ini merupakan suatu fenomena baru dalam keseharian dalam kehidupan masyarakat di kabupaten hulu sungai selatan. ditelisik ternyata para penjual roti keliling, penjual pentol dan pns adalah para migran berasal dari jawa tengah, jawa barat dan jawa timur.
sebenarnya dalam sejarah kabupaten hulu sungai selatan bukanlah tempat tujuan dan tempat yang “favorit” para migran. hal ini dikarenakan kabupaten hulu sungai selatan bukanlah sejak dahulu bukan daerah tujuan dari para migran yang berasal dari berbagai wilayah di indonesia. sebagai kabupaten hulu sungai selatan bukan “sentrum” dari berbagai kegiatan pembangunan, baik perdagangan, industri sampai dengan administrasi dan pembangunan politik. sehingga boleh dikatakan kabupaten hulu sungai selatan tidak memiliki daya tarik yang kuat bagi penduduk dari daerah-daerah lain.
walaupun demikian keberadaan para pedagang roti keliling, pedangan pentol dan orang luar daerah yang jadi pns di kabupaten hulu sungai selatan bila dilihat secara ”statistik” persentasinya relatif kecil, tapi sebagai suatu fenomena sosial dalam dinamika kependudukan di kabupaten hulu sungai selatan sangat menarik untuk diamati dan dipelajari. kenapa mereka itu memutuskan migrasi ke kabupaten hulu sungai selatan bukan ke daerah lain. motif dan faktor apa yang melatar belakangi. serta dampak atau pengaruh apa yang timbul terhadap tingkat kemiskinan masyarakat di kabupaten hulu sungai selatan.
untuk menjawab pertanyaan tersebut, makalah ini akan mengkaji beberapa teori tentang pola migrasi, motif atau latar belakang munculnya migrasi dan dampak migrasi terhadap tingkat kemiskinan penduduk di daerah tujuan migrasi.
migrasi penduduk dan perubahan ekonomi
proses keputusan migrasi
manusia bukanlah makhluk yang berpindah-pindah, namun manusia merupakan makhluk yang tidak pernah diam. perpindahan merupakan bagian dari proses adaptasinya dengan lingkungan sosial, ekonomi, kebudayaan dan ekologi. oleh karenanya, mobilitas penduduk dalam pelbagai wujudnya jarang mencerminkan adaptasi dalam pengertian yang sederhana.
mobilitas penduduk di suatu wilayah terjadi karena adanya faktor yang mendorong dan menarik dalam suatu wilayah (push-pull factors). kondisi sosial ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan (needs) seseorang menyebabkan orang tersebut ingin pergi ke daerah lain yang dapat memenuhi kebutuhannya. jadi antara daerah asal dan daerah tujuan terdapat perbedaan nilai kefaedahan wilayah (place utility).
daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal untuk dapat menimbulkan mobilitas penduduk. dengan kata lain, jika dikaitkan dengan pembangunan, dapat dikemukakan bahwa ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan faktor yang menjadi pemicu mobilitas penduduk.
terdapat empat kelompok faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi, yaitu :
1. faktor-faktor yang terdapat di daerah asal
2. faktor – faktor yang terdapat di daerah tujuan
3. penghalang antara
4. faktor – faktor pribadi
dalam setiap daerah banyak sekali faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap di situ atau menarik orang untuk pindah kesitu, serta ada pula faktor-faktor lain yang memaksa mereka meninggalkan daerah itu. beberapa faktor itu mempunyai pengaruh yang sama terhadap beberapa orang, sedangkan ada faktor yang berpengaruh berbeda terhadap seseorang. oleh karenanya akan terdapat perbedaan sikap antara setiap migran dan calon migran terhadap faktor + dan -, yang terdapat baik di daerah asal maupun daerah tujuan.
keputusan bermigrasi dalam konteks ini merupakan hasil perbandingan faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan di daerah tujuan. selanjutnya, diantara dua tempat itu selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaan-keadaan tertentu tidak terlalu berat, tetapi dalam keadaan-keadaan lain tidak dapat diatasi.
sejumlah rintangan yang sama tentu dapat menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda pada orang yang satu dengan yang lainnya, yang akan mempengaruhi keputusan bermigrasi. akhirnya masih banyak faktor pribadi yang berpengaruh terhadap seseorang yang akan pindah, faktor-faktor itu dapat mempermudah atau memperlambat migrasi.
karakteristik migran
sebagai akibat dari proses yang mendasari dalam pengambilan keputusan bermigrasi, migran memiliki beberapa karakteristik khusus yang perlu dipahami dalam memahami fenomena migrasi itu sendiri.
