Konsep Capacity Building

Secara umum kapasitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyelenggarakan atau melaksanakan berbagai macam fungsi, memecahkan aneka persoalan yang ada, dan merancang atau menemukan tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan capacity building dapat didefiniskan sebagai untuk mengembangkan suatu ragam strategi meningkatkan efisiensi, efektivitas dan tanggung jawab kinerja pemerintah.

Menurut Merilee S. Grindle (1977;6-22) capacity building adalah :
capacity building is intented to encompass a variety of strategies that have to do with increasing the efficiency, effectiveness, and responsiveness of government performance”. Definisi lain menyatakan bahwa capacity building adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan rakyat Negara sedang berkembang untuk mengembangkan keterampilan manajemen dan kebijakan yang esensial yang dibutuhkan untuk membangun struktur budaya, sosial politik, ekonomi dan SDM.

Sementara itu capacity building didefinisikan oleh Brown (2001:25) sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Pengertian lain mengenai capacity building menyatakan bahwa capacity building umumnya dipahami sebagai upaya membantu pemerintah, masyarakat ataupun individu dalam mengembangkan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan mereka. Program pengembangan kapasitas seringkali didesain untuk memperkuat kemampuan dalam mengevaluasi pilihan-pilihan kebijakan mereka dan menjalankan keputusan-keputusan yang dibuat secara effektif. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Katty Sensions, bahwa :

Capacity building usually is understood to mean helping governments, communities and individuals to develop the skills and expertise needed to achieve their goals. Often designed to strengthen participant’s to abilities to evaluate their policy choices and implement decisions effectively, may included education and training, instutional and legal reforms, as well as scientific, technological and financial assistance”

Dalam pengertian yang lebih luas, yang sekarang digunakan dalam pembangunan masyarakat, kapasitas tidak hanya berkaitan dengan keterampilan dan kemampuan individu, tetapi juga dengan kemampuan organisasi untuk mencapai misinya secara efektif dan kemampuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang.

Kebanyakan literatur mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan umum untuk melaksanakan sesuatu. UNDP mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan (kemampuan memecahkan masalah) yang dimiliki seseorang, organisasi, lembaga, dan masyarakat untuk secara perorangan atau secara kolektif melaksanakan fungsi, memecahkan masalah, serta menetapkan dan mencapai tujuan (UNDP, 2006).

Elemen-elemen dalam pengembangan kapasitas merupakan hal-hal yang harus dilaksanakan dalam mencapai kondisi kapasitas masyarakat yang berkembang. Garlick dalam McGinty (2003) menyebutkan lima elemen utama dalam pengembangan kapasitas sebagai berikut:
  1. Membangun pengetahuan, meliputi peningkatan keterampilan, mewadahi penelitian dan pengembangan, dan bantuan belajar
  2. Kepemimpinan
  3. Membangun jaringan, meliputi usaha untuk membentuk kerjasama dan aliansi
  4. Menghargai komunitas dan mengajak komunitas untuk bersama-sama mencapai tujuan
  5. Dukungan informasi, meliputi kapasitas untuk mengumpulkan, mengakses dan mengelola informasi yang bermanfaat
https://www.tokopedia.com/bungaslangkar


Bartle (2007) menjabarkan elemen-elemen dalam pengembangan kapasitas masyarakat secara lebih detil menjadi lima belas aspek, yaitu:
  1. Altruism, yaitu mengutamakan kepentingan umum.
  2. Common values atau kesamaan nilai dalam bermasyarakat, yaitu masyarakat memiliki kesamaan peran dalam mengusulkan ide.
  3. Communal service atau layanan masyarakat.
  4.  Communication atau komunikasi
  5. Confidence atau percaya diri
  6. Context atau Keterkaitan (politik dan administratif)
  7. Information atau Informasi
  8. Intervention atau rintangan
  9. Leadership atau kepemimpinan
  10. Networking atau jaringan kerja
  11.  Political power atau kekuatan politik
  12. Skills atau keterampilan dan keahlian
  13. Trust atau Kepercayaan
  14. Unity atau Keselarasan
  15. Wealth atau kekayaan

perencanaan pembangunan

sebelum mendifinisikan perencanaan pembangunan perlu dipahami dahulu makna pembangunan. pembangunan merupakan suatu proses perubahan kearah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana (kartasasmita,1994), selain itu pembagunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah.

