Teori Pilihan Publik

Teori Pilihan Publik menggunakan prinsip yang sama seperti yang digunakan para ekonom untuk menganalisa kegiatan masyarakat di pasar dan menerapkannya pada kegiatan masyarakat dalam pembuatan keputusan publik Ekonom-ekonom yang mengkaji perilaku dalam pasar swasta mengasumsikan bahwa orang digerakkan terutama oleh kepentingan pribadi. Walaupun banyak orang mendasarkan sejumlah tindakan mereka karena kepedulian mereka terhadap orang lain, motif dominan dalam tindakan orang di pasar –baik mereka merupakan, pengusaha, pekerja, maupun konsumen, adalah suatu kepedulian terhadap diri mereka sendiri. Ahli Ekonomi Pilihan Publik membuat asumsi yang sama bahwa walaupun orang bertindak dalam pasar politis memiliki sejumlah kepedulian terhadap orang lain, motif utama mereka adalah kepentingan pribadi. Teori pilihan publik berusaha mengkaji tindakan rasional dari aktoraktor politik, baik di parlemen, lembaga pemerintah, lembaga kepresidenan, masyarakat pemilih, pencinta lingkungan hidup dan sebagainya.

Buchanan (dalam Rachbini, 2002) mengulas teori pilihan publik dari dua aspek, yaitu dari pertama dari aspek pendekatan catallaxy (ekonomi sebagai ilmu pertukaran) Para pelaku politik menawarkan berbagai kebijakan publik kepada masyarakat.  Pembeli kebijakan publik ini adalah masyarakat pemilih yang akan memilih kebijakan yang benar-benar dapat mewakili kebutuhan mereka.

Kedua, dari aspek konsep homo economicus (konsep manusia ekonomi). Konsep ini menjelaskan bahwa manusia cenderung memaksimalkan manfaat utilitas untuk dirinya karena dihadapkan pada kelangkaan sumber daya. Dalam pasar politik, politisi sebagai pelaku memaksimalkan kepuasan pribadi yang dimotivasi oleh banyak factor seperti gaji,reputasi publik, kekuasaan dan ruang untuk mengontrol birokrasi. Sementara para pemilih akan mengontrol suara untuk mendapatkan kebijakan yang diinginkan.

Berdasarkan kedua aspek utama dalam kajian ilmu tersebut, maka sebagai pemasok (supplier) adalah para politisi, parpol, birokrasi dan pemerintah; sedang sebagai peminta (demander) adalah pemilih (voters). Jenis transaksi komoditas publik, alat transaksi suara dan jenis pertukaran adalah politik sebagai pertukaran.
Kebijakan publik yang akan diambil tentunya berdasarkan asas pertukaran yang didasari pemikiran rasional. Interaksi antara penawaran dan permintaan terjadi, di mana politisi dipandang sebagai produsen yang menawarkan cara terbaik untuk mengonsumsi komoditas publik dan masyarakat pemilih sebagai konsumen, yang akan memanfaatkan dan mengkonsumsi komoditas publik tersebut.  Sekiranya kekuatan permintaan dan penawaran seimbang, maka kebijakan publik yang diambil akan menguntungkan kesemua pihak. Teori ini mengasumsikan bahwa setiap individu bertindak rasional tanpa mengindahkan kekayaan lembaga, budaya, dan politik masyarakat yang ada.

Pilihan publik dalam aplikasinya sangat erat kaitannya dengan mayarakat pemilih, partai politik, politisi, birokrat, kelompok kepentingan dan aturan-aturan pemilihan umum. Ini bisa dilihat dalam sistem ketatanegaraan kita yang mengedepankan demokratisasi yang berwujud pada pemilihan-pemilihan anggota legislatif maupun eksekutif.

Menurut Didik j. Rachbini (2002) fungsi dari pilihan publik dalam kebijakan ekonomi adalah :
  1. Menunjukkan bagaimana sikap (behavior) yang diinterpretasikan sesuai medium budaya dan ideologi yang ada.
  2. Mengiluminasikan kondisi-kondisi keberhasilan tindakan kolektif dan untuk menunjukkan mengapa sebagian kepentingan bias lebih diagregasikan dan sebagian lainnya tidak.
  3. Bisa menjadi petunjuk bagi decision maker untuk menentukan pilihan kebijakan yang paling efektif.

Belajar 3# : Teori Good Governance


Secara teoretis, terdapat tiga komponen penting yang terkait satu sama lain dalam good governance. Pertama adalah institusi negara (state). Komponen pertama ini memiliki peran penting, khususnya dalam meletakkan landasan bagi keberadaan pemerataan, keadilan, dan kedamaian serta membangun lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi pembangunan.

