desa dan wewenangnya menurut undang-undang

dalam hirarki ”kekuasaan” di negara kita, desa adalah pemerintahan paling rendah. melihat pada uu no.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pasal 206 tentang kewenangan yang dimiliki desa, disebutkan bahwa desa mempunyai wewenang mengenai :
  1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;
  2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa adalah urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
  3. tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota, tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah, kabupaten/kota kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
  4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangan diserahkan kepada desa.
melihat urusan pemerintahan yang dapat dikelola oleh desa sebagaimana diuraikan diatas, maka sesungguhnya desa memiliki kewenangan yang cukup luas. kepala desa yang menurut undang-undang tersebut dipilih secara langsung oleh rakyat memiliki kewenangan dan legitimasi yang cukup kuat untuk membawa desa tersebut ke arah yang dikehendakinya. namun demikian, masih sedikit masyarakat desa yang sadar bahwa potensi kewenangan ini harus diperjuangkan kejelasannya kepada pemerintah daerah untuk menjadi kewenangan yang lebih terperinci dan dinaungi oleh kebijakan pemerintah daerah yang cukup mengikat.

hal ini perlu dilakukan agar desa tidak hanya menjadi ’tong sampah’ dari urusan-urusan yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah daerah. pada sisi pengelolaan anggaran, dengan adanya dana perimbangan maka pemerintah desa memiliki keleluasaan untuk mengalokasikan anggaran penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa (pembangunan) sesuai dengan kebutuhan di desa tersebut. terlebih lagi saat ini, banyak sekali proyek-proyek pembangunan baik itu dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan dari lembaga donor yang memilih desa sebagai wilayah kerja proyeknya.

proyek-proyek berupa pembangunan fisik sarana prasarana, bantuan sosial hingga bantuan ekonomi sepatutnya menjadi energi pendorong tersendiri bagi desa untuk mengoptimalkan pemenuhan kebutuhan pembangunan desa. namun demikian, pengelolaan potensi anggaran ini belum dapat dikoordinasikan dan dikelola dengan cukup baik oleh desa sehingga proyek-proyek tersebut dilaksanakan tidak terencana sebagai bagian dari rencana pembangunan desa yang lebih komprehensif.

sebagaimana diuraikan dalam penjelesan peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa bahwa landasan pemikiran pengaturan (tata kelola) mengenai desa yaitu:

pertama :
keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah ’desa’ dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. dalam kaitan ini undang-undang dasar negara republik indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik indonesia.

kedua :
partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa.

ketiga :
otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman.
keempat :
demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui badan permusyawaratan desa (bpd) dan lembaga kemasyarakatan sebagai mitra pemerintah desa.

kelima :
pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.

catatan dinihari : belajar pengertian birokrasi

asyik juga ternyata sambil nonton bola…dinihari ini, sambil belajar tentang birokrasi.
langsung ke tkp saja ya… tentang pengertian birokrasi :

birokrasi sering dipergunakan dalam beberapa pengertian. sekurang-kurangnya terdapat tujuh pengertian yang sering terkandung dalam istilah birokrasi. menurut albrow (dalam warwick, 1975:4), birokrasi diartikan sebagai :
  1. organisasi rasional (rational organization).
  2. ketidakefisienan organisasi (organizational inefficiency).
  3. pemerintahan oleh para pejabat (rule by officials).
  4. administrasi negara (public administration).
  5. administrasi oleh para pejabat (administration by official).
  6. bentuk organisasi dengan ciri dan kualitas tertentu seperti hirarki serta peraturan-peraturan (type of organization with specific characteristic and quality as hierarchies and rules).
  7. salah satu ciri masyarakat modern yang mutlak (an essential quality of modern society).
birokrasi sebagai suatu bentuk dengan ciri-ciri yang khusus, menjadi pusat perhatian para ahli berbagai disiplin ilmu sosial karena jasa max weber. dalam karyanya, the theory of economic and social organization, weber mengemukakan konsepnya tentang the ideal type of bureaucracy dengan merumuskan ciri-ciri pokok organisasi yang lebih sesuai dengan masyarakat modern. hal ini dirangkum oleh albrow (dalam warwick, 1975:4) dalam empat ciri utama, yaitu :
  1. adanya suatu struktur hirarkis yang melibatkan pendelegasian wewenang dari atas kebawah dalam organisasi (a hierarchical structure involving delegations of authority from the top to the bottom of an organization).
  2. adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas (a series of official positions or offices, each having prescribed duties and responsibilites).
  3. adanya aturan-aturan, regulasi-regulasi dan standar-standar formal yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para anggotanya (formal rules, regulations and standards governing operations of the organization and behavior of its members).
  4. adanya personil yang secara teknis memenuhi syarat, yang dipekerjakan atas dasar karir, dengan promosi yang didasarkan- kualifikasi dan penampilan (techincally qualified personel employed on a career basis, with promotion based on qualifications and performance).
la palombara (dalam santoso, 1995:13) merangkum ciri-ciri khusus organisasi birokrasi dalam lima aspek, yaitu :
  1. aturan-aturan administratif yang sangat terdiferensiasi dan terspesialisasi (specialized highly differentiated administrative rules).
  2. rekrutmen atas dasar prestasi (diukur melalui ujian) bukan atas dasar askripsi (recruitmen on the basis of achievement measured by examinations rather than ascription).
  3. penempatan, mutasi dan peralihan serta promosi atas dasar kiriteria universalistis bukan atas dasar kriteria partikularistis (placement, transfer and promotion on the basis of universalistis rather than partikularistik criteria).
  4. administrator-administrator yang merupakan tenaga profesional yang digajih dan yang memandang pekerjaannya sebagai karir (administrators who are salaried profesissional who view their work as career).
  5. pembuatan keputusan administratif dalam konteks hirarki, tanggung jawab serta disiplin yang rasional dan mudah dipahami(administrative decision making within a rational and readily understood context of hierarchy, responsibility and dicipline).

uraian singkat tentang konsep kinerja

perkataan kinerja atau performancy adalah serapan dari kata dalam bahasa inggris performance. berdasarkan kajian literatur diperoleh keterangan, bahwa performance merupakan fungsi dari ability dan motivation (dubrin, 1990 : 292) dalam giroth (2004 : 100). kinerja sama dengan fungsi kesanggupan (ability), usaha (effort) dan kesempatan (opportunity), f.e. kast dan j.e. rossenzweig (2002 : 25). pakar lain menegaskan bahwa dimensi kinerja adalah motivasi, ability, dan opportunity, s.p. robin (1989 : 174). jadi kinerja menurut giroth (2004 : 100) itu ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu kemampuan, motivasi, dan peluang.

menurut lembaga administrasi negara, pengertian kinerja adalah “prestasi kerja, pelaksanaan kerja/hasil kerja/penampilan kerja yang diterjemahkan dari performance“.

sedangkan menurut fieldman dalam supriatna (2001 : 132) pengertian kinerja adalah : “prinsip dasar manajemen menyatakan bahwa kinerja merupakan perpaduan antara motivasi yang ada pada diri seseorang dan kemampuannya dalam melaksanakan suatu pekerjaan“.

job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) merupakan awal dari munculnya istilah kinerja. menurut mangkunegara (2003 : 67), kinerja (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya.

sementara itu diungkapkan pula oleh armstrong, dalam supriatna (2001 : 132) dalam istilah manajemen (performance management), kinerja dapat diartikan : ”performance management is a means of getting better result from the organization, teams and individuals by understanding and managing. performance within an agreed frame work of planed, objectibes and standard”. manajemen kinerja berarti mendapatkan hasil yang baik dari organisasi kelompok dan perorangan lewat pengertian dan pertimbangan bersama dengan berpedoman pada suatu standar kerja. faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation).

paparan tentang peranan pemerintah daerah

pemerintah daerah perlu mengambil peranan yang lebih besar terhadap masalah kemiskinan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan. peran yang diharapkan adalah memberikan perhatian dan sumbangan pemikiran, serta kegiatan pendampingan kepada masyarakat miskin dalam pengelolaan sosial ekonomi. hal ini karena pemerintah daerah lah yang paling mengetahui mengenai kondisi dan kebutuhan masyarakat didaerahnya. aparat pemerintah dearah perlu meningkatkan kualitas pelayanan dalam penyelenggaraan pembangunan dan mengembangkan kepemimpinan yang merakyat. adapun peranan berasal dari kata “ peran “ dan mendapat akhiran an, sehingga menjadi kata “ peranan “. peran (role) mempunyai hubungan dengan aspek dinamis kedudukan, apakah seseorang ataupun kelembagaan. sesuai dengan pendapat soekanto (2000 : 268) menyatakan “ apabila seseorang atau lembaga melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peran “.

sedangkan menurut kamus lengkap bahasa indonesia, kamisa (1997 : 420) menyebutkan bahwa “peranan : yang diperbuat, tugas, hal yang besar pengaruhnya pada suatu peristiwa”.

apabila dihubungkan dengan lembaga pemerintahan didaerah, maka peran pemerintah daerah adalah jika pemerintah melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, hal ini berarti peran dimaksud menyangkut tugas dan fungsi pemerintah yang harus diperbuat atau yang berpengaruh pada suatu peristiwa tertentu.

sesuai dengan pendapat rasyid (2000 : 9) bahwa “ pemerintah harus mengatur sebanyak mungkin segi dari kehidupan masyarakat, karena hanya dengan cara itu keteraturan, ketertiban, keamanan, dan kemajuan akan dapat dipelihara dan dicapai, pemerintahan tetap merupakan kebutuhan. suatu masyarakat tanpa pemerintahan adalah sebuah kekacauan massal.”

pemerintah mempunyai produk atau fungsi guna memenuhi tuntutan dan kebutuhan dari masyarakat yang diperintah dan bagaimana pemerintah diperlakukan masyarakat guna memenuhi kebutuhannya. sesuai dengan pendapat ndraha ( 2000 :75 ) mengatakan : pendekatan produk atau fungsional bertolak dari kebutuhan manusia yang oleh karena kondisi masyarakat masih sedemikian lemahnya dan tak berdaya (powerless) sehingga kebutuhan tersebut belum mampu mereke penuhi sendiri (barang dan jasa), dan produk yang oleh karena sifatnya dan demi keadilan dan kemanusiaan, tidak dapat diprovide oleh lembaga privat atau masyarakat umum, melainkan semata-mata hanya oleh lembaga khusus dan khas (spesifik). produk yang dimaksud adalah jasa publik yang tidak dapat di privatisasikan dan layanan sivil. proses penyediaan providing produk itu kepada setiap orang tepat pada saat diperlukan, itulah yang disebut pemerintahan. organ yang dianggap mampu menjalankan proses tersebut secara bertanggung jawab itulah yang disebut pemerintah.

