Latar Belakang : Konsep Good Governance dan Perencanaan Partisipatif


Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini. (ibid, 20) Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. 

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.

Kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 merupakan strategi baru yang membawa harapan dalam memasuki era reformasi, globalisasi serta perdagangan bebas. Hal-hal pokok yang menjiwai UU ini adalah demokratisasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Harapan tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.

Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam menentukan nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap tidak mengelak tanggung jawab (passing the buck) sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatutan dalam pemerintahan (good governance).

Konsep good governance sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini banyak dibicarakan dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin tidak efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Jadi ada tekanan untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran pemerintahan dalam hubungannya dengan masyarakat dan sektor swasta.

Sebagai suatu alternatif pengelolaan pemerintahan, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan di semua level/tingkat dalam negara, yakni pemerintah, swasta dan civil society dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam konteks ini, United Nations Development Programme (LAN, 2000 ; 5) mengemukakan bahwa pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Pada tataran ini, perlu adanya keseimbangan hubungan yang sehat antara aktor (domain), sehingga tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam good governance yang mempunyai kontrol yang absolut.
   
Melalui paradigma good governance sebagai alternatif penyelenggaraan pemerintahan, potensi masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good governance tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip  demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.

Ketika ada keinginan untuk melakukan re-definisi terhadap pola penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi selama ini dan pada saat yang bersamaan pula kebijakan otonomi daerah digulirkan, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah dengan demikian, pembangunan akan lebih dekat dengan masyarakat atau dengan kata lain pemerintah, melalui kebijakan-kebijakannya akan lebih berpihak kepada masyarakat dan dunia usaha, disamping seberapa besar akses yang dimiliki oleh para stakeholder untuk turut serta mengambil bagian dalam proses pemerintahan dan pembangunan ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perencanaan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan dunia usaha menjadi salah satu syarat untuk mengembangkan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), sebab perencanaan merupakan proses awal, sebelum langkah-langkah yang bakal mempengaruhi kehidupan masyarakat berjalan. Asumsi ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika dalam perencanaan telah dengan sengaja mengabaikan suara rakyat, maka dengan sendirinya langkah-langkah yang akan diciptakan bisa mengancam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, jika perencanaan disusun dengan melibatkan masyarakat, maka besar kemungkinan akan mendekatkan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip dan tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni pengembangan kehidupan demokrasi, pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran serta masyarakat.