empat model npm

ada 4 model npm yang dapat dijadikan acuan untuk melihat bentuk perubahan birokrasi dari model adminsitrasi publik tradisional yaitu :

npm model 1 : the efficiency drive,
npm model ini mulai dikenal pada pertengahan tahun 1980-an, dengan bentuk organisasi yang lebih menyerupai organisasi bisnis, dengan menitikberatkan pada nilai efisiensi. sebagaimana dikatakan ferlie (et.al, 1996, 10-11) “it (npm model 1) represented an attempt to make the public sector more business like, led by crude notions of efficiency”. penasehat-penasehat pemerintah di ambil dari sektor swasta dan badan badan penasehat yang memiliki peran penting dalam menerapkan ide-ide efisiensi tersebut pada sektor publik.

kultur birokrasi publik dibangun dengan nilai-nilai efisiensi dan menjadi arah bagi organisasi publik dalam menjalankan tugas dan fungsinya, karena selama ini birokrasi publik dinilai sebagai organisasi yang bengkak (bloated), boros (wasteful), sangat birokratis (over bureaucratic) dan berpenampilan buruk (under performance). karenanya pula birokrasi publik akan menjadi lebih baik bila sektor swasta dilibatkan. npm model 1 yang dikenal pula dengan neo taylorian, memperlihatkan bahwa peran dan keahlian manajer inti dapat ditransformasikan dari birokrasi di sektor swasta ke birokrasi publik.

dengan kata lain, npm ini ingin membangun birokasi publik dengan nila-nilai yang menjadi kultur di birokrasi swasta, yaitu efisiensi yang ditunjang dengan nilai profesional, transparan, orientasi pasar (belum mengarah quasi market) dan pelanggan. struktur birokrasi publik bersifat hirarkis dalam menjalankan perintah dan pengawasaan, sentralistis dan bergeraknya organisasi lebih karena proses manajemen daripada kaum profesional. pembangunan sumber daya birokrat khususnya dalam pengembangan karier bersifat merrit system dan sangat ditentukan oleh prestasinya yang dinillai hanya oleh atasan. kepemimpinan yang di anut adalah komando dengan pusat komando berada ditangan pimpinan puncak manajemen.

npm model 2 : downsizing and decentralization,
npm model ini merupakan model manajemen birokrasi yang sangat kontradiktif dengan model birokrasi lama (tradisional) atau juga perbaikan terhadap npm model pertama. sebagaimana ilustrasi digambarkan ferlie (et.al, 1996, 12) sebagai berikut “this has resulted in some very general organizational developments including : organizational unbundling and downsizing a search for greater organizational flexibility; a move from high degree of standardization; increased decentralization of strategic and budgetary responsibility; increased contracting out; and split between a small strategic core and a large operational periphery.”

npm model ini membangun kultur organisasi publik dengan nilai-nilai efisiensi, transparan, profesional dan berorientasi pasar dengan membangun quasi market dalam mengalokasikan sumber daya yang ada serta mengembangkan manajemen kontrak. struktur cenderung bergeser dari hirarkis yang ketat dalam manajemen menjadi lebih flat dan fleksibel. selain itu dikembangkan pula otonomi pada unit organisasi dengan adanya desentralisasi dan menekankan pada koordinasi. kuantitas staf dikurangi secara signifikan baik level atas (puncak) maupun level bawah (operational management). pembangunan sumber daya birokrat tidak berbeda jauh dengan npm model pertama yaitu dengan merrit system, struktural dan peniliaan prestasi (kinerja) birokrat hanya ada ditangan pimpinan. sedangkan kepemimpinan dengan sistem komando yang otoriter dan pengawasan yang ketat bergeser kearah kepemimpinan dengan management by influence, artinya pemimpin harus memiliki kemampuan untuk dapat menggerakan para bawahan tidak hanya karena jabatannnya tetapi lebih pada pengaruh yang dikembangkan dalam menggerakan bawahan.

npm model 3 : in search of excellence,
npm model ini berkeinginan membangun kultur organisasi (organizational culture) yang mampu menumbuhkan kemampuan organisasi dalam mengatur dirinya untuk melakukan dan menghadapi perubahan serta memiliki inovasi. model ini menolak keras pendekatan rasionalistik yang dikembangkan npm model 1, dengan mengembangkan pendekatan bottom up dan top down artinya organisasi selalu melakukan pembelajaran (learning organization) tidak hanya terfokus tugas dan fungsi yang tersusun secara formal. dimana ferlie mengilustrasikan (et.al, 1996, 13) :
it rejects the highly rationalistic approach of npm model 1 and instead highlights the role of values, culture, rites and symbols in shaping how people actually behave at work. there is a strong interest in how organizations manage change and innovation. in turn, npm model 3 can be subdivided into bottom up and top down approaches. the bottom up approach has been historically better developed emphasizing long standing themes of organizational development and learning.

kultur birokrasi publik yang dikembangkan pada model ini seperti npm model sebelumnya yakni, efisiensi, profesional dan transparansi namun dilakukan pendefinisian ulang untuk menyesuaikan terhadap perubahan lingkungan. dimana model ini yakin bahwa dengan kuatnya kultur kolektif (collective culture) dapat mengerakkan organisasi dalam komitmen yang kuat daripada garis hirarki manajemen. struktur organisasi sangat fleksibel, mudah bergerak dalam upaya organisasi menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi dan non hirarkis selain itu npm model ini juga melakukan desentralisasi organisasi secara radikal. pembangunan sumber daya birokrat menggunakan merrit system dan terbuka terhadap kerjasama dalam melakukan program pelatihan. karir seseorang ditentukan oleh prestasinya yang dinilai tidak saja oleh pimpinan tetapi juga oleh orang lain. kepemimpinan yang dikembangkan adalah kepemimpinan yang memiliki kharisma (charismatic leaders) yang mampu menjamin kerjasama di dalam organisasi dan memberikan inspirasi bagi organisasi melalui visi-visi baru.

npm model 4 : public service orientation,
npm model ini merupakan gabungan antara ide-ide yang ada pada manajemen swasta dan manajemen publik, pengalaman yang baik pada sektor swasta coba untuk ditransformasikan ke sektor publik. dengan kata lain mengambil ide-ide manajemen organisasi dari sektor publik dan diimplementasikan pada sektor publik. sebagaimana ilustrasi ferlie (et.al, 1996, 15) berikut : alongside a proclamation of difference, however, lie attempt to adapt ideas generated in private sector contex to public sector organizations. the criteria for deciding which ideas can diffuse across, and which should not, are rarely made explicit and may be largely normative in nature.

kultur yang dibangun adalah kultur dengan nilai-nilai efisien, profesional dan menitik beratkan pada kualitas pelayanan yang baik dan memuaskan pengguna (user) bukan sekedar pelanggan (customer). nilai kualitas pelayan yang baik merupakan visi yang diwujudkan lebih lanjut dalam misi-misi yang menjadi dasar dalam memberikan pelayan dengan kualitas yang baik. struktur birokrasi publik menjadi ramping dan lebih mendatar (flat), dengan spesialisasi yang makin kabur dan sangat desentralistis serta cepat merespon perubahan lingkungan yang terjadi. pembangunan sumber daya birokrat diawali dengan proses rekrutmen dan pelatihan yang transparan dan terbuka bagi siapa saja untuk terlibat didalamnya. kepemimpinan pada model ini merupakan kepemimpinan yang demokratis dan kepemimpinan transformasional di semua level pimpinan mulai dari pimpinan di level atas sampai pada pemimpin di level bawah.

model ini, juga diidentifikasikan oleh david osborne dan ted gaebler (1997, 10), sebagai berikut : a. desentralisasi wewenang dalam unit-unit pemerintahan…….b. mengkaji kembali apa yang seharusnya dilakukan dan dibiayai……c. perampingan pelayanan publik serta privatisasi dan swastanisasi kegiatan, d. mempertimbangkan cara pemberian pelayanan secara lebih efektif sesuai biaya, seperti kontrak keluar, mekanisme pasar, dan pembebanan pada pengguna, e. orientasi pelanggan (berbeda istilah dengan ferlie yang menggunakan istilah user), termasuk standard mutu yang eksplisit untuk pelayanan publik, f. benchmarking dan pengukuran kinerja, g. reformasi yang dirancang untuk menyederhanakan peraturan dan mengurangi biaya-biayanya.

pembaharuan kultur organisasi

secara teoritis, kultur memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap penampilan suatu organisasi termasuk birokrasi publik. hal ini mengacu pada pengertian kultur itu sendiri yang didefinisikan oleh edgar h. schein (1992 :12) sebagai : pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh kelompok dalam suatu organisasi sebagai alat untuk memecahkan masalah terhadap penyesuaian faktor eksternal dan integrasi faktor internal, dan telah terbukti sahih, dan oleh karenanya diajarkan kepada para anggota organisasi yang baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, memikirkan dan merasakan dalam kaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi itu.

pengertian budaya organisasi lainnya dikemukakan oleh d. graves dalam buku manajemen di indonesia ( fe ui, 1993 : 395) yang menyebutkan : culture … is a characteristic of all organizations through which, at the same time, their individually and uniqueness is expressed. the culture of an organization refers to the unique configuration of norms, belief, ways of behaving and so on that characterise the manner in which groups and individuals combine to get things done.

budaya organisasi sesungguhnya mengandung banyak variabel dan memang terdapat belasan faktor yang membentuk budaya seperti dikemukakan david osborne dan peter plastrik (2000 : 260) :
1. tujuan.
2. sistem insentif.
3. sistem pertanggung jawaban.
4. struktur kekuasaan.
5. sistem administrasi.
6. struktur organisasional.
7. proses kerja.
8. tugas organisasional.
9. lingkungan eksternal.
10. riwayat dan tradisi.
11. praktek manajemen.
12. predisposisi pemimpin.
13. predisposisi pegawai.

selanjutnya, kultur bagi suatu organisasi dapat dijadikan sebagai suatu direction, pervasiveness, strength, flexibility, and commitment (hodge, et.al, 1996, 279). bahkan begitu pentingnya peran kultur ini dalam laporannya oecd (organisation for economic cooperation and development) (hughes, 1994, 3-4) secara radikal mengatakan bahwa untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pada birokrasi publik –khususnya di negara-negara berkembang- perlu dilakukan pembaharuan kultur administrasi publik.

dimana pembaharuan kultur tersebut diarahkan pada pembentukan tujuh karakateristik primer sebagai hakekat dari budaya suatu organisasi sebagaimana dikemukakan stephen robbins (1996, 289) berikut, yaitu : 1. inovasi dan pengambilan resiko, sejauhmana para karyawan untuk inovatif dan mengambil resiko; 2. perhatian kerincian, sejauhmana para karyawan diharapkan memperlihatkan (presisi) kecermatan, analisis dan perhatian pada rincian; 3. orientasi hasil; sejauhmana manajemen memfokuskan pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang dipergunakan untuk mencapai hasil itu; 4. orientasi orang, sejauhmana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil-hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu; 5. orientasi tim, sejauhmana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim bukan individu-individu; 6. keagresifan, sejauhmana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai; 7. kemantapan, sejauhmana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.

