Latar Belakang : Motivasi Pegawai

Penyempurnaan administrasi negara  perlu dilakukan secara terus-menerus untuk menciptakan sistem yang bersih, bebas dari penyelewengan dan penyimpangan. Dua tindakan yang perlu dilakukan bersamaan adalah menyempurnakan pengawasan di satu pihak dan meningkatkan kesejahteraan pegawai dalam rangka peningkatan kinerja di pihak lain. Kecuali itu perlu disusun manual prosedur dan persyaratan yang diketahui bersama oleh pihak pemerintah dan stakeholder.

Mengutip pendapat Hahn Been Lee dan Samonte (1970) dalam Tjokroamidjojo (1995 : 9-10) : bahwa ada empat alat ukur usaha penyempurnaan administrasi negara sebagai berikut : (1)  penekanan yang baru terhadap program; (2)  sikap dan perilaku yang diperbaiki terhadap klien dan anggota birokrasi; (3) perubahan dalam gaya internal   administrasi   ke arah manajemen yang komunikatif dan partisipatif;  dan (4) penekanan yang lebih kuat lagi terhadap efisiensi penggunaan sumberdaya.

Pemerintah  sebagai institusi yang memiliki tanggung jawab sebagai penggerak roda pembangunan, dihadapkan berbagai tantangan, keberhasilan, dan kegagalan. Dalam upaya peningkatan peran pegawai  sebagai instrumen pembangunan bangsa , para akademisi di bidang pemerintahan tiada hentinya melakukan upaya kajian ilmiah dengan berbagai temuan yang menarik untuk diperhatikan.

Realisasi pemikiran otonomi sebagai bentuk reformasi di bidang aparatur, serta upaya untuk memberdayakan peran pegawai di tingkat daerah, diharapkan akan mampu meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, kepada Daerah telah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Melalui desentralisasi telah dipindahkan sebagian besar kewenangan yang tadinya berada di pemerintah pusat  kepada Daerah Otonom, sehingga pemerintah Daerah Otonom dapat lebih cepat dalam menanggapi tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Kewenangan membuat kebijakan dalam bentuk Peraturan Daerah maupun keputusan Kepala Daerah telah menjadi wewenang Daerah Otonom. Dengan pengawasan preventif dari pemerintah pusat, desentralisasi diberikan agar pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat dan murah.

Berbicara pelayanan tidak terlepas dari figur  pelayannya. Dalam hal pelayanan publik, maka figur dari pelayan tersebut adalah pegawai negeri. Menurut McCormick dan Tiffin (2001 : 134) ada dua variabel yang sangat mempengaruhi produktivitas dan kualitas pelayanan publik oleh pegawai negeri. Pertama, variabel lingkungan jabatan, termasuk di dalamnya sarana dan prasarana kerja, teknologi dan manajemen. Kedua, variabel individual, termasuk di dalamnya gaya manajemen, motif prestasi kerja, dan keterampilan.

Menurut salah satu hasil penelitian yang  masih relevan dengan kondisi saat ini, motivasi kerja pegawai negeri sebagai salah satu unsur dari variabel individu mempunyai peran sangat tinggi. Motivasi merupakan penggerak seseorang dalam mencapai tujuannya, yang berkaitan dengan rasa cemas atas kegagalan. Artinya, meskipun motif berprestasi pegawai negeri tergolong tinggi, namun karena dihinggapi rasa cemas atas kegagalan yang cukup tinggi maka tidak nampak upaya peningkatan prestasi kerja. Kondisi lingkungan kerja tidak kondusif untuk membangkitkan motif  prestasi pegawai negeri.

Rasa cemas akan kegagalan juga sangat erat kaitannya dengan balas jasa yang tidak pasti. Meskipun penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor rasa aman dapat dipenuhi oleh balas jasa dalam bentuk gaji, namun yang tak kalah penting penghargaan yang sifatnya bukan uang seperti kenaikan pangkat dan jenjang karir yang pasti melalui kompetisi sehat juga memiliki  peran penting.

