Partisipasi Masyarakat, Komunikasi dan Pembangunan Desa

Dalam pembangunan desa terutama, partisipasi masyarakat merupakan syarat keberhasilan pembangunan desa, sebagaimana Ndraha (1982 : 17) berpendapat bahwa “Pembangunan desa adalah pembangunan yang sepanjang prosesnya masyarakat desa yang bersangkutan diharapkan berpartisipasi aktif dan dikelola ditingkat desa”

Berkaitan dengan partisipasi masyarakat banyak ahli yang mengemukakan pendapatnya, berikut   Davis (dalam Ndraha, 1994:87), yaitu : Participation is defined as mental and emotional involvement of person in a group situation which  encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them.(partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional seseorang kedalam suatu kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha  mencapai  tujuan   serta   bertanggung   jawab  terhadap usaha yang dilaksanakan untuk kelompoknya)

Dari pendapat diatas menurut Ndraha ada tiga hal penting yang tercakup didalamnya yaitu :
  1. Titik berat partisipasi adalah pada keterlibatan mental dan emosional. Kehadiran secara pribadi/ fisik di dalam suatu kelompok tanpa keterlibatan tersebut bukanlah partisipasi.
  2. Kesediaan untuk memberi kontribusi, tergerak. Wujud kontribusi di dalam pembangunan ada bermacam-macam. Misalnya : barang, uang, bahan,jasa, buah pikiran, keterampilan dan sebagainya.
  3. Kesediaan untuk turut bertanggung jawab, terbangkitkan.
Pengertian partisipasi yang tampaknya mendekati operasionalisasi penelitian ini, sebagaimana yang dikemukakan Loekman Soetrisno (1997 : 77-78), dimana menurutnya partisipasi adalah :
Merupakan kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan, yang dalam konteks ini diasumsikan bahwa rakyat mempunyai aspirasi dan nilai budaya yang belum diakomodasikan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pelestarian suatu program pembangunan.

Sejalan dengan pendapat itu Ndraha (1990:108), mengemukakan, bahwa : partisipasi dilakukan baik dengan pola prosesional maupun  parsial. Partisipasi prosesional, yang dilakukan sepanjang proses pembangunan, mulai fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan terhadap informasi, fase perencanaan pembangunan, fase pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan, dan fase penilaian pembangunan. Sedangkan pada partisipasi parsial, keikutsertaan masyarakat hanya dilakukakan  pada satu atau beberapa fase saja.

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan bantuan pembangunan desa, merupakan salah satu masukan yang tumbuh dan berkembang dalam suasana kehidupan masyarakat, oleh karena ada interaksi sosial yang terjadi di masyarakat. Lebih lanjut Hoult (1974:14-15) mengemukakan, bahwa :

Partisipasi adalah social relations yaitu suatu gejala keadaan sosiologi dimana seseorang merasakan bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial… Kesadaran manusia akan timbul jika dimotivasi oleh kebutuhan untuk berkelompok atas dasar kesenangan atau sesuatu yang dirasakan berguna, atas dasar persahabatan dan saling kasih sayang atau saling simpati…dalam kelompok tadi seseorang akan menemukan identitas pribadi karena bersama-sama dengan orang lain ia akan merasakan setiap kebutuhan kelompok maupun anggotanya atas dasar komunikasi dan kegiatan yang dijalankan bersama.

Berlangsungnya partisipasi masyarakat merupakan kegiatan antara dua pihak, yakni pihak yang dibangkitkan untuk berpartisipasi yaitu masyarakat dan pihak yang membangkitkan yaitu pemerintah, jadi bukan kegiatan yang sepihak saja. Dalam kaitannya dengan pembangunan desa, maka pihak yang memegang peranan dalam membangkitkan partisipasi masyarakat adalah pemerintah desa.