perencanaan pembangunan merupakan kegiatan hampir sama dengan riset/penelitian, dikarenakan instrumen yang digunakan adalah metode-metode riset. kegiatannya berawal dari teknik pengumpulan data, analisis data sampai dengan studi lapangan untuk memperoleh data-data yang akurat. data yang dilapangan sebagai data penting dan utama yang akan dipakai dalam kegiatan perencanaan pembangunan. dengan demikian perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktifitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental/spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik. (bratakusumah, 2004)

proses perencanaan pembangunan dimulai dengan rencana pembangunan atau mungkin hanya dengan formulasi kebijaksanaan–kebijakasanaan pembangunan yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, kemudian diikuti dengan berbagai langkah-langkah kegiatan formulasi rencana dan implementasinya, dapat diusahakan rencana itu bersifat realistis dan dapat menanggapi masalah-masalah yang benar-benar dihadapi.

rencana dengan demikian merupakan alat bagi implementasi, dan implementasi berdasar pada suatu rencana. hal tersebut seperti dikemukakan oleh untuk merealisasinya. kemudian perencanaan sebagai proses yang meliputi (tjokroamidjojo,1994:189) sebagai berikut: proses perencanaan dapat dimulai dengan suatu rencana pembangunan atau mungkin hanya dengan formulasi kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan yang efektif untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, kemudian diikuti langkah-langkah kegiatan (mesure) untuk merealisasinya. biarpun diakui bahwa suatu rencana pembangunan memang suatu alat yang lebih baik untuk proses perencanaan dan pelaksanaannya. dengan melihat perencanaan sebagai suatu proses yang meliputi formulasi rencana dan implemetasinya, dapatlah diusahakan rencana itu bersifat realistis dan dapat menanggapi masalah-masalah yang benar-benar dihadapi. rencana dengan demikian merupakan alat bagi implementasi, dan implementasi hendaknya berdasar suatu rencana.

dari beberapa definisi perencanaan pembangunan tersebut diambil makna tentang apa yang dimaksud dengan perencanaan pembangunan dan tahap-tahap yang diadalamnya. kemudian hubungannya dengan konsep pembangunan daerah sebagai tempat proses perencanaan pembangunan. perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang berdifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang teguh pada azas skala prioritas (bratakusumah,2004).

kemudian menurut gtz (german technical cooperation) dan usaid-clean urban project (2000) mendefinisikan perencanaan pembangunan daerah adalah :  “…suatu yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor), baik umum (publik), swasta maupun kelompok masyarakat lainnya pada tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan aspek-aspek fisik, sosial-ekonomi dan aspek-aspek lingkungan lainnya dengan cara: (a) secara terus-menerus menganalisis kondisi dan pelaksanaan pembangunan daerah; (b) merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah; (c) menyusun konsep strategi-strategi bagi pemecahan masalah (solusi), dan (d) melaksanakannya dengan menggunakan sumber-sumber daya masalah sehingga peluang-peluang baru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan”.

dari definisi tersebut mempunyai makna proses perencanaan pembangunan melibatkan para aktor yang berinteraksi pada tingkatan berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan aspek-aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek-aspek lingkungan lainnya dengan cara yang sistematis untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat didaerah dapat ditangkap secara berkelanjutan. perencanaan pembangunan daerah memperhatikan hal-hal yang bersifat kompleks, sehingga prosesnya harus memperhatikan kemampuan sumber daya yang ada, baik sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya alam, keuangan, serta sumber-sumber daya yang lainnya.(jensen,1995).

menurut randy r wrihatnolo dan riant nugoroho d (2006:42-43 ) menjelaskann unsur-unsur pokok dan siklus dalam perencanaan pembangunan. dibawah ini unsur-unsur pokok dalam perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut :
1. kebijaksanaan dasar atau atau strategi dasar rencana pembangunan yang sering pula disebut tujuan, arah, dan prioritas pembangunan pada unsur ini perlu ditetapkan tujuan-tujuan rencana (development objective/plan objective).

2. adanya kerangka rencana yang menunjukan hubungan variabel-variabel pembangunan dan implikasinya.

3. perkiraaan sumber-sumber pembangunan utama pembiayaan.
4. adanya kebijaksanaan yang konsisten dan serasi, seperti kebijakaanaan fiskal, moneter, anggaran, harga, sektoral, dan pembangun daerah.

5. adanya program investasi yang dilakukan secara sektoral seperti pertanian,
industri, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.