Upaya pembinaan PNS yang sekarang mengarah pada carier service and merit system merupakan upaya yang tepat, sehingga jenjang karir tidak lagi ditentukan secara urut kacang dan like and dislike, tetapi betul-betul karena prestasi kerja dan kompeten di bidangnya.Untuk meningkatkan kinerja birokrasi diperlukan paradigma baru yang sesuai tuntutan keberhasilan pelayanan masyarakat. Birokrasi tidak lagi dikonotasikan sebagai cara kerja rutin, kaku dalam penerapan aturan, cenderung menunda pekerjaan, enggan memikul tanggung jawab, penolakan terhadap eksperimen dan inovasi serta berbagai penilaian negatif lainnya. Pandangan-pandangan menyimpang  seperti "kalau dapat dipercepat mengapa diperlambat ?" dan "kalau dapat dipermudah mengapa harus dipersulit ?" yang selama ini terjadi perlu segera diubah.

Sebagian besar birokrasi Indonesia belum memiliki perilaku administrasi negara yang benar. Baru sebagian kecil aparatur birokrasi yang mengerti tujuan-tujuan negara atau tujuan organisasi. Kalaupun mengetahui, belum tentu  kegiatan dalam pelaksanaan tugasnya, diorientasikan kepada pencapaian tujuan organisasi atau tujuan negara yang telah ditetapkan. Masih banyak pegawai negeri yang bekerja sekedarnya, tanpa mempunyai motivasi yang memadai untuk mewujudkan tercapainya sasaran atau tujuan organisasi yang telah ditentukan. Perilaku birokrasi pemerintah yang cenderung menjadi penguasa ,dan bukan sebagai pelayan dan abdi masyarakat, adalah contoh yang nyata dari sikap dan perilaku pegawai negeri kita.

Untuk mewujudkan tercapainya tujuan nasional, maka orientasi pegawai negeri harus diubah  termasuk peningkatan kapasitas dan kinerjanya. Proses perubahan dan peningkatan tersebut memerlukan waktu yang cukup lama, karena sebagiannya berkaitan dengan faktor sosial dan budaya masyarakat, di samping dengan faktor ekonomi , bahkan  politik. Tjokroamidjojo (1995 :  9-10) mengemukakan bahwa  reformasi birokrasi di Indonesia semestinya diarahkan kepada dua aspek berikut.
Pertama, secara internal reformasi birokrasi hendaknya diarahkan pada usaha memantapkan pembangunan nilai-nilai birokrasi modern. Seperti tindakan organisasi yang rasional, efisien, legal, pasti dan terukur, serta sikap pegawai yang disiplin, tekun, teliti, cermat, bersemangat dan berorientasi pada prestasi. Guna mencabut nilai-nilai tradisional, feodal, patrimonial dan aristokratik.  Tindakan atau keputusan organisasi yang bersifat personal, lisan, tak pasti, tak terukur, serta sikap pegawai  yang tak disiplin, malas dan minta dilayani. Budaya malu harus diganti dengan budaya bersalah, hal-hal ritual yang terwujud secara ekstrim sebagai theatrical state hendaklah dikurangi, ke arah hal-hal yang substansial.

Kedua, secara eksternal reformasi birokrasi harus diarahkan pada usaha untuk menjamin berlangsungnya demokrasi. Serta  perumusan kebijakan publik dalam suatu masyarakat industri, teknologi dan informasi. Fungsi birokrasi sebagai pangreh pradja (abdi negara yang mengatur masyarakat, memaksa dan wajib ditaati), hendaknya diganti menjadi sebagai pamong pradja (abdi masyarakat yang melayani kebutuhan publik bersama-sama dengan publik itu sendiri). Hubungan pemerintah-masyarakat yang patron-klien hendaknya diganti dengan hubungan yang sederajat dalam suatu civil society.

Dalam  rangka perubahan di atas,  pengembangan kemampuan atau pembentukan tingkah laku dari seorang pegawai perlu mendapat perhatian. Lingkungan yang cukup dominan adalah lingkungan kerja. Di lingkungan kerja ini peran pimpinan akan sangat besar pengaruhnya terhadap pola tingkah laku para bawahannya.

Seperti  pepatah mengatakan bahwa  “ buah tidak akan jatuh dari pohonnya “ atau  “like father like son”. Semua pepatah itu  menggambarkan betapa faktor didikan atau pola asuh pimpinan  dalam rangka pemotivasian itu,  melekat pada setiap anak buahnya dalam berperilaku kerja.

Selain berperan sebagai tokoh panutan, pimpinan terkadang berperan sebagai “orang tua”. Di sini pimpinan cenderung memaksakan pandangan hidupnya kepada para bawahan. Dengan demikian bawahan yang menerima  didikan seperti ini, akan sulit untuk memahami orang lain.  Doktrin yang diterimanya akan  dipegang teguh tanpa memiliki fleksibilitas tingkah laku,  sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.