selain itu pembaharuan kultur birokrasi juga diarahkan pada pembentukan komponen nilai utama (core value) yang ada dalam npm, yaitu : accountability, transparency, economy, efficiency, effectiveness, responsibility, less bureaucracy, partipicipation, competition, management responsibility (0’donovan, 1994, 10) sebagai kultur organisasi. dengan memperhatikan elemen-elemen inti (core elements) yang membentuk suatu kultur, yakni enviroment, goals and objectives, values and beliefs, differentiation, co-ordination, integration, history or tradition, the people, transmission, rite and rituals (o’donovan, 1994, 3). karena dengan mengetahui elemen-elemen inti pembentuk kultur birokrasi akan memudahkan usaha untuk melakukan pembaharuan kultur birokrasi itu sendiri. pembaharuan kultur birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan yang transformasional, sehingga keyakinan, nilai-nilai dan asumsi-asumsi yang ada selama ini di birokrasi publik dapat dirubah dengan keyakinan, nilai-nilai dan asumsi baru yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang selalu berubah (wright, et.al, 1996, 229-231).

tinjauan teoritis : new public management (npm)

kerangka pemikiran dalam tulisan ini beranjak dari pemahaman terhadap teori-teori yang berhubungan dengan upaya membangun birokrasi publik melalui pendekatan npm (new public management) yang dijadikan acuan untuk membangun birokrasi publik yang diinginkan dalam pelaksanaan otonomi daerah.

model npm (new public management), pada dasarnya merupakan model yang dikembangkan oleh para teoritisi dalam upaya memperbaiki kinerja birokrasi (model tradisional) yang dirasakan kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dalam memenuhi harapan masyarakat akan pelayanan yang diinginkan dengan mengedepankan pendekatan manajerial.

npm memfokuskan diri pada perbaikan birokrasi dari dalam organisasi (inside the organization) dengan melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan (hughes, 1994, 2). dengan dokrin sebagaimana diungkapkan rhodes mengadopsi pendapat hood (hughes,1994,2) sebagai berikut : pertama, memfokuskan pada kegiatan manajemen bukan pada aktivitas kebijakan, penilaian kinerja dan efisiensi; kedua, pemecahan birokrasi publik menjadi badan-badan kecil dan sederhana yang berkaitan langsung dengan kepentingan dasar pengguna jasa (user – pay bases); ketiga, menggunakan ‘quasi market’ dan melemparkan ke pasar (contracting out) sebagai daya dorong terciptanya kompetisi; keempat, pemotongan biaya; kelima, pola manajemen yang menekankan pada antara lain target keluaran, pembatasan waktu kontrak, insentif keuangan dan kebebasan dalam mengelola.

sedangkan david osborne dan ted gaebler (1992, 13-22) menawarkan suatu pendekatan manajerial dari sisi lain dalam mengelola birokrasi pemerintahan dimana birokrasi menjadi bergaya wirausaha (entreprenuer government). dengan karakteristik : mendorong kompetisi antar pemberi jasa, memberi wewenang kepada masyarakat, mengukur kinerja perwakilannya dengan memusatkan pada hasil bukan pada masukan, digerakan oleh misi bukan ketentuan dan peraturan, mendefinisikan klien (masyarakat) kembali sebagai pelanggan dan menawarkan banyak pilihan, mencegah masalah sebelum muncul, mencurahkan energi untuk menghasilkan uang bukan untuk membelanjakan, desentralisasi wewenang dengan manajemen partisipasi, menyukai mekanisme pasar daripada mekanisme birokrasi, dan tidak hanya memfokuskan pada pengadaan perusahaan negara, tetapi juga pada mengkatalisir semua sektor –pemerintah, swasta, dan lembaga suka rela- ke dalam tindakan untuk memecahkan masalah masyarakatnya.
pendekatan manajerial model npm yang dikembangkan pertama kali oleh hood ini atau managerialism istilah pollitt atau market based public administration istilah lan dan rosenbloom atau entrepreneurial government istilah osbone dan gebler, walau memiliki istilah yang berbeda namun pada dasarnya sama-sama berupaya mentransformasi birokrasi lama menjadi birokrasi baru. dengan melakukan hal-hal yang sebagaimana dikemukakan owen e. hughes (1994, 3) :
improving public management, reducing budgets, privatisations of public enterprise seem universal; no-one now is arguing for or increasing the scope of government or bureaucracy

dan memiliki tujuan yang sama pula, antara lain : pertama, lebih memperhatikan pada hasil tujuan dan tanggung jawab personal manajer; kedua, lebih mengutamakan pembentukan organisasi, personil, dan pekerja dan suasana yang lebih fleksibel; ketiga, membuat tujuan organisasi dan personil yang jelas dan mudah diukur dengan menentukan indikatornya; keempat, staf senior lebih memiliki komitmen politik (politically commited) pada pemerintah, tidak partisan dan tidak netral benar; kelima, fungsi pemerintah lebih kepada fasilitator dari pada pelaksana; terakhir, pada fungsi pemerintah dikurangi dengan melakukan privatisasi (hughes, 1994, 58)

istilah npm yang berbeda antar para teorisi memang dimungkinkan, sebagaimana dikemukakan oleh ewan ferlie, lynn ashburner, louise fitzgerald dan andrew pettigrew (1996, 10) yang mengibaratkan npm sebagai sebuah kanvas kosong (putih) yang dapat digambar oleh siapa saja tentang apa saja yang ia suka. sehingga tidak ada satupun definisipun yang jelas tentang apa itu npm, prosesnya bahkan bagaimana npm seharusnya.

penyusunan anggaran daerah

penganggaran merupakan suatu proses menyusun rencana keuangan yaitu pendapatan dan pembiayaan, kemudian mengalokasikan dana ke masing-masing kegiatan sesuai dengan fungsi dan sasaran yang hendak dicapai dan selanjutnya masing-masing kegiatan tersebut dikelompokkan ke dalam program berdasarkan tugas dan tanggung jawab dari satuan kerja tertentu dengan standar biaya yang berlaku. penyusunan anggaran merupakan suatu rencana tahunan yang merupakan aktualisasi dari perencanaan jangka menengah maupun jangka panjang, dengan kewenangan yang dimiliki saat ini pemerintah daerah dapat menyusun struktur anggaran yang memungkinkan masyarakat dan manajemen pemerintah daerah mengawasi dan mengevaluasi kebijakan yang telah dan akan dilaksanakan. saleh (2001:iv-6) menyatakan bahwa proses penyusunan anggaran daerah meliputi tahap-tahap sebagai berikut: (1) arah dan kebijakan umum anggaran, (2) strategi dan prioritas anggaran, (3) program dan kegiatan dan (4) anggaran.

penyusunan anggaran berdasarkan suatu struktur dan klasifikasi tertentu adalah suatu langkah penting untuk mendapatkan sistem penganggaran yang baik dan berfungsi sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola negara, sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan dan kemampuan pemerintah. penyusunan anggaran tidak bisa dilepaskan dari karakteristik suatu daerah, untuk dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam pengalokasian anggaran.

apbd disusun berdasarkan pendekatan kinerja, yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. pemerintah daerah bersama-sama dprd menyusun arah dan kebijakan umum apbd yang memuat petunjuk dan ketentuan umum yang disepakati sebagi pedoman dalam penyusunan apbd.

arah dan kebijakan umum apbd memuat komponen-komponen pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan pada setiap bidang dan kewenangan pemerintah daerah yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. komponen pelayanan dan tingkat pencapaian yang diharapkan disusun berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi dan kemampuan daerah, termasuk kinerja pelayanan yang telah dicapai dalam tahun-tahun anggaran sebelumnya.

menurut mardiasmo (2002:129) beberapa tahap yang harus dilalui dalam mekanisme penyusunan arah dan kebijakan umum apbd antara lain sebagai berikut:
  1. melakukan proses scanning lingkungan dan needs asessment untuk menentukan posisi dan kebutuhan daerah pada waktu itu;
  2. berdasarkan dokumen hasil needs asessment dari penjaringan aspirasi masyarakat, dprd mempersiapkan draft arah dan kebijakan umum apbd serta strategi dan prioritas apbd;
  3. pemerintah daerah berdasarkan aspirasi yang diperoleh dari rakorbang, hasil evaluasi dan analisis kondisi eksisting mempersiapkan bahan-bahan, masukan dan pertimbangan bagi dprd dalam pertemuan untuk membuat kesepakatan dengan dprd;
  4. membuat kesepakatan antara dprd dan pemerintah daerah. kesepakatan yang dibuat tersebut menghasilkan arah dan kebijakan umum apbd serta strategi dan prioritas.
kemudian mardiasmo (2002:126) menyatakan bahwa proses perencanaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja pada dasarnya melibatkan tiga elemen penting yang saling terkait dan terintegrasi. ketiga elemen tersebut adalah: (1) masyarakat; (2) dprd; dan (3) pemerintah daerah. dengan adanya interaksi dan keterlibatan ketiga pihak dalam proses penjaringan aspirasi masyarakat akan memberikan masukan dalam proses perencanaan anggaran daerah sehingga penentuan arah dan kebijakan umum apbd sesuai dengan aspirasi murni (kebutuhan dan keinginan riil) masyarakat, bukan sekedar aspirasi politik.

tentang keuangan daerah

adanya otonomi daerah membawa suatu perubahan besar dan cukup mendasar dalam penyelenggaraan mekanisme pemerintahan di daerah, di mana otonomi benar-benar akan terlaksana dan menjadi kenyataan, sehingga diperlukan suatu kemampuan pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan anggaran, baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran.

otonomi yang dilaksanakan akan berdampak pada semakin besarnya wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepada daerah. salah satu wewenang dan tanggung jawab tersebut adalah dalam pengelolaan pembangunan dan keuangan di daerahnya masing-masing. dengan wewenang dan tanggung jawab tersebut, maka pemerintah daerah semakin dituntut untuk mewujudkan suatu bentuk akuntabilitas dan transparansi publik yang merupakan bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada masyarakat. salah satu wujud pertanggungjawaban dan transparansi dalam pengelolaan pembangunan dan keuangan daerah adalah diwajibkannya kepala daerah untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerahnya pada setiap akhir tahun anggaran.

perubahan paradigma baru yang merubah konsep dan kewenangan daerah yang semula ditujukan atas dasar porsi kebijakan pusat yang lebih dominan dalam pembagian kewenangan pusat dan daerah selanjutnya diarahkan menjadi kemandirian daerah dalam mengelola daerahnya, termasuk kebijakan-kebijakan pembangunan di daerah. perubahan ini menuntut kemandirian daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri dengan menempuh berbagai strategi, alokasi dan prioritas pengeluaran sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, dan pengeluaran daerah harus mampu menghilangkan kesan terjadinya pemborosan dan kebocoran anggaran daerah. proses penyusunan dan pengalokasian anggaran daerah yang selama ini terjadi mengunakan pendekatan top down planning dan bottom up planning yang terkesan dominannya pemerintah pusat harus dihilangkan.

dalam rangka pertanggungjawaban publik, pemerintah daerah diharapkan dapat melakukan optimalisasi belanja yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. proses anggaran yang telah disepakati antara pemerintah daerah dan dprd merupakan amanat rakyat. ini adalah tantangan untuk menunjukkan bahwa sebagai pihak yang bertanggungjawab akan “kepentingan rakyat” pemerintah daerah dan dprd harus memposisikan dirinya pada posisi yang tepat. selain itu, hal tersebut adalah sebuah peluang untuk menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan dprd bukan sebagai salah satu “penikmat” dana rakyat, akan tetapi dapat berbagi rasa dengan rakyat dari dana yang tersedia bagi daerah.