6. adanya administrasi pembangunan yang mendukung perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

sedangkan proses dan siklus perencanaan pembangunan meliputi :
1. pengumpulan informasi untuk perencanaan (input untuk analisis dan perumusan kebijaksanaan)
2. analisis keadaan dan identifikasi masalah
3. penyusunan kerangka makro perencanaan dan perkiraan sumber-sumber pembangunan.
4. kebijaksanaan dasar pembangunan
5. perencanaan sektoral, kebijaksanaan program, proyek, kegiatan lain.
6. perencanaan regional (konsiderasi regional dalam perencanaan sektoral)
7. program kerja, program pembiayaan, prosedur pelaksanaan, penuangan dalam perencanaan proyek-proyek.
8. pelaksanaan rencana
a. pelaksanaan program/proyek
b. pelaksanaan kegiatan pembangunan lain
c. badan-badan usaha
9. fungsi pengaturan pemerintah
10. kebijaksanaan-kebijaksanaan stabilitasi (jangka pendek)
11. komunikasi pendukung pembangunan.
12. pengendalian pelaksanaan
13. pengawasan
14. tinjauan pelaksanaan
15. peramalan (forecasting)

dengan demikian secara umum perencanaan pembangunan ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut :
1. pemahaman tentang teori perencanaan pembangunan yang disusun berdasarkan konsep-konsep ilmu politik, ilmu ekonomi, dan ilmu administrasi.
2. pemahaman tentang cakupan wilayah perencanaan yaitu perencanaan nasional (lintas wilayah) perencanaan daerah, atau perencanaan kawasan.
3. pemahaman tentang bidang sektoral perencanaan yaitu bidang ekonomi, bidang politik, bidang sosial, dan bidang keamanan.
4. pemahaman tentang substansi dan ukuran perencanaan yaitu mengandung visi nasional (perencanaan komperhensif-nasional), mangandung misi departemen (perencanaan sektoral nasional), mangandung misi daerah secara komperhensif (perencanaan komperhensif lokal), atau mengandung misi daerah secara sektoral (perencanaan sektoral lokal).
5. pemahaman tentang sumber bentuk pembiayaan perencanaan, yaitu bersumber dari negara-pusat, bersumber dari negara-daerah, bersumber dari swasta, bersumber dari asing (utang dan hibah).
6. pemahaman tentang penyelenggara perencanaan yaitu, pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swasta, masyrakat terorganisasi, atau masyarakat.
7. pemahaman tentang bentuk rencana pembangunan, yaitu pembangunan (cakupan nasional atau lokal) program, proyek, atau cash program.
8. pemahaman tentang rencana pelaksanaan/implementasi perencanaan pembangunan, yaitu oleh departemen (nasional atau kordinasi lintas provinsi/regional) oleh dinas (provinsi), oleh kantor kabupaten/kota (kabupaten/kota).
9. pemahaman tentang instrumen perencanaan, dokumen kampanye presiden, dokumen pembangunan jangka menengah nasional (pjm-nas), dokumen jangka menengah daerah (pjm-daerah), rencana strategis departemen (renstrdep, untuk 5 tahunan), rencana strategis daerah (renstrada, untuk 5 tahunan), rencana kerja pemerintah daerah (rkpd untuk 1 tahun), rencana lembaga (rkl, utnuk 1 tahun) atau rencana kerja lembaga daerah (rkld, untuk 1 tahun)
10. pemahaman tentang pengambilan keputusan strategis dpr, presiden, perwakilan kelompok negara/lembaga donor, menteri, dprd, gubernur, kepala dinas provinsi, dprd kabupaten/kota, bupati/walikota, kepala kantor bupati/walikota.
11. pemahaman tentang alur perencanaan, top-down, bottom-up, sinergi topdown, bottom-up.
12. pemahaman tentang pemantauan dan pengendalian oleh departemen (nasional atau kordinasi lintas provinsi/regional), oleh dinas provinsi (provinsi), oleh kantor (kabupaten/kota), kelompok independent (terbentur pada siapa yang mendanai kegiatan kelompok independen ini: jika didanai
oleh pemerintah, tidak dapat disebut kelompok independen).
13. pemahaman tentang evaluasi hasil perencanaan oleh departemen (nasional atau kordinasi lintas provinsi/regional), oleh dinas provinsi (provinsi), oleh kantor (kabupaten/kota), kelompok independent (terbentur pada siapa yang mendanai kegiatan kelompok independent ini: jika didanai oleh pemerintah, tidak dapat disebut kelompok independent).
14. pemahaman tentang pengawasan pembangunan: dilakukan secara nasional oleh badan pengawas keuangan dan pembangunan (bpkp), dilakukan secara kedaerahan oleh badan pengawas pengawas pembangunan daerah (bawasda) atau dilakukan khusus oleh kpk.