Dalam upaya membangkitkan partisipasi masyarakat, komunikasi mempunyai peranan penting dalam memelihara hubungan secara timbal balik, di satu pihak pemerintah menyampaikan kebijakan kepada masyarakat, sedangkan di lain pihak masyarakat menyampaikan gagasan, keinginan atau kebutuhannya kepada pemerintah. Oleh Bryant dan White (1987 : 172) disebutkan bahwa komunikasi yang diperlukan dalam pembangunan desa adalah Komunikasi dari atas kebawah, komunikasi dari bawah keatas dan komunikasi searah. Selanjutnya Katz dan Kahn (dalam Bryant dan White, 1987 : 172-173) mengatakan Komunikasi kebawah mencakup lima butir :
  1. Petunjuk tugas yang spesifik ; perintah kerja.
  2. Informasi itu untuk mendapatkan pemahaman mengenai tugas dan hubungannya dengan tugas lainnya : rasional pekerjaan.
  3. Informasi tentang praktek-praktek dan prosedur keorganisasian
  4. Umpan balik kepada bawahan mengenai pekerjaannya
  5. Informasi tentang suatu ciri ideolegis untuk mengembangkan misi : indoktrinasi mengenai tujuan.
Komunikasi ke atas adalah informasi yang diminta oleh pihak manajemen dan juga informasi secara sukarela yang disampaikan oleh masyarakat dan klien. Hal ini berupa tuntutan, keluhan, mungkin juga gagasan yang inovatif. Sedangkan komunikasi mendatar, ialah komunikasi yang berlangsung pada orang-orang yang tingkatan sama. Komunikasi ini dianggap hal yang penting dalam membina koordinasi.

Dengan demikian proses komunikasi dimulai dengan penyaluran informasi atau pesan, dan dengan berlangsungnya penyaluran informasi tersebut, maka dapat diikuti dengan perpindahan pengertian.

Dengan adanya penyaluran informasi dan perpindahan pengertian akan menghasilkan persamaan persepsi antara komunikator dalam hal ini adalah pemerintah dan komunikan yang dalam hal ini adalah masyarakat. Dengan demikian komunikasi dapat menimbulkan perubahan dalam masyarakat, baik perubahan sikap, prilaku, watak maupun pandangan.

Pada masyarakat yang sudah bisa menerima perubahan maka akan terdapat kesamaan sikap yang melahirkan keinginan melakukan tindakan. Apabila hal tersebut berjalan tanpa hambatan, maka keterlibatan/keikutsertaan akan datang dengan sendirinya atau dengan kata lain timbullah partisipasi.

Tentang Sisi Positif Penerapan Kebijakan Desentralisasi

Menyambung lagi apa yang saya tulis dalam postingan sebelumnya… Catatan kecil tentang otonomi daerah
dalam postingan ini, juga masih tentang catatan kecil tersebut dan masih berkaitan dengan otonomi daerah. Berikut catatan kecil saya : Tentang sisi positif penerapan kebijakan desentralisasi adalah:
  1. Paradigma desentralisasi juga selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis, dengan adanya pengaturan kewenangan yang seimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Desentralisasi tidak menafikkan peran dan kewenangan pemerintah pusat. Asas dekonsentrasi tetap harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, seiring sejalan (sinergis) dengan laju implementasi otonomi daerah.
  2. Desentralisasi juga mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan, yang dapat menimbulkan munculnya pemerintahan yang otoriter, serta mendorong demokratisasi di tingkat lokal, karena rakyat lebih mempunyai peluang untuk terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya masing-masing (grass roots democracy).
  3. Desentralisasi menciptakan efisiensi pemerintahan, karena sebagian urusan-urusan pemerintahan diselenggarakan oleh satuan-satuan pemerintahan tingkat daerah, sehingga memperpendek rentang birokrasi bila dibandingkan dengan pengendalian dari Pusat.
  4. Dari segi sosiokultural, desentralisasi menyebabkan kepentingan rakyat di daerah-daerah yang memiliki kekhususan-kekhususan tertentu dapat tertangani dengan lebih baik.
  5. Desentralisasi membuat pembangunan dapat berjalan dengan lebih baik dan terarah, karena dilakukan langsung oleh satuan-satuan pemerintahan di tingkat daerah.