Komponen kedua adalah masyarakat madani (civil society). Komponen yang kedua ini memiliki peran penting dalam membangun landasan bagi adanya kebebasan dan persamaan, termasuk kebebasan mengekspresikan diri yang dapat dipertanggungjawabkan.

Ketiga adalah sektor swasta (privat sector). Keberadaan komponen ketiga ini penting untuk meletakkan landasan bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Sektor swasta dapat berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan, meningkatkan volume produksi dan perdagangan, membangun SDM, dan langkah-langkah penting lainnya.

Good governance tidak hanya penting bagi eksistensi negara bangsa yang berkeadilan dan berkemakmuran, namun juga penting juga diterapkan di daerah, termasuk unit-unit politik yang lebih bawah lagi. Lebih-lebih ketika otoritas dan kekuasaan negara banyak didesentralisasikan ke daerah. Konsep desentralisasi sebenarnya tidak hanya berkaitan dengan pendelegasian masalah-masalah teknis administratif, tetapi juga masalah-masalah kekuasaan.

Melalui good governance, di daerah akan ditemukan sebuah entitas atau kehidupan politik yang berkarakteristik seperti adanya partisipasi, memiliki visi yang strategis, rule of  law, transparansi, responsif, pertanggungjawaban dan efektivitas serta efisien. Karakteristik demikian sangat diperlukan guna mencapai tujuan desentralisasi itu, yakni adanya pengelolaan daerah yang sesuai dengan konteks kedaerahan.

Teori governance dengan salah satu pendekatannya yang disebut socio cybernatics approach (Rhodes, 1996). Inti dari pendekatan ini adalah bahwa sejalan dengan pesatnya perkembangan masyarakat dan kian kompleknya isyu yang harus segera diputuskan, beragamnya institusi pemerintah serta kekuatan masyarakat madani (civil society) yang berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan (policy making), maka hasil akhir (outcome) yang memuaskan dari kebijakan publik tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan sektor pemerintah saja.  Berkaitan dengan hal tersebut Abdul Wahab (1999 : 5) dengan lugas menyatakan bahwa “Kebijakan publik yang efektif dari sudut teori governance adalah produk sinergi interaksional dari beragam aktor atau institusi”.

Pendekatan governance lebih mementingkan pada tindakan bersama (collective action), keinginan pemerintah untuk memonopoli proses kebijakan dan memaksakan berlakunya kebijakan tersebut akan ditinggalkan dan diarahkan ke arah proses  kebijakan yang lebih inklusif, demokratis dan partisipatif.  Masing-masing aktor akan berinteraksi dan saling memberi pengaruh (mutually inclusive) demi tercapainya kepentingan bersama.

World Bank memberikan definisi istilah governance sebagai cara kekuasaan negara digunakan untuk mengatur sumber daya ekonomi dan sosial dalam pembangunan masyarakat (the way state power is used in managing economic and social resources for development of society). Sementara UNDP dalam LAN dan BPKP (2000 : 5) mendefinisikan sebagai berikut : “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s  affair at all levels”. Menurut definisi terakhir ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative.  Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap keadilan, kesejahteraan, dan kualitas hidup (equity, poverty and quality of live). 
 
Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi atau penyusunan kebijakan. Administrasi governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), privat sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan aktif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik, termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik.

Pada hakekatnya konsep governance menggambarkan adanya perubahan makna pemerintahan yang merujuk kepada : a) suatu proses baru dalam memerintah (a new process of governing); b) perubahan kondisi dalam tata aturan (a changed condition of ordered rule); dan c) metode baru tentang peran serta masyarakat dalam pemerintahan (the new methode by which society is governed). (Rhodes, 1996 : 652 – 653).

Good governance mengarahkan kepada upaya untuk  memperbaiki dan meningkatkan proses manajemen pemerintahan sehingga kinerjanya menjadi lebih baik. Pola dan gaya pemerintahan harus segera dibenahi dan dikembangkan dengan menggunakan konsep good governance sebagaimana diuraikan oleh Stoker (1998) dalam lima proposisi kepemerintahan yang baik (good governance) sebagai berikut  :
  1. Governance refers to a complex set of institution and actors that are drawn from but also beyond government.
  2. Governance recognizes the blurring of boundaries and responsibilities for tackling social and economic issues.
  3. Governance identifies the power dependence involved in the relationships between institution involved in collective action.
  4. Governance is about outonomous self governing networks of actors.
  5. Governance recognizies the capacity to get thing done which does not ret on the power of government to command or use its authority. It sees government as able to used new tools and techniques to steer and guide.