- migrasi itu selektif. migran umumnya bukanlah ‘orang-orang sembarangan’ di daerah asalnya. reaksi orang berbeda terhadap faktor-faktor yang bersifat positif maupun negatif yang terdapat di tempat asal dan tempat tujuan. selain itu, kemampuan mereka untuk mengatasi rintangan-rintangan antara daerah asal dengan daerah tujuan itu tidak sama. sifat selektif tersebut terdiri dari selektif positif dan selektif negatif. sifat positif berarti bahwa migrasi itu melibatkan orang-orang yang berkualitas tinggi dan negatif adalah sebaliknya.
- jika migran-migran itu diperhatikan secara keseluruhan, seleksi itu cenderung bersifat bimodal atau dua bentuk. artinya migran masuk di suatu daerah bisa terdiri dari kelompok seleksi positif (dipengaruhi oleh faktor positif di daerah tujuan) dan kelompok seleksi negatif (didorong oleh faktor negatif di daerah asal).
- tingkat seleksi positif bertambah sebanding dengan kesulitan dari rintangan-rintangan yang menghambat. semakin tinggi kesulitan dalam menghadapi rintangan-rintangan dari daerah asal ke daerah tujuan, maka migran yang masuk ke suatu daerah tujuan cenderung merupakan migran hasil seleksi positif.
- ada kecenderungan bahwa migran mempunyai ciri-ciri diantara ciri-ciri penduduk daerah asal dan ciri-ciri penduduk daerah tujuan. bahkan sebelum meninggalkan tempat asalnya, para migran cenderung sudah mengambil beberapa sifat dari penduduk di daerah tujuan, akan tetapi mereka tidak dapat melepaskan sama sekali beberapa dari ciri yang telah dimilikinya di daerah asalnya. hal ini disebabkan karena mereka dalam beberapa hal sudah menyukai penduduk di tempat yang mereka tuju, tempat mereka menemukan beberapa faktor positif. sifat mereka tidak lagi sepenuhnya seperti penduduk di tempat asal, karena ada faktor-faktor negatif tertentu yang menyebabkan mereka pindah.
volume migrasi di dalam suatu wilayah tertentu bervariasi sesuai dengan tingkat keanekaragaman daerah-daerah di dalam wilayah itu keanekaragaman daerah-daerah di dalam suatu wilayah tertentu, akan cenderung membuka peluang pekerjaan/berusaha yang berbeda-beda pada masing-masing daerah, dan akan cenderung meningkatkan volume migrasi
besarnya volume migrasi sebanding dengan keanekaragaman orang. keanekaragaman penduduk menunjukkan adanya kelompok-kelompok yang mempunyai keahlian dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. volume migrasi berkaitan dengan kesulitan mengatasi penghalang antara. hal ini terkait dengan kemampuan migran mengatasi penghalang antara tersebut.
volume migrasi bervariasi sebanding dengan fluktuasi ekonomi, dan volume migrasi sebanding dengan kemajuan keadaan di suatu negara atau wilayah
semakin maju perekonomian suatu wilayah, migrasi cenderung akan meningkat. oleh karenanya, fluktuasi ekonomi juga akan menyebabkan fluktuasi dan variasi dalam volume migrasi. volume migrasi makin cenderung meningkat, kecuali bila diadakan rintangan yang ketat. volume migrasi cenderung terus meningkat berdasarkan beberapa alasan, antara lain karena meningkatnya keanekaragaman daerah dan keanekaragamman penduduk serta berkurangnya faktor-faktor penghalang antara.
migrasi dan motif ekonomi
para pakar ilmu sosial melihat migrasi penduduk dari sudut proses untuk mempertahankan hidup (wilkinson:1973; broek, julien van den:1996). proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. meskipun demikian, banyak studi memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk keputusan serta motivasi yang diambil oleh induvidu akan sangat berlainan, antara karena alasan ekonomi dengan karena alasan politik (peterson,w:1995; kunz, e.f.;1973).
perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migraton). para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. dalam hubungan ini tidak ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi.
dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisa mobilitas penduduk. teori-teori tersebut selama ini telah mengalami perkembangan yang sangat mendasar. sejak teori mobilitas klasik “individual relocaton” yang dikembangkan oleh ravenstein pada tahun 1985, saat ini telah berkembang teori yang menekankan pada unsur sejarah, struktural, maupun kecenderungan global (zolberg, aristide, r. : 1989).