dengan demikian pemerintah perlu mengambil prakarsa lebih dulu dalam bentuk pembanguan untuk masyarakat tetapi jangan mematikan inisiatif masyarakat yang sudah tumbuh dan berkembang. hal ini sesuai dengan pendapat rasyid (2000 : 13) adalah : “pemerinrtahan tidaklah diaadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan, kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama”.

pembangunan menekankan pada proses perubahan masyarakat yang menyangkut aspek sosial maupun psikologi, dalam rangka membentuk sikap masyarakat untuk mampu mengembangkan, memelihara dan menanamkan sumber-sumber yang mereka miliki dalam memperbaiki tarap hidupnya. pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk membentuk sikap masyarakat dalam pembangunan adalah melalui peranan pemerintah dengan cara membimbing, membina, mendorong masyarakat untuk berperan sebagai subjek pembangunan ( bukan objek pembangunan). dalam hubungan ini maka kebijakan pemerintah dalam usaha mencapai tujuan tersebut adalah dengan memberikan pelayanan yang luas kepada masyarakat .

pemerintah merupakan manifestasi dari kehendak rakyat, karena itu harus memperhatikan kepentingan rakyat dan melaksanakan fungsi pelayanan publik dan pengaturan warga negara. berkenaan dengan peranan pemerintah, ndraha (1987 : 110) mengatakan bahwa : “sesungguhnya peranan pemerintah dalam pembangunan masyarakat amat luas, mulai dari hal yang bersifat pelayanan operasional sampai pada hal yang bersifat ideology dan spritual.”

pembangunan merupakan bagian dari fungsi pemerintahan yang ditujukan untuk memecahkan masalah dan tuntutan masyarakat melalui aktivitas pemerintahan. adapun pemerintah adalah sebagai pengelola kebutuhan masyarakat seperti dikatakan oleh ndraha (1997 : 730) bahwa : pemerintah adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi atau menjual alat pemenuhan kebutuhan rakyat berbentuk jasa publik dan layanan civil. dimana penanganan kebutuhan masyarakat tersebut berlangsung pada tiga level, yaitu policy,manajemen dan teknis operasional.

dalam melaksanakan peran dan fungsinya, pemerintah tidak dapat lepas dari kebijakan publik, aktivitas administrasi, organisasi dan manajemen, pelayanan publik, serta kepentingan dan urusan publik. fungsi ini berkaitan erat dengan fungsi pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah yaitu “ menyediakan layanan civil dan jasa publik yang tidak diprivatisasikan bagi setiap orang pada saat yang dibutuhkan (dituntut) oleh orang yang bersangkutan” ( ndraha, 2000 : 543). dalam hubungan dengan pemberdayaan masyarakat atau partisipasi, ndraha (1997 : 80) mengatakan bahwa : mau tidak mau, pemerintah yang merupakan kumpulan orang-orang pandai dan pilihan, memiliki teknologi, kekuasaan dan kemampuan administratif yang memadai, memelopori pembangunan bangsa. fungsi pemerintahan disamping memberi ruangan yang cukup luas bagi kepentingan rakyat, juga bertugas memenuhinya melalui kegiatan pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat.

dengan demikian bahwa dalam melaksanakan peran dan fungsinya, organisasi pemerintahan (menurut pendekatan administratif ) yang diawali oleh pematangan struktur kekuasaan, pembagian tugas, spesialisasi, fungsi kegiatan, koordinasi, jenjang pengawasan. organisasi pemerintahan menurut pendekatan psikologi sosial berhubungan erat dengan perilaku manusia sebagai unsur birokrasi dalam struktur organisasi pemerintahan baik perilaku individu dalam kelompok formal dan informal maupun perilaku internal dan eksternal organisasi pemerintahan.

peranan pemerintah adalah mulai dari hal yang bersifat pelayanan operasional sampai pada hal yang bersifat ideology dan spritual ( dalam ndraha, 1987 : 110), yaitu “ peranan pemerintah yang dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis.” sesuai dengan pendapat simpas (dalam ndraha, 1987 : 112) adalah : peranan yang bersifat strategis disebut sebagai peranan administratif ( administrative roles), yaitu pola perilaku yang diharapkan dari, atau yang telah ditetapkan bagi pemerintah selaku administrator, disetiap jenjang pemerintahan.

jadi peranan pemerintah dimaksud adalah dari segi kemampuan administratif yaitu kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui pelaksanaan tugas, didukung oleh struktur organisasi dan lingkungan. peranan pemerintah dibidang pembangunan sangat besar/dominan dalam rangka memberdayakan masyarakat untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. sesuai dengan pendapat katz (dalam supriatna, 1985 : 26) “ peranan pemerintah di negara berkembang memegang peranan sentral dalam pembangunan; kemampuan pemerintah sangat diperlukan dalam menggerakkan sikap dan potensi masyarakat.”

beberapa pengertian yang digunakan untuk definisi operasional dalam penelitian (4)

belanja rutin
adalah pengeluaran yang manfaatnya hanya untuk satu tahun anggaran dan tidak menambah aset atau kekayaan bagi daerah berdasarkan daftar usulan kegiatan daerah (dukda).;

belanja pembangunan
adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah berdasarkan daftar usulan proyek daerah (dupda), selanjutnya akan menambah belanja rutin, seperti biaya operasional dan biaya pemeliharaan;

bunga, hutang/pinjaman daerah
adalah pengeluaran yang disediakan untuk keperluan angsuran bunga, hutang/pinjaman daerah dan telah memperoleh persetujuan dari dprd dan menteri dalam negeri;

bantuan keuangan
adalah pengeluaran yang disediakan untuk pemerataan pembangunan dan keserasian penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan republik indonesia;

belanja yang tidak termasuk bagian lain
adalah semua jenis pengeluaran yang tidak dapat dimasukkan ke dalam bagian-bagian anggaran lainnya;

belanja tidak tersangka
adalah seluruh pengeluaran yang disediakan untuk keperluan penanganan kejadian-kejadian luar biasa seperti bencana alam, bencana sosial dan pengeluaran tidak tersangka lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah;

pengalokasian anggaran
adalah suatu nilai anggaran yang diterima oleh setiap unit kerja;

biaya pelayanan publik
merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membiayai kegiatan pelayanan yang langsung dinikmati oleh masyarakat. biaya yang dikeluarkan digunakan untuk penyediaan sarana pendidikan, pekerjaan umum, kesehatan dan pelayanan lainnya;

biaya birokrasi
merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan pelayanan yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat. biaya yang dikeluarkan tersebut berupa belanja pegawai, belanja barang, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja lain-lain yang digunakan untuk mendukung kegiatan administrasi, organisasi dan operasional pemerintahan.

paparan tentang kesenjangan dan kemiskinan

kesenjangan dan kemiskinan merupakan masalah sosial yang menyangkut kehidupan bukan saja setiap orang namun manusia dalam yang lebih luas. kemiskinan merupakan masalah sosial yang sangat klasik tetapi masih tetap actual dan relevan untuk di bahas.

menurut bps (1998) “kemiskinan merupakan suatu kondisi kehidupan serba kekurangan yang dilalami seseorang sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimal hidupnya“. standar minimal kebutuhan hidup berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, karena tergantung kepada kebiasaan/adat, fasilitas transpormasi dan distribusi serta letak geografisnya. menurut soekirman (1993) mengatakan bahwa : “selain tidak cukup makan definisi kemiskinan absolut juga mencakup kurang terpenuhinya kebutuhan pokok non pangan “.

ada banyak definisi kemiskinan yang dapat dipadukan untuk memahami apa sebenarnya arti kemiskinan itu . ala (1996 : 3-12), mengutip beberapa definisi kemiskinan adalah sebagai berikut :

pertama, kemiskinan adalah kekurangan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standard hidup yang layak. karena standard hidup itu berbeda-beda, maka tidak ada definisi kemiskinan yang diterima secara universal (a. levitan)

kedua, kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (emil salim).

ketiga, kemiskinan adalah adanya gap atau jurang antara nilai-nilai utama yang diakumulasikan dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai tersebut secara layak.

untuk menentukan siapa saja yang tergolong miskin, perlu adanya kriteria ukuran kemiskinan, juga perlu adanya rumusan secara konseptual. patokan tingkat kecukupan kalori dijadikan acuan adalah sebesar 2100 kalori setiap orang per hari untuk kebutuhan makanan. disamping kebutuhan makanan juga diperlukan kebutuhan non makanan seperti rumah termasuk fasilitas penerangan, bahan bakar dan pemeliharaannya, pakaian, pendidikan, pemeliharaan kesehatan yang minimalnya harus dipenuhi. nilai pengeluaran makanan untuk memenuhi kebutuhan kecukupan kalori dan nilai minimum pengeluaran untuk non makanan bila dijumlahkan merupakan batas biaya minimal yang dibutuhkan atau biasa disebut nilai batas garis kemiskinan. jadi dengan demikian penduduk dengan tingkat pendapatan atau pengeluaran dibawah nilai garis kemiskinan disebut penduduk miskin.

berdasarkan pendapat sumodiningrat (1997 :18-19) adalah : kemiskinan dapat dibedakan dalam tiga pengertian, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif atau kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. seorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang diperlukan untuk bias hidup dan bekerja. rendahnya tingkat pendapatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana fisik dan kelangkaan modal atau miskin karena sebab alami ( natural ). kemiskinan relatif adalah pendapatan seseorang yang sudah diatas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah disbanding pendapatan masyarakat sekitarnya. kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang bersifat struktural, yakni kebijaksanaan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan. sementara kemiskinan kultural mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang (disebabkan faktor budaya) tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.

sejalan dengan pendapat diatas, baswir (2003 : 18) juga menyatakan bahwa : berdasarkan penyebabnya, kemiskinan dapat digolongkan menjadi kemiskinan natural, kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. kemiskinan natural adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan alamiah, baik pada sumber daya manusianya maupun sumber daya alamnya. kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor–faktor kebudayaan yang meye babkan, yang menyebabkan terjadinya proses pelestarian kemiskinan di dalam masyarakat itu . sementara kemiskinan strukrtural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor - faktor buatan manusia seperti kebijakan perekonomian yang tidak adil , penguasaan faktor- faktor produksi yang tidak merata , korupsi dan kolusi serta tatanan perekonomian internasional yang lebih menguntungkan kelompok negara tertentu.