Tahapan Proses Kebijakan

tahapan proses kebijakan sebagai berikut :

tahap agenda setting (agenda setting)
dalam tahap ini diputuskan masalah yang menjadi perhatian pemerintah untuk dijadikan kebijakan. pemerintah di hadapkan banyak ( issue ) masalah. oleh karena itu pemerintah harus memutuskan apa yang menjadi dasar dibuatnya suatu kebijakan. aktivitas fungsionalnya meliputi :
a. persepsi masalah ( perception of problem )
b. definisi problem ( definition of problem )
c. mobilisasi dukungan ( mobilization of support for including problem agenda).

setelah melakukan ketiga aktivitas fungsional tersebut, maka akan diputuskan masalah apa yang menjadi agenda pemerintah.

tahap formulasi dan legitimasi tujuan-tujuan dan program. (formulation and
legitimation of goal and programs).
tidak seluruh masalah yang ada dalam daftar agenda pemerintah diwujudkan dalam kebijakan dan program. sebagian dari masalah akan di formulasikan dan di legitimasi. aktifitas fungsional formulasi dan legitimasi sebagai berikut :
  1. mengumpulkan informasi, menganalisa dan penyebaran ( information collection, analysis, and dissemination).
  2. pengembangan alternatif (alternative development).
  3. pembelaan dan membangun koalisi (advocacy and coalition building).
  4. negoisasi, kompromi dan keputusan (compromise, negotiation, decision)
hasil dari tahap ini adalah pernyataan kebijakan ( policy statemens) berupa deklarasi suatu tujuan, termasuk beberapa bentuk formal suatu tujuan danrancangan program untuk pencapaian tujuan.

tahap implementasi program (program implementation)
setelah proses formulasi dan legitimasi maka program harus dilaksanakan. aktivitas fungsional dalam implementasi program meliputi :
a. penyusunan sumber-sumber yang ada. (resources acquisitions)
b. interprestasi hukum, yang bisanya terbentuk regulasi tertulis dan elaborasinya (interpretation)
c. perencanaan program (planning)
d. pengorganisasian program (organizing)
e. penyediaan keuntungan, pelayanan dan paksaan seegra dikembangkan (providing benefits, servicer, coercion)
hasil dari aktivitas fungsional ini menghasilkan bentuk aksi kebijakan.

tahap evaluasi implementasi kinerja dan dampak. (evaluation of implementation, performance, and impacts)
setelah aksi kebijakan menimbulkan akibat-akibat. evaluasi terhadap kinerja maupun dampak perlu untuk dilakukan. kata evaluasi menunjuk pada image objektif dan ilmuwan sosial dengan penerapan teknik analisa rigourus evaluasi seperti ini adalah penelitian apa yang telah terjadi.

tahap keputusan mengenai masa depan program dan kebijakan. (decisions about the futurre of the policy and program).
evaluasi selalu menghasilkan kesimpulan-kesimpulan, hal ini menjadi keputusan dan pertimbangan masa depan dari kebijakan tersebut apakah dilanjutkan atau tidak.

pengertian partisipasi masyarakat

partisipasi diartikan sebagai peran aktif dalam mempengaruhi proses pembangunan serta secara bersama-sama mengambil manfaat dari kegiatan yang dilakukan. menurut ramos dalam irr (1998) partisipasi diartikan pula sebagai penyerahan sebagian peran dalam kegiatan-kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari satu pihak pada pihak yang lain. dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat mengandung makna adanya keterlibatan aktif serta pembagian peran dan tanggung jawab diantara pelaku.

partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama. strategi yang biasa diterapkan adalah melalui strategi “penyadaran”. untuk berhasilnya program pembangunan, warga masyarakat dituntut untuk terlibat tidak hanya dalam aspek kognitif dan praktis, tetapi juga ada keterlibatan emosional pada program (adi, 2003:295).