Belajar 2 # postingan tentang konsep partisipasi lagi

Untuk postingan yang kedua dinihari ini, seperti postingan pertama : belajar 1# : konsep partisipasi. postingan yang kedua ini masih tentang konsep partisipasi. Tapi dalam postingan yang kedua ini, pembahan tentang konsep partisipasi lebih pada tinjauan partisipasi dalam perspektif perundang-undangan.

Partisipasi publik dalam kebijakan pembangunan di negara-negara yang menerapkan demokrasi termasuk di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sebagai suatu konsep dan praktek pembangunan, konsep partisipasi baru dibicarakan pada tahun 60 an ketika berbagai lembaga internasional mempromosikan partisipasi dalam praktek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.

Di Indonesia, landasan hukum pelaksanaan partisipasi masyarakat adalah UUD’45 yang menyebutkan bahwa partisipasi adalah hak dasar warga Negara, dan partisipasi politik sebagai prinsip dasar demokrasi. Presiden Suharto sejak tahun 1966 menerapkan konsep partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dan sesuai dengan paradigma pemerintahan orde baru yang sentralistik, seluruh kebijakan pembangunan dilakukan secara “top-down”.

Inisiatif dalam menetapkan kebijakan pembangunan berasal dari atas (pejabat berwenang) tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholder lainnya. Dalam kaitan ini masyarakat dilibatkan dalam pelaksanaan kegiatan terutama dalam membantu dana maupun tenaga. Pada saat itu partisipasi dipandang sebagai proses mobilisasi yaitu penggerakkan masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Meskipun model ini memiliki keunggulan karena pelaksanaan pembangunan dapat dilakukan secara cepat, namun kelemahan yang dijumpai adalah masyarakat sering merasa tidak memiliki dan tidak merasakan manfaat dari kegiatan pembangunan tersebut.

Sejak tahun 1999 dikeluarkan berbagai instrument hukum berupa undangundang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang membuka lebar ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik dan monitoring pembangunan. UU 32/2004 tentang pemerintah daerah, secara substantif menempatkan partisipasi masyarakat sebagai instrumen yang sangat penting dalam sistem pemerintahan daerah dan berguna untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan sosial, menciptakan rasa memiliki pemerintahan, menjamin keterbukaan, akuntabilitas dan kepentingan umum, mendapatkan aspirasi masyarakat, dan sebagai wahana untuk agregasi kepentingan dan mobilisasi dana.

Selain UU 32/2004, berbagai peraturan yang secara sektoral memberikan ruang bagi partisipasi publik diantaranya UU 25/2004 tentang system perencanaan pembangunan nasional (SPPN), UU no.7/2004 tentang sumber daya air, UU No.20/2003 TENTANG Sistem Pendidikan Nasional, UU No.23/1992 tentang kesehatan, UU No.24/1992 tentang penataan ruang, UU No.41/1999 tentang kehutanan, dan masih banyak lagi peraturan yang secara sektoral mengatur partisipasi masyarakat. Semua peraturan tersebut pada intinya memberikan ruang yang sangat luas pada partisipasi masyarakat dalam menentukan kebijakan publik dan implementasinya.

Sesungguhnyalah penyusunan kebijakan publik sejak awal harus melibatkan masyarakat secara bersama-sama menentukan arah kebijakan (model bottom-up), sehingga melahirkan suatu kebijakan yang adil dan demokratis. Pembuat kebijakan yang demokratis menawarkan dan mejunjung tinggi pentingnya keterbukaan dan keterlibatan masyarakat dalam menentukan arah kebijakan pembangunan. Melalui cara partisipatif seperti itu akan melahirkan suatu keputusan bersama yang adil dari pemerintah untuk rakyatnya, sehingga akan mendorong munculnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan yang sedang berjalan. Keputusan pemerintah yang mencerminkan keputusan rakyat akan mendorong terjadinya suatu sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Model bottom-up ini memiliki kelemahan yakni prosesnya sering kali lamban dan tidak didukung oleh dana yang memadahi dan seringkali rencana dibuat jauh melebihi kemampuan anggaran dana yang dimiliki, sehingga kegiatan pembangunan tidak dapat direalisasikan. Ketidakseuaian antara rencana dan anggaran yang dimiliki daerah disebabkan karena rencana rencana dibuat berdasarkan pada kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan bukan kebutuhan nyata (real need). Pasca reformasi, partisipasi masyarakat menjadi perbincangan banyak kalangan mulai dari penyelenggara negara sampai masyarakat dipelosok negeri ini.

