tentang perencanaan transaktif

masyarakat dan perencana sangat sering memiliki pemahaman masalah, perumusan, tujuan dan ide-ide pemecahan praktis yang berbeda akibat menganganya jurang pengetahuan dan komunikasi antara perencana dengan masyarakat. pendekatan yang bertentangan ini membutuhkan aktualisasi relasi baru, yang mampu mengintegrasikan proses saling belajar (mutual learning) dari kedua belah pihak melalui proses perencanaan yang disebut sebagai transactive planning (perencanaan transaktif).

menurut friedmann dalam burke, bahwa perencanaan transaktif merupakan tanggapan terhadap kesenjangan komunikasi antara perencana teknis dan para klien. untuk menutup kesenjangan tersebut, suatu rangkaian transaksi pribadi yang terus menerus dan terutama transaksi secara verbal antara perencana dan klien, sangat dibutuhkan. friedmann juga menunjukkan bahwa tumbuhnya kaum teknokrat dari masyarakat kita menuntut adanya metode pengambilan keputusan yang didasarkan pada proses belajar secara bersama-sama.

friedmann menjelaskan bahwa dibutuhkan suatu penggabungan sains dan teknologi dengan pengetahuan pribadi pada tahap-tahap kritis intervensi sosial guna menghindari agar pengambilan keputusan tidak berada di tangan pihak teknokrat secara eksklusif.

perencanaan transaktif memungkinkan perencana belajar pengetahuan eksperimental dari klien, sedangkan klien belajar pengetahuan teknis dari perencana. melalui proses ini pula, kedua macam pengetahuan tersebut masing-masing akan berubah dengan sendirinya, dan kemudian kedua macam pengetahuan ini akan melebur menjadi satu.

pada saat pengetahuan kedua belah pihak melebur, maka persepsi dan imaji dari pihak satu terhadap pihak yang lain akan berubah, dan selanjutnya perilaku keduanya pun akan berubah. ide awal dari perencana untuk “mengajari masyarakat” akan merubah menjadi “pelajar” (the learners) akan bertransformasi menjadi aksi masyarakat (community action) artinya ”dialog saling belajar” telah merubah perilaku kolektif masyarakat dan mendorong masyarakat secara lebih aktif menolong diri mereka sendiri dan sekaligus membangun komunitas bersama seperti yang diharapkan.

masyarakat belajar (learning society) yang aktif melakukan aksi ini dengan sendirinya akan terbangun kapasitasnya karena learning society secara inheren akan mengembangkan kapasitas komunitas (community capacity building). secara empirik banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat yang sudah memasuki fase learning society akan lebih berpotensi untuk mewujudkan sebuah pembangunan yang lebih berkelanjutan, karena mereka sudah lebih mandiri dalam berbagai hal mulai dari mengidentifikasi, menilai dan menformulasikan masalah baik fisik, sosial, kultural maupun ekonomi, membangun visi dan aspirasi, memprioritaskan intervensi, merencana, mengelola, memonitor dan bahkan memilih teknologi yang tepat. masyarakat aktif (active society) semacam ini juga menghasilkan kerelaan masyarakat yang lebih untuk memberi kontribusi kerja dan biaya pembangunan, operasi dan perawatan sedemikian sehingga pendekatan mampu mengembalikan biaya investasi publik (cost - recovery) yang pada gilirannya akan menjadi lebih berkemungkinan terjadinya pengulangan (self - replicability).