dalam kontek indonesia, penyebab terjadinya kesenjangan dan kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor natural dan kultural. sebagaimana terjadi pada berbagai kelompok masyarakat lainnya didunia, kemiskinan natural adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan karena adanya kebiasaan hidup boros, tidak disiplin , dan enggan bekerja keras.

di pihak lain , bahwa faktor-faktor struktural-lah menjadi penyebab utama dalam proses penciptaan kesenjangan dan kemiskinan di indonesia karena pelaksanaan pembangunan yang mementingkan pada pertumbuhan ekonomi yang menyebabkan pula terabaikannya upaya untuk menanggulangi kesenjangan dan kemiskinan dan berlangsungnya sentralisasi dan inefektivitas pengawasan keuangan negara sehingga telah menyebabkan meluasnya praktek korupsi dan kolusi pada semua sektor dan tingkatan birokrasi di indonesia. ( baswir,2003 :18-19).

masalah kesenjangan dan kemiskinan merupakan masalah yang komplek, tidak saja dalam penanganannya tetapi dari faktor-faktor penyebabnya. tidak ada faktor tunggal penyebab terjadinya kesenjangan dan kemiskinan. penyebabnya selalu lebih dari satu bahkan karena faktor yang bersifat kumulatif.

berkaitan dengan masalah diatas maka strategi penanggulangan kesenjangan dan kemiskinan diupayakan melalui berbagai program yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial ekonomi masyarakat. untuk itu diperlukan suatu strategi atau arah baru dari kebijaksanaan pembangunan yang memadukan pertumbuhan dan pemerataan.

strategi itu pada dasarnya menurut sumodiningrat (1997 : 50) menyatakan : pertama, pemihakan dan pemberdayaan masyarakat . kedua, pemberian otonomi dan pendelegasian wewenang dalam pengelolaan pembangunan di daerah. ketiga, modernisasi melalui penajaman dan pemantapan arah dari perubahan struktur sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

paparan tentang konsep pemberdayaan masyarakat

lahirnya pemikiran pemberdayaan masyarakat dilatarbelakangi oleh program, proyek, dan kegiatan pembangunan masyarakat yang dating dari atas atau dari luar komunitas. faktanya konsep pembangunan ini sering gagal dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. para praktisi pembangunan juga sering mengalami frustasi terhadap kegagalan program tersebut. karena itu reorientasi terhadap strategi pembangunan masyarakat adalah keniscayaan. kemunculannya lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam pembangunan masyarakat. untuk itu diperlukan seperangkat teknik-teknik yang dapat menciptakan kondisi adanya keberdayaan masyarakat melalui proses pemberdayaan masyarakat secara partisipatif.

pemberdayaan adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, terutama eropa. kosep ini telah luas diterima dan digunakan tetapi mungkin dengan pengertian dan persepsi yang berbeda satu sama lain . berdasarkan pendapat pranarka dan moeljarto ( 1996 : 44 – 45 ) adalah sebagai berikut :

konsep pemberdayaan mungkin dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh kedua abad ke-20, yang dewasa ini banyak dikenal sebagai aliran post modernisme, dengan titik berat sikap pendapat yang orientasinya anti sistem, anti struktur dan anti determinisme,yang diaplikasikan kepada dunia kekuasaan.

pemberdayaan berasal dari bahasa inggris ‘ empowerment ‘. konsep empowerment digunakan sebagai alternatif terhadap konsep-konsep pembangunan yang selama ini dianggap tidak berhasil memberikan jawaban memuaskan terhadap masalah-masalah besar pembangunan, khususnya masalah kekuasaan (power) dan ketimpangan (unequity). kata power dalam empowerment diartikan ‘daya’, sehingga empowerment diartikan sebagai pemberdayaan. daya dalam arti kekuatan berasal dari dalam, tetapi dapat diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. pemberdayaan merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. keadaan keterbelakangan yang terjadi disebabkan karena ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber-sumber daya.

sesuai dengan pendapat kartasasmita ( 1996 : 4 ) yaitu proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya dispowerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat. akibatnya, maka lapisan masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap aset produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. pada akhirnya keterbelakangan secara ekonomi dapat mengakibatkan mereka makin jauh dari kekuasaan. begitulah lingkaran itu berputar terus menerus oleh karena itu pemberdayaan bertujuan dua arah . pertama, melepaskan dari belenggu kemiskinan dan keterbelakangan. kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. kedua duanya harus ditempuh dan menjadi sasaran dari upaya program pemberdayaan.

menurut webster dictionary (dalam prijono dan pranarka, 1996 : 3 ), pemberdayaan ( empower) mengandung dua arti. pertama adalah to give power or authority to. kedua berarti to give ablity or enable. pengertian pertama diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas kepihak lain. sedangkan pengertian kedua, diartikan sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan.

sedangkan menurut ifz ( 1995 : 182 ) : ”pemeberdayaan berarti menyiapkan kepada masyarakat sumber daya, kesempatan/peluang, pengetahuan dan keahlian untuk meningkatkan kapasitas diri masyarakat itu dalam menentukan masa depan mereka, serta untuk berpartisipasi dan mempengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri”.

berdasarkan literatur pembangunan, konsep pemberdayaan memiliki perspektif yang lebih luas pranarka dan moeljarto ( 1996 : 63 ) mengatakan bahwa menghormati kebhinekaan, kekhasan lokal, desentralisasi kekuatan dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif, lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil ( equitable sharing of power ) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta mempebesar pengaruh mereka terhadap “ proses dan hasil pembangunan”.
dalam kaitan ini, bennis dan mische ( sedarmayanti, 1999 : 79 ) menjelaskan bahwa : pemberdayaan berarti menghilangkan batasan birokratis yang mengkotak-kotakan orang dan membuat mereka menggunakan seefektif mungkin ketrampilan, pengalaman, energi dan ambisinya. ini berarti memperkenankan mereka untuk mengembangkan suatu perasaan memiliki bagian-bagian dari proses khususnya menjadi tanggung jawab mereka. sementara pada waktu yang sama menuntut mereka menerima suatu bagian tanggung jawab dan kepemilikan yang lebih luas dari keseluruhan proses.

selanjutnya untuk memperjelas pranarka dan moeljarto ( 1996 : 57 ) mengatakan bahwa : munculnya konsep pemberdayaan ini pada awalnya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. oleh karena itu, wajar apabila konsep ini menampakkan dua kecenderungan pertama, pemberdayaan menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya proses ini sering disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog.

selanjutnya kata pemberdayaan memberikan gambaran tentang upaya memberdayakan baik terhadap individu maupun kelompok orang atau masyarakat agar mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahannya. sasaran pemberdayaan pada umumnya adalah mereka yang tergolong miskin atau masyarakat golongan ekonomi lemah, kelompok masyarakat dalam kondisi marginal. menurut hulme dan turner (dalam pranarka dan moeljarto 1996 : 63) mengatakan bahwa : pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar diarena politik secara lokal maupun nasional. oleh karena itu pemberdayaan sifatnya individu sekaligus kolektif pemberdayaan merupakan suatu proses yang menyangkut hubungan kekuasaan (kekuatan) yang berubah antara individu, kelompok dan lembaga-lembaga sosial. juga merupakan proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri mereka sendiri dan kemudian mempertegas kembali pemahamannya terhadap dunia tempat mereka tinggal.

proses pemberdayaan dilakukan secara individu maupun kolektif (kelompok). tetapi karena proses ini merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi antara lapisan sosial atau status hirarki lain yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan individu senasib untuk saling berkumpul dalam kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan efektif, di dalam kelompok terjadi suatu dialogical encounter yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran dan solidaritas kelompok, anggota kelompok menumbuhkan identitas seragam dan mengenali kepentingan mereka bersama ( moeljarto, 1996 : 138 ).

pemberdayaan selalu menyangkut penggalian dan pengembangan potensi masyarakat, menurut kartasasmita ( 1996 : 144-145 ) mengatakan bahwa : “ setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta untuk mengembangkannya “.

pada sisi lain ginanjar mengatakan bahwa pemberdayaan masyarakat terkait dengan istilah keberdayaan masyarakat, yaitu kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. suatu masyarakat yang sehat fisik dan mentalnya serat terdidik dan kuat tentu memiliki keberdayaan yang tinggi. keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan (survive), dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. sedangkan memberdayakan masyarakat upaya untuk meningkatkan martabat masyarakat yang tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. dengan kata lain memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.

untuk memberdayakan masyarakat diperlukan pendekatan utama adalah bahwa masyarakat tidak dijadikan sebagai obyek melainkan subyek dari berbagai upaya pembangunan oleh karena itu kartasasmita (1997:29) mengatakan pemberdayaan harus mengikuti pendekatan-pendekatan sebagai berikut :
a. upaya pemberdayaan harus terarah ( targeted ), ini yang secara populer disebut pemihakan. pemberdayaan ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
b. program pemberdayaan harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran.
c. menggunakan pendekatan kelompok karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas kalau penanganannya dilakukan secara individu. pendekatan kelompok adalah yang paling efektif, dan dilihat dari penggunaannya sumber daya juga lebih efisien.

di sisi lain kartasasmita (1997 : 24) mengatakan upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari tiga sisi yaitu :
pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses ke berbagai peluang ( opportunities) yang membuat masyarakat menjadi makin berdaya. ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi.

dalam proses pemberdayaan idealnya harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) dari pemerintah. karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri. dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara sinambung.
pemberdayaan dimaksudkan juga untuk menciptakan keberdayaan masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat . karena dalam prosesnya mengupayakan peningkatan sumber daya manusia (sdm) serta partisipasi rakyat. partisipasi ini selanjutnya akan mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapi serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas kondisi sosial ekonomi yang mengelilingi mereka.

dalam hal pemberdayaan, kelompok merupakan suatu hal yang sangat penting. pembentukan kelompok menekankan pada prinsip kebersamaan demi mewujudkan semangat dan kegiatan koperatif. dalam kebersamaan tiap-tiap anggota ikut bertanggungjawab, saling mempercayai dan melayani. katz (dalam payne 1997 : 272 ), mengatakan bahwa : “ partisipasi dan pemberdayaan dapat meningkatkan pemberian akses pada informasi yang melibatkan proses pembuatan kebijakan dan memberi perhatian penuh pada klien untuk melihat proses pekerja sosial “.

selanjutnya sumodiningrat ( 1999 :134) mengatakan bahwa kebijaksanaan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat dipilih menjadi tiga kelompok yaitu :
a). kebijaksanaan secara tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegitan sosial ekonnomi rakyat . b). kebijaksanaan yang secara langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. c). kebijaksanaan khusus yang menjangkau masyarakat miskin melalui upaya khusus.