Aparat Negara mengerti betul bagaimana sebuah kebijakan harus disusun melalui sebuah proses yang partisipatif, dan apabila mereka ditanya jawabanya adalah semuanya sudah melalui proses konsultasi publik sebagai bentuk partisipasi. Kenyataannya, sampai sekarang masih terjadi gap atau jarak yang tak terjamah oleh publik dalam memberikan masukan untuk menentukan kebijakan pembangunan. Instrumen hukum yang mengatur partisipasi masyarakat belum menjelaskan bagaimana partisipasi masyarakat itu dilaksanakan, sehingga partisipasi hanya sebatas wacana tanpa ketahuan seperti apa bentuk dan implementasinya. Berdasarkan uraian diatas, tulisan ini akan mendeskripsikan implementasi partisipasi publik di Indonesia, sehingga diperoleh pemahaman mengenai bagaimana mekanisme perencanaan partisipasif disusun oleh pemerintah dan masyarakat.

Belajar 1# : Konsep Partisipasi Masyarakat

Memposting tentang partisipasi masyarakat lagi. Maklum, beberapa minggu ini, saya lagi “dipaksa” belajar tentang partisipasi masyarakat untuk penyusunan sebuah karya ilmiah, jadi banyak mengumpulkan bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat. Berikut hasil mengumpulkan bahan belajar tentang partisipasi masyarakat :

Konsep partisipasi dalam perkembangannya memiliki pengertian yang beragam walaupun dalam beberapa hal memiliki persamaan. Dalam pembangunan yang demokratis, terdapat tiga tradisi partisipasi yaitu partisipasi politik, partisipasi sosial dan partisipasi warga (Gaventa dan Valderama, 1999). Partisipasi dalam proses politik yang demokratis melibatkan interaksi individu atau organisasi politik dengan negara yang diungkapkan melalui tindakan terorganisir melalui pemungutan suara, kampaye, protes, dengan tujuan mempengaruhi wakil-wakil pemerintah.

Partisipasi sosial dalam konteks pembangunan diartikan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai pewaris pembangunan dalam kunsultasi atau pengambilan keputusan di semua tahapan siklus pembangunan (Stiefel dan Wolfe,1994). Dalam hal ini partisipasi social ditempatkan diluar lembaga formal pemerintahan. Sedangkan partisipasi warga diartikan sebagai suatu kepedulian dengan perbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka (Gaventa dan Valderama, 1999).

Dalam konsep pembangunan, pendekatan partisipasi dimaknai; pertama, sebagai kontribusi masyarakat untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan dalam mempromosikan proses-proses demokratisasi dan pemberdayaan (Cleaver 2002, dalam Cooke dan Kothari, 2002:36). Kedua, pendekatan ini juga dikenal sebagai partisipasi dalam dikotomi instrumen (means) dan tujuan (ends). Konsep ketiga, partisipasi adalah  elite capture yang dimaknai sebagai sebuah situasi dimana pejabat lokal, tokoh masyarakat, LSM, birokrasi dan aktor-aktor lain yang terlibat langsung dengan program-program partisipatif, melakukan praktik-praktik yang jauh dari prinsip partisipasi.

Dalam argumen effisiensi, Cleaver mengatakan bahwa partisipasi adalah sebuah instrumen atau alat untuk mencapai hasil dan dampak program/kebijakan yang lebih baik, sedangkan dalam argumen demokratisasi dan pemberdayaan, partisipasi adalah sebuah proses untuk meningkatkan kapasitas individu-individu, sehingga menghasilkan sebuah perubahan yang positif bagi kehidupan mereka (dalam Cooke dan Kothari, 2002:37).

Perbedaan cara pandang atas partisipasi dalam konteks pembangunan seperti di atas, akan memberikan implikasi yang berbeda dalam melakukan analisis terhadap hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif dan cara bagaimana komunitas sasaran mendapatkan manfaat dari proses pembangunan. Dalam perspektif instrumental, hubungan antara masyarakat sebagai sasaran program dan pengambil kebijakan atau lembaga pemberi bantuan relatif tidak terjadi. Dengan kata lain tidak ada interaksi antara kedua pihak, sehingga desain program dan kebijakan pembangunan yang dibuat lebih banyak atau bahkan sepenuhnya berada di tangan para elite (community leader). Sementara masyarakat penerima manfaat hanyalah terlibat seputar implementasi program bahkan hanya sebagai tukang. Sebaliknya, pendekatan tujuan memandang hubungan kekuasaan dalam sebuah proses yang partisipatif mengarah pada upaya-upaya perubahan dan pemberdayaan dari masyarakat itu sendiri, sehingga harus ada kesamaan hubungan kekuasaan dalam perencanaan maupun pelaksanaan program/kebijakan pembangunan. Masyarakat sasaran harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi secara langsung, sehingga mereka tahu apa yang diputuskan dan manfaat yang akan diambil pada saat program diimplementasikan dan selesai dijalankan (Parfitt, 2004:539).

