Kronik : Teori Hirarki Kebutuhan Maslow (Maslow’s Need Hierarchy)

Inti teori Maslow ialah bahwa kebutuhan manusia tersusun dalam suatu hirarki. Tingkat kebutuhan yang paling rendah  ialah kebutuhan fisiologis dan tingkat yang tertinggi ialah kebutuhan dan perwujudan diri (self actualization needs). Kebutuhan-kebutuhan tersebut didefinisikan sebagai berikut :
  1. Fisiologis : kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, dan bebas dari rasa sakit.
  2. Keselamatan dan keamanan (safety dan security) : kebutuhan akan kebebasan dari ancaman yakni aman dari ancaman kejadian atau lingkungan.
  3. Rasa memiliki (belongingness), sosial dan cinta : kebutuhan akan teman, afiliasi, interaksi dan cinta.
  4. Harga diri (esteems) : kebutuhan akan penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain.
  5. Perwujudan diri (self actualization) : kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan memaksimumkan penggunaan kemampuan , keahlian dan potensi.

Teori  Maslow dalam Gibson et al, (1993 :  97-99 ) mengasumsikan bahwa “orang berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih pokok (fisiologis) sebelum mengarahkan perilaku memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi (perwujudan diri)”.

Pentingnya kebutuhan akan perwujudan diri dalam motivasi telah disoroti dalam perdebatam isyu organisasi. Hal yang  penting dalam pemikiran Maslow ialah bahwa kebutuhan yang telah dipenuhi mereda daya motivasinya. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia menerima upah yang cukup untuk pekerjaannya dari organisasi tempat ia bekerja, maka uang tidak mempunyai daya motivasi lagi. Apabila seseorang memutuskan bahwa ia menerima upah yang cukup untuk pekerjaannya dari organiasi tempat ia bekerja, maka uang tidak mempunyai daya motivasi lagi.

Menurut Gibson (1993 : 97-98 ) bahwa “teori  Maslow didasarkan atas anggapan  bahwa orang mempunyai keinginan untuk berkembang dan maju”. Asumsi ini mungkin benar bagi sebagian pegawai, tetapi tidak bagi sebagian karyawan lainnya. Kebenaran teori itu masih dipersoalkan karena teori itu tidak diuji secara ilmiah oleh penemunya. Masalah ini dikemukakan dalam perdebatan  isyu organisasi. Maslow hanya menerangkan bahwa : ….orang dewasa telah memenuhi 85 % dari kebutuhan fisiologisnya, 70 % dari kebutuhan keselamatan dan keamanan, 50 % kebutuhan rasa memiliki, sosial dan cinta, 40 % dari kebutuhan akan penghargaan dan 10 % dari kebutuhan akan perwujudan diri. Seperti dikemukakan dalam perdebatan isyu organisasi, para pengkritik yakin bahwa pemikiran tentang ukuran pemuasan, seperti itu tidak masuk akal jika kita bebicara tentang pemuasan kebutuhan buruh kasar. Para pekerja  ini hanya berusaha agar tetap hidup, selanjutnya kebutuhan yang belum dipenuhi sama sekali adalah suatu potensi yang berbahaya bagi para manajer. Kebutuhan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkan frustasi, konflik dan ketegangan mental.

Dalam suatu riset, laboratorium seorang ahli teknik yang terampil tidak diberi tugas proyek yang menantang, melainkan diberi tugas administrasi, sehingga merasa dihalangi untuk memuaskan kebutuhan perwujudan diri. Rintangan semacam ini mungkin dapat menghasilkan prestasi yang tidak diharapkan. Orang sering menanggulangi rintangan pencapaian tujuan dengan menggunakan mekanisme pertahanan ego (ego  defense mechanism).

Sejumlah  riset telah mencoba menguji teori hirarki kebutuhan. Riset pertama yang dilaporkan yang menguji versi modifikasi  hirarki kebutuhan menurut Maslow dilakukan oleh Porter dalam Gibson (1993 : 98). Pada waktu penelitian, ia berasumsi bahwa “para manajer sudah cukup terpenuhi kebutuhan fisiologisnya, sehingga mereka menggantinya dengan kebutuhan yang lebih tinggi tingakatannya, yang disebut otonomi, yang didefinisikan sebagai  kepuasan seseorang karena mempunyai kesempatan untuk membuat keputusan secara bebas, menetapkan tujuan, dan bekerja tanpa pengawasan yang ketat”.

Masih  ada  beberapa masalah mengenai teori hirarki kebutuhan tersebut dilakukan oleh Porter dalam Gibson et al (1993 : 98) : “data dari para manajer dari dua organisasi yang berbeda hanya memberi sedikit dukungan adanya hirarki kebutuhan. Data tersebut memberi kesan hanya ada dua tingkat kebutuhan, satu adalah tingkat fisiologis dan yang lain tingkat yang mencakup kebutuhan lainnya. Bukti-bukti selanjutnya membantah gagasan tentang hirarki kebutuhan. Para peneliti menemukan bahwa apabila kebutuhan akan keamanan menurun, hal itu disertai dengan bertambahnya kebutuhan mereka akan interaksi sosial, pencapaian hasil dan perwujudan diri”

Teori  berikut  yang  menjelaskan  tentang  kebutuhan adalah Teori ERG (E = eksistention, R = relatedness, G = growth)  oleh  Alderfer (1977) dalam Gibson et al (1993 :101-103). Alderfer setuju dengan pendapat  Maslow bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan yang tersusun dalam sebuah hirarki, akan tetapi  hirarki kebutuhannya hanya meliputi tiga perangkat kebutuhan, yaitu :
(1)    eksistensi ,  adalah kebutuhan yang dipuaskan oleh faktor-faktor seperti makanan, air , udara, upah dan kondisi kerja;
(2)    relatedness (keterkaitan) , adalah kebutuhan yang dipuaskan oleh kebutuhan sosial dan hubungan antar pribadi yang bermanfaat; dan
(3)    growth (pertumbuhan),  adalah kebutuhan di mana individu merasa puas dengan membuat suatu kontribusi (sumbangan yang kreatif dan produktif).

Teori ERG dan hirarki kebutuhan Maslow berbeda dalam cara bagaimana orang melangkah melalui rangkaian  kebutuhan. Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan yang tidak terpenuhi adalah kebutuhan utama dan bahwa tingkat kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya tidak akan tergerak apabila kebutuhan utama belum dipenuhi secara wajar. Dengan demikian, seseorang maju ke atas hirarki kebutuhan setelah terpenuhi tingkat kebutuhan lebih rendah dan sebaliknya  Teori ERG Alderfer mengemukakan bahwa :
“sebagai  tambahan terhadap proses kemajuan pemuasan yang dikemukakan Maslow , juga terjadi proses pengurangan keputusasaan. Jika seseorang terus menerus terhambat dalam usahanya untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan pertumbuhan , maka kebutuhan akan keterkaitan  muncul kembali sebagai kekuatan motivasi utama yang menyebabkan individu tersebut mengarahkan kembali upayanya menuju pemenuhan kategori yang lebih rendah. Jadi hambatan tersebut mengarah pada upaya pengurangan karena menimbulkan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang lebih  rendah.”

Teori lain mengenai kebutuhan adalah teori dua faktor dari Herzberg. Hersberg dalam Gibson et al, (1993:107) mengembangkan teori kepuasan yang disebut teori dua faktor tentang motivasi. Dua faktor itu dinamakan faktor yang membuat orang merasa tidak puas dan faktor yang membuat orang merasa puas  atau faktor motivator  iklim baik atau ekstrinsik dan intrinsik bergantung pada orang yang membahas teori  tersebut. Penelitian  yang menguji teori ini melibatkan sekelompok orang yang terdiri atas 200 akuntan dan insinyur. Herzberg menggunakan jawaban wawancara atas pertanyaan-pertanyaan seperti “ dapatkah anda menerapkan secara rinci, bila anda merasa sangat baik tentang pekerjaan anda ?” dan “Dapatkah anda menerapkan secara rinci, bila anda merasa sangat jelek tentang pekerjaan anda ?”. Jarang sekali pengalaman yang sama dikategorikan sebagai baik dan buruk. Prosedur sistematis ini menghasilkan dua macam pengalaman yang berbeda yakni yang memuaskan dan yang  tidak memuaskan. Penelitian awal Herzberg dalam Gibson (1993 : 110) menghasilkan dua kesimpulan khusus mengenai teori tersebut sebagai berikut ini. Pertama, ada serangkaian kondisi ekstrinsik, keadaan pekerjaan (job context)   yang menghasilkan ketidakpuasan di kalangan karyawan jika kondisi tersebut tidak ada. Jika kondisi tersebut ada, maka tidak perlu memotivasi karyawan. Kondisi tersebut adalah faktor-faktor yang membuat orang merasa tidak puas (dissatisfier) atau disebut juga  faktor iklim baik (hygiene factors),  karena faktor tersebut diperlukan untuk mempertahankan tingkat yang paling rendah yaitu  tidak adanya ketidak puasan. Faktor-faktor ini mencakup : (a) upah, (b) jaminan pekerjaan, (c) kondisi kerja , (d) status, (e) prosedur perusahaan, (f) mutu suverfisi , (g) mutu hubungan antar pribadi di antara rekan sekerja , dengan atasan dan dengan bawahan.

Kedua, serangkaian kondisi intrinsik, isi pekerjaan (job content) yang apabila ada dalam pekerjaan tersebut akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat yang dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik. Jika kondisi tersebut tidak ada, maka tidak akan timbul rasa ketidakpuasan yang berlebihan. Faktor-faktor dari serangkaian ini disebut pemuas atau motivator yang meliputi : (a) prestasi (achivement) , (b) pengakuan (recognition) , (c) tanggung jawab (responsibility) , (d) kemajuan (advance), (e) pekerjaan itu sendiri (the work it self), (f) kemungkinan berkembang ( the posibility of grow).

Model Herzberg pada dasarnya mengasumsikan bahwa kepuasan bukanlah konsep berdimensi satu. Penelitiannya menyimpulkan bahwa diperlukan dua kontinum untuk menafsirkan kepuasan kerja secara tepat.

Teori  kebutuhan lainnya dikemukakan oleh McClelland. McClelland dalam Gibson et al (1993 : 111-114) mengajukan teori motivasi yang berkaitan erat dengan konsep belajar. “……Tiga dari kebutuhan yang dipelajari ini adalah kebutuhan berprestasi (need for achivement), kebutuhan berafiliasi (need for affiliation), dan kebutuhan berkuasa (need for power)”. McClelland dalam Gibson et al  (1993 : 111-114) mengemukakan bahwa : “jika kebutuhan seseorang sangat kuat, dampaknya ialah motivasi orang tersebut untuk menggunakan perilaku yang mengarah ke pemuasan kebutuhannya. Sebagai contoh, seseorang yang mempunyai kebutuhan berprestasi yang tinggi terdorong untuk menetapkan tujuan yang penuh tantangan, dan bekerja keras untuk mencapai tujuan tersebut serta menggunakan keahlian dan kemampuan untuk mencapainya”.

Salah satu ciri penting dari kebutuhan berprestasi McClelland ialah bahwa kebutuhan itu dapat dipelajari. McClelland dalam Gibson et al (1993 : 115), menyebutkan beberapa contoh sebagai berikut : “Individu yang rendah kebutuhannya berprestasi harus dilatih atau mengikuti pengalaman belajar yang dapat meingkatkan kebutuhan berprestasinya. Ia mengemukakan bahwa bangsa yang terbelakang pertumbuhan ekonominya dapat ditingkatkan secara dramatis dengan merangsang rakyatnya supaya memiliki kebutuhan berprestasi yang tinggi”.                      

Masing–masing teori dari keempat teori kepuasan berusaha menjelaskan perilaku dari sudut pandang yang agak berbeda. Tidak ada satupun dari teori itu telah diterima sebagai dasar tunggal untuk menjelaskan motivasi. Walaupun beberapa kritik bersifat skeptis, nampak bahwa orang mempunyai kebutuhan yang berasal dari pembawaan dan kebutuhan yang dapat dipelajari dari berbagai faktor kerja menghasilkan suatu tingkat kepuasan jadi masing-masing teori tersebut menyediakan pemahaman bagi para manajer tentang perilaku.