teori yang berorientasikan pada neoclassical economics sebagai contoh, baik makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisi kerja antar daerah atau antar negara, serta biaya, dalam keputusan seseorang melakukan migrasi. menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. aliran “new economics of migration”, dilain pihak beranggapan bahwa perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. aliran ini juga menekankan bahwa keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan individu saja, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga. dalam hal ini keputusan untuk pindah tidak semata ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan berbagai hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar (market failures) (taylor; 1968; stark; 1991).
berbeda dengan keputusan individu, keluarga atau rumah tangga berada pada posisi yang lebih mampu menangani resiko ekonomi rumah tangga pada saat migrasi dilakukan, melalui diversivikasi alokasi berbagai sumber yang dimiliki oleh keluarga atau rumah tangga, seperti misalnya dengan alokasi tenaga kerja keluarga. beberapa anggota rumah tangga tetap bekerja di daerah asal, sementara yang lain bekerja di luar daerah ataupun luar negara.
pembagian tersebut pada dasarnya merupakan upaya meminimalkan resiko terhadap kegagalan yang mungkin terjadi akibat melakukan perpindahan atau migrasi. selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan rumah tangga tersebut memperoleh penghasilan yang memadai maka pengiriman uang (remittances) yang dikirim dari anggota rumah tangga yang bekerja diluar daerah ataupun luar negara dapat membantu menopang ekonomi rumah tangga.
aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah dual labor market theory. jika dua pendekatan terdahulu dapat dikelompokkan sebagai “micro-level decision model”, maka aliran “dual labor market theory” mengemukakan bahwa migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja yang bersifat hakiki (intrisic labor demand) pada masyarakat industri modern (piore: 1979).
menurut paham ini migrasi terjadi karena adanya keperluan akan klasifikasi tenaga kerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju. dengan demikian migrasi terjadi bukan karena push factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors pada daerah tujuan; keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak mungkin dielakkan.
mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan penduduk. penduduk akan berpindah menuju tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang lebih berkembang secara ekonomi dibandingkan dengan tempat asalnya.
kemudian bila ditilik dari pola dan kenyataan migrasi penduduk di indonesia sangat jelas memperlihatkan keterkaitan dan hubungan antara strategi pembangunan ekonomi dengan pola mobilitas penduduk.
migrasi keluar dari pulau jawa terbanyak masuk ke pulau sumatera. demikian juga migrasi keluar dari pulau-pulau di kawasan timur indonesia seperti kalimantan, papua, maluku, kebanyakan masuk ke pulau jawa. gambaran diatas memperlihatkan bahwa pola migrasi di indonesia belum mampu mendorong pembangunan sumber daya manusia secara merata diseluruh kawasan indonesia. ada kecenderungan migrasi internal yang terjadi justru berdampak negatif pada pembangunan daerah di luar pulau jawa, khususnya kawasan timur indonesia. tenaga kerja terdidik dari luar jawa pada umumnya pindah ke pulau jawa terutama ke dki jakarta dan jawa barat.
sebaliknya penduduk yang pindah keluar pulau jawa pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. kurangnya kesempatan kerja di luar pulau jawa merupakan alasan utama mengapa para tenaga kerja terdidik dari pulau jawa enggan pindah ke luar pulau jawa. selain itu terpusatnya kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di pulau jawa juga memberikan pengaruh pada pola perpindahan penduduk tersebut.
ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnyamenyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah perkotaan dan daerah perdesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal, seperti kawasan timur indonesia.
sebagai contoh, adanya mobilitas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan dan ketidak merataan fasilitas pembangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan. selama masih terdapat perbedaan tersebut, mobilitas penduduk akan terus berlangsung (tjahyati, budi : 1995).
apalagi telah menjadi kenyataan yang secara umum diketahui bahwa pada beberapa negara berkembang, konsentrasi investasi dan sumber daya pada umumnya berada di daerah perkotaan (rondineli and ruddle: 1978 ). kenyataan tersebut semakin diperburuk karena perencanaan spasial di negaranegara berkembang lebih didominasi oleh pendekatan “dari atas” (stohr and taylor: 1981).
strategi pembangunan semacam ini didasarkan pada tujuan utama dari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ( rondinelli and rudlle: 1978). karena itu proses pembangunan terutama dipusatkan pada sektor industri di daerah perkotaan, menekankan pada kegiatan ekonomi padat modal dan teknologi tinggi. perluasan industri cenderung diikuti dengan kebijaksanaan subtitusi impor dalam rangka meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. (potter: 1985).