pemberdayaan masyarakat diupayakan melalui program diberbagai sektor yang dibiayai langsung dengan anggaran dalam negeri. pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kelembagaan

konsep pembangunan (2)

dalam teori ekonomi tradisional, pembangunan bertujuan untuk membangun kapasitas ekonomi nasional. peningkatannya diawali dengan perubahan kondisi sosial ekonomi yang kemudian akan mempengaruhi pendapatan nasional bruto atau gross national product ( tadaro, 1983 :18).

didalam literatur, ekonomi pembangunan diartikan sebagai suatu proses yang berkesinambungan dari peningkatan pendapatan riil perkapitan melalui peningkatan jumlah dan produktivitas sumber daya. dari pandangan itu lahir konsep-konsep mengenai pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi ( kartasasmita, 1997).

dalam pandangan masyarakat awam, pembangunan diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memajukan kehidupan masyarakat dan warganya. seringkali kemajuan dimaksud terutama adalah kemajuan material, karena pembangunan selalu diartikan sebagai kemajuan yang dicapai masyarakat dibidang ekonomi.

konsep pembangunan yang berorientasi pertumbuhan mempunyai sisi negatif, yaitu tidak begitu diperhatikannya masalah keadilan. mengenai dominasi konsep pembangunan yang menekankan pertumbuhan juga dijelaskan oleh korten ( 1993 : 65 : 66 ), mengatakan bahwa : “ pemikiran dan tindakan pembangunan di banyak negara utara dan selatan selama beberapa dekade dikuasai oleh visi pembangunan berpusat pertumbuhan”. lebih lanjut ia mengatakan dalam bentuknya yang murni, visi konvensional mendefinisikan pembangunan hampir seluruhnya menurut pertumbuhan nilai ekonomi semua yang bisa dihasilkan system produksi masyarakat, tanpa menghiraukan dampaknya terhadap cadangan sumber daya atau lingkungan hidup, atau bahkan sumbangan apa yang sesungguhnya bagi kesejahteraan umat manusia.

hipotesis strategi ini adalah bahwa pembangunan dikendalikan oleh permintaan eksternal dan tekanan inovasi, dan bahwa pembangunan yang dilakukan sebagian kecil sector atau wilayah akan secara spontan mengucurkan hasilnya kebawah atau sistem-sistem lainnya ( trikle down effect ), walaupun pada mulanya menurut kuznet (dalam todaro, 1983 : 208) pertumbuhan ekonomi, kemerataan cenderung rusak kemudian dalam tingkat selanjutnya akan lebih baik. strategi ini dalam prakteknya cenderung berpusat pada kota dan sektor industri padat modal, didominasi oleh teknologi tinggi dan berfokus pada proyek-proyek rekayasa.

untuk itu negara-negara berkembang harus menjalankan kebijaksanaan pembangunan yang diarahkan pada penciptaan kesempatan kerja ( employment-oriented ) dalam bidang-bidang industri dan pertanian, dan harus mengembangkan teknologi-teknologi “menengah” (intermediate technology) yang sesuai dengan basis sumber-sumber mereka. dalam hal ini soedjatmoko (1995) mengatakan bahwa :

strategi pembangunannya haruslah dengan gamblang dan konsisten ditujukan pada peningkatan swasembada, pada peningkatan kemampuan untuk berusaha sendiri pada tiap langkah, terutama didaerah- daerah pedesaan, dan ditujukan untuk memadukan suatu struktur sosial yang akan membuat hal-hal tersebut memang terlaksana.

pengertian pembangunan harus dilihat secara dinamis bukan statis. pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usulan tanpa akhir. sesuai dengan konsep pbb yang menyatakan , “development is not a static concepth. it is continuously changing” ( united nation, 1975). proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya ( katz dalam tjokrowinoto, 1983 : 31). pembangunan supaya menjadi proses yang dapat bergerak maju atas kekuatan sendiri ( self sustaining process ) tergantung pada manusia dan struktur sosialnya ( tjokroamidjoyo, 1995 : 1 )

katz ( dalam ndraha , 1985:30 ) mengemukakan bahwa pembangunan ( development) adalah segala upaya untuk mewujudkan perubahan sosial besar-besaran dari suatu keadaan kehidupan nasional menuju keadaan baru yang lebih baik. perubahan sosial tersebut meliputi berbagai aspek kehidupan dan berlangsung secara terus menerus yang oleh mubyarto (1988 :41) diuraikan sebagai berikut :

pertama, pengembangan kemampuan melalui upaya peningkatan produktivitas dengan cara : memperluas kesempatan kerja; peningkatan produksi dengan intensifikasi; menggunakan teknologi tepat guna;
kedua, pembangunan sebagai peningkatan kualitas manusia, yang terdiri dari : peningkatan kemampuan fisik; penguasaan sumber daya alam; penguasaan pengetahuan dan teknologi;

ketiga, pembangunan sebagai pengembangan kapasitas dengan perluasan partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat yang meliputi : desentralisasi pembangunan; meningkatkan partisipasi dan kebebasan memilih; peningkatan peran serta lembaga swadaya masyarakat dalam pembangunan.

model pembangunan yang berpusat pada manusia, berwawasan lebih jauh dari pada sekedar angka pertumbuhan gnp atau pengadaan pelayanan sosial. peningkatan perkembangan manusia dan kesejahteraan manusia, persamaan dan sustainability manusia menjadi focus sentral proses pembangunan, pelaksanaan pembangunan yang menentukan tujuan, sumber-sumber pengawasan dan mengarahkan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka, gran (dalam tjokrowinoto, 1986 : 34)

pembangunan yang dilaksanakan setiap negara berkembang mempunyai perbedaan prinsip yang dilandasi falsafah, hakikat, tujuan, strategi maupun kebijaksanaan dan program pembangunannya. namun demikian pembangunan yang dilakukan negara berkembang secara global merupakan suatu proses kegiatan yang terencana dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi , perubahan sosial, dan modernisasi bangsa guna meningkatkan kualitas hidup manusia dan kesejahteraan masyarakat.

strategi pendekatan pembangunan manusia dinegara-negara berkembang pada dekade tahun 1990 – an hingga kini lebih dititik beratkan pada pembangunan sosial dan lingkungan yang diupayakan agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi dengan strategi “sustained development” sustained development” yang dicirikan oleh :

pertama, pembangunan yang berdimensi pelayanan sosial dan diarahkan kepada kelompok sasaran melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa pelayanan sosial disektor kesehatan dan gizi, sanitasi, pendidikan dan pendapatan bagi kesejahteraan masyarakat.

kedua, pembangunan yang ditujuakan pada pembangunan sosial seperti mewujudkan keadilan , pemerataan dan peningkatan budaya , serta menciptakan kedamaian.

ketiga, pembangunan yang berorientasi pada manusia sebagai subjek pembangunan melalui “ people-centered development” dan promote the empowerment people” ( soehadi, dalam supriatna, 1997 : 12).

salah satu harapan dari pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat lapisan paling bawah . namun pengalaman pembangunan dalam tiga dasawarsa ( 1940-1970) menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat dilapisan bawah tidak menikmati kucuran hasil pembangunan seperti yang diharapkan. bahkan kesenjangan semakin melebar. hal ini disebabkan karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu , lebih dapat memanfaatkan kesempatan antara lain karena posisi yang menguntungkan sehingga akan memperoleh semua atau sebagian besar hasil pembangunan. jadi dengan demikian yang kaya makin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan dapat menjadi lebih miskin.

menurut haq ( 1995 : 37 ) kegagalan pembangunan disebabkan perencanaan pembangunan terlalu terpukau oleh laju pertumbuhan gnp yang tinggi dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan. akibatnya pengangguran semakin meningkat, pelayanan sosial yang semakin buruk, dan kemiskinan absolut dan relatif semakin menjadi-jadi.

akibat dari pembangunan ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan adalah banyak menimbulkan distorsi, seperti kurang memperhatikan sektor tradisional, sektor informal dan sektor pertanian yang merupakan sektor-sektor yang banyak digeluti oleh masyarakat lapisan bawah , mendorong berkembangnya konglomerasi dan monopoli, memacu berkembangnya industri yang menghasilkan barang mewah, dan merebaknya ketimpangan atau kesenjangan baru.

jadi sebagai jawaban atas kegagalan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, muncullah konsep pembangunan yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok ( basic needs). konsep pembangunan ini memfokuskan perhatian pada penduduk miskin dengan program-program kesejahteraan atau bantuan bagi orang miskin melalui pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, pendidikan, kesehatan, perumahan, peningkatan, gizi, sanitasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

dalam hal pembangunan yang menekankan pada usaha pemenuhan kebutuhan pokok, haq ( 1995 : 82 ) mengatakan bahwa : siasat pembangunan tersebut sulit dilaksanakan dan sampai saat ini belum ada bukti bahwa perencana pembangunan didunia ketiga , bahkan di negara-negara yang secara resmi memeluk kebijaksanaan memerangi kemiskinan, telah megambil langkah-langkah dalam siasat pembangunan . ini berarti bahwa pembangunan yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok inipun tidak berkembang.

tidak berkembangnya pembangunan yang menekankan pada pemenuhan kebutuhan pokok sesuai pendapat moelyarto (1995: 34 ) adalah karena : tindakan-tindakan untuk mendukung strategi kebutuhan dasar pada umumnya bersifat membengkaknya anggaran pelayanan sosial, staf dan fasilitas. namun hasilnya bagi kaum miskin seringkali tidak berbeda dari program bantuan dan kesejahteraan yang semata-mata bertujuan mengurangi sebagian akibat terburuk kemiskinan. hasilnya jarang bisa berlanjut dan juga tidak selalu meningkatkan partisipasi ekonomi.

dibandingkan dengan model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi model pembangunan yang menekankan pada kebituhan pokok merupakan langkah maju dalam memberikan pertimbangan pada aspek pembangunan manusia. namun para pendukung pembangunan yang berpusat pada manusia telah mengkritik model pembangunan kebutuhan pokok karena kurang memperhatikan keterpusatan dari posisi manusia dalam pembangunan.

sesuai pendapat korten sebagaimana dikutip oleh moelyarto ( 1995: 35 ) bahwa : “ terwujudnya masyarakat mencapai kemakmuran yang melimpah, yang menjadikan simiskin menerima secara pasif pelayanan apapun yang dipilih serta diberikan oleh birokrasi pemerintah berdasarkan kearifan, yang waktu dan tempatnya ditentukann pula oleh birokrasi pemerintah, adalah tidak dapat diterima”.

model pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan dan pemenuhan kebutuhan dasar dalam perkembangannya telah mengalami kegagalan . pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan menimbulkan ketidakadilan, gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, hal ini menyebabkan jurang yang lebar antara kemajuan bidang ekonomi dengan bidang-bidang lainnya terutama bidang sosial. memang terjadi peningkatan ekonomi secara makro yang sangat berarti, ditandai dengan peningkatan gnp namun ternyata peningkatan tersebut tidak diikuti oleh peningkatan penghasilan dikalangan masyarakat bawah ( grassroots). akibatnya ditengah kemakmuran yang dicapai terdapat begitu banyak kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan sosial yang cukup tajam. sesuai pendapat midgley ( 1995 : 4 ) menyebut gejala ini sebagai gejala pembangunan yang terdistrosi ( distorted development) di mana pembangunan ekonomi tidak diikuti oleh pembangunan sosial yang setaraf. jadi masalah nya bukan tidak ada pembangunan ekonomi, melainkan lebih pada gejala-gejala menyelaraskan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dan kegagalan kita untuk memberikan jaminan bahwa hasil-hasil kemajuan pembangunan ekonomi dapat disebar secara merata dimasyarakat. sedangkan pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar tidak menciptakan lingkungan yang manusiawi, kebutuhan akan harga diri diabaikan serta akan mengakibatkan membengkaknya anggaran pelayanan sosial. menyadari kegagalan-kegagalan tersebut, maka berkembang berbagai pemikiran untuk mencapai alternatif terhadap paradigma yang semata-mata memberikan penekanan kepada pertumbuhan ekonomi atau pemenuhan kebutuhan dasar. salah satu diantaranya muncul paradigma pembangunan sosial.

pembagian urusan pemerintahan versi uu nomor 32 tahun 2004

pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan didalam uu no. 32 tahun 2004 terlihat lebih jelas antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota, dan desa dengan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan dan sinergi sebagai suatu sistem pemerintahan.

di dalam undang-undang tersebut ditegaskan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah meliputi urusan wajib dan urusan pilihan. urusan wajib merupakan urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara. adapun urusan pilihan adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. contoh dari urusan pemerintahan wajib adalah seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup minimal, prasarana lingkungan dasar.

adapun urusan wajib yang termaktub dalam uu no. 32 tahun 2004 adalah :
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan
2. perencanaan pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
3. penyelenggaraan trantibum masyarakat
4. penyediaan sarana dan prasarana umum
5. penanganan bidang kesehatan
6. penyelenggaraan pendidikan
7. penanganan masalah social
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
10. pengendalian lingkungan hidup
11. pelayanan pertanahan
12. pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. pelayanan administrasi penanaman modal
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan

dalam menyelenggarakan pemerintahan, yang berkaitan dengan urusan wajib dan urusan pilihan diwajibkan untuk berpedoman pada standar pelayanan minimal yang dilaksanakan secara bertahap ditetapkan oleh pemerintah.

sementara itu, pemerintah pusat memegang urusan utama yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan,moneter, yustisi, dan agama; serta urusan yang ditetapkan oleh suatu undang-undang menjadi urusan pusat.

di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurent, artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurent selalu ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan propinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.

sementara itu, bidang pembinaan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan atau gubernur sebagai wakil pusat di daerah. pengawasan dilaksanakan oleh pusat terkait dengan urusan pemerintahan dan terutama terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan kepala daerah, pemerintah melakukan 2 (dua) cara sebagai berikut: (a) pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah sejauh mengatur tentang pajak daerah, retribusi daerah, apbd, dan rutr, sebelum disahkan oleh kepala daerah dievaluasi terlebih dahulu oleh menteri dalam negeri untuk propinsi, dan oleh gubernur untuk peraturan daerah kabupaten/kota; dan (b) terhadap semua peraturan daerah yang mengatur hal-hal yang lain, maka harus diserahkan guna memperoleh klarifikasi kepada menteri dalam negeri untuk propinsi dan gubernur untuk kabupaten/kota.

agar fungsi pembinaan dan pengawasan tersebut dapat berjalan secara optimal, maka pemerintah pusat dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah jika ditemukan pelanggaran dan penyimpangan seperti: (a) penataan kembali suatu daerah otonom; (b) pembatalan pengangkatan pejabat; (c) pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah; dan (d) sanksi lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ada beberapa faktor yang mendasari hal tersebut. susunan negara kesatuan secara “kodrati” memang memiliki pemerintahan yang bersifat sentralistik karena sumber kewenangan untuk menjalankan pemerintahan berada di tangan pemerintah pusat berdasar mandat yang diberikan oleh rakyat.

transfer kewenangan dalam rangka desentralisasi dilakukan berdasarkan kemauan politik dari pemilik sumber kewenangan melalui peraturan perundang-undangan yang dibentuk. dalam negara kesatuan, pemerintah pusat sebagai penjaga kesatuan dan persatuan bangsa justru harus kuat, intensif, tetapi juga tidak boleh represif. tanpa hal yang demikian, kewibawaan pemerintah pusat akan merosot.

pelaksanaan pemerintahan di daerah mengalami dinamika hingga akhirnya mengedepankan aspek desentralisasi, dengan harapan supaya daerah dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan, dengan mengacu pada realisasi kehidupan demokrasi sampai ke lapisan masyarakat terbawah.

sistem desentralisasi ini bertujuan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu lapisan pemerintahan, yang sekaligus menjadi sumber pengakuan negara terhadap potensi dan kemampuan daerah dengan melibatkan wakil rakyat di daerah. untuk itu, daerah-daerah diberikan kewenangan untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.

isi wewenang meliputi urusan yang diterima melalui penyerahan urusan sebagai lanjutan dari wewenang pangkal yang dimuat dalam undang-undang pembentukan daerah otonom. kewenangan yang diserahkan kepada daerah menjadi tanggung jawab sepenuhnya. prakarsa sepenuhnya diserahkan kepada daerah dalam hal penentuan kebijaksanaan, perencanaan, pelaksanaan, pembiayaan dan pengaturan atau penetapan perangkat pelaksanaannya. penyerahan urusan dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah sehingga akan berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. penyerahan kewenangan tidak mengurangi hakikat dari tanggung jawab yang tetap berada di tangan pusat.

konsep demikian memberikan pemahaman bahwa pembagian kekuasaan atau kewenangan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip pokok, yaitu pertama, kewenangan atau kekuasaan pemerintahan secara absolut tidak diserahkan kepada daerah karena bersangkut paut dengan kepentingan kehidupan bangsa. kedua, tidak ada kewenangan atau kekuasaan pemerintahan yang diserahkan seratus persen atau sepenuhnya kepada daerah, kecuali kewenangan pemerintahan yang manyangkut kepentingan masyarakat setempat.

pemberlakuan uu no. 32/2004 yang menekankan supaya pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus dirinya sendiri, urusan pemerintahan di daerahnya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimiewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem nkri yang diatur secara rinci, di mana pemerintahan daerah berhak untuk menyelelenggarakan semua urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang telah ditentukan menjadi urusan pemerintah

hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah

secara teoritis, hubungan kekuasaan antara pemerintah dengan pemerintah daerah berdasarkan atas 3 (tiga) asas, yaitu: (a) asas desentralisasi; (b) asas dekonsentrasi; dan (c) asas tugas pembantuan. dalam asas desentralisasi ada penyerahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah tentang urusan tertentu, sehingga pemerintah daerah dapat mengambil prakarsa sepenuhnya baik menyangkut kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, dan pembiayaan.

pada asas dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah dalam arti bahwa kebijakan, perencanaan, dan biaya menjadi tanggung jawab pemerintah pusat, sedangkan aparatur pemerintah pusat di daerah bertugas melaksanakan.

asas pembantuan berarti keikutsertaan pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah daerah memperoleh tugas dan kewenangan untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat (p. rosodjatmiko, 1982: 22-23).

dalam tataran teoritis, bagaimana otonomi diberikan dan bagaimana batas cakupannya, para ahli mengidentifikasikannya ke dalam 3 (tiga) ajaran yaitu formil, materiil, dan nyata (riil). keseluruhan ajaran itu menyangkut tatanan yang berkaitan dengan cara pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

dalam sistem otonomi formil, pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri tidak dirinci di dalam undang-undang. basis ajaran ini adalah tidak ada perbedaan sifat urusan yang diselenggarakan oleh pusat dan daerah. menurut tresna (t.t.: 32-36), sistem ini memberi keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri.

jadi, titik berat sistem otonomi formil adalah pertimbangan daya guna dan hasil guna pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab (koesoemahatmadja, 1979: 18). berbalikan dengan sistem otonomi formil, maka sistem otonomi materiil memuat secara rinci pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. basis ajaran ini adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. jadi, urusan-urusan pemerintahan itu dianggap dapat dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan pemerintahan (moh. mahfud, 1998: 97).

sementara itu, sistem otonomi riil dianggap sebagai kompromi antara kedua sistem terdahulu (tresna, t.t.: 34). dalam sistem ini, penyerahan urusan kepada daerah otonom didasarkan kepada faktor-faktor riil. di samping itu, sifat kompromistis nampak bahwa sistem ini mengutamakan sistem otonomi formil karena mengandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kebebasan dan kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem otonomi materiil nampak dengan adanya urusan pangkal yang diserahkan dan dikembangkan kepada daerah (bagir manan, 1990: 33; the liang gie, 1980: 58).

bidang-bidang kewenangan yang dimiliki baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah meliputi 4 (empat) bidang, yaitu (a) pengaturan; (b) pengurusan; (c) pembinaan; dan (d) pengawasan. bidang kewenangan pengaturan mencakup kewenangan untuk membuat aturan, pedoman, norma, maupun standar. pemerintah pusat membuat pengaturan hal-hal yang bersifat nasional maupun internasional. propinsi memiliki kewenangan pengaturan yang bersifat regional, sedangkan kabupaten/kota memiliki pengaturan yang bersifat lokal.

bidang pengurusan dapat dilakukan baik oleh pemerintah pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota. bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya pemberdayaan institusi pemerintah, nonpemerintah maupun masyarakat agar menjadi makin mandiri. sedangkan kewenangan pengawasan mencakup tindakan untuk menegakkan aturan, norma, serta standar yang telah disepakati.

tentang otonomi daerah dan pemerintahan daerah

secara formal, otonomi daerah dilaksanakan sejak tahun 1999, yaitu sejak diundangkannya undang-undang otonomi nomor 22 tahun 1999. implementasi otonomi baru dimulai secara “resmi” pada tahun 2001. tahun 2004, undang-undang otonomi direvisi menjadi undang-undang nomor 32 tahun 2004.