Catatan-catatan kecil tentang otonomi daerah

Sebenarnya peringatan kelahiran otonomi daerah sudah lewat. Kini otda sudah ber-umur 13 tahun. Mumpung masih bulan mei, terbersit ide untuk turut memperingati kelahiran otda dengan membuat postingan yang bertema otda. Untuk itu saya “menghimpun” banyak artikel untuk saya “resume” menjadi artikel atau semacam catatan-catatan kecil. Tulisan dibawah adalah bagian pertama, catatan-catatan kecil tentang terkait otonomi daerah :
  1. Otonomi bukan hanya berbicara tentang uang, dan kekuasaan. Otonomi adalah bagaimana bangsa ini dengan otonomi daerah mampu memberdayakan semua wilayah di negeri ini untuk bergerak maju bersama. Otonomi bukan terletak pada APA YANG DAPAT DIKERJAKAN, TETAPI BAGAIMANA PEMERINTAH DAN PEMDA mengelola hak dan kewenangan yang dimilikinya.
  2. Tugas dan tanggung jawab yang harus diemban oleh pemda setelah menerima otonomi seluas-luasnya memang tidak semudah yang kita bayangkan. Yang paling penting adalah bagiamana masyarakat di daerah memiliki kepercayaan dan kolaborasi yang baik terhadap aparat pemerintah dan pemda sekarang.
  3. otonomi daerah tidak hanya merupakan peristiwa formalisme dan ritual belaka, namun sungguh-sungguh mendatangkan iklim pembaharuan roda pemerintahan daerah yang sanggup menerima, mengisi dan memperbaiki kehidupan sosial di tengah-tengah bangsa yang sedang membangun ini.
  4. Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami lompatan tajam dari sentralisasi menjadi desentralisasi, seiring diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Gelagat pemerintah untuk menarik kembali desentralisasi (resentralisasi) ini terlihat dari tidak seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan desentralisasi, misalnya menyangkut koordinasi antar pemerintahan daerah, yang mengakibatkan disharmonisasi hubungan antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota berjalan sendiri-sendiri dan tidak lagi “patuh” pada propinsi, karena ia merasa bukan lagi menjadi bawahan dari Gubernur. Kondisi ini dibiarkan saja oleh pemerintah pusat, bahkan justru dijadikan sebagai alasan untuk menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 telah mengalami kegagalan. Sehingga kehendak untuk mervisi UU tersebut cukup mendapatkan alasan pembenarnya.
  5. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah direvisi, bahkan bisa dikatakan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Jika dilihat dari semangatnya, UU No. 32 Tahun 2004 seolah-olah diarahkan untuk memperkuat otonomi daerah, yakni dengan merevisi penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dari semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.
  6. Jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan beberapa semangat untuk menarik kembali desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama, dalam UU ini tidak lagi dikenal istilah kewenangan pemerintahan daerah, melainkan diubah menjadi urusan pemerintahan daerah, karena kewenangan memiliki konotasi dengan politis yakni kedaulatan. Sedangkan kata urusan konotasinya hanya pada aspek administratif saja. Kedua, semakin menguatnya pola pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. 
  7. Beberapa peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik desentralisasi. Sebut saja misalnya (1). PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan (2). PP No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Fenomena pasang surut penyelenggaraan desentralisasi inilah perlu adanya pemetaan kembali perjalanan desentralisasi pasca UU No. 32 Tahun 2004.

tentang pengertian partisipasi

hoofsteede (dalam khairuddin, 1992;124), memberi pengertian partisipasi adalah ambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses. menurut westra (1981;136), partisipasi adalah : penyertaan mental emosi seseorang dalam suatu situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka bagi tercapainya tujuan organisasi dan bersama-sama bertanggung jawab terhadap organisasi tersebut.

