Catatan-catatan kecil tentang otonomi daerah

Sebenarnya peringatan kelahiran otonomi daerah sudah lewat. Kini otda sudah ber-umur 13 tahun. Mumpung masih bulan mei, terbersit ide untuk turut memperingati kelahiran otda dengan membuat postingan yang bertema otda. Untuk itu saya “menghimpun” banyak artikel untuk saya “resume” menjadi artikel atau semacam catatan-catatan kecil. Tulisan dibawah adalah bagian pertama, catatan-catatan kecil tentang terkait otonomi daerah :
  1. Otonomi bukan hanya berbicara tentang uang, dan kekuasaan. Otonomi adalah bagaimana bangsa ini dengan otonomi daerah mampu memberdayakan semua wilayah di negeri ini untuk bergerak maju bersama. Otonomi bukan terletak pada APA YANG DAPAT DIKERJAKAN, TETAPI BAGAIMANA PEMERINTAH DAN PEMDA mengelola hak dan kewenangan yang dimilikinya.
  2. Tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pemda setelah menerima otonomi seluas-luasnya memang tidak semudah yang kita bayangkan. Yang paling penting adalah bagiamana masyarakat di daerah memiliki kepercayaan dan kolaborasi yang baik terhadap aparat pemerintah dan pemda sekarang.
  3. otonomi daerah tidak hanya merupakan peristiwa formalisme dan ritual belaka, namun sungguh-sungguh mendatangkan iklim pembaharuan roda pemerintahan daerah yang sanggup menerima, mengisi dan memperbaiki kehidupan sosial di tengah-tengah bangsa yang sedang membangun ini.
  4. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami lompatan tajam dari sentralisasi menjadi desentralisasi, seiring diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Gelagat pemerintah untuk menarik kembali desentralisasi (resentralisasi) ini terlihat dari tidak seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan desentralisasi, misalnya menyangkut koordinasi antar pemerintahan daerah, yang mengakibatkan disharmonisasi hubungan antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota berjalan sendiri-sendiri dan tidak lagi “patuh” pada propinsi, karena ia merasa bukan lagi menjadi bawahan dari Gubernur. Kondisi ini dibiarkan saja oleh pemerintah pusat, bahkan justru dijadikan sebagai alasan untuk menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 telah mengalami kegagalan. Sehingga kehendak untuk mervisi UU tersebut cukup mendapatkan alasan pembenarnya.
  5. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah direvisi, bahkan bisa dikatakan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Jika dilihat dari semangatnya, UU No. 32 Tahun 2004 seolah-olah diarahkan untuk memperkuat otonomi daerah, yakni dengan merevisi penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dari semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.
  6. Jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan beberapa semangat untuk menarik kembali desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama, dalam UU ini tidak lagi dikenal istilah kewenangan pemerintahan daerah, melainkan diubah menjadi urusan pemerintahan daerah, karena kewenangan memiliki konotasi dengan politis yakni kedaulatan. Sedangkan kata urusan konotasinya hanya pada aspek administratif saja. Kedua, semakin menguatnya pola pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. 
  7. Beberapa peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik desentralisasi. Sebut saja misalnya (1). PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan (2). PP No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Fenomena pasang surut penyelenggaraan desentralisasi inilah perlu adanya pemetaan kembali perjalanan desentralisasi pasca UU No. 32 Tahun 2004.