mengikuti kehendak dari para aktivis LSM itu sendiri, sehingga fungsi sosialnya sebagai organisasi yang melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat menjadi hilang.