Dari berbagai pengertian partisipasi tersebut, paling tidak ada dua pengertian partisipasi, (1) partisipasi masyarakat dalam pembangunan diartikan sebagai dukungan rakyat dengan ukuran kemauan masyarakat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga; (2) partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dari pengertian kedua ini tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun serta ada tidaknya kemauan rakyat untuk melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu secara mandiri.

Dari sudut pandang sosiologis, pengertian pertama tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi masyarakat, melainkan mobilisasi masyarakat dalam pembangunan. Partisipasi berarti mendorong proses belajar bersama, berkomonikasi yang seimbang dalam membahas persoalan publik, menjadikan kesepakatan warga sebagai sumber utama dalam pengambilan keputusan ditingkat politik formal dan memberi ruang bagi masyarakat untuk mengontrol keputusan publik agar dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Dengan demikian pengertian partisipasi adalah keterlibatan seseorang dalam suatu kegiatan mulai dari menentukan tujuan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dengan dilandasi oleh kesadaran akan tujuan itu.

Pengertian partisipasi mana yang akan dipakai, sangat tergantung pada system pemerintahan yang dianut negara yang bersangkutan. Menurut Peters (1996), partisipasi dapat tumbuh subur pada tata pemerintahan yang lebih menekankan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan dibanding hirarki dan teknokrasi. Kebijakan bukan persoalan teknis yang dapat diselesaikan secara teknokrasi oleh sekelompok orang yang dipercaya untuk merumuskannya, tetapi kebijakan merupakan ruang bagi teknokrat dan masyarakat untuk melakukan kerjasama dan menggabungkan pengetahuan. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijakan harus melibatkan pihak yang luas dan menjamin kepentingan stakeholders.

Mengapa pelibatan masyarakat dalam perencanaan kebijakan pembangunan penting dilakukan, karena pelibatan masyarakat dalam membuat kebijakan merupakan faktor utama dalam good governance yang memberikan manfaat besar terhadap kepentingan public, diantaranya meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat dan sebagai sumber bahan masukan terhadap pemerintah sebelum memutuskan kebijakan. Bagi pendukung partisipasi, keunggulan partisipasi adalah menjamin ketercapaian tujuan, menjamin keberlanjutan, menjamin terakomodasinya suara kelompok marjinal terutama kelompok miskin dan perempuan. Bagi pengkritik model partisipasi berpendapat bahwa partisipasi dapat menyebabkan pembengkakan biaya dan waktu untuk formulasi kebijakan.

Tentang Definisi Partisipasi


Dalam Kamus Bahasa Indonesia Populer, partisipasi didefinisikan sebagai “hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan; keikutsertaan; peran serta”.Sementara itu dalam kamus Bahasa Inggris partisipasi disebut dengan “Participate” yang artinya mengikutsertakan atau mengambil bagian, sementara orang yang ikut serta atau ambil bagian dalam suatu kegiatan tersebut, dalam Bahasa Inggris disebut dengan “Participant”. Partisipasi adalah pengikut sertaan suatu aktifitas untuk membangkitkan perasaan serta dalam kegiatan organisasi, turut serta dalam organisasi.

Untuk memperjelas pengertian tersebut Bhattacharyya (dalam Supriatna, 1985:30) mengatakan bahwa partisipasi menurut literatur berarti ikut serta mengambil bagian dalam kegiatan bersama. Sedangkan Mubyarto (1984:35) mendefinisikan sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri.

Selain itu, Bank Dunia (1990) mendefinisikan Partisipasi sebagai “Suatu proses dimana setiap stakeholders mempengaruhi dan membagi pengawasan pada inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumberdaya yang mempengaruhi mereka”. Dari definisi tersebut terdapat beberapa konsep yaitu Stakeholders (pihak-pihak yang berkepentingan), pengawasan dan sumberdaya. Ketiga konsep tersebut kemudian saling interaksi dalam suatu sistem atau proses yang disebut partisipasi.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa partisipasi adalah hal ikut sertanya setiap orang atau kelompok orang dalam suatu kegiatan dan merupakan suatu aktifitas dalam organisasinya untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan. Jika dihubungkan dengan kegiatan sosial, maka partisipasi dapat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan sosial untuk mencapai tujuan sosial kemasyarakatan yakni meningkatkan keadaan sosial masyarakat menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumarto yang mengatakan : partisipasi merupakan proses anggota masyarakat sebagai individu maupun kelompok sosial dan organisasi, mengambil peran serta ikut mempengaruhi proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka.