kemudian jnanabrota bhattacharyya (dalam ndraha, 1987;102), mengartikan partisipasi sebagai : pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. dalam kamus sosiologi modern menyebutkan partisipasi adalah suatu keadaan dimana seseorang ikut merasakan bersama-sama dengan orang lain sebagai akibat dari terjadinya interaksi sosial. ini merupakan kesadaran manusia yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk berkelompok, serta melalui komunikasi dan kegiatan bersama.
             
dengan demikian bahwa yang dimaksud dengan pengertian partisipasi  adalah keterlibatan mental emosi dan kesediaan berkontribusi dalam rangka pencapaian tujuan organisasi masyarakat dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan.

bila dilihat dari wujud keberhasilan pelaksanaan pembangunan maka salah satu faktor penting adalah tingginya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. partisipasi masyarakat menurut josef riwu kaho (1997 ; 112) didasarkan pada pertimbangan :  bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya.

dengan demikian sebenarnya konsep partisipasi masyarakat sangat berkaitan dengan ide-ide dan prinsip-prinsip dasar demokrasi “dari, oleh dan untuk masyarakat”, jadi tidaklah salah bila partisipasi masyarakat ditetapkan sebagai salah satu prasyarat utama pembangunan. hal yang sama sondang p. siagian (2001 ; 53), mengemukakan bahwa keberhasilan kegiatan pembangunan akan lebih terjamin apabila seluruh warga masyarakat membuat komitmen untuk turut berperan sebagai pelaku pembangunan dengan para anggota elit masyarakat sebagai panutan, pengarah, pembimbing, dan motivator.

sejalan dengan pemikiran tersebut, bintoro tjokroamidjojo (1995 ; 206) mengemukakan partisipasi masyarakat dalam konteks pembangunan terbagi atas tiga jenis, yaitu :
partisipasi atau keterlibatan dalam perencanaan pembangunan.
2.    partisipasi  dalam  keterlibatannya  memikul  beban  dan  tanggung  jawab dalam  pelaksanaan  kegiatan  pembangunan.
3.    partisipasi atau keterlibatan  dalam  memetik  hasil  dan  memanfaatkan  pembangunan. 

dengan demikian bahwa setiap program atau kegiatan yang dilaksanakan, peranan aktif masyarakat sangat penting untuk dapat mewujudkan tujuan bersama maupun dalam bentuk-bentuk kerjasama antar kelompok. erat kaitannya dengan hal tersebut, loekman soetrisno (1995 ; 208) menyatakan bahwa :

pertama, bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah mobilisasi rakyat dalam pembangunan. partisipasi rakyat  dalam pembangunan adalah kerjasama antara rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan dan membiayai pembangunan. kedua, untuk mengembangkan dan melembagakan partisipasi rakyat dalam pembangunan harus diciptakan suatu perubahan dalam persepsi pemerintah terhadap pembangunan. pembangunan haruslah dianggap sebagai suatu kewajiban moral dari seluruh bangsa ini, bukan suatu idiologi baru yang harus diamankan. ketiga, untuk membangkitkan partisipasi rakyat dalam pembangunan diperlukan sikap toleransi dari aparat pemerintah terhadap kritik, pikiran alternatif yang muncul dalam masyarakat sebagai akibat dari dinamika pembangunan itu sendiri, karena kritik dan pikiran alternatif itu merupakan suatu bentuk dari partisipasi rakyat dalam pembangunan.

menurut keith davis ( 1962 ; 427) partisipasi itu sendiri adalah sebagai berikut : “participation is defined as mental and emotional involvement of a person in a group situation which encourages him to contribute to group goals and share responsibility in them”. kemudian davis (1962) menyimpulkan  bahwa ; (1) participation means mental and emotional involvement; (2) motivates persons to contribute to the situation; dan (3) encurages people to accept responsibility in activity.

dengan terjemahan bebasnya, partisipasi merupakan keterlibatan mental dan emosional yang mendorong orang-orang untuk ikut ambil bagian  dalam situasi dan turut bertanggung jawab dalam kegiatan tersebut. artinya bahwa tidak hanya keterlibatan emosi dan mental dalam suatu situasi saja yang menjadi ukuran, namun kesediaan untuk bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada.