berkaitan dengan adanya tuntutan terciptanya akuntabilitas publik maka dprd memiliki peran dan kewenangan yang lebih besar dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. fungsi perencanaan anggaran daerah hendaknya sudah dilakukan oleh para anggota dprd sejak proses penjaringan aspirasi masyarakat (needs assessment) hingga penetapan arah dan kebijakan umum apbd serta penentuan strategi dan prioritas apbd.

keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh proses awal perencanaannya. semakin baik perencanaannya akan memberikan dampak semakin baik pula implementasinya di lapangan. keterlibatan berbagai lembaga/instansi dalam proses perencanaan diperlukan kesatuan visi, misi dan tujuan dari setiap lembaga tersebut. dalam menentukan alokasi dana anggaran untuk setiap kegiatan biasanya digunakan metode incrementalism yang didasarkan atas perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. pendekatan lain yang umum dipergunakan adalah line-item budget yaitu perencanaan anggaran yang didasarkan atas item-item yang ada dimasa lalu.

salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah untuk mengukur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan “self supporting” dalam bidang keuangan. dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. secara realistis, praktek penyelenggaraan pemerintah selama ini menunjukkan tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, hal ini terlihat dari program kerja yang ada dalam keuangan daerah cenderung merupakan arahan dari pemerintah pusat sehingga besarnya alokasi dana rutin dana pembangunan daerah belum didasarkan pada standar analisis belanja, tetapi dengan menggunakan pendekatan tawar-menawar inkremental (incremental bargaining approach).

pernik : otonomi daerah

berbicara mengenai otonomi daerah, maka tidak akan lepas dari adanya konsep dasar bahwa otonomi merupakan bentuk kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. pemberian otonomi ini dirasakan sebagai suatu yang sangat urgen berkaitan dengan pemberdayaan, terlebih lagi pada pemerintahan yang mengedepankan demokrasi. hal ini berarti terjadinya pendelegasian kewenangan kepada segala aspek potensi yang ada.

demikian halnya pada otonomi daerah, maka berarti daerah tersebut memiliki legal self sufficiency yang bersifat self govermnent yang diatur dan diurus oleh pemerintah setempat, sehingga terkandung azaz-azaz dan prinsip kemandirian/kemampuan daerah dalam pelaksanaannya. (syaukani, 2000:147). sedangkan untuk mewujudkan otonomi daerah itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh mills (dalam effendi dkk, 1992:6) dapat dilakukan dengan dengan pengembangan desentralisasi, yaitu dengan pemindahan kewenangan, fungsi admnistratif, tanggung jawab kepada unit atau daerah yang lebih otonom.

sehingga dengan kemandirian tersebut, maka otonomi daerah akan mempunyai fokus pada : kewenangan administrasi pemerintahan, alokasi kekuasaan daerah dan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah daerah lewat kewenangan daerah dalam mengelola urusan yang diberikan kepadanya. (sanit, 1999:1). runtutan fokus ini mensiratkan adanya suatu keharusan kemampuan dari daerah dalam melaksanakan kewenangan tersebut. dimana kemampuan ini akan mencakup manusia sebagai pelaksana, dukungan keuangan, peralatan dan organisasi/manajemen yang kesemuanya harus baik. (kaho, 2001:60).

dengan meningkatnya peran daerah sebagaimana tuntutan tersebut, salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah tersedianya sumber daya manusia yang memadahi khususnya aparatur pemda dan masyarakat (sumodiningrat, 1996). lebih ekplisit lagi juga mengisyaratkan tersedianya pegawai dengan kuantitas dan kualitas yang memadahi untuk menjalankan fungsi daerah secara efektif dan efesien (ikhsan, 2001). pada akhirnya dengan otonomi daerah, aspek sumber daya manusia atau yang dalam hal ini adalah aparat daerah menjadi suatu hal yang menarik, dan sangat esensial karena merupakan subyek dari kegiatan yang ada dan pengelola faktor kemampuan lainnya. sedangkan pengertian sumber daya manusia yang baik disini adalah meliputi mentalitas/moral, kemampuan dan kecakapan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. sehingga dari sini dapat ditarik benang merah bahwa seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda lagi

pernik : otonomi daerah

berbicara mengenai otonomi daerah, maka tidak akan lepas dari adanya konsep dasar bahwa otonomi merupakan bentuk kemandirian untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. pemberian otonomi ini dirasakan sebagai suatu yang sangat urgen berkaitan dengan pemberdayaan, terlebih lagi pada pemerintahan yang mengedepankan demokrasi. hal ini berarti terjadinya pendelegasian kewenangan kepada segala aspek potensi yang ada.

demikian halnya pada otonomi daerah, maka berarti daerah tersebut memiliki legal self sufficiency yang bersifat self govermnent yang diatur dan diurus oleh pemerintah setempat, sehingga terkandung azaz-azaz dan prinsip kemandirian/kemampuan daerah dalam pelaksanaannya. (syaukani, 2000:147). sedangkan untuk mewujudkan otonomi daerah itu sendiri sebagaimana dikemukakan oleh mills (dalam effendi dkk, 1992:6) dapat dilakukan dengan dengan pengembangan desentralisasi, yaitu dengan pemindahan kewenangan, fungsi admnistratif, tanggung jawab kepada unit atau daerah yang lebih otonom.

sehingga dengan kemandirian tersebut, maka otonomi daerah akan mempunyai fokus pada : kewenangan administrasi pemerintahan, alokasi kekuasaan daerah dan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah daerah lewat kewenangan daerah dalam mengelola urusan yang diberikan kepadanya. (sanit, 1999:1). runtutan fokus ini mensiratkan adanya suatu keharusan kemampuan dari daerah dalam melaksanakan kewenangan tersebut. dimana kemampuan ini akan mencakup manusia sebagai pelaksana, dukungan keuangan, peralatan dan organisasi/manajemen yang kesemuanya harus baik. (kaho, 2001:60).

dengan meningkatnya peran daerah sebagaimana tuntutan tersebut, salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah tersedianya sumber daya manusia yang memadahi khususnya aparatur pemda dan masyarakat (sumodiningrat, 1996). lebih ekplisit lagi juga mengisyaratkan tersedianya pegawai dengan kuantitas dan kualitas yang memadahi untuk menjalankan fungsi daerah secara efektif dan efesien (ikhsan, 2001). pada akhirnya dengan otonomi daerah, aspek sumber daya manusia atau yang dalam hal ini adalah aparat daerah menjadi suatu hal yang menarik, dan sangat esensial karena merupakan subyek dari kegiatan yang ada dan pengelola faktor kemampuan lainnya. sedangkan pengertian sumber daya manusia yang baik disini adalah meliputi mentalitas/moral, kemampuan dan kecakapan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. sehingga dari sini dapat ditarik benang merah bahwa seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, pengembangan sumber daya manusia merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda lagi

latar belakang : pengembangan sumber daya manusia

pada hakekatnya pengembangan sumber daya manusia mempunyai dimensi luas yang bertujuan meningkatkan potensi yang dimiliki oleh sumber daya manusia, sebagai upaya meningkatkan profesionalisme dalam organisasi (wayne dan awad, 1981:29). pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik akan dapat menghemat sumber daya lainnya atau setidak-tidaknya pengolahan dan pemakaian sumber daya organisasi dapat secara berdaya guna dan berhasil guna.

pengembangan sumber daya manusia merupakan keharusan mutlak bagi suatu organisasi dalam menghadapi tuntutan tugas sekarang maupun dan terutama untuk menjawab tantangan masa depan (siagian, 1996:182). kondisi “conditio sine quanon” ini dapat dikategorikan sebagai bentuk investasi yaitu human investasi. meskipun program orientasi pengembangan ini memakan waktu dan dana, semua organisasi mempunyai keharusan untuk melaksanakannya, dan menyebut biaya-biaya untuk berbagai program tersebut sebagai investasi dalam sumber daya manusia.

ada dua tujuan utama dalam hal ini, pertama, pengembangan dilakukan untuk menutup “gap” antara kecakapan atau kemampuan karyawan dengan permintaan jabatan. kedua, program tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja karyawan dalam mencapai sasaran-sasaran kerja yang ditetapkan. (handoko, 1998: 103).

pencapaian keselarasan tujuan tersebut tentunya harus ditempuh melalui suatu proses tahapan panjang yang dimulai dari perencanaan sampai dengan pengelolaan dan pemeliharaan potensi sumber daya manusia. karena secara makro pengembangan sumber daya manusia (human resourses development) merupakan suatu proses peningkatan kualitas atau kemampuan manusia, yaitu mencakup perencanaan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya manusia (notoatmodjo, 1998:2-3). dalam hal ini pengembangan sumber daya manusia mempunyai ruang lingkup lebih luas dalam upaya memperbaiki dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan, sikap dan sifat-sifat kepribadian, sehingga dapat memegang tanggungjawab dimasa yang akan datang (handoko, 1998 : 104).

pada sisi lain pengembangan sumber daya manusia tidak hanya sebatas menyangkut internal sumber daya manusia sendiri (yaitu antara lain pengetahuan, kemampuan, sikap, tanggung jawab) namun juga terkait dengan kondisi eksternal, seperti lingkungan organisasi dan masyarakat. hal ini tercermin dari tuntutan pengembangan sumber daya manusia sendiri yang pada dasarnya timbul karena pertimbangan: (1) pengetahuan karyawan yang perlu pemutakhiran, (2) masyarakat selalu berkembang dinamis dengan mengalami pergeseran nilai-nilai tertentu, (3) persamaan hak memperoleh pekerjaan, (4) kemungkinan perpindahan pegawai yang merupakan kenyataan dalam kehidupan organisasional (siagian, 1996:199).

berbagai tuntutan tersebut secara bersamaan saling mempengaruhi pelaksanaan dan arah pengembangan sumber daya manusia, baik menyangkut internal manusianya maupun lingkungan eksternal. pada bagian lain dalam skup organisasi, faktor yang mempengaruhi pengembangan sumber daya manusia ini dapat dibagi kedalam faktor internal yaitu mencakup keseluruhan kehidupan yang dapat dikendalikan organisasi, meliputi : (1) misi dan tujuan organisasi, (2) strategi pencapaian tujuan, (3) sifat dan jenis pekerjaan dan (4) jenis teknologi yang digunakan. serta faktor eksternal, yang meliputi : (1) kebijaksanaan pemerintah, (2) sosio budaya masyarakat, (3) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (notoatmodjo,1998 : 8-10).

secara khusus dalam pengembangan sumber daya manusia yang menyangkut peningkatan segala potensi internal kemampuan diri manusia ini adalah didasarkan fakta bahwa seseorang karyawan akan membutuhkan serangkaian pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang berkembang untuk bekerja dengan baik dalam suksesi posisi yang ditemui selama karier. dalam hal ini merupakan persiapan karier jangka panjang seseorang. (simamora, 1995:287). sehingga cakupan pengembangan sumber daya manusia selanjutnya adalah terkait dengan sistem karier yang diterapkan oleh organisasi dan bagaimana sumber daya manusia yang ada dapat mengakses sistem yang ada dalam rangka mendukung harapan-harapan kerjanya (simamora, 1995:323)

teori perubahan struktural

pendekatan perubahan struktural pada mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara atau wilayah terbelakang melakukan perubahan struktur ekonomi dari subsistem tradisional ke struktur ekonomi yang lebih baik atau modern. secara teoritis pendekatan ini melihat bahwa pembangunan ekonomi lebih merupakan proses transisi yang ditandai oleh suatu transformasi yang mendasar pada struktur ekonomi atau disingkat sebagai perubahan struktur, yang oleh meier (1995: 98-99) didefinisikan sebagai :

the structural transformation of the developing economy may be defined as the set of changes in the composition of demand, trade, production, and factor use that takes place as percapita income increases.

