landasan teori : pemberdayaan masyarakat

dinamika perubahan dan pembangunan senantiasa membawa aspirasi dan tuntutan baru dari masyarakat untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik. aspirasi dan tuntutan masyarakat tersebut dilandasi oleh hasrat untuk lebih berperan serta dalam mewujudkan masyarakat yang maju, mandiri dan berdasarkan keadilan. dalam pembangunan yang makin kompleks, masyarakat perlu diberikan rangsangan untuk ikut memikirkan masalah-masalah pembangunan yang dihadapi dan turut merumuskan jalan pemecahannya, sehingga peran serta masyarakat yang aktif akan lebih menumbuhkan kebersamaan dan berimplikasi pada percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. upaya memberdayakan masyarakat, diperlukan kepedulian yang diwujudkan dalam kemitraan dan kebersamaan dari pihak yang sudah maju kepada pihak yang belum berkembang.

dalam konteks ini, sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses perubahan dari ketergantungan menuju pada kemandirian. berbagai pandangan yang berkembang dalam teori pembangunan, baik dibidang ekonomi maupun administrasi, menempatkan masyarakat sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan, atau dengan kata lain masyarakat tidak hanya merupakan obyek, tetapi sebagai subyek pembangunan. pandangan ini muncul sebagai tanggapan atas terjadinya kesenjangan seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat.

pemberdayaan masyarakat merupakan suatu usaha yang memungkinkan suatu kelompok (baca : masyarakat) mampu bertahan (survive) dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dalam rangka mencapai tujuan bersama. dalam kerangka pemikiran ini, upaya memberdayakan masyarakat dapat dilakukan melalui 3 (tiga) dimensi, yakni :
  1. menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. titik tolak dari pemikiran ini adalah pemahaman bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. pemberdayaan dalam konteks ini diartikan sebagai upaya untuk membangun potensi itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki oleh masyarakat serta berupaya untuk mengembangkannya.
  2. memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), sehingga diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyesiaan berbagai masukkan serta pembukaan berbagai akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang.
  3. melindungi, yakni dalam proses pemberdayaan harus dapat dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.

dimensi diatas sejalan dengan pemikiran pranarka dan moeljarto (1996) yang menempatkan manusia atau masyarakat sebagai subyek (pelaku) sehingga memunculkan makna : pertama, proses pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. proses ini dapat pula dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian masyarakat melalui organisasi. kecenderungan dalam proses itu dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan.

kedua, proses pemberdayaan menekankan pada upaya untuk menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menemukan apa yang menjadi pilihan hidupnya, melalui proses dialog, sehingga kecenderungan ini dapat dipahami sebagai kecenderungan yang bersifat sekunder.

seiring dengan itu, friedmann (1992; 32-33) mengemukakan bahwa masyarakat menempatkan (3) tiga kekuatan sebagai sumber utama pemberdayaan, yakni sosial, politik dan psikologis. kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu suatu masyarakat, misalnya informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumber-sumber keuangan. apabila ekonomi masyarakat tersebut meningkat aksesnya pada dasar-dasar produksi diatas, maka kemampuannya dalam menentukan dan mencapai tujuannya juga meningkat.

peningkatan kekuatan sosial dapat dimengerti sebagai suatu peningkatan akses masyarakat terhadap dasar-dasar kekayaan produktif mereka. kekuatan politik meliputi akses setiap anggota keluarga terhadap proses pembuatan keputusan, terutama keputusan yang mempengaruhi masa depan mereka sendiri. kekuatan politik bukan hanya kekuatan untuk memberikan suara, tetapi juga kekuatan untuk menjadi vokal dan bertindak secara kolektif. pengaruh politik pada yang efektif akan tampak tidak hanya pada waktu suara-suara individu “meninggi” sebagai pengaruh dari partisipasi individu terhadap basis lokal maupun personal, melainkan juga pada saat suara tersebut didengungkan bersama-sama dengan suara-suara asosiasi-asosiasi politik yang lebih luas, misalnya partai, gerakan sosial, atau kelompok yang berkepentingan.

selain kedua kekuatan yang dikemukakan diatas, masyarakat juga mengandalkan eksistensinya dengan kekuatan psikologis. kekuatan psikologis digambarkan sebagai rasa potensi individu (individual sense of potency) yang menunjukkan perilaku percaya diri. pemberdayaan psikologis seringkali tampak sebagai suatu keberhasilan dalam komponen sosial politik. rasa potensi pribadi yang semakin tinggi akan memberikan pengaruh positif dan kursif terhadap perjuangan masyarakat yang secara terus menerus berusaha untuk meningkatkan kekuatan sosial politiknya.