Proses masyarakat dalam mengambil peran dalam kegiatan sosial sebagai mana pendapat yang dikemukakan diatas, dalam kenyataannya tidak terjadi begitu saja.Dibutuhkan motivasi terhadap masyarakat agar mau berpartisipasi dalam suatu kegiatan sosial masyarakat, dalam hal ini Soetomo menegaskan,

Berdasarkan motivasi yang mendasarinya, partisipasi dapat dibagi menjadi beberapa bentuk, yakni ; berpartisipasi karena perasaan takut, berpatisipasi karena sekedar ikut-ikutan dan solidaritas, berpartisipasi karena mengerti dan sadar bahwa partisipasinya dalam kegiatan sosial tersebut merupakan kewajiban sekaligus haknya.

Selanjutnya menurut Soetomo bentuk partisipasi yang paling terakhir itulah yang paling ideal. Meskipun demikian harus disadari pula, bahwa dalam praktek tidak jarang terjadi bentuk partisipasi karena perasaan takut (pertama) serta bentuk partisipasi karena ikut-ikutan dan solidaritas (kedua) mendahului bentuk partisipasi atas dasar kesadaran pribadi (ketiga).karena bentuk partisipasi atas dasar kesadaran pribadi dianggap paling ideal, maka yang paling penting dalam menggerakkan partisipasi adalah penanaman pengertian secara luas dan merata tentang makna partisipasi dalam kegiatan sosial, arti penting bermasyarakat serta kegotong royongan.

Dari uraian diatas, maka dapat dikatakan partisipasi membutuhkan suatu interaksi antara masyarakat dan pemerintah, interaksi yang dimaksud adalah saling pengertian dan mendukung antara pemerintah dan masyarakat, tanpa ada itu maka partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan social akan sulit terjadi.

Menurut Ach. Wazir Ws, partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi, perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama.”

Pengertian partisipasi yang dikemukakan diatas dimaksudkan bahwa dalam partisipasi berupa wujud kesadaran diri seseorang atau sekelompok masyarakat untuk turut berperan dalam konteks  hubungan sosial dimana memiliki rasa tanggung jawab bersama dari dalam diri masing-masing

Partisipasi masyarakat menurut Isbandi adalah : Keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.

Mikkelsen  membagi partisipasi menjadi 6 (enam) pengertian, yaitu:
  1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan;
  2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan;
  3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri;
  4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu;
  5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial;
  6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.
Dari tiga pakar yang mengungkapkan definisi partisipasi di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa partisipasi adalah keterlibatan aktif dari seseorang, atau sekelompok orang (masyarakat) secara sadar untuk berkontribusi secara sukarela dalam program pembangunan dan terlibat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring sampai pada tahap evaluasi.

Definisi Negara


Sebagai suatu konsep yang abstrak, negara sebenarnya tidaklah begitu mudah untuk dideskripsikan maupun didefinisikan, sehingga sampai saat ini belum ada definisi negara yang memuaskan dan tuntas, yang sifatnya memadai untuk membimbing kita ketika menjelaskan “peran negara”, terutama dalam memahami hubungannya dengan aktor non negara. Teori besar yang berkaitan seperti Pluralis-Liberal maupun Marxis-Klasik mengalami kesulitan yang sama ketika dikaitkan dengan definisi. Disamping itu, teori ini mengalami kesulitan dalam usaha menangkap peran, fungsi dan perkembangan negara di dunia ketiga.

Studi tentang negara mengalami perkembangan yang cukup intensif, khususnya menyangkut kedudukan dan peranan negara kaitannya dengan masyarakat. Negara sebagai struktur organisasi atau aktor sejarah yang potensial mulai dijelaskan dalam studi yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai ragam disiplin ilmu. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan cara pandang dan pendekatan ideologis, sehingga kondisi ini memunculkan teori-teori tentang negara, baik itu negara sebagai alat (instrument), teori strukural tentang negara maupun negara sebagai suatu kekuatan yang mandiri. Djiwandono (1987) mengemukakan bahwa kritik utama yang dilancarkan oleh para penentang pendekatan yang menempatkan negara sebagai pusat (state centered) adalah mereka yang melihat semakin pentingnya aktor-aktor lain diluar negara (non state actor). Sedangkan kritik yang datangnya dari pendekatan individu (individual centered) berangkat dari kekuatiran akan terjadinya manipulasi oleh sekelompok elit kekuasaan yang mengklaim bahwa kepentingannya itu ditujukan untuk negara.

