Rabu, 17 Oktober 2012

sekilas tentang penilaian kinerja


secara umum penilaian kinerja merupakan kunci penting menuju perbaikan dan
kemajuan baik bagi suatu lembaga maupun individu. hanya dengan penilaian kinerja,
suatu lembaga atau individu dapat mengetahui apakah mereka telah berhasil dalam
mencapai tujuan, atau tidak. bila tidak diketahui hasilnya, maka jenis dan tingkatan
insentif tidak dapat diusulkan atau diberikan. selain itu, dengan melihat kesuksesan atau
kegagalan maka seseorang pengambil keputusan atau lembaga dapat belajar dan
menjadi sadar terhadap tingkat efektivitas dari cara yang ditempuh selamaini. jadi,
melakukan penilaian kinerja itu sendiri merupakan arena belajar yang sangat efektif
bagi individu dan organisasi (lihat osborne & gaebler, 1992, 146-155).

meskipun demikian, cara pandang terhadap penilaian kinerja sangat bervariasi
sesuai dengan paradigma yang dianut. sebelum era reformasi berkembang paradigma
birokrasi klasik, human relations dan human resources, yang banyak memberi warna
terhadap dinamika penilaian kinerja. paradigma birokrasi klasik misalnya, memandang
aparat sebagai faktor produksi (model “economic man”) yang dapat dimanipulasi.
evaluasi merupakan alat untuk menentukan jenis manipulasi yang pantas diberikan
(model “tell and sell”) baik berupa insentif maupun hukuman. sedangkan paradigma
human relations melihat aparat sebagai makhluk sosial (model “social man”) yang
kebutuhan sosialnya perlu dipenuhi, sehingga evaluasi kinerja merupakan alat untuk
mendengarkan keluhan mereka (model “tell and listen”). disamping itu, paradigma
sumberdaya manusia memandang aparat sebagai sumberdaya (model “human
resources”) yang harus dikembangkan untuk meningkatkan martabatnya sekaligus
pencapaian tujuan organisasi. dalam hal ini kegiatan evaluasi kinerja bertujuan untuk
memecahkan masalah (model “problem-solving”) baik menyangkut perbaikan metode
dan teknik yang digunakan dan optimalisasi hasil yang dicapai.

di era reformasi ini, berkembang paradigma manajemen publik baru (lihat
hughes, 1994; ferlie, dkk, 1997) yang mengoreksi paradigma terdahulu yang kurang
efektif dalam memecahkan masalah, memberikan pelayanan publik, termasuk
membangun masyarakat. gerakan “reinventing government” atau “post-bureaucratic
management” merupakan wujud nyata dari paradigma tersebut. manajemen publik baru
ini telah mengalami berbagai perubahan orientasi atau model, seperti model pertama
adalah “the efficiency drive”, model kedua adalah “downsizing and decentralization”,
model ketiga yaitu “in search of excellence” dan model terakhir yaitu “public service
orientation”. dan model terakhir menekankan pada kualitas, misi, dan nilai-nilai yang
hendak dicapai organisasi publik, perhatian yang lebih besar kepada aspirasi,
kebutuhan, dan partisipasi user dan warga masyarakat, memberikan otoritas yang lebih
tinggi kepada pejabat yang dipilih masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka,
menekankan “societal learning” dalam pemberian pelayanan publik, dan penekanan
pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi masyarakat dan
akuntabilitas