Definisi Negara


Sebagai suatu konsep yang abstrak, negara sebenarnya tidaklah begitu mudah untuk dideskripsikan maupun didefinisikan, sehingga sampai saat ini belum ada definisi negara yang memuaskan dan tuntas, yang sifatnya memadai untuk membimbing kita ketika menjelaskan “peran negara”, terutama dalam memahami hubungannya dengan aktor non negara. Teori besar yang berkaitan seperti Pluralis-Liberal maupun Marxis-Klasik mengalami kesulitan yang sama ketika dikaitkan dengan definisi. Disamping itu, teori ini mengalami kesulitan dalam usaha menangkap peran, fungsi dan perkembangan negara di dunia ketiga.

Studi tentang negara mengalami perkembangan yang cukup intensif, khususnya menyangkut kedudukan dan peranan negara kaitannya dengan masyarakat. Negara sebagai struktur organisasi atau aktor sejarah yang potensial mulai dijelaskan dalam studi yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai ragam disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang dan pendekatan ideologis, sehingga kondisi ini memunculkan teori-teori tentang negara, baik itu negara sebagai alat (instrument), teori strukural tentang negara maupun negara sebagai suatu kekuatan yang mandiri. Djiwandono (1987) mengemukakan bahwa kritik utama yang dilancarkan oleh para penentang pendekatan yang menempatkan negara sebagai pusat (state centered) adalah mereka yang melihat semakin pentingnya aktor-aktor lain diluar negara (non state actor). Sedangkan kritik yang datangnya dari pendekatan individu (individual centered) berangkat dari kekuatiran akan terjadinya manipulasi oleh sekelompok elit kekuasaan yang mengklaim bahwa kepentingannya itu ditujukan untuk negara.

Dalam disipilin ilmu politik, studi tentang negara mendapatkan tempat yang agak meningkat. Hal ini dimungkinkan bukan hanya telah berkembangnya literatur-literatur mengenai negara dan derasnya kemunculan rezim pada negara pasca kolonial yang otoriter dan represif, akan tetapi ditandai dengan semakin besarnya bahkan semakin bertahan dan menguatnya peran yang dimainkan oleh negara di Dunia Ketiga. Kondisi ini menyebabkan negara dalam hubungannya dengan individu masyarakat sipil non negara akan tetap dominan di masa-masa mendatang. Bahkan Giddens (1990, 69) menegaskan bahwa bagaimanapun juga, negara masih memainkan peranan penting, sebab pengawasan atas yurisdiksi nasional, otoritas politik dan ekonomi domestik serta hak-hak teritorial masih berada dalam genggaman dan dominasi negara.

Perbedaan persepsi tentang bagaimana yang semestinya (normatif) dimainkan oleh negara selama ini didukung oleh landasan-landasan teoritis yang berakar pada filsafat politik. Akan tetapi fenomena yang belakangan terjadi, telaah atas negara mulai mengacu pada kenyataan-kenyataan empiris. Sehingga dalam konteks ini negara mempunyai format yang berbeda-beda dalam kehidupan sosial. Melalui kemampuan pendanaan (eksploitasi sumber alam atau hutang luar negeri) serta penguasaan atas hukum dan aparat (birokrat), memungkinkan  negara-negara berkembang memiliki peran yang semakin besar. Kenyataan ini didukung oleh posisi masyarakat yang sangat dependent, sehingga secara esensial negara memiliki otoritas dan sekaligus sumber legitimasi, yang berakibat pada ketergantungan dan keterbelakangan masyarakat sipil pada sistem sosial masyarakatnya.

Menurut Sosialismanto (2001), peran yang dimainkan oleh negara ketika berhubungan dengan masyarakat, dapat dilihat melalui tiga perspektif, yakni :
  1. Pendekatan liberal klasik (pluralisme liberal) yang memusatkan perhatian pada persoalan normatif (ideal), empiris dan metodologik, yaitu individu-individu yang kebebasannya mengejar kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik. Pandangan ini percaya bahwa masyarakat akan mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga peran yang dimainkan oleh negara sangat kecil dan terbatas. Peranan negara dalam perspektif ini meliputi :
·         Peranan untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan campur tangan satu kelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
·         Peranan melindungi masyarakat dari perlakuan tidak adil oleh anggota masyarakat lainnya atau tugas menciptakan kepastian administratif keadilan.
·         Melaksanakan pekerjaan umum dan membangun institusi-institusi tertentu yang tidak mungkin dibangun oleh masyarakat secara individual.
  1. Peranan negara dalam perspektif Marxis dengan premis-premis yang berlainan mempunyai perbedaan dan persamaan dengan perspektif liberal klasik. Perbedaannya terletak pada penolakan asumsi liberal klasik akan fungsi normatif negara yang secara netral akan menjamin kompetisi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Perspektif Marxis melihat bahwa secara eksklusif, negara merupakan alat penindas dari kelas yang berkuasa, yang dapat menjadi mesin untuk menekan kelompok yang tertindas. Persamaannya terletak pada pandangan bahwa masyarakat sosialis (komunis) juga mampu untuk mengatur dirinya sendiri, sehingga secara implisit teori negara ini telah menempatkan masyarakat menjadi independent dan negara menjadi dependen variabel. Selain itu, teori Marxis mengembangkan suatu konsep yang non-hegemoni, selain negara sebagai alat hegemoni. Dua persepektif diatas melihat peran negara sebagai society-centered approach, sehingga sekalipun institusi negara diperlukan oleh masyarakat akan tetapi peran tersebut hanya terbatas pada kemauan masyarakat, atau dengan kata lain bahwa negara hanya dipandang sebagai institusi yang pasif, dependen dan bukan sebagai organisasi yang melakukan fungsi penetratif terhadap kehidupan sosial.
  1. Konsepsi dari peran negara pada Dunia Ketiga (Negara berkembang) jelas memerlukan pemahaman yang lebih empiris, sehingga mampu menjelaskan fenomena otoriterisme yang terjadi. Dalam konteks ini, negara ditempatkan sebagai institusi yang memiliki kemandirian atau independensi (teori menguatnya negara) yang berakibat pada melemahnya peran masyarakat sipil.

