hal yang sulit dipungkiri bahwa  lahirnya  undang-undang bagi penyelenggaraan otonomi daerah, adalah merupakan jawaban sementara (antitesis) dari telah diselenggarakannya paradigma dan azas penyelenggaraan pemerintahan  yang sentralistis menuju desentralistis. hal ini terjadi karena secara historis pragmatis bahwa dengan telah dilaksanakannya penyelenggaraan pemerintahan    yang cenderung  sentralistis dan otoritarian  telah menyeret sekaligus menjerumuskan  bangsa indonesia kepada kondisi keterpurukan.
apabila kita mencermati  pendapat osborne & gaebler (1996),  “dimana dalam dunia sekarang ini, sesuatu hanya akan berjalan lebih baik jika mereka  yang bekerja di organisasi publik mempunyai otoritas yang cukup  untuk mengambil keputusannya  sendiri”.
otoritas  untuk menjalankan rumah tangga sendiri (otonomi) hanya memungkinkan  apabila ada kewenangan yang didesentralisasikan. dimana kewenangan didispersikan secara seimbang dari pusat atau hulu  (core) kekuasaan  ke pinggiran (pheryphery). dalam konteks  pemerintahan, artinya  terjadi pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintahan dibawahnya karena secara organisasional hal tersebut  penting sebagai alasan cukup    dan memadainya proses penyelenggaraan   pemerintahan di daerah dapat diselenggarakan.  oleh karena itu pula maka  desentralisasi menjadi mutlak dilakukan. pengertian   desentralisasi konteksnya disini sebagaimana   dinyatakan  oleh sadu wasistiono (2002 ; 18),  adalah merupakan suatu prakondisi yang mutlak (conditio sine qua none)  bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dimana  pusat melakukan   transfer kewenangan   dan kewajiban fungsi-fungsi sosialnya  kepada pemerintahan dibawahnya serta kepada   organisasi-organisasi non-pemerintah atau sektor publik lainnya.  
menutut litvack & seddon ( dalam sadu wasistiono 2002; 18), ada empat tipe desentralisasi berikut ciri-cirinya, yaitu ; 1). desentralisasi  politik; 2). desentralisasi administratif;  3). desentralisasi fiskal; 4). desentralisasi ekonomi atau pasar.  tanpa mengecilkan ketiga tipe desentralisasi lainnya,  desentralisasi politik memegang peranan yang sangat strategis konteksnya dengan strategi pembangunan politik lokal. asumsi ini lebih didasarkan kepada argumen filosofis dimana  desentralisasi  hakikatnya secara mendasar  adalah merupakan suatu upaya  mendudukkan kembali  kedaulatan rakyat (souvereignity of peoples), sehingga proses pembagian kekuasaan  dan pendelegasian kewenangan  dalam suatu negara seharusnya diletakkan kepada  pengembalian hak-hak dasar rakyat   sebagai pemegang kedaulatan  yang hakiki dalam  bentuk-bentuk kompensasi publik.
sisi lain  desentralisasi sering pula dimaknai  sebagai suatu spirit sekaligus instrumen pelaksana bagi ide-ide dasar  demokrasi , sehingga didalamnya memuat  prinsip-prinsip: pertama, pengakuan terhadap  kepentingan individual masyarakat, termasuk kepentingan hakiki  masyarakat dalam mengambil bagian penting  dalam berbagai  urusan publik (pemerintahan); kedua,  sebagai bentuk penghormatan  negara terhadap persamaan hak dan kedudukan  setiap warga negara  dalam  politik, pemerintahan, didepan hukum dan dalam bidang ekonomi; ketiga, sebagai bentuk kontrak kepentingan (neccesity of compromise) antara  negara dengan warganya; keempat , cara rakyat meminta dengan tegas  pengembalian kebebasan hakiki dan individualnya  (insistence of individual  freedom). sehingga maksud diselenggarakannya desentralisasi meliputi perlindungan pula hak-hak dasar baik sebagai individu maupun sosial, baik sebagai warganegara (citizen)  maupun sebagai masyarakat (society). dengan demikian dalam pengertian yang seutuhnya, ruang lingkup desentralisasi tidak sebatas kepada desentralisasi pemerintahan saja, melainkan desentralisasi terhadap pengakuan  keseluruhan  khasanah kehidupan dan kedaulatan rakyat secara individual, sosial  maupun politis yang  benar-benar proporsional, dewasa dan mandiri. sehingga pengertian otonomi dalam pelaksanaannya  bukan saja otonomi daerah melainkan sekaligus otonomi masyarakat. dalam posisi ini desentralisasi menjadi bikondisional yang saling menguatkan dengan peletakkan azas-azas demokrasi, sebagaimana  dinyatakan dede mariana : ”desentralisasi tanpa demokratisasi  tampaknya cenderung menghasilkan  otonomi pemerintah,  dan bukan otonomi masyarakat di daerah. konsekuensinya, dinamika politik lokal tidak  menjadi proses  politik yang mendorong  terciptanya iklim kondusif bagi demokratisasi. sehinga makna demokrasi  tidak berkembang dan tidak menjadi budaya politik”
menanggapi pernyataan dede mariana diatas, pertanyaan bagi permasalahan intinya   adalah bagaimana  desentralisasi  yang dilaksanakan agar  menjadi sebuah titik acu  bagi proses pembelajaran politik  yang akan melahirkan budaya politik tinggi/bermartabat (civil polities) sehingga memungkinkan tercapainya  otonomi masyarakat yang sesungguhnya. yaitu  sebuah tatanan masyarakat  yang memiliki ciri-ciri  mandiri, bebas, terbuka dan bertanggungjawab sebagaimana diistilahkan oleh karl r. popper sebagai  masyarakat terbuka (open society). dimana  ” munculnya  kepercayaan  baru  terhadap akal, kebebasan,  dan persaudaraan  antar semua umat manusia di semua  lapisannya (leverage) ( popper , 2002 : 228)”.