berkaitan dengan itu cohen dan uphoff (1977 ; 8) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terdiri dari :
1). participation in decision making;
2). participation in implementation;
3). participation in benefits, and
4). participation in evaluation.

dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat itu dapat terjadi dalam empat tingkatan yaitu partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan hasil dan partisipasi dalam evaluasi. dalam hubungannya dengan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa, dikemukakan oleh bintarto (1989 ; 27) bahwa : pembangunan,  dalam  hal  ini  pembangunan  desa  pada  hakekatnya  adalah suatu proses modernisasi  yang  mengatur  masyarakat,  bangsa,  dan  negara  indonesia  kearah kehidupan  dan  penghidupan  yang lebih  baik  dimasa  mendatang.

sejalan dengan hal itu, uma lele (dalam supriatna, 1997 ; 67) merumuskan pembangunan sebagai berikut :
community rural development is a improving standard of the mass of the low-income population residing in rural areas and making the process of their development self sustaining”. (pembangunan masyarakat pedesaan sebagai upaya perbaikan standar kehidupan bagi sebagian besar penduduk yang berpenghasilan rendah yang tinggal di daerah pedesaan seraya menciptakan pembangunan yang berkelanjutan).

secara umum bahwa pembangunan juga merupakan usaha merubah dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan secara optimal potensi sumber daya alam dan mengembangkan sumber daya manusia dengan jalan meningkatkan kualitas hidup, keterampilan dan prakarsa dengan bantuan dan bimbingan teknis, dana ataupun sarana produksi, sesuai dengan bidang dan kegiatan masyarakat masing-masing. seperti yang dikemukakan oleh supriatna (2000 ; 41) bahwa : pembangunan nasional pada prinsipnya  merupakan perubahan sosial yang besar dari suatu situasi ke situasi lain yang lebih bernilai, dari statis ke dinamis, masyarakat tradisional menuju masyarakat industri atau modern. selanjutnya khairuddin (1992 ; 125) mengungkapkan bahwa : partisipasi dari masyarakat luas mutlak diperlukan, oleh karena mereka itulah yang  pada  akhirnya  melaksanakan  berbagai  kegiatan  pembangunan,  rakyat banyak  memegang  peranan  sekaligus  sebagai  obyek dan  subyek  pembangunan.

menurut d.c. korten, syahrir (1988 ; 320) proses pembangunan meliputi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan berlangsung secara terus menerus, yang meliputi :
  1. pengembangan kemampuan melalui upaya peningkatan produktivitas dengan cara : memperluas kesempatan kerja; peningkatan produksi dengan intesifikasi dan ekstensifikasi; menggunakan teknologi tepat guna.
  2. pembangunan sebagai peningkatan kualitas manusia meliputi : peningkatan kemampuan fisik; penguasaan sumber daya alam; penguasaan pengetahuan dan teknologi.
  3. pembangunan sebagai pengembangan kapasitas dengan perluasan partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat (empowerment), yang meliputi: desentralisasi pembangunan; meningkatnya partisipasi dan kebebasan memilih; peningkatan peran serta lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan.
dalam penyelenggaraan pembangunan, menurut sondang p.siagian (1982 ; 29-30) terdapat lima ide pokok, yaitu :
  1. pembangunan pada dirinya mengandung pengertian perubahan dalam arti mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan masyarakat yang lebih baik dari kondisi yang kini ada.
  2. pembangunan ialah pertumbuhan yaitu kemampuan suatu negara untuk terus berkembang baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
  3. pembangunan adalah rangkaian usaha yang secara sadar dilakukan oleh suatu masyarakat serta pertumbuhan yang diharapakan akan terus berlangsung tidak akan terjadi dengan sendirinya apalagi secara kebetulan.
  4. jika diterima pendapat bahwa pembangunan merupakan usaha yang dilakukan secara sadar, konotasinya ialah bahwa pembangunan itu didasarkan pada suatu rencana yang tersusun rapi untuk suatu kurun waktu tertentu.
  5. kiranya tepat sekali dikatakan bahwa pembangunan bermuara kepada titik tertentu yang untuk mudahnya dapat dikatakan merupakan cita-cita akhir dari perjuangan dan usaha negara bangsa yang bersangkutan.


meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan

salah satu ciri dari pembangunan desa adalah partisipasi aktif dari masyarakat desa dalam proses pembangunan tersebut. dengan demikian partisipasi ma¬syarakat perlu dibina dan terus ditingkatkan agar pembangunan desa mencapai sasaran yang diharapkan. mengenai pentingnya partisipasi aktif segenap lapisan masyarakat, pendapat bintoro tjokroamidjojo (1986 : 222) sebagai berikut : pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan politik, ekonomi dan sosial budaya itu baru akan berhasil, apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat di dalam suatu ne¬gara. tidak saja dari pengambil kebijaksanaan ter¬tinggi, perencana, pemimpin pelaksanaan operasional tetapi juga dari petani-petani yang masih   tradi-sional, nelayan, buruh, pedagang kecil dan lain-lain.

untuk membina dan meningkatkan partisipasi ma¬syarakat dalam pembangunan diperlukan usaha-usaha nyata dengan berbagai jalan, dengan harapan lama-kelamaan partisipasi aktif masyarakat akan tumbuh dengan    sendirinya. upaya dan cara untuk menumbuhkan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan dapat dilakukan antara lain dikemukakan oleh ndraha (1987 : 27-28) sebagai berikut :
  1. memberi stimulasi kepada masyarakat dengan mengharapkan timbulnya responce yang dikehendaki, antara lain dalam inpres bantuan pembangunan desa, inpres lomba desa dan sebagainya.
  2. menyesuaikan program pemerintah dengan kebutuhan (keinginan) yang telah lama dirasakan oleh masyar¬akat desa yang bersangkutan.
  3. menumbuhkan dan menanamkan kesadaran akan  kebutuhan dan atau perlunya perubahan di dalam masyarakat  dan dalam diri anggota masyarakat  sedemikian rupa sehingga timbul kesediaan berpar¬tisipasi.
partisipasi demikian tidak datang dengan sendirinnya. dibutuhkan usaha-usaha untuk menumbuhkannya dengan kemampuan, ketekunan dan waktu. untuk dapat tumbuh dan berkembang secara wajar tersebut, salah satu segi yang perlu mendapat perhatian adalah komunikasi, dimana bintoro tjokroamidjojo (1986 : 227) menyatakan bahwa : ...gagasan-gagasan, kebijaksanaan dan rencana hanya akan mendapat dukungan, bila diketahui kemudian dimengerti, bahwa hal-hal tersebut mencerminkan sebagian atau seluruh kepentingan dan aspirasi ma¬syarakat (kelompok masyarakat). kemudian lebih lanjut diterima dengan pengertian oleh masyarakat, bahwa hasil daripada kebijaksanaan rencana tersebut akan betul-betul sebagian atau seluruhnya dipetik oleh masyarakat. komunikasi bukan hanya penerangan, biar¬pun penerangan merupakan suatu hal yang penting, tetapi penerangan menumbuhkan suatu iklim pengertian, aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat dan pengembangan kepada tujuan-tujuan yang bersifat pembangunan secara nasional.

dalam kutipan di atas nampaknya faktor komunikasi berperanan untuk menumbuhkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa. dari penjabaran di atas dan dihubungkan dengan rumusan parti¬sipasi masyarakat, maka kesediaan, keterlibatan dan tanggungjawab masyarakat yang dapat menjadi ukuran tingkat patisipasi masyarakat meliputi keseluruhan rangkaian manajemen pengelolaan bantuan pembangunan desa, yaitu mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan penerimaan hasil pembangunan serta penilaian (evaluasi) pengelolaan bantuan pembangunan desa.

dari uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan berbagai cara untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan yang dikemukakan para ahli, maka faktor yang sangat penting diinginkan adalah partisipasi aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan yaitu turut serta mengambil bagian dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penga¬wasan dan tanggung jawab atas hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai.