Landasan Teori : Definisi Pajak

Menurut  Mangkoesoebroto (1996:181)  pada umumnya penerimaan pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogratif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya.

Sebagaimana dikutip Mardiasmo (1999:1) pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rocmat Sumitro, SH.,   adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tiada mendapat jasa timbal ( kontraprestasi ) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Selanjutnya dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur :
  1. Iuran dari rakyat kepada negara. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang ( bukan barang ). 
  2. Berdasarkan undang-undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
  3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
  4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran –pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Selanjutnya agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan, maka pemungutannya menurut Mardiasmo (1999:2-3) harus memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan). Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wajib pajak. Adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi  wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan pembayaran dan megajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
  2. Pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang (Syarat Yuridis). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara maupun warga negaranya.
  3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomi). Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.
  4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansial). Sesuai dengan fungsi budgetair maka biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
  5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Dengan adanya sistem  yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Dalam kaitannya dengan pendapatan asli daerah, yang dimaksud dengan pajak adalah pajak daerah. Menurut Davey (1988:39-47) perpajakan daerah dapat  diartikan sebagai :
  1. pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;
  2. pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
  3. pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah;
  4. pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh Pemerintah Pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan ( opsen ) oleh  Pemerintah Daerah.
Kaho (1997:129-130) menyimpulkan bahwa pajak Daerah adalah pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah untuk dipungut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran Daerah sebagai badan hukum publik. Selanjutnya  ciri-ciri yang menyertai pajak Daerah dapat diikhtisarkan sebagai berikut.
a.    Pajak Daerah berasal dari pajak Negara yang diserahkan kepada Daerah sebagai pajak Daerah;
b.    Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang;
c.    Pajak Daerah dipungut oleh Daerah berdasarkan kekuatan undang-undang dan/atau peraturan hukum lainnya;
d.    Hasil pungutan pajak Daerah dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga Daerah atau untuk membiayai pengeluaran Daerah sebagai badan hukum publik.

Lebih lanjut Devas (1989:61-62) mengemukakan bahwa untuk menilai berbagai pajak daerah perlu dipergunakan tolok ukur  tertentu, yaitu.
1.    Hasil (Yield)
Memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitan dengan berbagai layanan yang dibiayainya;  stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar hasil itu; dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk serta perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut.
2.   Keadilan (Equity)
Dasar pengenaan pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang-wenang; pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban pajak haruslah sama benar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama; harus adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar daripada kelompok yang tidak banyak memilki sumber daya ekonomi; dan pajak harus adil dari tempat ke tempat , dalam arti, hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan besar dan sewenang-wenang dalam beban pajak dari satu daerah ke daerah yang lain.
3.   Daya Guna Ekonomi (Economic Efficiency) 
Pajak hendaknya mendorong (atau setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi;  mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung; dan memperkecil beban lebih pajak.
4.   Kemampuan melaksanakan (Ability to Implement)
Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha.
5.    Kecocokan sebagai Sumber Penerimaan Daerah (Suitability as a Local Revenue Source)
Hal ini berarti bahwa  haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak; pajak tidak mudah dihindari dengan cara memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain; pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari segi potensi ekonomi masing-masing; dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.