Belajar tentang konsep agropolitan (2)

Definisi konsep agropolitan
Pada konsep agropolitan, strategi pengembangan harus menciptakan perekonomian perdesaan yang mandiri dan hubungan yang minimal pada ekonomi metropolis. Strategi ini mengharuskan setiap daerah memiliki otonomi dan sumber daya yang cukup untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunannya sendiri.

Kunci keberhasilan pengembangan agropolitan adalah dengan memposisikan wilayah ini dalam suatu unit pemerintahan yang mempunyai otonomi sendiri dan mampu merencanakan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Pemerintah pusat lebih berperan untuk mendorong melalui dukungan material, keuangan, dan sumber daya teknis terhadap inisiatif pembangunan yang berasal dari daerah.

Menurut Friedmann dan Douglass (1976) menyebutkan bahwa kondisi yang diperlukan untuk keberhasilan pengembangan agropolitan atau strategi untuk menafsirkan ide pembangunan perdesaan dipercepat dari konsep agropolitan adalah sebagai berikut:
  • mengubah daerah perdesaan dengan cara memperkenalkan gaya hidup kota (urbanism) yang telah disesuaikan pada lingkungan perdesaan tertentu. Ini berarti bahwa tidak lagi mendorong perpindahan penduduk desa ke kota, dengan menanam modal di daerah perdesaan dan dengan demikian merubah tempat pemukiman yang sekarang ini untuk dijadikan suatu bentuk campuran yang dinamakan agropolis atau kota di ladang. Atau dengan kata lain mentransformasikan fasilitas-fasilitas perkotaan ke pedesaan;
  • memperluas hubungan sosial pedesaan sampai ke luar batas-batas daerahnya, sehingga terbentuk ruang sosio ekonomi, dan politik yang lebih luas, atau agropolitan distrik (agropolitan district dapat disesuaikan untuk dipakai sebagai dasar satuan tempat pemukiman untuk kota-kota besar atau pusat kota-kota tertentu yang berada di sekitarnya dan yang selalu berkembang);
  • memperkecil keretakan sosial (social dislocation) dalam proses pembangunan, memelihara kesatuan keluarga, memperteguh rasa aman, dan memberikan kepuasan pribadi dalam sosial dalam membangun suatu masyarakat baru;
  • menstabilkan pendapatan antara masyarakat desa dengan kota melalui penambahan kesempatan kerja yang produktif dan khususnya mendukung kegiatan pertanian dengan kegiatan non pertanian di dalam lingkungan masyarakat yang sama;
  • memanfaatkan tenaga kerja secara efektif dan mengarahkan pada usaha pengembangan sumber-sumber daya alam secara luas di tiap agropolitan district, termasuk peningkatan hasil pertanian, proyek-proyek untuk memelihara dan mengendalikan air, pekerjaan umum di pedesaan, memperluas pemberian jasa-jasa untuk pedesaan dan industri yang berkaitan dengan pertanian;
  • merangkai agropolitan districts menjadi jaringan regional dengan cara membangun dan memperbaiki sarana hubungan agropolitan districts dan yang ke kota-kota besar, dan menempatkan pada daerah (regional) jasa-jasa tertentu dengan kegiatan-kegiatan penunjang yang dapat menbutuhkan tenaga kerja yang lebih besar daripada yang terdapat dalam satu district;
  • menyusun suatu pemerintahan dan perencanaan yang sesuai dengan lingkungannya yang dapat mengendalikan pemberian prioritas-prioritas pembangunan dan pelaksanaannya pada penduduk daerahnya, yang berupa pemberian wewenang kepada agropolitan district untuk mengambil keputusan sendiri agar mereka dapat menggunakan kesempatan lingkungan yang ada (dengan menyadari batas-batas lingkungan yang ada), menyalurkan pengetahuan dan kepandaian perorangan dari penduduk setempat pada ilmu pengetahuan abstrak teoritis dari para ahli-ahli dan orang yang berkecimpung dalam pembangunan agropolitan dan memupuk rasa persatuan dari penduduk setempat dengan bagian masyarakat yang lebih besar;
  • menyediakan sumber-sumber keuangan untuk membangun agropolitan dengan cara: 1) menanam kembali bagian terbesar dari tabungan setempat pada tiap-tiap district, 2) menerapkan sistem bekerja sebagai pengganti pajak bagi semua anggota masyarakat yang telah dewasa, 3) mengalihkan dana pembangunan dari pusat-pusat kota dan kawasan industri khusus untuk pembangunan agropolitan, dan 4) memperbaiki nilai tukar barang-barang yang merugikan antara petani dan penduduk kota agar lebih menguntungkan petani.
Petani atau masyarakat desa tidak perlu pergi ke kota untuk mendapatkan pelayanan, baik dalam pelayanan yang berhubungan dengan masalah produksi dan pemasaran maupun masalah yang berhubungan dengan kebutuhan sosial budaya dan kehidupan sehari-hari. Pusat pelayanan diberikan pada tingkat desa, sehingga sangat dekat dengan pemukiman petani, baik pelayanan mengenai teknik budidaya pertanian maupun kredit modal kerja dan informasi pasar.

Besarnya biaya produksi dan biaya pemasaran dapat diperkecil dengan meningkatkan factor-faktor kemudahan pada kegiatan produksi dan pemasaran. Faktor-faktor tersebut menjadi optimal dengan adanya kegiatan pusat agropolitan. Jadi, peran agropolitan adalah untuk melayani kawasan produksi pertanian disekitarnya dimana berlangsung kegiatan agribisnis oleh para petani. Fasilitas pelayanan yang diperlukan untuk memberikan kemudahan produksi dan pemasaran anatara lain berupa input produksi (bibit, pupuk, obat-obatan dan lain sebagainya), sarana penunjang (lembaga, perbankan, koperasi, listrik dan lain sebagainya) serta pemasaran (pasar, terminal angkutan, sarana transportasi dan lain sebagainya).

Kota agropolitan dapat merupakan kota menengah atau kota kecil atau kota kecamatan atau kota perdesaan yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa hinterland dan atau wilayah sekitarnya melalui pengembangan ekonomi yang tidak terbatas sebagai pusat pelayanan sektor pertanian, tetapi juga pembangunan sektor secara luas seperti usaha pertanian (on farm dan off farm), industri kecil, kepariwisataan, jasa pelayanan dan lain-lain.

Kawasan agropolitan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
  1. Sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut memperoleh pendapatan dari kegiatan pertanian (agribisnis)
  2. Sebagian besar kegiatan dikawasan tersebut didominasi oleh kegiatan pertanian atau agribisnis, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil-hasil pertanian (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan agribisnis hulu (sarana pertanian dan permodalan), agrowisata dan jasa pelayanan
  3. Hubungan antara kota dan daerah-daerah hinterland/daerah-daerah sekitarnya di kawasan agropolitan bersifat interdependensi/timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan dimana kawasan pertanian mengembangkan usaha budidaya dan agribisnis seperti penyediaan sarana pertanian, model, teknologi, informasi pengolahan hasil dan penampungan (pemasaran) hasil produksi/produk pertanian.
  4. Kehidupan masyarakat di kawasan agropolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di kawasan agropolitan tidak jauh berbeda dengan di kota.

Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan agropolitan bila dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi pertanian yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang diversifikasi usaha dari komoditi unggulannya.
  2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, yaitu: Pertama, Pasar, baik pasar untuk hasil-hasil pertanian, pasar sarana pertanian, alat dan mesin pertanian, maupun pasar jasa pelayanan termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan prosesing hasil pertanian sebelum dipasarkan; Kedua, Lembaga keuangan sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis; Ketiga, Memiliki kelembagaan petani yang dinamis dan terbuka terhadap perkembangan teknologi, Keempat, Balai penyuluhan pertanian yang berfungsi sebagai klinik konsultasi agribisnis; Kelima, Percobaan/pengkajian teknologi agribisnis untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang cocok untuk daerah kawasan agropolitan; Keenam, Jaringan jalan yang memadai dan aksesbilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi yang kesemuanya untuk mendukung usaha pertanian yang efesien; Ketujuh, Memiliki sarana dan prsarana kesejahteraan sosial yang memadai seperti kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi dan lain-lain; Kedelapan, Kelestarian lingkungan hidup baik kelestarian sumber daya alam, kelestarian sosial budaya maupun keharmonisan hubungan kota dan desa terjamin.
Menurut Badrudin (1999) untuk mengurangi efek polarisasi maka konsep agropolitan disarankan memerlukan suatu pola pertumbuhan yang spesifik yaitu:
  1. dirancang untuk daerah pertumbuhan yang mempunyai luas relatif sempit untuk ukuran Indonesia yaitu pada sekitar kecamatan;
  2. adanya kemandirian dalam penyusunan dan penetapan perencanaan pembangunan di wilayah tersebut;
  3. terdapat pembagian yang jelas antara tenaga kerja sektor pertanian dan non pertanian;
  4. terdapat sumber daya di wilayah tersebut yang dapat dikembangkan untuk kegiatan sektor industri;
  5. ketersediaan teknologi lokal serta kemungkinan pemanfaatannya.
Kendala yang ditemui dalam pengembangan konsep ini diantaranya adalah tidak meratanya potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah, akibatnya ada daerah yang berkembang lebih pesat dibanding daerah sekitarnya, sehingga kota yang kurang beruntung tersebut akan berperan sebagai daerah pendukung. Kondisi tersebut membawa konsekuensi adanya perbedaan peran dan fungsi dari kota.

Menurut Wibisono, et.al. (1993) bahwa potensi yang dimiliki oleh suatu kota akan berkait erat dengan fungsi dari kota tersebut. Apakah kota akan menjadi pusat petumbuhan wilayah ataukah hanya sebagai hinterland. Kota akan menjadi pusat pertumbuhan disebabkan dua macam proses yang dialaminya.
  • Proses formal, peran suatu kota sebagai pusat pertumbuhan akibat dari struktur adminitrasi wilayah.
  • Proses alamiah, munculnya kota tersebut menjadi pusat pertumbuhan karena pelayanan komersial yang telah diberikannya, hubungan ini dengan pertimbangan efisiensi ekonomi. Kota yang mempunyai efisiensi ekonomi yang lebih baik akan berkembang menjai pusat pertumbuhan wilayah.