samuel p. huntington dan john nelson (1994:5) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah: “kegiatan warganegara preman (private citizen) yang, bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah. dan mengandung aspek-aspek: mencakup kegiatan- kegiatan akan tetapi tidak termasuk sikap-sikap kegiatan politik warga negara preman, atau lebih tepat perorangan-perorangan dalam peranan mereka sebagai warga negara sipil, kegiatan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah”.

selanjutnya diungkapkan bahwa partisipasi masyarakat dapat dikategorikan menjadi;  a) peran serta otonom yaitu partisipasi yang muncul dari tingkat kesadaran pribadi, kelompok dan organisasi;  b) peran serta mobilisasi yaitu partisipasi yang muncul dari kekuatan eksternal dengan kemampuan mobilitas potensi masyarakat.

john m. cohen (1979) mengungkapkan, dikaitkan dengan pembangunan di negara berkembang, peran serta masyarakat meliputi 1) peran serta dalam pengambilan keputusan; 2) peran serta dalam pelaksanaan; 3) peran serta dalam manfaat, 4) peran serta dalam evaluasi.

pembangunan pedesaan dan partisipasi masyarakat

pembangunan pedesaan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan nasional dan daerah. di dalamnya terkandung unsur pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, termasuk pemenuhan kebutuhan masyarakat yang bermukim di perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan.

perhatian ke arah pemerataan hasil-hasil pembangunan khususnya untuk masyarakat pedesaan menjadi sangat penting karena beberapa alasan : (1) sebagian besar masyarakat bertempat tinggal di pedesaan; (2) bagian terbesar masyarakat miskin berada di pedesaan, kemiskinan di pedesaan dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial yang pada akhirnya dapat memicu ketidakstabilan dan menciptakan gangguan terhadap pembangunan itu sendiri.

rendahnya produktivitas sektor pertanian dibandingkan dengan sektor-sektor non pertanian seperti sektor industri, jasa, pertambangan, dan sektor lainnya serta adanya kebijakan pembangunan yang bias perkotaan, telah menghasilkan ketimpangan pendapatan antara penduduk di perkotaan dan pedesaan.

banyak faktor yang membuat ketertinggalan perekonomian pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. secara singkat evers (1998) mengungkapkan dua sebab : (1) konteks struktural dan (2) konteks kultural. konteks struktural menunjuk pada kebijakan pembangunan (ekonomi & politik) yang lebih mengutamakan pembangunan perkotaan ketimbang perdesaan. konteks kultural dikaitkan dengan stigma bahwa masyarakat perdesaan itu malas, tertinggal, bodoh, miskin dan karena itulah wajar kalau pendapatan mereka menjadi rendah.

dalam konteks struktural tersebut, wiradi (1989) dan hayami kikuchi (1990) mengungkapkan bahwa salah satu sebab rendahnya pendapatan penduduk perdesaan adalah karena keterbatasan akses modal, informasi dan teknologi serta yang paling utama adalah akses sarana dan prasarana. keterbatasan prasarana, terutama transportasi sebagai penunjang utama kegiatan ekonomi, telah menghasilkan kesenjangan dalam standar kehidupan dan kesempatan dalam peningkatan perekonomian antara perdesaan dengan perkotaan. ini akan berimplikasi pada rendahnya produktivitas ekonomi pedesaan.

ketimpangan pembangunan khususnya di pedesaan, tidak terlepas dari implementasi kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dengan negara sebagai aktor utama. chamber (1990) menyebutnya sebagai kebijakan pembangunan yang bersifat betting strong policy dengan strategi state centered development. dalam konteks ini negara menjadi inisiator, pelaksana, sekaligus pengawas dari keseluruhan pembangunan. melalui aparat birokrasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah, hampir semua proses pembangunan baik yang sifatnya fisik maupun non fisik ditentukan, diarahkan dan didorong oleh mereka. model pembangunan yang top down ini tidak saja telah menciptakan ketergantungan masyarakat kepada negara, lebih dari itu telah mematikan inisiatif dan partisipasi masyarakat. masyarakat menjadi pasif sekaligus obyek pembangunan. dalam konteks ini pendekatan development for the people lebih mengedepan ketimbang development of the people.

sejak tahun 1990-an, arah, prinsip, model dan pendekatan pembangunan bergeser menjadi lebih berpihak pada masyarakat. melalui pendekatan pembangunan yang mengacu pada broad based participatory, pembangunan yang diterapkan lebih menempatkan masyarakat sebagai subjek atau pelaku utama pembangunan. dengan model people centered development, pelaksanaan pembangunan didorong dengan lebih mendasarkan pada inisiatif dan partisipasi masyarakat.