perubahan dari uu 22/1999 ke uu 32/2004, merupakan perubahan yang cukup substansial. salah satu persoalan yang muncul dan menjadi dasar revisi tersebut adalah mengenai pembagian urusan “kekuasaan” antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. sejak tahun 2001, pemerintahan di daerah seolah mendapat kewenangan besar dalam pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, sehingga banyak daerah yang “kebablasan” dalam pelaksanaan otonomi. banyak peraturan daerah yang dibuat dengan sesuka hati pemerintah daerah, sehingga dalam pelaksanaannya bertabrakan dan bahkan bertentangan dengan semangat otonomi uu 22/1999. kesan yang timbul kemudian adalah, terbentuknya “raja-raja” di daerah yang tidak peduli dengan kepentingan (pusat)/nasional.

init dari otonomi daerah adalah distribusi kewenangan berdasarkan asas desentralisasi, dekosentralisasi, dan perbantuan pada strata pemerintahan guna mendorong prakarsa lokal dalam membangun kemandirian daerah dalam wadah nkri. otonomi daerah juga merupakan manisfestasi dari political sharing, financial sharing, dan empowering dalam mengembangkan kapasitas daerah (capacity building), peningkatan sdm dan partisipasi masyarakat.

secara konsepsional otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah: pendelegasian kewenangan (delegation of autority), pembagian pendapatan (income sharing), kekuasaan (dicreation), keanekaragaman dalam kesatuan (uniformity in unitry), kemandirian lokal , pengembangan kapasitas daerah (capacity building).

di uu no. 32 tahun 2004 dipaparkan pengertian otonomi daerah, desentralisasi dan dekonsentrasi, yaitu :
otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik indonesia.

dekonsentrasi
adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

asas desentralisasi dapat diklasifikasikan dalam beberapa hal, diantaranya (1) desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan; (2) desentralisasi sebagai pelimpahan kekuasaan dan kewenangan; (3) desentralisasi sebagai pembagian, penyebaran, pemencaran dan pemberian kekuasaan dan kewenangan, serta (4) desentralisasi sebagai sarana dalam pembagian dan pembentukan daerah pemerintahan.

pendelegasian wewenang pada dekonsentrasi hanya bersifat menjalankan peraturan-peraturan dan keputusan pusat saja. menurut kartasapoetra dekonsentasi merupakan bentuk pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayahnya atau juga kapala instansi vertikal tingkat atas kepada pejabat-pejabat (bawahannya) di daerah.

pada dasarnya tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan peraturan perundangan-undangan tingkat lebih tinggi. daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan, termasuk yang diperintahkan atau diminta dalam rangka tugas pembantuan seperti yang dimaksud dalam uu no. 22/1948.

istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan sehingga daerah otonomi itu diberi kebebasan atau kemandirian sebagai wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggung jawabkan (ateng syafruddin, 1985: 24). oleh sebab itu, usaha membangun keseimbangan harus diperhatikan dalam konteks hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. artinya, daerah harus dipandang dalam 2 (dua) kedudukan, yaitu: (a) sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi; dan (b) sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat di daerah.

tersebarnya kekuasaan kepada beberapa lembaga negara akan tercipta keseimbangan (check and balances of power) dan pada gilirannya akan menepis adanya absolutisme kekuasaan. kekuasaan yang tersebar tentunya memerlukan suatu kerangka dasar legalitas supaya implementasi kekuasaan dapat dipertanggungjawabkan terhadap rakyat debagai pemegang kedaulatan dalam peyelenggaraan rakyat. pembagian kekuasaan menurut arthur mass dapat dilakukan dengan cara :

pertama, pembagian kekuasaan menurut proses yang dianut dalam pemerintahan, yaitu cara capital division of power (pembagian kekuasaan secara horizontal dimana proses legislatif, eksekutif dan yudikatif masing-masing pada satu badan) dan cara areal divison of power (pembagian kekuasaan secara vertikal dimana proses legislatif hanya dapat diberikan kepada pemerintah pusat atau secara bersama-sama kepada unit yang terdesentralisasi).

kedua, pembagian kekuasaan menurut fungsi atau aktivitas pemerintahan yaitu cara capital division of power (fungsi-fungsi pemerintahan tertentu dapat diberikan kepada departemen-departemen pemerintahan) dan cara areal divison of power (pembagian kekuasaan secara vertikal dimana proses-proses pemerintahan tertentu seperti moneter dan hubungan luar negeri diberikan kepada pemerintah pusat, sedangkan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu kepada pemerintah daerah).

ketiga, pembagian kekuasaan menurut konstitusiensi (constituency). cara capital division of power untuk mewakili suatu konstituensi atau kelompok tertentu dalam masyarakat dan kepresidenan mewakili konstituensi yang lain dan cara areal divison of power (pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat (federal) dengan pemerintahan negar bagian dilakukan dengan konstitusi.

negara indonesia, adalah negara kesatuan, yang pemerintahannya terbagi dalam pemerintahannya terbagi dalam pemerintahan pusat (pemerintah pusat) dan pemerintahan subnasional (provinsi, kabupaten dan kota). kedaulatan tidak terbagi dalam satuan-satuan pemerintah lainnya (daerah-daerah). keberadaan satuan pemerintahan daerah tergantung (dependent) dan di bawah (subordinate) pemerintah. hal ini menjadi prinsip dasar negara kesatuan, sebagai suatu kesatuan yang utuh dan tidak terpisah-pisah

beberapa pengertian yang digunakan untuk definisi operasional dalam penelitian (3)

guna memudahkan dan memberikan arah dalam pencapaian tujuan penelitian, perlu dilakukan pendefinisian secara operasional

implementasi kebijakan publik
adalah kegiatan yang tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri kelompok sasaran, melainkan menyangkut pula jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua yang terlibat dan akhirnya mempengaruhi dampak, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan berdasarkan :
variabel independen yaitu :
variabel kebijakan
yang termasuk variabel kebijakan adalah kejelasan tujuan kebijakan, transmisi (penyampaian kebijakan). tujuan yang tidak jelas dan penyampaian kebijakan kepada implementor menimbulkan perbedaan persepsi. kondisi ini akan menyulitkan dalam proses implementasi kebijakan nantinya.

variabel atau faktor organisasi
satu kebijakan publik harus dilaksanakan melalui sebuah instrumen atau alat serta wahana tertentu, singkatnya tidak ada kebijakan publik tanpa terkait dengan alat tertentu. instrumen untuk melaksanakan kebijakan publik ini dalam konteks administrasi negara dilasanakan melalui organisasi atau organisasi publik. organisasi yang dimaksudkan penulis bukanlah struktur organisasi tetapi lebih pada personil (aparat pelaksana).

variabel atau faktor lingkungan implementasi
suatu kebijakan yang dilaksanakan oleh organisasi atau sekelompok organisasi tidak terjadi pada ruang hampa, tetapi terjadi pada lingkungan impelemtasi tertentu. lingkungan implementasi bisa berbentuk kondisi pendidikan masyarakat, kondisi sosial dimana kebijakan itu diimplementasikan serta kondisi politik
variabel dependen yaitu :
variabel organisasi implementasi :
variabel organisasi implementasi diukur dengan penggabungan dan modifikasi instrumen yang dikemukakan oleh sofian effendi, muhadjir darwin, o'toole dan montjoy. modifikasi dan penggabungan tersebut menghasilkan 6 (enam) faktor yang mengukur variabel organisasi implementasi, yaitu :
  • kualitas aparat pelaksana
  • orientasi pimpinan
  • koordinasi
  • keleluasaan mengambil keputusan
  • sosialisasi program
  • sumberdaya

variabel lingkungan organisasi :
variabel lingkungan organisasi diukur dengan menggambungkan dan modifikasi instrumen yang dikemukakan oleh sofian effendi dan muhadjir darwin, melalui indikator sebagai berikut :
  • sifat kepentingan yang dipengaruhi
  • manfaat kebijakan bagi masyarakat
  • orientasi lembaga legeslatif
good governance
adalah merupakan sinergi keterlibatan 3 (tiga) sektor : state, private sector dan community dalam sistim pemerintahan dalam suatu kegiatan kolektif untuk mengoptimalisasikan sumber daya yang dimiliki, melalui cerminan minimal menyangkut 6 (enam) elemen, berupa : commpetence, transparancy, accountability, participation, rule of law, dan social justice.

desentralisasi dan otonomi daerah
adalah desentralisasi adalah transfer kegiatan perencanaan, pengambilan keputusan, atau kewenangan administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit administratif lokal, semi otonom dan organisasi parastatal. sedangkan otonomi daerah adalah wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, yang merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan secara vertikal.

beberapa pengertian yang digunakan untuk definisi operasional dalam penelitian (2)

analisis kebijakan
adalah merupakan suatu kajian yang mendalam, kritis, dan kompleks untuk menilai dan menciptakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan. hasil analisis kebijakan berupa alternatif-alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah kebijakan.

kemampuan keuangan daerah
adalah kemampuan daerah kabupaten dalam membiayai urusan rumah tangganya sendiri, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah.

otonomi daerah
adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku.

analisis kebijakan peningkatan kemampuan keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah
adalah merupakan suatu kajian yang mendalam, kritis dan kompleks untuk menciptakan pengetahuan yang relevan dengan upaya peningkatan kemampuan keuangan daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.

kemampuan keuangan daerah adalah
kemampuan daerah kabupaten dalam membiayai urusan rumah tangganya sendiri, khususnya yang berasal dari pendapatan asli daerah.

pdrb (pendapatan daerah regional bruto)
adalah seluruh barang dan jasa yang diproduksi oleh faktor produksi yang dimiliki oleh penduduk baik yang berada dalam wilayah maupun diluar wilayah dalam satu periode biasanya satu tahun dan dinyatakan dalam nilai pasar.

struktur penerimaan daerah
adalah komponen-komponen penerimaan daerah yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan daerah yang sah.

total penerimaan daerah (tpd)
adalah jumlah penerimaan daerah dalam satu tahun anggaran yang berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan daerah yang sah.

pengeluaran rutin
adalah pengeluaran daerah yang bersipat rutin dan terus menerus, seperti yang terdiri dari ; belanja pegawai, belanja barang, biaya perjalanan dinas, biaya pemeliharaan dan lain-lain.

bantuan/subsidi
adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah tingkat atasnya.

pajak daerah
adalah adalah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan lansung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah

retribusi daerah
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

penerimaan lain-lain
adalah pos penerimaan pendapatan asli daerah yang bukan berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah atau pendapatan asli daerah lainnya yang sah.