di samping itu, terdapat dua teori utama yang menggunakan pendekatan perubahan struktur, yaitu teori pembangunan yang dikembangkan oleh lewis dan chenery. teori pembangunan lewis membahas proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota dan desa yang mengikutsertakan proses urbanisasi, di mana perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota dan pertumbuhan pekerjaan di sektor modern akan mampu meningkatkan ekspansi output yang dihasilkan di sektor modern, adapun analisis teori pattern of development dari chenery terfokus pada transformasi dari sektor pertanian tradisional beralih ke sektor industri sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. di sisi lain, akan terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian di desa menuju sektor industri di perkotaan (kuncoro, 1997 : 51 – 60).

landasan teori : pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja

pengertian pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses merupakan gambaran tentang bagaimana suatu perekonomian berkembang atau berubah dari waktu ke waktu, tekanannya adalah pada perubahan atau perkembangan, sedangkan pengertian pertumbuhan ekonomi pada sisi output harus dilihat dari dua sisi yaitu output total (pdb/pdrb) dan jumlah penduduk, karena output per kapita adalah output total dibagi dengan jumlah penduduk. dengan demikian, pengertian pertumbuhan ekonomi pada aspek output per kapita adalah melihat apa yang terjadi dengan output total di satu pihak dan jumlah penduduk di lain pihak. pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi suatu negara atau daerah. dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi dapat dilihat berdasarkan kurun waktu tertentu, misalnya selama lima tahun atau periode tertentu, tetapi dapat pula secara tahunan (widodo, 1990:35).

model pertumbuhan ekonomi klasik juga didasari pada dua faktor utama, yaitu pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk. kedua faktor ini yang menjadi kekuatan dalam meningkatkan pertumbuhan. boediono (1992:81), menyatakan bahwa meningkatkan output sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan meningkatkan keterampilan pekerja, penerapan sistem pembangian kerja yang tepat berdasarkan keterampilan pekerja dan penggunaan mesin-mesin yang dapat memudahkan dan mempercepat serta meningkatkan produktifitas tenaga kerja.

peningkatan dalam penggunaan tenaga kerja menandakan adanya kesempatan kerja sebagai akibat dari peningkatan output tersebut. kesempatan kerja dapat diartikan sebagai partisipasi dalam pembangunan, baik dalam arti memikul beban pembangunan maupun dalam tanggung jawab atas pelaksanaan pembangunan ataupun di dalam menerima kembali hasil pembangunan tersebut. sudarsono (1989: 17) menyatakan bahwa kesempatan kerja menggambarkan besarnya kesediaan usaha produksi dalam mempekerjakan tenaga kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi. besarnya kesediaan ini dapat diukur dari jumlah tenaga kerja yang digunakan.

besarnya kesempatan kerja tergantung pada beberapa faktor, di antaranya; pertumbuhan output, tingkat upah dan harga-harga dari faktor produksi lainnya (tambunan, 1995:325). lebih lanjut dikatakan bahwa hubungan antara pertumbuhan output dengan peningkatan jumlah kesempatan kerja dapat digambarkan lewat hubungan antara pasar barang dengan pasar tenaga kerja, di mana melalui mekanisme pasar terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran. di pasar tenaga kerja, rumah tangga menawarkan jasanya dan mendapatkan harga (gaji). apabila permintaan konsumsi rumah tangga di pasar barang meningkat, maka produksi dari sisi penawaran pasar barang meningkat dan terjadilah pertumbuhan output. apabila di semua pasar terjadi peningkatan output, maka secara agregat terjadi pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi akan mendorong adanya pertumbuhan kesempatan kerja. semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, maka akan semakin tinggi pula pertumbuhan kesempatan kerja.

tenaga kerja yang berkualitas yang mempunyai ketrampilan dan kemampuan yang semakin tinggi juga telah mendorong adanya peningkatan dalam upah tenaga kerja. tenaga kerja yang berkualitas dan mempunyai kemampuan serta ketrampilan yang tinggi ini telah mendorong peningkatan produktivitas yang akhirnya mendorong peningkatan output. oleh karena itu, walaupun sisi penawaran lebih besar daripada sisi permintaan, namun upah selalu mengami peningkatan dari tahun ke tahun.

tinjauan pustaka : teori basis ekonomi

teori basis ekonomi mengemukakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh kemampuan daerah dalam memenuhi permintaan akan barang dan jasa dari daerah lain. kemampuan suatu daerah untuk mengekspor produknya akan memicu timbulnya efek pengganda (multiplier effect). pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk diekspor, akan menghasilkan kekayaan daerah dan menciptakan peluang kerja (job creation).

strategi pembangunan daerah yang muncul yang didasarkan pada teori ini adalah penekanan terhadap arti penting bantuan (aid) kepada dunia usaha yang mempunyai pasar secara nasional maupun internasional. implementasi kebijakannya mencakup pengurangan hambatan/batasan terhadap perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor yang ada dan akan didirikan di daerah tersebut (arsyad, 1999:116).

bandavid-val (1991:77-78) mengemukakan tentang teori basis ekonomi bahwa pertumbuhan ekonomi regional sangat tergantung pada permintaan (demand) yang bersifat ekstern dari luar daerahnya. menurut hoover (1984:316-317), pertumbuhan beberapa sektor basis akan menentukan pembangunan daerah secara keseluruhan, sementara sektor non basis hanya merupakan konsekuensi-konsekuensi dari pembangunan daerah. barang-barang dan jasa-jasa dari sektor basis yang diekspor akan menghasilkan pendapatan bagi daerah serta meningkatkan konsumsi dan investasi. peningkatan pendapatan tidak hanya menyebabkan kenaikan permintaan terhadap sektor basis, tetapi juga akan meningkatkan permintaan terhadap sektor non basis, yang pada akhirnya akan mendorong pula kenaikan investasi sektor non basis.

selanjutnya glasson (1990: 63) mendefinisikan kedua sektor tersebut sebagai berikut :
  1. kegiatan sektor basis (basic activities) adalah kegiatan sektor ekonomi yang mengekspor barang dan jasa-jasa ke tempat lain di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan, artinya bahwa sektor ini dalam aktifitasnya mampu melayani baik pasar domestik maupun pasar di luar daerah itu;
  2. kegiatan sektor non basis (non basic activities) yaitu kegiatan sektor ekonomi yang hanya mampu menyediakan barang dan jasa-jasa yang dibutuhkan oleh orang-orang yang bertempat tinggal di dalam batas-batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.

menurut teori ini bahwa suatu daerah tidak akan berkembang apabila tidak terjadi peningkatan dari sektor ekspor di daerah tersebut, namun pada kenyataannya suatu daerah dapat berkembang walaupun terjadi penurunan ekspor, jika pada sisi lain sektor non ekspor dapat tumbuh dan berkembang sehingga mengimbangi penurunan sektor ekspor tersebut, dan hal ini merupakan salah satu kelemahan teori ini. namun demikian, para ilmuwan dan praktisi tetap memanfaatkannya dalam kegiatan-kegiatan penelitian empirik. penggunaan teori ini dalam studi empirik dimaksudkan untuk mengidentifikasi sektor-sektor ekonomi yang termasuk sektor basis maupun sektor non basis disuatu wilayah atau daerah.

latar belakang : pembangunan ekonomi

pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional, pada awalnya hanya berorientasi pada masalah pertumbuhan semata. tujuan utama pembangunan ekonomi selain untuk menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula berupaya untuk menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan pendapatan dan tingkat pengangguran atau upaya menciptakan kesempatan kerja bagi penduduk. karena dengan kesempatan kerja, masyarakat akan memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (todaro, 1997: 7-14).

pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja atau kesempatan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi. karena kesempatan kerja merupakan peluang bagi penduduk untuk melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi untuk memperoleh pendapatan.

keberhasilan pelaksanaan pembangunan di satu daerah sangat berkaitan dengan kualitas perencanaan pembangunan yang disusun oleh daerah tersebut. perbedaan kondisi daerah akan membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. meniru pola kebijakan yang diterapkan dan berhasil di suatu daerah belum tentu memberikan manfaat yang sama bagi daerah lainnya. perencanaan tidak lagi harus ditentukan dan diturunkan semata dari pembangunan nasional. perbedaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia antardaerah, serta perbedaan akses setiap daerah mengharuskan perencanaan regional tersendiri pula bagi daerah tersebut.

perencanaan nasional hanya diperlukan sebagai media kontrol terhadap kemungkinan terjadinya ketimpangan pembangunan serta terciptanya kesinambungan pembangunan antardaerah.

dalam upaya untuk mencapai tujuan pembangunan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin agar prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. karena potensi tiap daerah sangat bervariasi maka sebaiknya setiap daerah menentukan kegiatan sektor ekonomi yang dominan (sjafrizal, 1997:27-38).

pertumbuhan ekonomi yang tinggi idealnya diikuti dengan penyerapan kesempatan kerja yang tinggi pula. salah satu bentuk partisipasi penduduk adalah melalui kesempatan kerja yang merupakan peluang bagi penduduk untuk melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi.

proses pembangunan ekonomi biasanya tidak hanya ditandai dengan terjadinya perubahan atau pergeseran pada struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa yang diproduksi, namun juga ditandai dengan perubahan struktur penduduk dan ketenagakerjaan. selain sumber daya alam dan teknologi, sumber daya manusia juga merupakan unsur pendukung dalam proses pembangunan.

dengan memanfaatkan kesempatan kerja yang tersedia berarti penduduk telah berpartisipasi melaksanakan fungsinya sebagai sumber daya ekonomi dalam proses produksi, dan hal itu penting untuk diketahui karena dapat menunjukkan struktur perekonomian, potensi dan peran sektor-sektor dalam penyerapan tenaga kerja di daerah. transformasi ekonomi di suatu daerah ditentukan oleh pergeseran sektor-sektor ekonomi dominan dalam kurun waktu tertentu. pergeseran struktur dan pangsa yang terjadi pada sektor-sektor ekonomi daerah menarik untuk diteliti atau dikaji lebih lanjut. berdasarkan kajian perubahan struktur sektor ekonomi yang dominan di suatu daerah maka kegiatan-kegiatan pembangunan akan dapat lebih difokuskan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi daerah (murti,2001:4).

perubahan struktur perekonomian dan penyerapan tenaga kerja perlu dikaitkan dengan laju pertumbuhan sehingga dapat ditentukan sektor-sektor basis yang menjadi unggulan serta pemilihan prioritas dalam kegiatan pembangunan. chenery (1971:16) mengungkapkan bahwa struktur ekonomi mempengaruhi tingkat pertumbuhan yang dapat dicapai pada beberapa periode waktu, dan perubahan-perubahan dalam struktur ini penting untuk mendukung pertumbuhan.