pembangunan yang efektif membutuhkan keterlibatan (partisipasi) awal dan nyata di pihak semua pemangku kepentingan {stakeholders) dalam penyusunan rancangan kegiatan yang akan mempengaruhi mereka. sewaktu masyarakat yang terlibat merasa bahwa partisipasi mereka penting, mutu, efektifitas dan efisiensi pembangunan akan meningkat.

hasil kajian brinkerhoff dan benyamin (2002) di filipina mengungkapkan bahwa faktor dominan yang mempengaruhi masyarakat untuk bersedia terlibat dalam pembangunan pedesaan adalah sistem sosial berlaku. sistem sosial mempengaruhi individu atau masyarakat melalui berbagai insentif dan disinsentif.

berbeda dengan brinkerhoff dan benyamin, hasil studi narayan (1995) menunjukkan bahwa faktor yang mendorong masyarakat untuk terlibat dalam proyek penyediaan air di beberapa kota di indonesia adalah faktor kemanfaatan yang diperoleh masyarakat. mereka bersedia terlibat karena secara nyata akan memperoleh manfaat dari proyek yang akan dibangun.

hal yang sama juga diungkapkan oleh suharso (2004) dalam studi evaluasi terhadap proyek p2mpd (program pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah) di 3 kabupaten (sleman, bantul dan wonogiri, ketiganya di propinsi jateng dan diy) yang didanai oleh asian development bank (adb) dan program pkps bbm (program kompensasi pengurangan subsisi bbm) infrastruktur pedesaan yang didanai oleh apbn. kedua program tersebut berfokus pada pembangunan infrastruktur perdesaan seperti jalan, jembatan, irigasi, dan drainase. hasil studi evaluasi kedua proyek tersebut menemukan bahwa kesediaan masyarakat untuk terlibat/berpartisipasi dalam bentuk memberikan sumbangan natura dan innatura didorong oleh faktor harapan terhadap manfaat yang akan diperoleh, sistem sosial, status sosial ekonomi masyarakat dan budaya gotong royong.

berbeda dengan pandangan kedua kajian di atas, putnam (1993) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan seseorang atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdesaan, adalah berkaitan dengan situasi saling ketergantungan, kepercayaan, dan jaringan organisasi sosial yang memfasilitasi kerjasama untuk manfaat bersama.


--------------------------------------
promo blog :
cari buku-buku referensi untuk bahan kuliah, bisa cari sini : http://lapakbuku2riank.blogspot.com
blog khusus jualan buku-buku referensi

tentang pembangunan partisipatif

pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (todaro, 2000 : 20).

pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses kperubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. (rogers,1983 : 25).

pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (todaro, 2000 : 20).

untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. asumsi para pakar yang berpendapat bahwa semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. semangkin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dan menentukan keberhasilan pembangunan. hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya.

korten dalam supriatna (2000 : 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. begitu juga menurut conyers (1991 : 154), yang mengatakan terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu:

pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.

kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut.

ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.

gagasan tentang pelibatan peran warga dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi sesungguhnya bukanlah topik yang baru. semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (economic growth) meninggalkan permasalahan kesenjangan ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan, diantaranya teori-teori redistribution with growth yang dikembangkan oleh chenery (1974), human development oleh justin pikunas (1976), dan people centre development oleh david c. korten (1986).

perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era delivered development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan menempatkan warga sebagai obyek pembangunan dan kemudian ingin diganti denga era partisipatory development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan mereka sebagai subyek dalam proses pembangunan.(ponna wignaraja dalam david c korten, 1986 : 60).

namun tidak dapat juga di sangkal bahwa perencanaan dengan melibatkan masyarakat diangap tidak efektif dan cenderung menghambat pencapaian tujuan pembangunan. ada beberapa pertimbangan untuk kemudian tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu waktu yang lebih lama, serta kemungkinan besar akan banyak sekali pihak-pihak yang menentang pembangunan itu.

menurut soetrisno (1995 : 48) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksanaan pembangunan. defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.

