Minggu, 10 Juni 2012

Belajar 2 # postingan tentang konsep partisipasi lagi

Untuk postingan yang kedua dinihari ini, seperti postingan pertama : belajar 1# : konsep partisipasi. postingan yang kedua ini masih tentang konsep partisipasi. Tapi dalam postingan yang kedua ini, pembahan tentang konsep partisipasi lebih pada tinjauan partisipasi dalam perspektif perundang-undangan.

Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60 an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.

Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD’45 yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga Negara, dan partisipasi politik sebagai prinsip dasar demokrasi. Presiden Suharto sejak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “top-down”.

Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Dalam kaitan ini masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa tidak memiliki dan tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan tersebut.

Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrument hukum berupa undangundang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapatkan aspirasi masyarakat, dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.

Selain UU 32/2004, berbagai peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU 25/2004 tentang system perencanaan pembangunan nasional (SPPN), UU no.7/2004 tentang sumber daya air, UU No.20/2003 TENTANG Sistem Pendidikan Nasional, UU No.23/1992 tentang kesehatan, UU No.24/1992 tentang penataan ruang, UU No.41/1999 tentang kehutanan, dan masih banyak lagi peraturan yang secara sektoral mengatur partisipasi masyarakat. Semua peraturan tersebut pada intinya memberikan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya.

Sesungguhnyalah penyusunan kebijakan publik sejak awal harus melibatkan masyarakat secara bersama-sama menentukan arah kebijakan (model bottom-up), sehingga melahirkan suatu kebijakan yang adil dan demokratis. Pembuat kebijakan yang demokratis menawarkan dan mejunjung tinggi pentingnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Melalui cara partisipatif seperti itu akan melahirkan suatu keputusan bersama yang adil dari pemerintah untuk rakyatnya, sehingga akan mendorong munculnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Keputusan pemerintah yang mencerminkan keputusan rakyat akan mendorong terjadinya suatu sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Model bottom-up ini memiliki kelemahan yakni prosesnya sering kali lamban dan tidak didukung oleh dana yang memadahi dan seringkali rencana dibuat jauh melebihi kemampuan anggaran dana yang dimiliki, sehingga kegiatan pembangunan tidak dapat direalisasikan. Ketidakseuaian antara rencana dan anggaran yang dimiliki daerah disebabkan karena rencana rencana dibuat berdasarkan pada kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan bukan kebutuhan nyata (real need). Pasca reformasi, partisipasi masyarakat menjadi perbincangan banyak kalangan mulai dari penyelenggara negara sampai masyarakat dipelosok negeri ini.

Aparat Negara mengerti betul bagaimana sebuah kebijakan harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif, dan apabila mereka ditanya jawabanya adalah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Kenyataannya, sampai sekarang masih terjadi gap atau jarak yang tak terjamah oleh publik dalam memberikan masukan untuk menentukan kebijakan pembangunan. Instrumen hukum yang mengatur partisipasi masyarakat belum menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat itu dilaksanakan, sehingga partisipasi hanya sebatas wacana tanpa ketahuan seperti apa bentuk dan implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini akan mendeskripsikan implementasi partisipasi publik di Indonesia, sehingga diperoleh pemahaman mengenai bagaimana mekanisme perencanaan partisipasif disusun oleh pemerintah dan masyarakat.