pdrb atas dasar harga konstan
adalah jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai lapangan usaha/sektor dalam jangka waktu satu tahun dan dinilai berdasarkan harga tahun dasar

lapangan usaha/sektor dikelompokkan menjadi sembilan lapangan usaha/sektor yaitu:
a. pertanian
b. pertambangan dan penggalian,
c. industri pengolahan
d. listrik, gas, dan air bersih
e. bangunan
f. perdagangan, hotel, dan restoran
f. pengangkutan dan komunikasi
g. keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
h. jasa-jasa;

sektor dan subsektor unggulan adalah
kegiatan ekonomi yang mampu melayani baik pasar di daerah itu sendiri (pasar domestik) maupun pasar di luar daerah itu sendiri.

tentang good corporate governance

salah satu konsep baru yang mendukung proses perubahan adalah good governance. bintoro (2001:24-26) menyebutkan bahwa good governance mendukung proses perubahan yang empower sumber daya dan pengembangan institusi yang sehat dalam menunjang sistem produksi yang efisien.

berkaitan dengan pengelolaan perusahaan, maka salah satu sub domain dari private sector governance adalah good corporate governance. wacana baru corporate governance ialah perlunya perhatian tidak hanya pada pemegang saham tetapi juga bagi pemegang kepentingan. good corporate governance dapat memberi peluang bagi peningkatan kinerja perusahaan (bintoro, 2001:70).

di indonesia kini telah diusahakan dan dikembangkan suatu frame work code of good corporate governance yang meliputi ketentuan-ketentuan hak pemegang saham dan prosedur rups (share holders rights and procedures at general meeting of share holders), ketentuan tentang dewan komisaris, direksi (board of directors) maupun pengguna kepentingan (bintoro, 2001:70).

menurut l.chrisbiantoro (suara karya, 24/1/2001) istilah good corporate governance merujuk bagaimana mengelola korporasi yang baik dengan empat prinsip utamanya, yakni keadilan (fairness), transparan (transfarancy), bertanggung jawab (accountability) dan tanggap akan tuntutan (responsibility).

dalam good corporate governance mensyaratkan perlunya perhatian terhadap aspek internal dan aspek eksternal perusahaan. aspek internal dapat menyangkut pembiayaan, pemasaran, produksi dan operasional yang sehat. aspek eksternal berhubungan social responsibility bisnis maupun etika bisnis.

perusahan harus mempunyai tanggungjawab kepada masyarakat, antara lain hasil produksi cukup berkualitas, tidak membahayakan kesehatan atau merusak lingkungan. dapat juga perusahaan menyumbang untuk kepentingan umum, misalnya memelihara jalan lokasi perusahaan dan sumbangan fasilitas sosial.

good corporate governance juga memerlukan kualitas manajer yang baik dengan proses rekrutmen dilakukan melalui “fit and proper test” dalam menjamin tanggung gugat manajemen. pelaksanaan proses rekrutmen melalui “fit and proper test” harus akuntabel (bintoro, 2001:69).

konsep pembangunan (development)

masalah pembangunan (development) sampai dengan saat ini masih menjadi diskursus, di satu sisi pembangunan memiliki tujuan yang sangat ideal bagi kepentingan masyarakat banyak namun di sisi lain pembangunan juga bisa berubah menjadi wadah dominasi negara terhadap masyarakat. di indonesia kata pembangunan ini semakin mendapat posisi sentral selama masa rezim orde baru dimana dalam masa ini pembangunan bahkan seolah-olah dijadikan semboyan dan ideologi baru bagi pemerintah orba yang diimplementasikan dalam setiap program yang dilaksanakan, apapun bentuk aksi yang dilakukan pemerintah selalu dikaitkan dengan kata dalam rangka pembangunan.

terminologi pembangunan mulai muncul ke permukaan sejak tahun 1940-an dimana pada saat itu pemerintah amerika serikat di bawah pimpinan presiden harry s truman mengumumkan kebijakan pemerintahannya dengan mengembangkan istilah pembangunan (development) dalam rangka mengantisipasi sikap anti kapitalisme. kaum anti kapitalisme menganggap bahwa kapitalisme dianggap menimbulkan keterbelakangan (underdevelopment) terhadap banyak rakyat di dunia ketiga.

berawal dari kebijakan tersebut dikemudian hari kemudian bermunculan banyak konsep atau teori tentang pembangunan diantaranya rostow mencetuskan teori pertumbuhan (growth theory), mcclelland dan alex inkeles mengemukakan teori modernisasi (theory of modernization). teori yang muncul tersebut pada umumnya memberikan posisi sentral kepada faktor manusia yang lebih banyak berperan dalam keberhasilan pelaksanaan pembangunan, bukan pada struktur dan sistem pembangunan tersebut.

dalam perkembangan selanjutnya, pembangunan atau istilah lain yang maksudnya sama, diterjemahkan dan diimplementasikan oleh banyak negara dengan cara yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi sosial politik negara tersebut.

di indonesia setelah mengalami krisis ekonomi yang cukup hebat pada masa pemerintahan presiden soekarno, rezim pada saat itu mencoba melaksanakan pembangunan yang sesuai dengan kondisi yang berkembang saat itu. rezim pengganti yaitu pemerintahan orde baru kemudian menterjemahkan pembangunan dengan sistem yang sangat berorientasi ke pusat atau sentralistik.

menurut dr. mansour fakih dalam rangka melindungi ideologi pembangunan, pemerintah orde baru melakukan pelbagai pendekatan antara lain dengan melarang keberadaan semua organisasi (politik) masa di tingkat desa, menggeser tradisi demokrasi, menempatkan militer dalam setiap desa (babinsa) dan dalam bidang ekonomi menciptakan koperasi unit desa. dari realitas yang ada di atas, terlihat bahwa ideologi pembangunan diterjemahkan menjadi pembangunan melalui mekanisme kontrol ideologi yang ketat dan canggih baik di bidang sosial, kultur, ekonomi maupun politik.

terlepas dari sisi negatif di atas, apabila dilihat secara substansial, tujuan pembangunan pada hakekatnya adalah upaya yang dilakukan untuk mencapai suatu kondisi yang lebih baik daripada sebelumnya. profesor goulet berpendapat paling tidak ada tiga komponen dasar atau esensi yang harus dijadikan dasar untuk memahami pembangunan yang hakiki yaitu
  1. kecukupan (sustenance) yaitu terpenuhinya semua hal yang merupakan kebutuhan dasar dari manusia yang meliputi pangan, sandang, papan. kesehatan dan keamanan.
  2. jati diri (self esteem) yaitu adanya dorongan dari diri sendiri untuk maju, menghargai diri sendiri, merasa diri pantas dan layak untuk mengejar atau melakukan sesuatu dan seterusnya,
  3. kebebasan (freedom) yaitu kemampuan untuk berdiri tegak sehingga tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan.
berdasarkan pendapat di atas, michael todaro membuat kesimpulan bahwa pembangunan merupakan suatu kenyataan fisik sekaligus tekad untuk berupaya sekeras mungkin melalui serangkaian kombinasi proses sosial, ekonomi dan institusional demi mencapai kehidupan yang serba lebih baik. sementara itu gunawan sumodiningrat mengemukakan bahwa pembangunan adalah proses natural mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata.

dari dua pendapat di atas terlihat bahwa pada dasarnya pelaksanaan pembangunan memiliki tujuan yang sama yaitu ke arah yang lebih baik atau dengan kata lain adalah suatu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ditemui. sehubungan dengan upaya untuk mencapai kondisi yang lebih baik dimaksud di atas, pemerintah indonesia telah melaksanakan berbagai program yang senantiasa mengalami penyempurnaan sesuai dengan perkembangan zaman.

kecenderungan konsep pembangunan di indonesia dalam perkembangan nya menurut gunawan sumodiningrat dimulai dari :
  1. pendekatan growth strategy yaitu dengan memfokuskan diri pada pembangunan industri besar-besaran.
  2. pendekatan growth with distribution yaitu dengan menyediakan atau menciptakan lapangan pekerjaan langsung bagi masyarakat.
  3. pendekatan appropriate technology yaitu dengan menciptakan lapangan pekerjaan melalui proses produksi yang lebih bersifat padat karya.
  4. pendekatan basic needs development yaitu dengan menyediakan kebutuhan minimum bagi penduduk yang tergolong miskin tidak hanya pangan, pakaian dan papan saja, termasuk juga kemudahan akses pada pelayanan air bersih, sanitasi, transport, kesehatan dan pendidikan.
  5. pendekatan sustainable development yaitu suatu pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan kebutuhan generasi masa datang.
  6. pendekatan empowerment yaitu pembangunan yang lebih menekankan pada otonomi pengambilan keputusan dari suatu kelompok masyarakat, yang berlandas pada sumber daya pribadi, langsung (melalui partisipasi), demokratis dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung.
sejalan dengan pendekatan terakhir di atas, noeng muhadjir mengemukakan ada tiga cara pembangunan yaitu pertama membangun lewat pembinaan tenaga, kedua membangun lewat pengembangan institusi dan ketiga membangun lewat pengembangan infra struktur.

lebih jauh pendekatan pembangunan lewat pengembangan institusi dewasa ini mulai diterapkan oleh pemerintah. dalam rangka mengatasi adanya krisis ekonomi yang telah membuat perekonomian indonesia terpuruk sangat drastis, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan program pembangunan yang merupakan kombinasi dari upaya pertolongan (rescue) dengan pemberdayaan (empowerment). kebijakan ini dirumuskan melalui suatu paket program yang disebut dengan jaring pengaman sosial (social safety net).

perspektif : otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah (2)

sebagai alasan pragmatisnya mengapa otonomi daerah menjadi mutlak dilakukan adalah adanya kenyataan yang harus diterima dimana indonesia adalah merupakan sebuah negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan khazanah keanekaragama suku, agama ras, tradisi dan kebudayaan yang berbeda. hal ini memberi konsekuensi yang menentukan untuk dipilihnya suatu model alternatif pendekatan, sistem dan mekanisme politik yang dapat menjamin representasi keseluruhan relasi kepentingan yang ada didalamnya.

adanya kedua motif paradigmatik tadi, maka secara politis mendesak pemerintah untuk sesegera mungkin melakukan pembaharuan tatanan pemerintahan yang lebih demokratis, adil dan profesional. secara mendasar itu penting karena hal tersebut akan membawa kekuatan dan pengaruh yang strategis dalam proses pengembalian hak dan kedaulatan rakyat dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan, sekaligus sebagai respon dan antisipasi terhadap tuntutan perubahan atas meme (sikap dan tindakan yang didorong oleh bergesernya sistem pemahaman baru baik secara individual maupun secara kolektif) repolitisasi tatanan masyarakat lokal kedepannya.

ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya repolitisasi tatanan masyarakat lokal tersebut, diantaranya: pertama, adalah adanya kebijakan otonomi daerah yang didalamnya memuat azas kedaulatan rakyat, demokratisasi pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, dan pemerataan keadilan. kedua, adanya undang-undang no. 31 tahun 2002 tentang partai politik yang memungkinkan dibangunnya kembali komunikasi politik antara rakyat dan pemerintah secara demokratis, serta memungkinkannya rakyat untuk menyatakan pendapat, memiliki aspirasi dan berasosiasi. suatu prakondisi bagi berkembangnya masyarakat berperadaban atau negara berbasis kerakyatan (civil polities). ketiga, lahirnya undang-undang nomor 32 tahun 2004 terutama pada bagian viii , jo. peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 3 tahun 2005 tentang perubahan atas undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang susunan dan kedudukan mpr, dpr,dpd, dan dprd, serta aturan pelaksanaan dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah no. 6 tahun 2004 tentang pemilihan , pengesahan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. jo. peraturan pemerintah republik indonesia nomor 17 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan pengangkatan, dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.

adanya pergeseran paradigma serta adanya berbagai landasan hukum (konstitusi) sebagaimana disebutkan secara essensial telah membawa perubahan yang mendasar terhadap ditentukannya sistem pemilihan umum yang tadinya bersifat perwakilan (representative election) menjadi pemilihan secara langsung (direct election). dimana model altrnatif sistem pemilihan umum ini didasarkan kepada beberapa asumsi, diantaranya : pertama, bahwa prasyarat untuk membangun kesejahteraan masyarakat dan membangun masyarakat madani (civil society) adalah harus terbukanya peluang dan cukupnya otoritas publik didalam memanifestasikan hak dan kewajibannya. dalam hal ini, maka pemerintah berkewajiban memberikan desentralisasi yang utuh yaitu desentralisasi politik, administratif, budget, dan ekonomi dan pasar secara bersamaan yang bukan hanya sampai kepada level pemerintahan yang paling bawah saja (kelurahan), tetapi sekaligus menyentuh kepada dimensi kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh sebagai kewajiban negara dalam rangka penyelenggaraan pendidikan warga . kedua, secara pragmatis adanya beberapa kenyataan kelemahan yang dimanfaatkan serta disalahgunakan didalam penyelenggaraan sistem demokrasi perwakilan ( representative democration). banyak masyarakat yang tidak sepenuhnya merasa terwakili dengan berbagai keputusan politik dan kebijakan melalui sistem perwakilan baik secara kelembagaan maupun secara individual oleh anggota dewan perwakilan (legislatif). sehingga kini adagium ”suara rakyat adalah suara tuhan” (vox populi vox dei) sudah mulai kehilangan nilai sakralitasnya lagi.

ketiga, kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih langsung oleh pemilih akan memiliki legitimasi yang kuat, pemerintahan menjadi relatif lebih stabil sehingga tidak mudah digoyahkan. keempat, karena rakyat terlibat langsung didalam memilih dan menentukan pemimpinnya sendiri, dengan model pengisian pejabat publik oleh masyarakat dalam proses akuntabilitasnya kepada pemilik kedaulatan (konstituen) menjadi lebih kongkret, dengan demikian hal tersebut akan memperkuat fungsi kontrol sosial didalam penyelenggaraan pemerintahan. sehingga akuntabilitas kepala daerah dan wakil kepala daerah, baik administratif, yuridis, politis dan terutama moral akan disampaikan langsung kepada masyarakat. dengan cara demikian ada dorongan yang kuat agar dana-dana publik yang dikelola oleh pemerintah sebagian besar dialokasikan kembali untuk kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi seperti yang selama ini terjadi. dengan harapan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah akan meningkat, karena prinsip kedaulatan di tangan rakyat dapat diwujudkan secara faktual. sisi lain mengingat kembali pemerintahan adalah bisnis kepercayaan, dengan adanya kepercayaan dari masyarakat maka partisipasi akan lebih mudah digalang.

analisis kebijakan publik (publik policy analysis)

kajian public policy sangat luas, karena disamping menentukan garis besar kebijakan umum yang harus ditempuh oleh organisasi publik untuk mengatasi isu-isu masyarakat, kebijakan publik juga digunakan untuk menentukan ruang lingkup permasalahan yang dihadapi oleh organisasi publik. ruang lingkup dari permasalah publik adalah seluruh permasalahan yang menyangkut beberapa atau banyak masyarakat.

tujuan dari kebijakan publik adalah menyelesaikan berbagai masalah publik. masalah publik adalah masalah yang mencakup dan berdampak kepada kehidupan publik. sedangkan kebijakan publik merupakan agenda kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah yang merupakan tanggapan (responsiveness) terhadap lingkungan atau masalah publik. jadi dalam menyelesaikan masalah publik ini yang sangat terpenting adalah hubungan yang normative antara pejabat publik dengan masyarakat yang dipimpinnya. seorang pejabat publik harus memahami kebutuhan masyarakat yang dipimpinnya.

sehubungan dengan hal di atas kumorotomo (1999:105) membahas ukuran-ukuran normative yang terdapat dalam interaksi antara penguasa, penyelenggara, atau administrator negara dengan rakyat atau masyarakat umum, serta bagaimana seharusnya kebijakan-kebijakan publik itu dilaksanakan. adapun ukuran normative tersebut adalah keadilan social, partisipasi dan aspirasi warga negara, masalah-masalah lingkungan, pelayanan umum, moral individu atau moral kelompok, pertanggungjawaban administrasi dan analisis etis.

berkaitan dengan definisi kebijakan publik parker (dalam santoso, 1998:4) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai suatu tujuan tertentu atau serangkaian tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintah pada periode tertentu dalam hubungannya dengan suatu subjek atau tanggapan pada suatu krisis.

menurut william dunn (1981:70) yang dialih bahasakan oleh muhajir darwin (1987:63-64) bahwa kebijakan publik adalah serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat) yang dibuat oleh badan badan atau kantor-kantor pemerintah, diformulasikan dalam bidang-bidang issue yaitu arah tindakan actual atau potensial dari pemerintah yang didalamnya terkandung konflik diantara kelompok masyarakat.

menurut thomas r. dye kebijakan publik adalah “whatever government choose to do or not to do”. kebijakan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. pendapat dunn dan dye senada dengan pendapat islamy, (1992), sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kabijakan publik. hal ini disebabkan karena “sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh (dampak) yang sama besarnya dengan sesuatu yang dilakukan pemerintah.

kemudian chief j. o. udoji mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu tujuan tertentu yang dipusatkan pada suatu masalah atau sekelompok masalah tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi sebagian besar warga masyarakat.

dari berbagai pendapat para pakar di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa kebijakan publik adalah berbagai tindakan dari pemerintah untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat.

thoha, (1986: 56-57) memberikan dua aspek pokok public policy, yaitu:
pertama, policy merupakan pranata sosial, ia bukan event yang tunggal atau terisolir. dengan demikian sesuatu yang dihasilkan pemerintah berasal dari segala kejadian dalam masyarakat dan digunakan pula untuk kepentingan masyarakat.

kedua, policy adalah suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh baik untuk mendamaikan “claim” dari pihak-pihak yang konflik atau untuk menciptakan “incentive” bagi tindakan bersama. masalah kebijakan publik tidak hanya masalah organisasi publik semata, tetapi merupakan masalah kehidupan masyarakat secara menyeluruh, oleh karena itu untuk memecahkan masalah publik tersebut diperlukan berbagai disiplin ilmu. dengan demikian dalam memecahkan masalah publik seorang analis tidak bekerja sendirian tetapi dibantu oleh tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu. hal sebagaimana yang dikatakan oleh effendi, (2000) dalam bahan kuliah analisis kebijakan publik, menyatakan bahwa analisis kebijakan publik adalah gabungan dari berbagai analisis ilmu social untuk menghasilkan berbagai informasi yang membantu policy maker untuk membuat kebijakan publik. hasil analisis kebijakan publik bukan semata-mata dibuat oleh seorang analis tetapi hasil dari tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu.

william dunn, (2000:1), memberikan definisi analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. selanjutnya dunn, (2000:131), menambahkan bahwa analisis kebijakan merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan.

dalam membuat analisis kebijakan publik, seorang analis akan melalui tahap-tahap kerangka pemikiran sebagaimana yang dikemukakan oleh dunn, (2000), yaitu :
  1. merumuskan masalah-masalah kebijakan, yaitu kebutuhan, nilai-nilai, atau kesempatan-kesempatan yang tidak terealisir tetapi yang dapat dicapai melalui tindakan publik.
  2. meramal masa depan kebijakan. peramalan (forecasting) adalah suatu prosedur untuk membuat informasi faktual tentang situasi sosial masa depan atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan.
  3. rekomendasi aksi-aksi kebijakan. prosedur analisis-kebijakan dari rekomendasi memungkinkan analis menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi dimasa mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat seluruhnya. didalamnya terkandung informasi mengenai aksi-aksi kebijakan, konsekuensi di masa depan setelah melakukan alternatif tindakan, dan selanjutnya ditentukan alternatif mana yang akan dipilih.
pemantauan dalam analisis kebijakan, merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik. mengevaluasi kinerja kebijakan adalah prosedur analisis-kebijakan yang digunakan untuk menghasilkan informasi mengenai nilai atau manfaat dari serangkaian aksi di masa lalu dan atau masa depan.

secara umum unit pelaksana untuk memecahkan masalah publik adalah organisasi publik, dalam hal ini organisasi resmi pemerintahan. tetapi tidak menutup kemungkinan untuk memecahkan beberapa masalah publik tertentu dilaksanakan oleh selain pihak organisasi resmi pemerintahan, yaitu pihak swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat.

proses analisis kebijakan bermaksud untuk memberikan rekomendasi yang bermanfaat bagi pembuatan kebijakan yang baik, atau merupakan usaha yang bersifat multi-disipliner untuk memperoleh data atau informasi guna memberikan alternatif/cara pemecahan suatu masalah. suatu kebijakan yang baik, menurut dunn, (1994) harus melalui tahap-tahap kegiatan. tahap-tahap kegiatan tersebut adalah sebagai berikut : 1) agenda setting, 2) policy formulating, 3) policy adoption, 4) policy implemntation, 5) policy assesment.

salah satu tahap kegiatan kebijakan publik yang terpenting adalah menentukan “policy formulation”. didalam policy formulation tercakup cara memformulasikan alternatif-alternatif kebijakan yang mampu untuk memecahkan masalah kebijakan, memilih akternatif-alternatif yang memadai dan efektif, serta kapan alternatif tersebut dilaksanakan.