para perencana dan pelaksana menggunakan suatu konsep hirarkis dalam menyeleksi pembangunan pedesaan pada prakteknya. di dalam proses pembangunan itu terlihat ada satu hal yang terjadi dalam interaksi antara para pelaksana pembangunan dan rakyat, yaitu tentang bagaimana para aparat pembangunan melihat usulan-usulan pembangunan. dalam pikiran para aparat pelaksana terdapat “hierarki proyek pembangunan” tersebut, dimana proyek yang datang dari pemerintahan dan proyek yang direncakanan pemerintahan adalah benar-benar proyek yang mencerminkan “kebutuhan rakyat”, dan karena merupakan kebutuhan maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. sedangkan apa yang diusulkan oleh rakyat hanya merupakan “keinginan”, bukan mencerminkan hal yang benar-benar harus ada. karena merupakan keinginan, maka pada umumnya proyek-proyek yang diusulkan oleh rakyat selalu akan diganti dengan usulan-usulan proyek yang digolongkan sebagai proyek “kebutuhan” dan memperoleh prioritas rendah.


aspek-aspek struktural masyarakat desa

secara umum istilah struktur dipahami sebagai susunan. dalam kamus besar bahasa indonesia, struktur juga berarti susunan, atau cara sesuatu disusun atau dibangun. sedangkan struktur sosial dalam kamus besar diartikan sebagai konsep perumusan asas-asas hubungan antar individu dalam kehidupan masyarakat yang merupakan pedoman bagi tingkah laku individu.

struktur fisik desa
struktur phisik suatu desa berkaitan erat dengan lingkungan phisik desa itu dalam berbagai aspeknya. secara agak lebih khusus ia berkaitan dengan lingkungan geogarafis dengan segala cirri-cirinya, seperti iklim, curah hujan, jenis tanah, ketinggian tanah, tingkat kelembaban udara, topografi dan lainnya. perbedaan cirri-ciri phisik ini akan menciptakan pula perbedaan dalam jeni tanaman yang ditanam, system pertanian yang diterapkan, dan lebih lanjut pola kehidupan dari mesing-masing kelompok masyarakatnya.

pola pemukiman adalah berkaitan dengan hubungan-hubungan keruangan antara pemukiman yang satu dengan yang lain dan dengan lahan pertanian mereka. dalam bentuknya yang paling umum terdapat dua pola pemukiman yaitu: -yang pemukimannya berdekatan dengan satu sama lain, -yang pemukiman penduduknya terpencar dan terpisah satu sama lain, dan masing-masing berada di dalam atau tengah lahan pertanian mereka.

secara lebih rinci, paul h. landis membedakan empat pola pemukiman yang ia perkirakan umum terdapat di dunia yakni:
1# the farm village type adalah pola pemukiman dimana penduduk tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat dengan lahan pertanian berada di luar lokasi pemukiman.

2# the nebulous farm type adalah pemukiman dimana penduduk tinggal bersama-sama dan berdekatan di suatu tempat, tetapi terdapat penduduk yang tinggal tersebar di luar pemukiman.

3# the arranged isolated farm type adalah pola pemukiman dimana penduduk tinggal di sekitar jalan dan masing-masing berada di lahan pertanian mereka, dengan suetu trade center di antara mereka.

4# the pure isolated farm type adalah pola pemukiman yang penduduknya tinggal dalam lahan pertanian mereka masing-masing, tepisah dan berjauhan satu sma lain, dengan suatu trade center.

the farm village type merupakan pola pemukiman yang paling dominan di dunia. menurut paul h. landis, pola pemukiman ini dengan beberapa perkecualian merupakan kecenderungan umum di timur / asia. the farm village type ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan dua pola pemukiman lainnya, antara lain: memungkinkan terjadinya hubungan yang intim antara warga/tetangga, kedekatan warga dengan berbagai lembaga, kedekatan teman bermain bagi anak-anak , memudahkan terjadinya saling tolong-menolong atau kerja sama antara sesama warga. singkatnya, pola pemukiman ini kaya akan kehudupan sosial.

struktur biososial
sebagaimana dikemukakan di atas, diantara sejumlah factor yang menciptakan stratifikasi sosial adalah factor biologis. konsep struktur biososial, yakni struktur sosial yang berkaitan dengan factor-faktor biologis, seperti jenis kelamin, usia, perkawinan, suku bangsa, dan lainnya.