Pemikir Klasik Barat seperti John Locke, J.J. Rosseau dan  G.W. Frederich Hegel (Suseno; 1988, 70) mengemukakan peran negara kaitannya dengan masyarakat, sebagai : Pertama, negara mempunyai posisi yang sangat netral dari berbagai kepentingan dalam masyarakat. Ia diibaratkan sebagai wasit dalam suatu perlombaan yang memperebutkan kepentingan dalam masyarakat. Pada tataran ini, posisi masyarakat menjadi kuat, sedangkan negara menjadi lemah. Kedua, negara dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang bersifat integral dan totalitas, sehingga tidak ada dualisme diantara keduanya. Ketiga, negara memiliki posisi yang otonom ketika berhadapan dengan masyarakat, dalam hal ini Negara mampu mengambil inisiatif sendiri tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Keempat, otonomisasi negara atas masyarakat seperti tersebut dalam sifat ketiga kemudian membuat negara cenderung menduduki posisi dominan dalam setiap pengambilan keputusan. Kelima, otonomisasi negara atas masyarakat juga membawa implikasi pada tumbuhnya negara yang alienatif dari masyarakat. Keenam, negara hanya menjadi alat instrumen bagi kelas dominan dalam masyarakat kapitalis dan alienatif bagi masyarakat sosialis.

Dari berbagai kajian tentang hubungan antara negara dengan masyarakat, dapat disimpulkan suatu tipologi berdasarkan dua kriteria, yakni apakah negara itu mandiri dan atau apakah negara menjamin kepentingan umum. Konsekuensi utama dari menguatnya negara adalah melumpuhkan dinamika dan daya kreatif masyarakat sipil yang pada tahap selanjutnya akan menghambat proses pembangunan negara di segala bidang. Sebaliknya apabila negara terlalu lemah akan menimbulkan sifat anarkhi. Keseimbangan antara negara dan masyarakat sipil adalah model yang normatif dan senantaisa dicari karena merupakan isyarat dan prasyarat bagi transisi kearah demokratisasi yang diinginkan.

Pendekatan teoritik mengenai otonomi negara (negara kuat) menjadi cukup representatif dan signifikan untuk menggambarkan dan menganalisis peran negara di Dunia Ketiga (negara berkembang), termasuk Indonesia, yang dalam konteks ini posisi masyarakat menjadi sangat lemah. Dengan demikian substansi dalam pemikiran ini telah melihat kebangkitan fungsi-fungsi negara di Indonesia yang semakin menguat disebabkan oleh suatu proses struktural historis yang telah berlangsung sejak periode Kolonial Hindia Belanda. Struktur masyarakat yang tumbuh sebagai akibat dari kolonialisme yang telah bertahan pada masa pasca kolonial dengan kecenderungan dan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masa kolonial, sehingga dengan demikian proses semacam ini mempengaruhi pembentukan negara dan masyarakat pasca kolonial, yang oleh Alavi (1972) disebut sebagai “post colonial-state”.

Di Indonesia, pengertian negara diartikan sama dengan pemerintah karena dalam kenyataannya lembaga eksekutif lebih mendominasi apabila dibandingkan dengan pihak lainnya. Paling tidak, menurut Rahardjo (1984), pemerintah memonopoli identitas (representasi) negara. Konsekuensi logis dari identifikasi (aktor) pemerintah sebagai negara adalah, bahwa pemerintah selalu berada pada pihak yang benar dan kuat, sedangkan yang berada di luar lingkaran kekuasaan negara (masyarakat) merupakan pihak yang lemah. Dalam UUD 1945 sendiri memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap lembaga eksekutif negara. Pengertian yang demikian itu, sebenarnya keliru karena telah menempatkan kekuatan non negara (masyarakat sipil) pada posisi pinggiran, sehingga sama sekali tidak mempunyai akses atau representasi terhadap negara, meskipun secara empiris pemerintah (negara) di Dunia Ketiga mendominasi dan menentukan hampir segala aspek kehidupan masyarakat.