konsep : pemberdayaan masyarakat

pemberdayaan merujuk pada pengertian perluasan kebebasan memilih dan bertindak. bagi masyarakat miskin, kebebasan ini sangat terbatas karena ketidakmampuan bersuara (voicelessness) dan ketidak berdayaan (powerlessness) dalam hubungannya dengan negara dan pasar. karena kemiskinan adalah multi dimensi, masyarakat miskin membutuhkan kemampuan pada tingkat individu (seperti kesehatan, pendidikan dan perumahan) dan pada tingkat kolektif (seperti bertindak bersama untuk mengatasi masalah). memberdayakan masyarakat miskin dan terbelakang menuntut upaya menghilangkan penyebab ketidakmampuan mereka meningkatkan kualitas hidupnya.

unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (1) inklusi dan partisipasi; (2) akses pada informasi; (3) kapasitas organisasi lokal; dan (4) profesionalitas pelaku pemberdaya. keempat elemen ini terkait satu sama lain dan saling mendukung.

inklusi berfokus pada pertanyaan siapa yang diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi bagian dari kelompok yang diberdayakan. menyediakan ruang partisipasi bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam pembangunan adalah memberi mereka otoritas dan kontrol atas keputusan mengenai sumber-sumber pembangunan. partisipasi masyarakat miskin dalam menetapkan prioritas pembangunan pada tingkat nasional maupun daerah diperlukan guna menjamin bahwa sumber daya pembangunan (dana, prasarana/sarana, tenaga ahli, dll) yang terbatas secara nasional maupun pada tingkat daerah dialokasikan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas masyarakat miskin tersebut.

partisipasi yang keliru adalah melibatkan masyarakat dalam pembangunan hanya untuk didengar suaranya tanpa betul-betul memberi peluang bagi mereka untuk ikut mengambil keputusan. pengambilan keputusan yang partisipatif tidak selalu harmonis dan seringkali ada banyak prioritas yang harus dipilih, oleh sebab itu mekanisme resolusi konflik kepentingan harus dikuasai oleh pemerintah guna mengelola ketidak-sepakatan.

ada berbagai bentuk partisipasi, yaitu:
pertama, secara langsung,
kedua, dengan perwakilan (yaitu memilih wakil dari kelompok-kelompok masyarakat),
ketiga, secara politis (yaitu melalui pemilihan terhadap mereka yang mencalonkan diri untuk mewakili mereka),
keempat, berbasis informasi (yaitu dengan data yang diolah dan dilaporkan kepada pengambil keputusan),
kelima, berbasis mekanisme pasar yang kompetitif (misalnya dengan pembayaran terhadap jasa yang diterima).

landasan teori : diklat kepemimpinan

seorang rekan kerja di kantor mendapat surat pemanggilan untuk mengikuti diklat kepemimpinan. di ranah dunia birokrasi, diklat kepemimpinan adalah seperti sebuah menu wajib yang mesti diikuti, karena dengan mengikuti diklat bukan saja sebagai prasyarat untuk naik jenjang kepangkatan tapi merupakan bentuk perhatian pentingnya meng-up grade kualitas sumber daya aparatur.

bertolak dari “surat pemanggilan” diklat seorang kawan tersebut, saya tertarik mengkaji dan mengumpulan data-data secara teoritis sedikit lebih dalam tentang pentingnya diklat kepemimpinan dalam mengembangkan sumber daya aparatur. berikut hasilnya :

berdasarkan pendapatnya davis dan newstom (1985 : 14) bahwa ”pendekatan sumber daya manusia lebih bersifat suportif, dalam arti mampu membantu pegawai untuk berprestasi lebih baik, menjadi orang yang lebih bertanggung jawab dan kemudian berusaha menciptakan suasana dimana mereka dapat menyumbang sampai batas kemampuan”. dengan demikian diasumsikan bahwa meluasnya kemampuan dan kesempatan bagi orang-orang akan langsung mengarah pada peningkatan keefektifan pelaksanaan tugas. kepuasan kerja juga akan timbul apabila para pegawai mendayagunakan kemampuan mereka sepenuhnya. pendekatan sumber daya manusia berarti bahwa orang yang lebih baik akan mencapai hasil yang lebih baik pula. dilingkungan pemerintahan, sumber daya manusia (pegawai) yang ada senantiasa dibangun dan dikembangkan potensinya sehingga dapat menjadi pegawai yang berkemampuan tinggi dalam mendukung pelaksanaan tugas.

dalam konteks inilah pentingnya faktor diklat kepemimpinan yang harus dilaksanakan dengan semakin baik, diperluas daya jangkauannya serta responsif dalam menyerap perkembangan mutakhir dalam kiat administrasi pemerintahan. siswanto (1987 :43) mengatakan salah satu jalan yang ditempuh oleh manajemen sumber daya manusia, yang sekaligus merupakan salah satu fungsinya adalah dengan memberikan diklat pegawai “.

mengikutsertakan pegawai ke dalam program diklat pada dasarnya merupakan upaya pengembangan pegawai yang tidak lain adalah suatu kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan dan menambah pengetahuan, kecakapan dan pembentukan pola perilaku sesuai dengan bidang tugas dan kedudukannya selaku aparatur negara. dengan demikian diklat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembinaan pegawai secara keseluruhan.

pendidikan dan pelatihan merupakan upaya mengembangkan sumber daya manusia, terutama untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian manusia. penggunaan istilah pendidikan dan pelatihan dalam suatu institusi atau organisasi biasanya disatukan dengan menjadi diklat, namun secara teoritik dapat dibedakan melalui pengertian sebagai berikut : ranupandoyo dan hasan (1989 : 77) mengatakan : "pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan, memutuskan berbagai persoalan-persoalan yang menyangkut tujuan organisasi. sedangkan pelatihan membantu karyawan dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya guna meningkatkan keterampilan, kecakapan dan sikap yang diperlukan oleh organisasi dalam usaha mencapai tujuannya".

selanjutnya siagian (1994 : 175) mengatakan bahwa : "pendidikan adalah keseluruhan proses, teknik dan metode belajar mengajar dalam rangka mengalihkan suatu pengetahuan dari seseorang kepada orang lain sesuai dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya. sedangkan pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan kerja seseorang atau sekelompok orang. biasanya, sasarannya adalah seseorang atau sekelompok orang yang sudah bekerja pada suatu organisasi yang efisien dan efektifitas kerjanya dirasakan perlu dan dapat ditingkatkan secara terarah dan pragmatik".

sedangkan matutina dan kawan-kawan (1992 : 174) mengatakan bahwa : "pendidikan adalah upaya untuk membina kepribadian, mengembangkan pengetahuan dan kemampuan jasmaniah dan rohaniah agar mampu melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya; dan pelatihan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan, yang mana latihan merupakan proses pendidikan yaitu belajar untuk memperbaiki/meningkatkan kemampuan, keterampilan dan sikap seseorang pegawai, baik pimpinan maupun manajer … untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan massa kini dan masa depan organisasi"

dari beberapa pengertian di atas, pendidikan menekankan pada aspek peningkatan pengetahuan, sedangkan pelatihan menekankan pada aspek peningkatan keterampilan, kemampuan dan sikap seseorang dalam suatu organisasi. selain itu taliziduhu ndraha (1999 : 128) juga membedakan pengertian pendidikan dan pelatihan secara teoritik, dimana pendidikan adalah proses pembentukan pribadi sosial manusia, sedangkan pelatihan merupakan proses pembentukan profesionalisme tentang suatu job di dalam diri manusia. hal ini berarti pendidikan diarahkan pada proses pembentukan kemampuan secara umum melalui jalur pendidikan formal, sedangkan pelatihan orientasinya pada pembentukan kemampuan khusus yang mengarahkan pada tugas yang harus dilaksanakan, seperti yang dikemukakan oleh notoatmojo (1998 : 28 ) menyatakan pendidikan dan pelatihan adalah suatu proses yang akan menghasilkan suatu perubahan perilaku sasaran diklat. secara konkrit perubahan perilaku itu berbentuk peningkatan kemampuan dari sasaran diklat.

landasan teori : pengertian kinerja

salah satu kata yang cukup ramai diberitakan baik di surat kabar, majalah dan protal berita yang berkaitan dengan “drama reshuffle” kabinet sby adalah kata “kinerja” dan oleh presiden sby kata “kinerja” menjadi salah satu patokan untuk melakukan reshuffle...

penasaran karena pengen tahu apa arti dan definisi “kinerja” itu... saya menyusuri file-file lama saya yang tersimpan di notebook... saya menemukan pengertian dan definisi kinerja itu dari para ahli seperti berikut ini :

bernardin dan russell dalam bukunya human resource management, menyebutkan bahwa kinerja adalah seperangkat keluaran yang dihasilkan oleh pelaksanaan fungsi tertentu selama kurun waktu tertentu. sedangkan untuk pengukuran kinerja whitaker jb dalam bukunya goverment performance result act of 1993, mengemukakan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas dan untuk menilai pencapaian tujuan dan sasaran.

dari kedua definisi tersebut dapat dikatakan bahwa kinerja merupakan suatu alat manajemen yang digunakan untuk menilai hasil keluaran kegiatan dengan membandingkannya pada acuan yang ditetapkan sebelumnya. sehingga kinerja dapat dikatakan baik apabila output kegiatan relatif sama dengan standar acuan pada saat kegiatan akan dimulai, yang pada akhirnya akan tercapai tingkat kesesuaian antara pengambilan keputusan dengan akuntabilitasnya.

tentang kebijakan publik

hiruk pikuk berita ”drama reshuffle” kabinet pemerintahan sby menyesaki halaman surat kabar, majalah, televisi hingga portal berita di internet memang menarik ditonton dan dikomentari...

tapi saya mencoba melihat ”drama reshuffle” itu tidak dari kisah-kisah yang terjadi didalamnya... sebagai rakyat biasa, yang jauh dari sentrum kekuasaan tapi senang belajar masalah-masalah pemerintahan dan proses dalam pengambilan keputusan... saya melihat reshuffle sebagai bagian dari ”kebijakan” yang diambil penguasa... dalam hal ini adalah presiden...

untuk lebih memahami arti dari reshuffle sebagai sebuah kebijakan publik... terlebih dahulu saya membongkar file-file yang tersimpan di notebook saya... saya ingin meng-review apa sebenarnya yangdi maksud dengan ”kebijakan” itu...

berikut review saya :

istilah “kebijakan atau policy” biasanya digunakan untuk menunjuk perilaku seseorang atau sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu (misalnya: pejabat, suatu kelompok, lembaga pemerintah). sedangkan untuk istilah kebijakan publik, banyak sekali pengertian yang telah diungkapkan oleh pakar tentang kebijakan publik.

konsep kebijakan publik (publik policy) menurut sulaiman (1998 : 24) adalah :
sebagai suatu proses yang mengandung berbagai pola aktivitas tertentu dan merupakan seperangkat keputusan yang bersangkutan dengan tindakan untuk mencapai tujuan dalam beberapa cara yang khusus. dengan demikian, maka konsep kebijakan publik berhubungan dengan tujuan dengan pola aktivitas pemerintahan mengenai sejumlah masalah serta mengandung tujuan.

untuk memahami kebijakan publik banyak para ahli yang memberikan pengertian kebijakan tersebut, antara lain dye (1978 : 3) : “is whatever governments choose to do or not to do”. (kebijakan public adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan). apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan negara itu harus meliputi semua “tindakan” pemerintah jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan pemerintah atau pejabat pemerintah saja.