sebagai tanggapan atas proses pembangunan secara keseluruhan, pendekatan “dari bawah” (bottom-up) kemudian banyak dianut. melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk dari pada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi (hansen: 1981). karena itu pendekatan “bottom-up” berupaya mengoptimalkan penyebaran sumber daya yang dimiliki dan potensial keseluruh wilayah. banyak pemerintah di negara-negara sedang berkembang mengikuti aliran ini dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan pembangunan, dalam arti memanfaatkan ruang dan sumber daya secara efisien.
pendekatan bottom-up mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. oleh karena itu otonomi yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada masing-masing daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau kawasan yang bersangkutan. melalui otonomi daerah, yang berarti desentralisasi pembangunan, laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di seluruh indonesia.
beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah adalah: (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masing-masing
daerah; dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing.
kata kunci kedua mengandung makna pada adanya kenyataan bahwa masingmasing daerah memiliki potensi baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi geografis yang berbeda-beda, yang meyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai “pengatur kebijaksanaan pembangunan nasional” tetap diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi.
dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sitem pajak, keamanan warga, sistem perbankan dan berbagai pengaturan lain yang dapat diputuskan daerah sendiri, akan dimungkinkan perpindahan penduduk secara sukarela dengan tujuan semata-mata peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. akan berbeda dengan perpindahan yang lebih berupa suruhan, desakan atu malah setengah paksaan, yang bahkan hanya akan menghasilkan mobilitas yang bersifat “dukalara” semata.
pengalaman dan kenyataan yang ditemui dalam arus dan perpindahan penduduk di negara-negara bagian amerika serikat ataupun negara-negara anggota uni eropa, telah menunjukkan bahwa otonomi yang nyata dan bertanggung jawab telah berhasil mengarahkan mobilitas penduduk yang bersifat sukarela tersebut.
migrasi dan kemiskinan penduduk
kedatangan migran di daerah tujuan berdampak positif maupun negatif, tergantung pada sudut pandang masing-masing pihak terlibat. dari sisi pelaku migrasi, melakukan mobilitas ke suatu daerah merupakan suatu hal yang positif karena mereka dapat memperoleh penghasilan/upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya perpindahan.
sebaliknya, arus migrasi ke daerah tujuan yang cukup besar pada umumnya dipandang negatif bagi kepentingan daerah yang memerlukan peningkatan kualitas dan kuantitas fasilitas sosial, lingkungan, keindahan dan ketertiban. pelaku migrasi ke daerah tujuan (utamanya kelompok pendatang dengan kualitas rendah) menimbulkan berbagai masalah, antara lain berkembangnya kawasan permukiman kumuh, degradasi lingkungan, kerawanan sosial dan tindak kriminal, dan permasalahan pengangguran serta kemiskinan.
migrasi memberikan dampak cukup serius terhadap kekumuhan permukiman di daerah tujuan. pada umumnya para migran kurang memperhatikan kondisi lingkungan tempat tinggalnya selama berada di daerah tujuan. selain dicirikan oleh pemilihan lokasi tempat tinggal yang kumuh, para migran pada umumnya terkonsentrasi pada berbagai jenis pekerjaan di sektor informal. para migran cenderung mendominasi pekerjaan-pekerjaan sebagai penjual makanan dan minuman (baik diproduksi sendiri maupun diambil dari orang lain), penjual rokok dan sejenisnya. pada umumnya mereka menjual dagangannya secara berkeliling atau menggunakan ‘lapak’ sebagai pedagang kaki lima.
jenis pekerjaan lain yang cukup banyak dilakukan oleh migran adalah pekerjaan sebagai pemulung, kuli bangunan dan pekerja kasar lainnya. terkonsentrasinya migran pada pekerjaan-pekerjaan di sektor informal ini adalah karena sektor ini sangat mudah dimasuki, walau oleh mereka yang tidak memiliki ketrampilan atau pendidikan formal. sektor informal menyediakan berbagai barang dan jasa (misalnya tenaga kerja kurang terampil/kurang terdidik untuk kebutuhan pembangunan fisik suatu daerah), bahkan sebagian bisa mendukung keberlangsungan kehidupan sektor formal. walaupun bisa memberikan sumber pekerjaan dan pendapatan bagi migran dan sebagian penduduk lainnya, sejumlah kalangan menganggap bahwa keberadaan sektor informal hanya memberikan kontribusi kecil terhadap perekonomian.