Kerjasama tim membutuhkan orang-orang yang siap menerima dan memahami kepribadian orang lain, termasuk di dalamnya pola tingkah laku kerja  masing-masing orang. Kondisi suatu   organisasi di mana ada banyak pimpinan yang diidolakan dan masing-masing anak buah berpegang pada  didikan yang diterimanya,  akan tercipta beberapa kubu yang pada akhirnya sangat rentan  konflik.

Banyak pertanyaan yang  muncul  dalam organisasi antara lain pertanyaan  apa yang membuat seseorang termotivasi untuk bekerja keras sementara orang lain melakukan sesedikit mungkin;   Bagaimana  Pimpinan dapat    mempengaruhi kinerja  para bawahan  dan lain sebagainya.

Pertanyaan yang menyangkut perilaku  pegawai  hanya dapat  dijawab oleh individu maupun pimpinan yang memiliki  pemahaman yang baik tentang apa yang dapat memotivasi pegawai. Pemahaman yang baik mengenai motivasi dapat menjadi suatu alat yang berharga untuk memahami mengapa muncul perilaku tertentu dalam organisasi, untuk memprediksi efek dari setiap tindakan manajerial, dan mengarahkan  perilaku sasaran organisasi dan individu mencapai kepuasan dalam bekerja.

Mengutip pendapat Nadler & Lawler III (2003 : 14) ,  bahwa : selama kurun waktu 10 tahun terakhir sejumlah penelitian telah dilakukan terhadap sebuah pendekatan baru dalam memandang  motivasi. Pendekatan yang sering disebut Teori Kepuasan  Maslow (1943), Alderfer (1969), Herzberg (1959) dan McClelland (1962) , kemudian Teori Proses  Vroom (1964)  masih memerlukan  uji coba , pendalaman dan perluasan. Akan tetapi banyak ahli perilaku yang berkesimpulan bahwa teori ini paling komprehensif, valid dan berguna dalam memahami motivasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa teori ini merupakan alat yang sangat berguna untuk  memahami motivasi dalam organisasi. Secara umum , pendekatan yang digunakan  memandang bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan peta mentalnya masing-masing tentang dunia nyata. Dengan demikian, mereka dapat saja termotivasi maupun tidak termotivasi. Motivasi bergantung pada situasi di mana mereka berada dan bagaimana motivasi tersebut sesuai dengan kebutuhan mereka.

Berdasarkan hasil penelitian McClelland (1961),  Murray (1957), Miller dan Gordon W (1970) dalam Mangkunegara (2001 : 104), disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara motivasi dan pencapaian prestasi. Artinya individu yang mempunyai motivasi berprestasi yang tinggi cenderung memiliki prestasi kerja tinggi, dan sebaliknya mereka yang prestasi kerjanya rendah dimungkinkan karena motivasi berprestasinya rendah.

Selanjutnya Vroom (1964) dalam  Davis (1985 : 65 ) menjelaskan bahwa  “motivasi merupakan suatu  produk dari bagaimana sesorang  menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menuntunnya”. Dikemukakan pula oleh   Davis (1985:79) bahwa produk dari valensi dan harapan adalah motivasi yang meningkatkan dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan aksi dalam mencapai tujuannya. Aksinya dapat dilakukan pegawai dengan cara berusaha lebih besar atau mengikuti kursus pelatihan. Hasil yang akan dicapai secara primer adalah promosi jabatan, dan gaji lebih tinggi. Hasil sekundernya, antara lain status menjadi lebih tinggi, pengenalan kembali, keputusan pembelian produk, keputusan-keputusan produk, dan pelayanan keinginan keluarga. Dengan demikian, lebih besar dorongan pengawai dalam mencapai kepuasan.

Kemudian  Davis (1985 : 96) mengemukakan  bahwa “job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with employees view their work”. Berdasarkan pendapat  Davis di atas, kepuasan kerja adalah suatu perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaaannya maupun kondisi dirinya.  Pegawai akan merasa puas dalam bekerja apabila aspek-aspek pekerjaan dan aspek-aspek dirinya menyokong dan sebaliknya , jika  aspek-aspek  tersebut menyokong, pegawai akan merasa puas.  Davis (1985 : 99)  mengemukakan bahwa “ job satisfaction is related to a number of major employee variables, such as turnover, absences, age, occupation, and size of the organization in which an employee works”.