selanjutnya pengertian kebijakan publik itu menurut pendapat, santoso (1988 : 5) adalah: serangkaian keputusan yan dibuat oleh pemerintah untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan juga petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut terutama dalam bentuk peraturan-peraturan atau dekrit-dekrit pemerintah.

kebijakan tersebut akhirnya disebut juga dengan kebijakan pemerintah atau negara seperti yang didefinisikan oleh suradinata (1993 : 19) sebagai berikut : kebijakan negara/pemerintah adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan atau lembaga dan pejabat pemerintah. kebijakan negara dalam pelaksanaannya meliputi beberapa aspek, berpedoman pada ketentuan yang berlaku, berorientasi pada kepentingan umum dan masa depan, serta strategi pemecahan masalah yang terbaik.

dalam proses kebijakan terdiri dari beberapa langkah yang menurut tjokroamidjoyo (1991 : 114) : policy germination (kebijakan bertunas), policy recommendation ( tahap rekomendasi), policy analysis (penganalisaan kebijakan), policy formulation (perumusan kebijakan), policy decision (tahap pengambilan keputusan), policy implementation (pelaksanaan kebijakan), dan policy evaluation (penilaian kebijakan).

sebuah kebijakan hendaknya dapat tersusun dengan baik sehingga mudah terarah. kebijakan yang tersusun secara baik tentu memerlukan waktu untuk berkembang dan semestinya tetap memperhatikan hal-hal seperti yang diutarakan oleh winardi (1990 : 120) sebagai berikut :
a. memungkin penafsiran terbuka dan penilaian.
b. bersifat konsisten dan tidak boleh ada 2 kebijakan yang saling bertentangan dalam suatu organisasi.
c. harus sesuai dengan keadaan yang berkembang.
d. harus membantu pencapaian sasaran dan harus dibantu dengan fakta-fakta yang obyektif.
e. harus sesuai dengan kondisi-kondisi eksternal.

pada dasarnya rumusan kebijakan memang harus bersifat obyektif baik sebagai dasar analisisnya maupun kondisi kebutuhan masyarakat atau obyek yang akan terkena dampak dari kebijakan yang akan diambil serta dapat memudahkan penentuan kebijakan untuk mengadakan revisi atau perbaikan, jika ternyata pelaksanaannya tidak sesuai dengan harapan obyektif tadi. sesuai dengan apa yang dikatakan oleh wibawa (1994 : 6) bahwa :

pendekatan kebijakan ini tekanannya pada pendekatan kelembagaan, yaitu pendekatan pada pengukuran terhadap keberadaan demokrasi tidak hanya melalui ada tidaknya institusi perwakilan dan pemerintah tetapi lebih menekankan pada seberapa jauh fungsi dari lembaga perwakilan itu sendiri.

dari beberapa pengertian kebijaksanaan publik seperti tersebut dan dengan mengikuti faham bahwa kebijaksanaan publik itu harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat, maka islamy (2000 : 20) lebih lanjut menyimpulkan bahwa kebijaksanaan negara (public policy) itu adalah : “serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat”.

sketsa : laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah

pendahuluan

terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita bangsa bernegara. dalam rangka itu diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat berlangsung secara berdayaguna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

upaya pengembangan tersebut sejalan dengan dan didasarkan pada tap mpr ri nomor xi/mpr/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan undang-undang no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. dalam pasal 3 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

dalam penjelasan mengenai pasal tersebut, dirumuskan bahwa asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

dalam rangka itu, pemerintah telah menerbitkan instruksi presiden republik indonesia (inpres) nomor 7 tahun 1999 tentang akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. inpres tersebut mewajibkan setiap instansi pemerintah baik pemeirntah pusat maupun pemerintah daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan negara untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan pengelolaan sumber daya dengan didasarkan suatu perencanaan stratejik yang ditetapkan oleh masing-masing instansi.

pertanggungjawaban dimaksud berupa laporan yang disampaikan kepada atasan masing-masing, lembaga-lembaga pengawasan dan penilai akuntabilitas, dan akhirnya disampaikan kepada presiden selaku kepala pemerintahan. laporan tersebut menggambarkan kinerja instansi pemerintah yang bersangkutan melalui sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (sakip).

buku ini dimaksudkan sebagai informasi dan petunjuk bagi satuan kerja perangkat daerah (skpd) dalam penyusunan laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (lakip) skpd masing-masing, mulai dari menyusun rencana stratejik dan rencana kinerja, serta pelaksanaan pengukuran kinerja.

pengertian instansi pemerintah
instansi pemerintah adalah perangkat negara kesatuan republik indonesia yang menurut peraturan perundangan yang berlaku terdiri dari: kementerian, departemen, lembaga pemerintah non departemen, kesekretariatan lembaga tinggi negara, markas besar tni (meliputi: markas besar tni angkatan darat, angkatan udara, angkatan laut), kepolisian republik indonesia. kantor perwakilan pemerintah ri di luar negeri, kejaksaan agung, perangkat pemerintahan provinsi, perangkat pemerintahan kabupaten/kota, dan lembaga/badan lainnya yang dibiayai dari anggaran negara. untuk pemerintah kabupaten / kota adalah yang dimaksud instansi pemerintah adalah satuan kerja perangkat daerah (skpd)

pengertian akuntabilitas
akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyampaikan pertanggungjawaban atau untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.

pengertian kinerja instansi pemerintah
kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah (satuan kerja perangkat daerah) sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan.

pengertian akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (akip)
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah (satuan kerja perangkat daerah) untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan melalui sistem pertanggungjawaban secara periodik.

sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (sakip)
sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah pada pokoknya adalah instrumen yang digunakan instansi pemerintah dalam memenuhi kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi. terdiri dari berbagai komponen yang merupakan satu kesatuan, yaitu perencanaan stratejik, perencanaan kinerja. pengukuran kinerja, dan pelaporan kinerja.

perencanaan stratejik
perencanaan stratejik merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun secara sistematis dan berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi. peluang, dan kendala yang ada atau yang mungkin timbul. proses ini menghasilkan suatu rencana stratejik instansi pemerintah, yang setidaknya memuat visi misi, tujuan, sasaran, strateji, kebijakan, dan program serta ukuran keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaannya.

perencanaan kinerja
perencanaan kinerja merupakan proses penetapan kegiatan tahunan dan indikator kinerja berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana stratejik. hasil dari proses ini berupa rencana kinerja tahunan.

pengukuran kinerja
pengukuran kinerja adalah proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan strateji instansi pemerintah. proses ini dimaksudkan untuk menilai pencapaian setiap indikator kinerja guna memberikan gambaran tentang keberhasilan dan kegagalan pencapaian tujuan dan sasaran. selanjutnya dilakukan pula analisis akuntabilitas kinerja yang menggambarkan keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan dengan program dan kebijakan dalam rangka mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi sebagaimana ditetapkan dalam rencana stratejik.

laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (lakip)
laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah(lakip) adalah sebuah laporan yang berisikan akuntabilitas dan kinerja dari suatu instansi pemerintah. untuk pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota, instansi pemerintah adalah satuan kerja perangkat daerah (skpd). satuan kerja perangkat daerah (skpd) adalah suatu unit kerja pemerintah yang diberikan hak dan tanggung jawab untuk mengelola sendiri administrasi dan keuangan.

penyusunan lakip berdasarkan siklus anggaran yang berjalan yaitu 1 tahun. secara lengkap memuat laporan yang membandingkan perencanaan dan hasil. dalam penyusunan suatu kegiatan belanja, dibuat suatu masukan yaitu besaran dana yang dibutuhkan, hasil yaitu sesuatu hasil atau bentuk nyata yang didapat dari dana yang dikeluarkan.

fungsi, tujuan dan manfaat lakip
fungsi lakip
  • wujud tertulis pertanggungjawaban suatu satuan kerja perangkat daerah (skpd) kepada pemberi wewenang dan mandat;
  • lakip berisi tentang kinerja instansi dan akuntabilitasnya, yaitu gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan / program / kebijakan dalam mewujudkan visi, misi, tujuan, sasaran organisasi dan merupakan media akuntabilitas setiap skpd;
  • sebagai media informasi tentang sejauh mana penentuan prinsip-prinsip good governance termasuk penerapan fungsi-fungsi manajemen secara benar di skpd yang bersangkutan.
tujuan
  • untuk mewujudkan akuntabilitas instansi pemerintah kepada pihak pemberi mandat/amanat;
  • pertanggungjawaban dari unit yang lebih rendah kepada unit kerja yang lebih tinggi atau pertanggungjawaban dari bawahan kepada atasan;
  • perbaikan dalam perencanaan, khususnya perencanaan jangka menengah dan pendek.

manfaat
lakip yang disampaikan oleh instansi pemerintah bermanfaat untuk :
  • meningkatkan akuntabilitas, kredibilitas instansi dimata instansi yang lebih tinggi dan akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap skpd;
  • merupakan umpan balik untuk peningkatan kinerja skpd;
  • dapat mengetahui dan menilai keberhasilan dan kegagalan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab skpd;
  • mendorong skpd untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan secara baik, sesuai ketentuan, peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat;
  • menjadikan instansi yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan responsif terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungan.

persyaratan dan prinsip penyusunan lakip

agar lakip dapat terwujud dengan baik, harus dipenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
  1. beranjak dari sistem yang dapat menjamin penggunaan sumbersumber daya yang konsisten dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara;
  2. komitmen dari pimpinan dan seluruh stat instansi yang bersangkutan;
  3. menunjukkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan;
  4. berorientasi pada pencapaian visi dan misi, serta hasil dan manfaat yang diperoleh;
  5. jujur, obyektif, transparan, dan akurat;
  6. menyajikan keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan.

prinsip penyusunan:
  1. prinsip lingkup pertanggungjawaban, proporsional dengan lingkup kewenangan dan tanggungjawab, memuat keberhasilan dan kegagalan
  2. prinsip prioritas, hal-hal penting dan relevan serta upaya tindak lanjut
  3. prinsip manfaat, manfaat laporan harus lebih besar dari pada biaya penyusunan

intisari sistem akuntabilitas instansi pemerintah (sakip)
sebagai instansi pemerintah, satuan kerja perangkat daerah (skpd) harus membuat empat buah dokumen dalam lakip, yaitu: rencana stratejik, perencanaan kinerja, pengukuran kinerja dan evaluasi kinerja.

rencana stratejik (renstra)
dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan stratejik merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah (skpd). dokumen rencana stratejik setidaknya memuat komponen visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (kebijakan dan program)