desa satu kelas dan dua kelas
dalam hal ini smith dan zopf mengemukakan dua type desa, yakni tipe satu kelas dan tipe dua kelas. secara garis besarnya desa tipe satu kelas data digambarkan sebagai tipe desa yang pemilikan lahan pertanian warganya rata-rata sama. perbedaan yang ada tidak bersifat senjang. sedangkan desa tipe dua kelas secara garis besar digambarkan sebagai desa yang di dalamnya terdapat sejumlah kecil warga yang memiliki lahan yang amat luas, dan sebaliknya dalam jumlah besar merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian.
terdapat dua macam desa tipe satu kelas yang memiliki karakteristik yang berbeda. pertama, adalah desa tipe satu kelas yang pemilikan lahan warganya rata-rata luas. kedua, adalah desa tipe satu kelas yang pemilikan lahan warganya rata-rata sempit. sedangkan desa tipe dua kelas cukup banyak terdapat di berbagai tempat dan merupakan pola tradisional di dunia ini.

pelapisan sosial
stratifikasi sosial sebagai suatu paramida sosial akan lebih terlihat dalam desa tipe satu kelas, yakni apabila setidaknya memenuhi dua persyaratan. pertama, apabila kesamaan dalam pemilikan tanah warganya tidak bersifat mutlak. keseragaman dan kesamaan penguasaan tanah yang jelas di antara petani, umumnya lebih terlihat di negara-negara sosialis. kedua, apabila tidak ada okupasi-okupasi lain di luar sektor pertanian yang dapat menjadi alternative bebas bagi warganya. dalam hal ini smith dan zopf mengetengahkan adanya lima factor yang determinan terhadap system pelapisan sosial masyarakat desa: pertama, luas pemilikan tanah dan sejauh mana pemilikan itu terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil orang atau sebaliknya. kedua, pertautan antara sector pertanian dan industri. ketiga, bentuk-bentuk pemilikan atau penguasaan tanah. keempat, frekuensi perpindahan petani dari lahan satu ke lahan lainnya. kelima, komposisi rasional penduduk.

sekilas tentang modal sosial dan pembangunan pedesaan

menurut eko sutoro, tidak terdapat pengertian atau difinisi tunggal atas modal sosial. namun merujuk pada apa yang telah disampaikan oleh coleman, ia menjelaskan tentang modal sosial ;

“modal sosial ditetapkan oleh fungsinya. modal sosial bukan merupakan sebuah entitas (entity) tunggal tetapi berbagai macam entitas yang berbeda, dengan dua elemen bersama: terdiri dari beberapa aspek struktur sosial, dan memfasilitasi tindakan pelaku-pelaku tertentu dalam struktur itu. sebagaimana bentuk modal lain, modal sosial adalah produktif, membuat mungkin pencapaian tujuan tertentu yang di dalam ketiadaannya akan tidak mungkin. sebagaimana modal fisik dan modal manusia, modal sosial sama sekali tidak fungible tetapi mungkin specific untuk aktivitas tertentu. tidak seperti bentuk modal lain, modal social melekat dalam struktur hubungan antara para pelaku dan diantara para pelaku”

perkembangan seringkali mengakibatkan perubahan, bahkan kadangkala perubahan atas apa yang ada sebelumnya. demikian juga perkembangan desa, acapkali meminta setiap anggota masyarakat desa untuk bersedia merubah sikap, pandangan dan kelakuannya, agar dengan demikian terjadilah modernisasi dan kemajuan masyarakat.

dalam keadaan yang demikian, tak jarang terjadi konflik baik kecil-kecilan maupun besar-besaran, pertentangan pendapat dan kelakuan di sana-sini. konflik dapat terjadi antara lain karena perubahan itu sendiri, dapat pula karena datangnya gagasan baru yang dapat terjadi karena perbedaan pendapat diantara para pemimpin di pedesaan.

diketahui bersama bahwa kebersihasilan program pembangunan sangat dipengaruhi oleh sumberdaya yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan. secara teoritis, sumberdaya telah diklasifikasikan dalam beberapa sumber daya yang penting. pertama sumberdaya alam (natural resources, disebut juga natural capital); kedua, sumberdaya buatan (physical resources, disebut juga physical capital); ketiga, sumberdaya manusia (human resources, disebut juga human capital); dan keempat sumberdaya sosial (social recources, disebut juga capital sosial).

daerah perdesaan yang menjadi bagian unit bawah dari struktur pemerintahan harus memiliki andil bagi pengembangan masyarakat. oleh karena desa memiliki karakteristik yang relatif masih alamiah dengan “bangunan” modal sosial yang kental. tradisi gotong royong, solidaritas dan jaringan kerja yang kolektif membuktikan desa memiliki potensi untuk menjadi wadah pengembangan ekonomi lokal.