Dalam disipilin ilmu politik, studi tentang negara mendapatkan tempat yang agak meningkat. Hal ini dimungkinkan bukan hanya telah berkembangnya literatur-literatur mengenai negara dan derasnya kemunculan rezim pada negara pasca kolonial yang otoriter dan represif, akan tetapi ditandai dengan semakin besarnya bahkan semakin bertahan dan menguatnya peran yang dimainkan oleh negara di Dunia Ketiga. Kondisi ini menyebabkan negara dalam hubungannya dengan individu masyarakat sipil non negara akan tetap dominan di masa-masa mendatang. Bahkan Giddens (1990, 69) menegaskan bahwa bagaimanapun juga, negara masih memainkan peranan penting, sebab pengawasan atas yurisdiksi nasional, otoritas politik dan ekonomi domestik serta hak-hak teritorial masih berada dalam genggaman dan dominasi negara.

Perbedaan persepsi tentang bagaimana yang semestinya (normatif) dimainkan oleh negara selama ini didukung oleh landasan-landasan teoritis yang berakar pada filsafat politik. Akan tetapi fenomena yang belakangan terjadi, telaah atas negara mulai mengacu pada kenyataan-kenyataan empiris. Sehingga dalam konteks ini negara mempunyai format yang berbeda-beda dalam kehidupan sosial. Melalui kemampuan pendanaan (eksploitasi sumber alam atau hutang luar negeri) serta penguasaan atas hukum dan aparat (birokrat), memungkinkan  negara-negara berkembang memiliki peran yang semakin besar. Kenyataan ini didukung oleh posisi masyarakat yang sangat dependent, sehingga secara esensial negara memiliki otoritas dan sekaligus sumber legitimasi, yang berakibat pada ketergantungan dan keterbelakangan masyarakat sipil pada sistem sosial masyarakatnya.

Menurut Sosialismanto (2001), peran yang dimainkan oleh negara ketika berhubungan dengan masyarakat, dapat dilihat melalui tiga perspektif, yakni :
  1. Pendekatan liberal klasik (pluralisme liberal) yang memusatkan perhatian pada persoalan normatif (ideal), empiris dan metodologik, yaitu individu-individu yang kebebasannya mengejar kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik. Pandangan ini percaya bahwa masyarakat akan mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga peran yang dimainkan oleh negara sangat kecil dan terbatas. Peranan negara dalam perspektif ini meliputi :
·         Peranan untuk melindungi masyarakat dari kekerasan dan campur tangan satu kelompok masyarakat terhadap masyarakat lainnya.
·         Peranan melindungi masyarakat dari perlakuan tidak adil oleh anggota masyarakat lainnya atau tugas menciptakan kepastian administratif keadilan.
·         Melaksanakan pekerjaan umum dan membangun institusi-institusi tertentu yang tidak mungkin dibangun oleh masyarakat secara individual.
  1. Peranan negara dalam perspektif Marxis dengan premis-premis yang berlainan mempunyai perbedaan dan persamaan dengan perspektif liberal klasik. Perbedaannya terletak pada penolakan asumsi liberal klasik akan fungsi normatif negara yang secara netral akan menjamin kompetisi ekonomi dan politik dalam masyarakat. Perspektif Marxis melihat bahwa secara eksklusif, negara merupakan alat penindas dari kelas yang berkuasa, yang dapat menjadi mesin untuk menekan kelompok yang tertindas. Persamaannya terletak pada pandangan bahwa masyarakat sosialis (komunis) juga mampu untuk mengatur dirinya sendiri, sehingga secara implisit teori negara ini telah menempatkan masyarakat menjadi independent dan negara menjadi dependen variabel. Selain itu, teori Marxis mengembangkan suatu konsep yang non-hegemoni, selain negara sebagai alat hegemoni. Dua persepektif diatas melihat peran negara sebagai society-centered approach, sehingga sekalipun institusi negara diperlukan oleh masyarakat akan tetapi peran tersebut hanya terbatas pada kemauan masyarakat, atau dengan kata lain bahwa negara hanya dipandang sebagai institusi yang pasif, dependen dan bukan sebagai organisasi yang melakukan fungsi penetratif terhadap kehidupan sosial.
  1. Konsepsi dari peran negara pada Dunia Ketiga (Negara berkembang) jelas memerlukan pemahaman yang lebih empiris, sehingga mampu menjelaskan fenomena otoriterisme yang terjadi. Dalam konteks ini, negara ditempatkan sebagai institusi yang memiliki kemandirian atau independensi (teori menguatnya negara) yang berakibat pada melemahnya peran masyarakat sipil.

Pemikir Klasik Barat seperti John Locke, J.J. Rosseau dan  G.W. Frederich Hegel (Suseno; 1988, 70) mengemukakan peran negara kaitannya dengan masyarakat, sebagai : Pertama, negara mempunyai posisi yang sangat netral dari berbagai kepentingan dalam masyarakat. Ia diibaratkan sebagai wasit dalam suatu perlombaan yang memperebutkan kepentingan dalam masyarakat. Pada tataran ini, posisi masyarakat menjadi kuat, sedangkan negara menjadi lemah. Kedua, negara dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang bersifat integral dan totalitas, sehingga tidak ada dualisme diantara keduanya. Ketiga, negara memiliki posisi yang otonom ketika berhadapan dengan masyarakat, dalam hal ini Negara mampu mengambil inisiatif sendiri tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari masyarakat. Keempat, otonomisasi negara atas masyarakat seperti tersebut dalam sifat ketiga kemudian membuat negara cenderung menduduki posisi dominan dalam setiap pengambilan keputusan. Kelima, otonomisasi negara atas masyarakat juga membawa implikasi pada tumbuhnya negara yang alienatif dari masyarakat. Keenam, negara hanya menjadi alat instrumen bagi kelas dominan dalam masyarakat kapitalis dan alienatif bagi masyarakat sosialis.

Dari berbagai kajian tentang hubungan antara negara dengan masyarakat, dapat disimpulkan suatu tipologi berdasarkan dua kriteria, yakni apakah negara itu mandiri dan atau apakah negara menjamin kepentingan umum. Konsekuensi utama dari menguatnya negara adalah melumpuhkan dinamika dan daya kreatif masyarakat sipil yang pada tahap selanjutnya akan menghambat proses pembangunan negara di segala bidang. Sebaliknya apabila negara terlalu lemah akan menimbulkan sifat anarkhi. Keseimbangan antara negara dan masyarakat sipil adalah model yang normatif dan senantaisa dicari karena merupakan isyarat dan prasyarat bagi transisi kearah demokratisasi yang diinginkan.

Pendekatan teoritik mengenai otonomi negara (negara kuat) menjadi cukup representatif dan signifikan untuk menggambarkan dan menganalisis peran negara di Dunia Ketiga (negara berkembang), termasuk Indonesia, yang dalam konteks ini posisi masyarakat menjadi sangat lemah. Dengan demikian substansi dalam pemikiran ini telah melihat kebangkitan fungsi-fungsi negara di Indonesia yang semakin menguat disebabkan oleh suatu proses struktural historis yang telah berlangsung sejak periode Kolonial Hindia Belanda. Struktur masyarakat yang tumbuh sebagai akibat dari kolonialisme yang telah bertahan pada masa pasca kolonial dengan kecenderungan dan implikasi yang tidak jauh berbeda dari masa kolonial, sehingga dengan demikian proses semacam ini mempengaruhi pembentukan negara dan masyarakat pasca kolonial, yang oleh Alavi (1972) disebut sebagai “post colonial-state”.

Di Indonesia, pengertian negara diartikan sama dengan pemerintah karena dalam kenyataannya lembaga eksekutif lebih mendominasi apabila dibandingkan dengan pihak lainnya. Paling tidak, menurut Rahardjo (1984), pemerintah memonopoli identitas (representasi) negara. Konsekuensi logis dari identifikasi (aktor) pemerintah sebagai negara adalah, bahwa pemerintah selalu berada pada pihak yang benar dan kuat, sedangkan yang berada di luar lingkaran kekuasaan negara (masyarakat) merupakan pihak yang lemah. Dalam UUD 1945 sendiri memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap lembaga eksekutif negara. Pengertian yang demikian itu, sebenarnya keliru karena telah menempatkan kekuatan non negara (masyarakat sipil) pada posisi pinggiran, sehingga sama sekali tidak mempunyai akses atau representasi terhadap negara, meskipun secara empiris pemerintah (negara) di Dunia Ketiga mendominasi dan menentukan hampir segala aspek kehidupan masyarakat.