  • visi: pandangan jauh kedepan menyangkut ke mana instansi pemerintah harus dibawa dan diarahkan agar dapat berkarya secra konsisten dan tetap eksis, antisipatif, inovatif, serta produktif. rumusan visi yang baik hendaknya : mencerminkan apa yang ingin dicapai sebuah organisasi, memberikan arah dan fokus strategi yang jelas, mampu menjadi perekat dan menyatukan berbagai gagasan stratejik yang terdapat dalam organisasi, memiliki orientasi terhadap masa depan, sehingga segenap jajaran harus berperan dalam mendefinisikan dan membentuk masa depan organisasi, mampu menumbuhkan komitmen seluruh jajaran dalam organisasi, mampu menjamin kesinambungan kepemimpinan organisasi.
  • misi: sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh instansi pemerintah, sebagai penjabaran visi yang ditetapkan. rumusan misi yang baik hendaknya : melingkup semua pesan yang terdapat dalam visi, memberikan petunjuk terhadap tujuan yang akan dicapai, memberikan petunjuk kelompok sasaran mana yang akan dilayani oleh instansi pemerintah, dan memperhitungkan berbagai masukan dari stakeholders.
  • tujuan : sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu 1 tahun sampai 5 tahunan, yang mengacu kepada pernyataan visi dan misi, tidak harus dinyatakan dalam bentuk kuantitatif tetapi menunjukkan kondisi yang ingin dicapai, serta didasarkan pada isue-isue dan analisis stratejik. agar tujuan mampu mengarahkan perumusan sasaran, kebijakan, program dan kegiatan dalam mewujudkan misi, hendaknya tujuan dirumuskan berdasarkan hasil analisis swot terhadap analisis lingkungan internal/ali (kekuatan dan kelemahan instansi ) dan analisis lingkungan eksternal/ale (peluang dan tantangan), sehingga diperoleh rumusan faktor kunci keberhasilan (fkk)/ critical success factors (csf). sehingga rumusan tujuan dapat menjadi acuan bagi perumusan sasaran dan strateji yang lebih terarah dan terfokus sesuai dengan kemampuan/potensi yang dimiliki instansi dalam memanfaatkan peluang dan menghadapi tantangan yang ada.
  • sasaran: hasil yang akan dicapai secara nyata oleh instansi pemerintah dalam rumusan yang lebih spesifik, terukur, dalam kurun waktu yang lebih pendek dari tujuan. dalam sasaran telah dirancang indikator sasaran, yaitu ukuran tingkat keberhasilan pencapaian sasaran untuk diwujudkan pada tahun bersangkutan, dan disertai dengan rencana tingkat capaiannya (target). sasaran diupayakan dapat dicapai dalam kurun waktu tertentu/tahunan secara berkesinambungan sejalan dengan tujuan dalam renstra.
catatan : untuk kegiatan penelitian yang multi years (lebih satu tahun) agar dalam indikator sasaran dijabarkan rencana tingkat capaiannya secara realistis pada setiap tahunnya, sehingga pada periode renstra (5 tahunan) dapat diukur apakah kegiatan penelitian multi years tersebut telah mencapai sasaran dan tujuan yang ditetapkan.

  • strategi: cara untuk mencapai tujuan dan sasaran yang dijabarkan ke dalam kebijakan-kebijakan dan program-program
  • kebijakan merupakan ketentuan yang ditetapkan oleh yang ber wenang untuk dijadikan pedoman, pegangan, atau petunjuk dalam pengembangan atau pelaksanaan program/kegiatan untuk mema dukan dan melancarkan kegiatan dalam mencapai sasaran, tujuan, visi, dan misi instansi.
  • program merupakan kumpulan kegiatan yang sistematis dan terpadu untuk mendapatkan hasil yang dilaksanakan oleh satu atau beberapa instansi pemerintah atau dalam rangka kerjasama dengan masyarakat, guna mencapai sasaran tertentu. keberhasilan program yang dilakukan sangat erat kaitannya dengan kebijakan instansi, sehingga perlu diidentifikasi keterkaitan antara kebijakan dan program yang ditetapkan sebelum diimplementasikan ke dalam kegiatan-kegiatan. dengan demikian renstra akan lebih fleksibel karena tidak lagi mengandung kegiatan-kegiatan yang harus dilaksanakan selama 5 tahun mendatang, tetapi kegiatan ditentukan pada tahun yang akan berjalan setiap tahun sesuai dengan sasaran-sasaran yg ditetapkan pada tahun tersebut.

untuk memudahkan penyusunan rencana stratejik sebagaimana diuraikan di atas, dapat digunakan alat bantu antara lain berupa formulir rencana stratejik (rs) yang menunjukkan keterkaitan visi, misi, tujuan, sasaran serta kebijakan dan program.

perencanaan kinerja (renja)
merupakan proses perencanaan kinerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam renstra melalui berbagai kegiatan tahunan. setiap kegiatan dilengkapi dengan indikator-indikator kinerja input, output, outcome, benefit dan impact yang masing-masing disertai dengan rencana pencapaiannya. dokumen yang dihasilkan pada renja meliputi sasaran-sasaran yang akan dicapai pada tahun berjalan disertai indikator dan rencana tingkat capaiannya, program-program yang ditetapkan sesuai sasaran yang akan dicapai pada tahun yang bersangkutan, serta kegiatan-kegiatan dalam rangka mencapai sasaran yang ditetapkan pada tahun yang bersangkutan.

setiap kegiatan dilengkapi dengan indikator-indikator kinerja input, output, outcome, benefit, dan impact, yang masing-masing disertai dengan rencana capaiannya. khusus indikator benefit dan impact walaupun agak sulit diukur, tetapi harus tetap diidentifikasi. pada setiap indikator kinerja tidak diberikan bobot tertentu, tetapi hanya berupa persentase rencana capaian kinerja. perlu diingat bahwa renja harus ditetapkan pada awal tahun sebelum kegiatan dilaksanakan dan dituangkan dalam rencana kinerja tahunan (rkt), dapat digunakan dalam menyusun rencana kerja anggaran satuan kerja perangkat daerah (rka-skpd), serta kegiatan monev dalam menilai capaian kinerja. pencatuman sasaran, program, dan kegiatan pada satu formulir rkt dimaksudkan untuk memberikan kejelasan keterkaitan antara kegiatan, program, dan sasaran. serta memudahkan untuk mengidentifikasi apakah indikator outcome, benefit, dan impact dari suatu kegiatan telah mengarah kepada pencapaian sasaran yang ditetapkan.

pengukuran kinerja (kurja),
merupakan metoda pengukuran performance gap, yaitu membandingkan antara rencana kinerja dengan capaian masing masing indikator sasaran maupun indikator kinerja kegiatan (input, outputs, outcomes, benefits, dan impacts).
untuk mengukur kinerja digunakan dua formulir:
  • formulir pengukuran kinerja kegiatan (pkk) yang meliputi pengukuran terhadap indikator-indikator kinerja kegiatan dalam lingkup program yang membawahinya. pada pengukuran kinerja kegiatan, setiap indikator diukur kinerjanya atas dasar pembandingan antara rencana dan realisasi untuk setiap indikator kinerja.
  • formulir pengukuran pencapaian sasaran (pps) yang meliputi pencapaian rencana tingkat capaian (target) untuk setiap indikator sasaran yang telah ditetapkan. pengukuran pencapaian sasaran dihitung dengan pembandingan rencana dan realisasi untuk setiap indikator sasaran yang ditetapkan.

evaluasi kinerja.
dilakukan berdasarkan hasil-hasil perhitungan pada formulir pkk, untuk mengetahui pencapaian realisasi setiap indikator kinerja kegiatan, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam mencapai visi, misi, agar dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan kinerja dalam pelaksanaan program/ kegiatan yang akan datang. lebih lanjut dilakukan analisis efisiensi dengan cara membandingkan antara output dengan input baik untuk rencana maupun realisasi, sehingga dapat memberikan gambaran tingkat efisiensi yang dilakukan oleh instansi. selain itu, dilakukan analisis terhadap pengukuran tingkat efektifitas yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara tujuan dengan hasil, manfaat, maupun dampak. dalam evaluasi ini juga dilakukan analisis terhadap setiap perbedaan kinerja ( performance gap ) yang terjadi, baik terhadap terjadinya gap maupun strateji pemecahan masalah yang telah dan akan dilaksanakan.

format penyusunan laporan akuntabilitas instansi pemerintah (lakip)
ikhtisar eksekutif
berisi tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam renstra, sejauhmana instansi mencapai tujuan dan sasaran utama, serta kendala-kendala yang dihadapi.

pendahuluan
memuat hal-hal umum tentang satuan kerja perangkat daerah, uraian singkat mandat apa yang diemban skpd, gambaran umum tupoksi

rencana stratejik
terdiri dari:
- renstra : uraian singkat mengenai renstra skpd mulai dari visi, misi, tujuan, sasaran serta kebijakan dan program instansi
- renja : berisi rencana kinerja pada tahun pembuatan lakip. utamanya kegiatan-kegiatan dalam mencapai sasaran sesuai program dan indikator keberhasilan pencapaiannya.

akuntabilitas kinerja
uraian hasil pengukuran kinerja, evaluasi, dan analisis akuntabilitas kinerja, termasuk uraian keberhasilan dan kegagalan, hambatan/kendala, serta permasalahan yang dihadapi dan langkah-langkah antisipatif yang akan diambil.

penutup
memuat tinjauan umum tentang keberhasilan dan kegagalan, permasalahan dan kendala utama yang berkaitan dengan kinerja skpd yang bersangkutan, serta strateji permecahan masalah yang akan dilaksanakan pada tahun mendatang.

lampiran-lampiran

penutup
sistem akuntabilitas kinerja dibangun dan dikembangkan dalam rangka perwujudan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi serta pengelolaan sumber daya dan pelaksanaan kebijakan dan program yang dipercayakan kepada setiap satuan kerja perangkat daerah (skpd), berdasarkan suatu sistem akuntabilitas yang memadai. dalam hal ini, setiap skpd secara periodik wajib mengkomunikasikan pencapaian tujuan dan sasaran stratejik organisasi kepada stakeholders, yang dituangkan melalui laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah (lakip).

di dalam kerangka akuntabilitas kinerja, laporan akuntabilitas kinerja berperan sebagai alat kendali, alat penilai kualitas kinerja, dan alat pendorong terwujudnya good governance. dalam perspektif yang lebih luas, maka laporan akuntabilitas kinerja ini berfungsi sebagai media pertanggungjawaban kepada publik. semua itu memerlukan dukungan dan peran serta aktif seluruh skpd, serta partisipasi masyarakat.

metode penelitian : desain penelitian

dalam suatu penelitian diperlukan adanya suatu metode penelitian yang mempermudah pencapaian tujuan penelitian. karena pada dasarnya dalam metode penelitian merupakan suatu proses mencari sesuatu secara sistematik dalam waktu tertentu, dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku.

menurut sugiyono (2001:1) : “ metode penelitian merupakan suatu metode atau cara yang digunakan untuk mendapatkan data dengan tujuan tertentu“. sesuai dengan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini kita menggunakan penelitian kualitatif. kirk dan miller mengemukakan bahwa metode kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya”.

pendapat lain dikemukakan oleh sugiyono (2001:4-6) yang mengemukakan bahwa penelitian deskriptif adalah “penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain” sedangkan “metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek alami (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. teknik pengumpulan data dilakukan secara trianggulasi (gabungan), data yang dihasilkan bersifat deskriptif, dan analisis data dilakukan secara induktif. hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi”.

lebih lanjut bogdan dan taylor dalam moleong (2002:3) menyebutkan “metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati”. metode penelitian tersebut harus sesuai dengan kondisi lapangan dan pokok bahasan yang diteliti, dan penulis menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan induktif.

menurut nazir (1999:63) bahwa : metode penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa di masa sekarang, yang bertujuan untuk deskripsi, gambaran, lukisan secara sistematis, aktual dan akurat mengetahui fakta-fakta serta sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

sedangkan menurut arikunto (2002:245) : “ penelitian deskriptif pada umumnya merupakan penelitian non hipotesis sehingga dalam langkah penelitian tidak perlu merumuskan hipotesis “. dengan demikian penelitian deskriptif dengan pendekatan induktif adalah suatu metode yang berangkat dari fakta-fakta yang bersifat khusus kemudian diteliti, dengan cara menggambarkan atau melukiskan secara sistematis faktual dan akurat mengenai suatu objek penelitian, dan dari hasil penelitian tersebut ditarik kesimpulan dengan pernyataan-pernyataan yang bersifat umum.

landasan teori : pengertian organisasi (3)

untuk mengetahui lebih jauh tentang tentang pengertian organisasi, maka dapat dilakukan melalui pendekatan teori organisasi. muncul berbagai pendapat dimana setiap pendapat itu mempunyai sudut pandang yang berbeda dalam melihat organisasi. shafritz dan steve ott dalam thoha (2002:7-42) merinci teori organisasi atas enam mazhab yaitu:

teori organisasi klasik
teori organisasi klasik masa dominasinya, dimulai sekitar tahun 1930-an, dan sampai sekarang diakui mempunyai pengaruh yang besar, para ahli yang tercatat dalam kelompok teori organisasi klasik antara lain henry fayol (1841-1925), dan max weber (1864-1920). ajaran pokok teori klasik adalah sebagai berikut :
  1. organisasi itu timbul untuk mencapai produksi dan tujuan-tujuan ekonomi.
  2. hanya ada satu cara terbaik untuk mengorganisasikan produksi dan cara itu dapat dijumpai melalui penelitian yang sistematik dan ilmiah
  3. produksi dapat dimaksimalkan melalui spesialisasi dan pembagian kerja.
  4. orang dan organisasi bekerja haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip rasionalitas dan efisiensi.

teori organisasi neoklasik
teori organisasi neoklasik diperkirakan hadir setelah perang dunia kedua sampai dengan 1950-an. teori organisasi neoklasik tidak mengembangkan “body of theory”, yang dapat mengganti teori organisasi klasik. aliran ini dianggap sebagai aliran transisi dan reaksioner dari aliran teori organisasi klasik. ahli yang terkenal dari aliran neoklasik ini ialah herbert a. symon, yang dikenal dengan prinsip administrasi. salah satu tema utama aliran neoklasik ini adalah bahwa organisasi itu tidak bisa hidup terisolasi dari lingkungannya, sehingga aliran ini yang mengawali konsepsi “buka pintu” organisasi terhadap pengaruh lingkungannya.

salah seorang sosiolog terkenal yang banyak mempengaruhi aliran teori organisasi neoklasik adalah talcott parson yang merumuskan organisasi itu sebagai suatu sistem sosial yang berusaha untuk mencapai tujuan tertentu, dalam usahanya mencapai tujuan pokok dari sistem yang lebih besar, misalnya organisasi yang lebih besar atau masyarakat itu sendiri.

teori organisasi struktural modern
teori organisasi struktural modern membahas mengenai diferensiasi vertikal (misalnya tata jenjang organisasi, otorita dan koordinasi), dan diferensiasi horizontal antara unit-unit dalam suatu organisasi. bagan organisasi merupakan satu-satunya alat yang memperjelas keterangan dari ahli-ahli teori organisasi struktural ini. aliran teori organisasi struktural modern ini kira-kira sekitar tahun 1960-an sampai 1970-an. beberapa asumsi dasar atau pokok ajaran aliran ini antara lain :
  • organisasi itu merupakan suatu instistusi yang rasional dengan maksud untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. perilaku organisasi yang rasional dapat dicapai dengan baik melalui suatu sistem aturan yang jelas dan otoritas yang formal. koordinasi dan pengendalian merupakan kunci tercapainya rasionalitas dalam organisasi.
  • struktur organisasi dikatakan baik bagi organisasi, atau paling sedikit sesuai dengan organisasi, jika struktur tersebut dirancang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, kondisi lingkungan yang mengelilingi organisasi, sifat produksi atau pelayanan yang dihasilkan/diberikan, dan teknologi yang dipergunakan dalam proses produksi/pelayanan tersebut.
  • spesialisasi dan pembagian kerja akan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi/pelayanan. apalagi kalau diimbangi dengan kecakapan pelaksanaan dan profesionalitas yang tinggi.
  • hampir semua persoalan dalam organisasi diakibatkan oleh struktur organisasi. oleh karenanya cara mengatasinya menyempurnakan atau mengganti struktur tersebut.

para pemikir dan pendukung teori ini antara lain tom burns dan g.m stalker, amitai etzoni, peter m. blau, richard m. scott, arthur h. walker, jay w. larsch, paul r. lawrence dan juga henry mintzberg.

aliran organisasi sistem dan kontijensi
aliran sistem memandang suatu organisasi sebagai tatanan yang kompleks dan dinamis dari unsur-unsur yang saling terikat, yakni unsur-unsur input, proses, output, saluran feedback, dan lingkungan tempat unsur-unsur tersebut beroperasi. suatu perubahan dalam satu unsurmengakibatkan perubahan pada unsur lain. keterjalinan dan keterikatan itu cenderung menjadi kompleks, dinamis dan seringkali tidak diketahui. oleh karenanya ketika pimpinan membuat keputusan yang hanya melibatkan satu unsur saja, tidak disadari akan memberikan pengaruh pada seluruh unsur dalam organisasi tersebut. aliran sistem dalam teori organisasi ini menganalisa keterjalinan dengan mempergunakan proses pengambilan keputusan dalam organisasi, informasi, dan sistem pengendalian sebagai titik pusat analisanya. para pendukung teori ini antara lain fremont e. kast dan james e. rosenweigh dengan judul buku “organization and management : a system approach”.

aliran power dan politik dalam organisasi
aliran power dan politik dalam organisasi menekankan bahwa “authority” hanya merupakan salah satu sumber power dalam organisasi, dan power dibutuhkan untuk semua pengarahan (tidak hanya untuk mengalirkaj ke bawah melalui hieraki organisasi).

aliran ini berpendapat bahwa organisasi bukanlah naïve, tidak realistik, dan bukan pula kehabisan nilai praktisnya. organisasi merupakan sistem koalisi antar individu yang kompleks, setiap kegiatannnya mempunyai interest, kepercayaan, nilai, preferensi, perspektif dan persepsi sendiri. koalisi antara individu ini kejar mengejar dengan kelangkaan sumber organisasi secara terus menerus. akibatnya, tidak bisa dihindari timbulnya konflik dalam organisasi. pengaruh, kekuasaan, dan kegiatan-kegiatan politik merupakan ubahan-ubahan yang paling penting dalam kehidupan organisasi. pendukung aliran ini antara lain gerald salancik dan jeffrey pfefer.

aliran teori budaya organisasi
aliran teori budaya organisasi merupakan suatu aliran teori organisasi yang menekankan pada satu kebudayaan yang hidup dalam organisasi. kebudayaan yang hidup ini mestinya tidak bisa melepaskan dari kebudayaan yang hidup dalam masyarakat tempat organisasi itu berkiprah. kebudayaan itu terdiri dari segala sesuatu yang tidak bisa diraba, antar lain : nilai, kepercayaan, asumsi, persepsi, norma prilaku dan pola sikap. kesemuanya itu tidak bisa dilihat dan diamati secara kasat mata, akan tetapi semuanya merupakan kekuatan yang selalu berada di belakang kegiatan dan aktivitas organisasi yang dapat dilihat dan diamati oleh mata kepala kita.

menurut aliran teori ini, setiap organisasi berbeda budaya satu sama lain, yang disebabkan karena :
  1. sesuatu yang telah hidup dan selalu berulang aktivitasnya bagi satu organisasi, belum tentu bisa timbul dan terjadi bersamaan dalam organisasi lain. jadi, asumsi dasarnya memang berlainan.
  2. suatu budaya dalam organisasi dibentuk oleh banyak faktor, antara lain budaya masyarakat, teknologi, suasana pasar, persaingan, kepribadian pendirinya, dan kepribadian/gaya kepemimpinan dari para pemimpin organisasi. diantara para ahli yang meramaikan dan menyambut kehadiran aliran ini antara lainnthomas peters dan robert waterman.

landasan teori : pengertian organisasi (2)

organisasi, baik organisasi publik, swasta maupun organisasi sosial adalah sesuatu yang abstrak, sulit dilihat tetapi dapat dirasakan eksistensinya. bahkan dapat dikatakan bahwa hampir dalam semua aspek kehidupan manusia bersentuhan dengan organisasi. dengan demikian, tepatlah apabila manusia disebut sebagai “manusia organisasi” (homo organismus).

sifat abstrak organisasi menyebabkan organisasi dapat didefenisikan dengan berbagai macam cara, sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang masing-masing penulis. organisasi secara etimologi berasal dari bahasa latin organizare, kemudian (inggris) organize yang berarti membentuk suatu kebulatan dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lainnya.

stephen p. robins (1994:5) mengatakan bahwa “organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasikan, yang bekerja atas dasar yang relatif terus-menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan”.

sondang siagian (1997:26) cenderung menelaah organisasi dari dua sudut pandang yang berbeda yaitu organisasi ditelaah dengan pendekatan struktural dan organisasi ditelaah dari sudut pandang keprilakuan. pendekatan yang sifatnya struktural menyoroti organisasi sebagai tempat atau wadah, hal ini berarti:
  1. organisasi dipandang merupakan penggambaran jaringan hubungan kerja yang bersifat formal serta tergambar pada “kotak-kotak”, kedudukan dan jabatan yang diduduki oleh orang-orang.
  2. organisasi dipandang sebagai rangkaian hierarki kedudukan yang menggambarkan secara jelas garis kewenangan dan tanggung jawab.
  3. organisasi dipandang sebagai alat pencapaian tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan strukturnya bersifat permanen tanpa menutup kemungkinan terjadinya reorganisasi apabila hal itu dipandang perlu baik demi percepatan laju usaha pencapaian tujuan maupun dalam usaha peningkatan efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja.

pandangan selanjutnya yang menyoroti organisasi sebagai suatu organisme yang dinamis. dalam pandangan tersebut disebutkan bahwasanya organisme memang terus menerus berkembang untuk mempertahankan eksistensinya.
  1. bahwa untuk pengertian organisasi sebagai organisme yang dinamis secara implisit tergambar kebutuhannya untuk terus tumbuh.
  2. bahwa organisasi sebagai organisme hidup selalu pula dihadapkan pada ancaman kematian, ancaman kematian dapat bersumber dari dalam organisasi maupun dari luar organisasi.
  3. bahwa menyoroti organisasi sebagai organisme dinamis pada analisis terakhir menyoroti manusia didalamnya karena dari seluruh unsur organisasi hanya manusialah yang secar inherent memiliki kedinamisan.

dalam kehidupan modern, drucker dalam nugroho (2002:241) mengungkapkan bahwa “akan terbentuk masyarakat modern yaitu masyarakat organisasi”. di lain sisi, “terbentuknya masyarakat organisasi sebagai upaya untuk merespon perubahan peradaban yang menuntut peningkatan diferensiasi struktural dan spesialisasi fungsional yang makin meningkat dan hanya bisa dikelola dengan pendekatan kelembagaan”, lucian w. pie (1981:26)

menurut wasistiono (2003:83), “organisasi dapat diibaratkan seperti sebuah organisme hidup yang dapat lahir, tumbuh berkembang, dan kemungkinan mati”. agar organisasi dapat “survive” menghadapi perubahan, suatu organisasi harus fleksibel dan memilki daya adaptasi. pada sisi lain, organisasi merupakan sebuah sistem terbuka yang menerima dan memberi masukan kepada lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal.