Landasan Teori : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah


Cepat Mendatangkan Duit Berlimpah
Dapatkan Info Lengkapnya dBC Network.
Sangat cocok utk Semua Kalangan
---------------------------------------------------------------------------------

Proses dan pengalokasian anggaran haruslah berorientasi kepada kepentingan pelayanan publik. Hal ini berarti bahwa proses penyusunan anggaran hendaknya melibatkan banyak pihak dimulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Berdasarkan konsepsinya, pelaksanaan otonomi daerah pada masa lalu dipahami sebagai suatu kewajiban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam menjalankan pembangunan nasional.

Oleh karena itu sebagai konsekuensinya pemerintah daerah lebih mematuhi arahan dan instruksi pemerintah pusat daripada memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah. Sementara itu penyelenggaraan otonomi daerah pada masa sekarang lebih dipahami sebagai hak yaitu hak masyarakat daerah untuk mengatur dan mengelola kepentingannya sendiri serta mengembangkan potensi dan sumber daya daerah. Penyelenggaraan otonomi dimaksudkan agar dapat mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, serta mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pengeluaran anggaran (budget expenditure) dibedakan atas belanja rutin (recurrent expenditure) dan belanja modal (capital expenditure). Belanja rutin dapat diartikan sebagai pengeluaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya terus menerus, sedangkan belanja pembangunan merupakan pengeluaran yang sifatnya tidak terus menerus dan ada batasnya. Keberhasilan pengelolaan keuangan daerah sangat ditentukan oleh proses awal perencanaannya. Semakin baik perencanaannya akan memberikan dampak semakin baik pula implementasinya di lapangan.

Keterlibatan berbagai lembaga/instansi di dalam proses perencanaan memerlukan kesatuan visi, misi dan tujuan dari setiap lembaga tersebut. Dalam menentukan alokasi dana anggaran untuk setiap kegiatan biasanya digunakan metode incrementalism yang didasarkan atas perubahan satu atau lebih variabel yang bersifat umum, seperti tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Pendekatan lain yang umumnya dipergunakan adalah line-item budget yaitu proses penyusunan anggaran yang hanya mendasarkan pada besarnya realisasi anggaran tahun sebelumnya, konsekuensinya tidak ada perubahan mendasar atas anggaran baru. Hal ini seringkali bertentangan dengan kebutuhan riil dan kepentingan masyarakat. Dengan basis seperti ini, APBD masih terlalu berat menahan arahan, batasan, serta orientasi kepentingan pemerintahan atasan. Hal tersebut menunjukkan terlalu dominannya peranan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah.

Untuk mengatur dan mengalokasikan sumber daya yang ada pemerintah daerah haruslah mengalokasikan anggaran sesuai dengan tujuannya dan bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu dalam penyusunan anggaran harus disesuaikan dengan tujuan yang ditetapkan.

Dalam melaksanakan tugasnya pemerintah daerah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu dibutuhkan anggaran untuk pembiayaan dalam upaya mendukung pelaksanaan tugas dan fungsinya di daerah. Untuk pembiayaan tersebut pemerintah daerah memiliki beberapa sumber penerimaan yang dituangkan dalam anggaran. Anggaran yang disusun tersebut akan memberikan cermin politik pengeluaran pemerintah yang rasional baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

Teknik Pengumpulan Data & Teknik Analisis Data


Cepat Mendatangkan Duit Berlimpah
Dapatkan Info Lengkapnya dBC Network.
Sangat cocok utk Semua Kalangan
---------------------------------------------------------------------------

Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ada yang menggunakan teknik penelitian kancah/lapangan (field research), yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dan informasi secara langsung pada lokasi dan obyek penelitian. Menurut Hadi (1984:11) penelitian kancah adalah “Suatu penelitian yang dilakukan di kancah/lapangan, terjadinya gejala-gejala dengan mengumpulkan data dan informasi secara langsung pada lokasi dan obyek penelitian”

Beberapa sumber data yang diambil untuk dilakukan analisis adalah sebagai berikut :

  1. Dokumentasi, yaitu memanfaatkan data-data sekunder dilapangan. 
  2. Wawancara mendalam (in depth interview), untuk mendapatkan data kualitatif serta beberapa keterangan yang tidak diperoleh dari data sekunder. Wawancara mendalam ini dilakukan terhadap nara sumber (key informan) yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai tentang suatu persoalan atau fenomena yang sedang diamati.
  3. Pengamatan atau observasi langsung terhadap obyek penelitian untuk menggali aspek-aspek yang relevan dan penting sebagai dasar analisis dan interpretasi yang akan dilakukan. Pengamatan di lapangan ini bertujuan untuk menggali kemungkinan adanya informasi yang terlewatkan dari pedoman wawancara yang dilakukan dan berupaya memperkaya dimensi pengamatan dari fenomena penelitian yang ada.

Teknik Analisis Data
Analisa data, menurut Patton (dalam Moleong, 1994:103) adalah Proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian  dasar. Ada dua teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :

  1. Teknik deskriptif analisis untuk mengungkapkan atau menggambarkan mengenai keadaan atau fakta yang akurat dari obyek yang diamati, yang disesuaikan dengan teori atau dalil yang berlaku dan diakui. 
  2. Teknik sintesis preskriptif dengan tujuan untuk membangun kembali hasil  analisis kritis yang dilakukan yang dapat disintesakan kedalam variabel penelitian, sehingga diperoleh pengertian yang mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi itu.

Landasan Teori : Desentralisasi (2)

 Desentralisasi tidak bisa dipisahkan dengan masalah sentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik, karena pada dasarnya berkenaan dengan “delegation of authority and responsibility” yang dapat diukur dari sejauh mana unit-unit bawahan memiliki wewenang dan tanggung jawab di dalam proses pengambilan keputusan (Miewald dalam Pamudji; 1984, 2). Pide (1997, 34) mengemukakan bahwa desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi/lembaga/ pejabat yang lebih tinggi kepada institusi/lembaga/fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi/ dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut.

Desentralisasi dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia, yang secara utuh dan bulat dilaksanakan pada daerah kabupaten dan kota. Pengertian ini sesuai dengan hakekat dari desentralisasi yakni “delegation of authority and responsibility”. Sementara itu, Bryan dan White (1989, 203) mengartikan desentralisasi sebagai pemindahan kewenangan dalam urusan kemasyarakatan dari pejabat-pejabat politik ke badan-badan yang relatif otonom atau pemindahan fungsi administratif ke hierarki yang lebih bawah.

Beberapa ilmuwan (pakar) mengemukakan alasan pemilihan desentralisasi sebagai strategi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Menurut Barkley (1978 : 2), desentralisasi dipandang dapat mendorong pengambilan keputusan yang lebih cepat dan lebih luas atau dengan kata lain memberi dukungan yang lebih konstruktif di dalam proses pengambilan keputusan.

Sedangkan Mc. Gregor (1966 : 3) menegaskan, jika kita dapat menekan pengambilan keputusan dalam organisasi ke tingkat yang lebih rendah, maka kita akan cenderung memperoleh keputusan-keputusan yang lebih baik. Desentralisasi bukan saja akan dapat memperbaiki kualitas dari keputusan-keputusan yang diambil, tetapi juga akan dapat memperbaiki kualitas daripada pengambilan keputusan, karena orang cenderung untuk tumbuh dan berkembang secara lebih cepat manakala mereka dimotivasi secara efektif dan ini bisa terjadi jika kewenangan pengambilan keputusan didesentralisasikan. Hal ini mensyaratkan penerapan azas desentralisasi yang berarti pengambilan keputusan pada tingkat bawah organisasi dipandang sebagai cara terbaik untuk melahirkan keputusan-keputusan yang lebih sesuai dengan kepentingan organisasi besar.

Rondinelli (1990 : 69) menggambarkan secara jelas, mengapa desentralisasi perlu dipilih dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan, karena melalui desentralisasi akan dapat meningkatkan efektivitas dalam membuat kebijaksanaan nasional, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada para pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek-proyek pembangunan, agar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat.

Desentralisasi akan dapat memungkinkan para pejabat setempat untuk lebih dapat mengatasi masalah-masalah yang selama ini dianggap kurang baik dan ciri-ciri prosedur yang sangat birokratis di dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang sering kali dialami oleh negara berkembang, sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi kekuasaan, otoritas dan sumber-sumber yang sangat berlebihan di tingkat pusat.

Jika dilihat dari fungsi-fungsi pembangunan yang didesentralisasikan para pejabat, staf pada tingkat lokal atau unit-unit administratif yang lebih rendah, akan dapat meningkatkan pemahaman dan sensivitas (daya tanggap) mereka terhadap masalah dan kebutuhan setempat, karena mereka akan bekerja pada tingkat dimana semua permasalahan tersebut terasa paling menekan dan terlihat paling jelas.

Sedangkan bila dilihat dari sisi hubungan kerja, desentralisasi dipandang dapat lebih mendekatkan, mengakrabkan dan mempererat hubungan antara masyarakat dengan para pejabat, staf pelaksana, sehingga hal ini akan memungkinkan mereka mendapatkan informasi yang lebih baik, yang diperlukan dalam proses perumusan rencana pembangunan dari pada apa yang mereka peroleh bila hanya menunggu di kantor pusat saja.

Desentralisasi juga dapat meningkatkan dukungan politis dan administratif bagi kebijaksanaan pembangunan nasional pada tingkat lokal. Dalam konteks ini, dengan diketahuinya rencana-rencana pembangunan tingkat nasional pada tingkat lokal, maka disamping akan dapat mendapatkan dukungan politis dan administratif pada tingkat lokal, juga akan mendorong kelompok-kelompok sosial setempat untuk meningkatkan kemampuan partisipasinya dalam merencanakan dan mengambil keputusan yang mereka buat.

Selama ini yang terjadi rencana-rencana pembangunan tingkat nasional acapkali tidak diketahui oleh penduduk setempat atau lebih bersifat top down, sehingga seringkali rencana tersebut tidak dapat diimplementasikan dengan baik karena tidak mendapat dukungan dari masyarakat atau juga tidak sesuai dengan kondisi setempat. Yang lebih penting lagi, desentralisasi ini juga dianggap dapat meningkatkan efisiensi pemerintah pusat, dengan cara mengurangi beban kerja rutin dan fungsi-fungsi manual yang dapat secara efektif diselesaikan oleh para staf pelaksana lapangan atau para pimpinan unit-unit administratif yang lebih rendah.

Pada kesempatan lain, Rondinelli (Widodo; 2001, 43) mengemukakan beberapa keunggulan desentralisasi, diantaranya :
  1. Desentralisasi merupakan alat untuk mengurangi kelemahan perencanaan terpusat. Dengan delegasi kepada aparat di tingkat lokal, problema sentralisasi dapat lebih mudah dipecahkan.
  2. Desentralisasi merupakan alat yang bisa mengurangi gejala red tape. 
  3. Dengan desentralisasi maka kepekaan dan pengetahuan tentang kebutuhan masyarakat lokal dapat ditingkatkan.
  4. Dengan desentralisasi lebih memungkinkan berbagai kelompok kepentingan dan kelompok politik terwakili dalam proses pengambilan keputusan, sehingga mereka mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan pemerintah.
  5. Struktur pemerintahan yang yang desentralistis sangat diperlukan untuk melembagakan partisipasi warga negara dalam perencanaan dan pengelolaan pembangunan.
  6. Dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam masyarakat dan pemerintahan, pengambilan keputusan yang sentralistis menjadi tidak efisien, mahal dan sulit dilaksanakan.

Tujuan desentralisasi menurut Maryanov (Widodo; 2001,45) adalah sebagai “it is a method for spreading government to all parts of the country; it is a method for accomodating regional differences, regional aspiration and regional demmands within to confines of the unitary state”.

Sementara itu, Sady (Tjokroamidjojo; 1987, 82), mengemukakan tujuan desentralisasi adalah untuk
  1. Mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal.
  2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat merasakan keuntungan dari pada kontribusi kegiatan mereka itu.
  3. Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi pada tingkat lokal sehingga dapat lebih realistis.
  4. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (self-government).
  5. Pembinaan kesatuan nasional.     

Landasan Teori : Good Governance

Cepat Mendatangkan Duit Berlimpah
Dapatkan Info Lengkapnya dBC Network.
Sangat cocok utk Semua Kalangan
------------------------------------------------------------------------------

Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat (Thoha; 2000, 12).

Sedangkan United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, sedangkan administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing (LAN, 2000 : 5).

Konsep good governance sejak tahun 1991 dipromosikan oleh beberapa agensi multilateral dan bilateral seperti JICA, OECD, GTZ (Keban ; 2000, 52). Mereka memberikan tekanan pada beberapa indikator, antara lain : (1) demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah; (2) hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku; (3) partisipasi rakyat; (4) efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik; (5) pengurangan anggaran militer; dan (6) tata ekonomi yang berorientasi pasar. OECD dan World Bank (LAN; 2000, 6) mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Sedangkan UNDP dalam workshop yang diselenggarakannya (Widodo; 2001, 24) menyimpulkan “that good governance system are participatory, implying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making”. Namun dalam perkembangan berikutnya lembaga ini (LAN; 2000, 7) memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sector swasta dan masyarakat (society).   

Lembaga Administrasi Negara (2000, 6) medefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif  dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, good governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Sementara itu, United Nations (Keban; 2000, 52) merumuskan indikator good governance yang meliputi : (1) kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik efektif dan responsif; (2) akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam pengambilan keputusan; (3) partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ; (4) perhatian terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pasar.

Landasan Teori : Kebijakan Publik (2)

Cepat Mendatangkan Duit Berlimpah
Dapatkan Info Lengkapnya dBC Network.
Sangat cocok utk Semua Kalangan
------------------------------------------------------------------------------------

Dalam literatur ilmu politik dan administrasi negara, terdapat banyak definisi atau batasan tentang kebijakan publik. Namun demikian, untuk memudahkan analisis, akan dipergunakan beberapa batasan pengertian yang sesuai serta berhubungan dengan tema penelitian ini. Thomas R. Dye  (1992, 2) menjelaskan bahwa “Public policy is whatever governments choose to or not to do” (Kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan). 

Richard Rose (Winarno, 1989 ; 3) menyarankan bahwa kebijakan dipahami sebagai “serangkaian kegiatan-kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai keputusan tersendiri.” Sedangkan Carl Friedrich (ibid, 3) mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu guna mengatasi hambatan-hambatan serta memanfaatkan kesempatan-kesempatan dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud.

Kebijakan publik sebagai suatu rangkaian kegiatan atau langkah tindakan, didalamnya terdapat proses yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu. Dunn (2000, 22) membagi proses pembuatan kebijakan dalam 5 (lima) tahapan, yakni :
•    Penyusunan agenda kebijakan.
•    Formulasi kebijakan.
•    Adopsi kebijakan.
•    Implementasi kebijakan.
•    Penilaian kebijakan.

Lebih jauh tentang proses pembuatan kebijakan negara (publik), Chief J.O. Udoji (Wahab ; 2001, 17) merumuskan bahwa pembuatan kebijakan negara sebagai “The whole process of articulating and defining problems, formulating possible solutions into political demands, channelling those demands into the political systems, seeking sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation and implementation, monitoring and review (feedback)”. Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktivitas yang terus berlangsung yang terjadi sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan agenda) atau tahap ditengah dalam aktivitas yang tidak linear.

Perencanaan sebagai suatu kebijakan merupakan proses kegiatan usaha yang dilakukan secara terus menerus dan komprehensif serta memiliki tahapan yang sistematis, sebagaimana dikemukakan oleh Tjokroamidjojo (1992, 57) bahwa tahap-tahap dalam suatu proses perencanaan terdiri dari :

Pertama, Penyusunan rencana yang meliputi tinjauan keadaan, baik sebelum memulai suatu rencana (review before take off) maupun tinjauan terhadap pelaksanaan rencana sebelumnya (review of performance), perkiraan keadaan masa yang akan dilalui rencana (forecasting), penetapan tujuan rencana (plan objectives) dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana, identifikasi kebijakan atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan dalam rencana serta pengambilan keputusan sebagai persetujuan atas suatu rencana.    

Kedua, Penyusunan program rencana yang dilakukan melalui perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan atau sasaran dalam jangka waktu tertentu, suatu perincian jadwal kegiatan, jumlah dan jadwal pembiayaan serta penentuan lembaga atau kerja sama antar lembaga mana yang akan melakukan program-program pembangunan. Tahap ini seringkali perlu dibantu dengan penyusunan suatu tahap flow-chart, operation-plan atau network-plan.

Keempat, Pelaksanaan rencana (implementasi) yang terdiri atas eksplorasi, konstruksi dan operasi. Dalam tahap ini, kebijakan-kebijakan perlu diikuti implikasi pelaksanaannya, bahkan secara terus menerus memerlukan penyesuaian-penyesuaian.

Kelima, Tahap selanjutnya adalah pengawasan atas pelaksanaan rencana yang bertujuan untuk mengusahakan supaya pelaksanaan rencana berjalan sesuai dengan rencana, apabila terdapat penyimpangan maka perlu diketahui seberapa jauh penyimpangan tersebut dan apa sebabnya serta dilakukannya tindakan korektif terhadap adanya penyimpangan. Untuk maksud tersebu, maka diperlukan sustu system monitoring dengan mengusahakan pelaporan dan feedback yang baik daripada pelaksana rencana.

Keenam, Evaluasi untuk membantu kegiatan pengawasan, yang dilakukan melalui suatu tinjauan yang berjalan secara terus menerus (concurrent review). Disamping itu, evaluasi juga dapat dilakukan sebagai pendukung tahap penyusunan rencana yakni evaluasi sebelum rencana dimulai dan evaluasi tentang pelaksanaan rencana sebelumnya. Dari hasil evaluasi ini dapat dilakukan perbaikan terhadap perencanaan selanjutnya atau penyesuaian yang diperlukan dalam (pelaksanaan) perencanaan itu sendiri.  

Dari rumusan pengertian serta hal-hal pokok yang merupakan prinsip-prinsip perencanaan yang dikemukakan diatas, kata-kata tujuan mengandung pengertian bahwa perencanaan berhubungan erat dengan perumusan kebijakan (policy formulation), sebagaimana dikemukakan oleh United Nations dalam buku Planning for Economic Development (ibid, 12) bahwa “A plan provide guidelines for policy through the translation of these general objectives into physical targets and specific tools for particular economic and social activities”.

Latar Belakang : Konsep Good Governance dan Perencanaan Partisipatif


Beberapa pakar dan teoritisi administrasi berpendapat bahwa peranan pemerintah harus terfokuskan pada upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat selain pemberdayaan dan pembangunan. Tugas pokok pemerintahan modern menurut Rasyid (1997, 11) pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat, dengan kata lain, ia tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi tercapainya tujuan bersama.

Seiring dengan dinamika dan kompleksnya tuntutan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah tidak lagi dapat mengklaim dirinya sebagai satu-satunya sumber kekuasaan yang absah. Paradigma pemerintah sebagai a governing process ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus yang berlangsung dalam ruang publik. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya disini. (ibid, 20) Dalam konteks ini, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah, tetapi dituntut adanya keterlibatan seluruh elemen, baik intern birokrasi, maupun masyarakat dan pihak swasta. Pemikiran tersebut hanya akan terwujud manakala pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, atau dengan kata lain terjadi desentralisasi dan otonomi daerah. 

Dampak reformasi yang terjadi di Indonesia, ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem pemerintahan yang bercorak monolitik sentralistik di pemerintah pusat ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik (lokal democrasi) di pemerintah daerah (Utomo, 2002). Pemerintahan semacam ini memberikan keleluasaan kepada Daerah dalam wujud “Otonomi Daerah” yang luas dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri atas dasar pemerataan dan keadilan, serta sesuai dengan kondisi, potensi dan keragaman daerah.

Otonomi Daerah sebagai wujud pelaksanaan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang digulirkan oleh Pemerintah sebagai jawaban atas tuntutan masyarakat, pada hakekatnya merupakan penerapan konsep teori areal division of power yang membagi kekuasaan negara secara vertikal. Dalam konteks ini, kekuasaan akan terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan pemerintah daerah di lain pihak, yang secara legal konstitusional tetap dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia. Kondisi ini membawa implikasi terhadap perubahan paradigma pembangunan yang dewasa ini diwarnai dengan isyarat globalisasi. Konsekuensinya, berbagai kebijakan publik dalam kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik menjadi bagian dari dinamika yang harus direspons dalam kerangka proses demokratisasi, pemberdayaan masyarakat dan kemandirian lokal.

Kebijakan desentralisasi yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 merupakan strategi baru yang membawa harapan dalam memasuki era reformasi, globalisasi serta perdagangan bebas. Hal-hal pokok yang menjiwai UU ini adalah demokratisasi, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat serta terpeliharanya nilai-nilai keanekaragaman daerah. Harapan tersebut muncul oleh karena kebijakan ini dipandang sebagai jalan baru untuk menciptakan suatu tatanan yang lebih baik dalam sebuah skema good governance dengan segala prinsip dasarnya.

Melalui pemerintahan yang desentralistik, akan terbuka wadah demokrasi bagi masyarakat lokal untuk berperan serta dalam menentukan nasibnya, serta berorientasi kepada kepentingan rakyat melalui pemerintahan daerah yang terpercaya, terbuka dan jujur serta bersikap tidak mengelak tanggung jawab (passing the buck) sebagai prasyarat terwujudnya pemerintahan yang akuntabel dan mampu memenuhi asas-asas kepatutan dalam pemerintahan (good governance).

Konsep good governance sendiri dalam beberapa tahun belakangan ini banyak dibicarakan dalam berbagai konteks dan menjadi issue yang paling mengemuka dalam pengelolaan pemerintahan dan pelayanan kepada publik. Tuntutan ini sebagai akibat dari pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan dirasakan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah atau dengan kata lain semakin tidak efektifnya pemerintahan disamping semakin berkembangnya kualitas demokrasi, hak asasi manusia dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Jadi ada tekanan untuk mendefinisikan ulang terhadap peran-peran pemerintahan dalam hubungannya dengan masyarakat dan sektor swasta.

Sebagai suatu alternatif pengelolaan pemerintahan, konsep good governance berakar pada suatu gagasan adanya saling ketergantungan (interdependence) dan interaksi dari bermacam-macam aktor kelembagaan di semua level/tingkat dalam negara, yakni pemerintah, swasta dan civil society dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Dalam konteks ini, United Nations Development Programme (LAN, 2000 ; 5) mengemukakan bahwa pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik. Pada tataran ini, perlu adanya keseimbangan hubungan yang sehat antara aktor (domain), sehingga tidak boleh ada aktor kelembagaan di dalam good governance yang mempunyai kontrol yang absolut.
   
Melalui paradigma good governance sebagai alternatif penyelenggaraan pemerintahan, potensi masing-masing stakeholders dapat diaktualisasikan dalam mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi Daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga perlu dijamin perkembangan kreativitas dan aktivitas yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, demokratisasi serta kemandirian Daerah. Seiring dengan adanya keinginan untuk mewujudkan paradigma good governance tersebut, maka sistem penyelenggaraan pemerintah daerah di era otonomi saat ini, hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip  demokrasi dan pemberdayaan, pelayanan, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi, kemitraan, desentralisasi, konsistensi kebijaksanaan dan kepastian hukum.

Ketika ada keinginan untuk melakukan re-definisi terhadap pola penyelenggaraan pemerintahan yang terjadi selama ini dan pada saat yang bersamaan pula kebijakan otonomi daerah digulirkan, pertanyaan yang segera muncul adalah apakah dengan demikian, pembangunan akan lebih dekat dengan masyarakat atau dengan kata lain pemerintah, melalui kebijakan-kebijakannya akan lebih berpihak kepada masyarakat dan dunia usaha, disamping seberapa besar akses yang dimiliki oleh para stakeholder untuk turut serta mengambil bagian dalam proses pemerintahan dan pembangunan ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perencanaan sebagai bentuk partisipasi masyarakat dan dunia usaha menjadi salah satu syarat untuk mengembangkan pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance), sebab perencanaan merupakan proses awal, sebelum langkah-langkah yang bakal mempengaruhi kehidupan masyarakat berjalan. Asumsi ini didasarkan pada pemikiran bahwa jika dalam perencanaan telah dengan sengaja mengabaikan suara rakyat, maka dengan sendirinya langkah-langkah yang akan diciptakan bisa mengancam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, jika perencanaan disusun dengan melibatkan masyarakat, maka besar kemungkinan akan mendekatkan kegiatan pemerintahan dan pembangunan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini sesuai dengan prinsip dan tujuan pelaksanaan otonomi daerah yakni pengembangan kehidupan demokrasi, pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran serta masyarakat.

Landasan Teori : Konsep Motivasi


Untuk mempermudah pemahaman motivasi, dibawah  ini dikemukakan pengertian  motif, motivasi dan motivasi kerja. Abraham Sperling (1997:183) dalam Mangkunegara (2002: 93)  mengemukakan bahwa “motive is defined as a tendency to activity, started by a drive and ended by an adjustment. The adjustment is said to satisfy the motive”. Motive didefinisikan sebagai suatu kecendrungan untuk beraktivitas , dimulai dari dorongan dalam diri (drive)  dan diakhiri dengan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dikatakan  untuk memuaskan motif.

William J. Stanton (1981:101), dalam  Mangkunegara (2002: 93) mendifinisikan bahwa “A motive is a stimulated need which a goal oriented individual seeks to satisfy”. Suatu motif adalah kebutuhan yang distimulasi yang berorentasi kepada tujuan individu dalam mencapai rasa puas.

Motivasi didefinisikan oleh Fillmore H. Stanford (1969:173) Mangkunegara (2002: 93) bahwa “ Motivation  as an energizing condition of the organism that serves to direct that  organism toward the goal of a certain class”. Motivasi  sebagai suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah suatu tujuan tertentu.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa motif merupakan suatu dorongan kebutuhan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi ,agar pegawai tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai  agar  mampu mencapai tujuan dari motifnya.

Motivasi dapat pula dikatakan sebagai energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri (drive arousal). Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja, Ernest J. McCormick (1985:268) Mangkunegara (2002: 94) mengemukakan bahwa “work motivation is defined as conditions which influence the arousal, direction, and maintenance of  behaviors relevant in work settings”. Motivasi kerja didefinisikan  sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja.

Beberapa teknik memotivasi kerja pegawai antara lain sebagai berikut :
a.  Teknik pemenuhan kebutuhan pegawai. Pemenuhan kebutuhan pegawai merupakan fundamen yang mendasari perilaku kerja. Tidak mungkin dapat memotivasi kerja pegawai tanpa memperhatikan apa yang dibutuhkannya. Abraham  Maslow  mengemukakan  hirarki  kebutuhan  pegawai sebagai berikut :
1). Kebutuhan fisiologis , yaitu kebutuhan makan, minum, perlindungan fisik, bernapas, dan sexual. Kebutuhan ini merupakan kebutuhan yang paling mendasar. Dalam hubungan dengan kebutuhan ini pemimpin perlu memberikan gaji yang layak kepada pegawai.
2). Kebutuhan rasa aman, yaitu kebutuhan perlindungan dari ancaman, bahaya, dan lingkungan  kerja. Dalam hubungan dengan kebutuhan ini, pemimpin perlu memberikan tunjangan kesehatan, asuransi kecelakaan, perumahan dan dana  pensiun.
3). Kebutuhan social atau rasa memiliki, yaitu kebutuhan untuk diterima dalam kelompok unit kerja, berafiliasi, berinteraksi, serta rasa dicintai dan mencintai. Dalam hubungan dengan kebutuhan ini, pemimpin perlu menerima eksistensi atau keberadaan pegawai sebagai anggota kelompok kerja, melakukan interaksi  kerja yang baik, dan hubungan kerja yang harmonis.
4). Kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihormati, dihargai oleh orang lain. Dalam hubungan dengan kebutuhan ini, pemimpin tidak boleh sewenang-wenang memperlakukan pegawai karena mereka perlu dihormati, diberi  penghargaan terhadap prestasi kerjanya.
5). Kebutuhan aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk mengembangkan diri dan potensi, mengemukakan ide-ide, memberikan penilaian, kritik dan berprestasi. Dalam hubungannya dengan kebutuhan ini, pemimpin perlu memberikan kesempatan kepada pegawai bawahan agar mereka dapat mengaktualisaikan diri secara baik dan wajar.
b.      Teknik  Komunikasi Persuasif merupakan salah satu teknik memotivasi kerja pegawai yang dilakukan  dengan cara mempengaruhi pegawai secara ekstralogis. Teknik ini dirumuskan : “AIDDAS”  singkatan dari , A =  Attention (perhatian), I = Interest (minat), D = Desire (hasrat), D = Decision (keputusan), A = Action (Tindakan), S = Satisfaction (Kepuasan)

Prof. D. David C. McClelland, seorang ahli psikologi bangsa Amerika dari Universitas Harvard dalam teori motivasinya mengemukakan bahwa produktifitas seseorang sangat ditentukan oleh “virus mental” yang ada pada dirinya. Virus mental adalah kondisi jiwa yang mendorong seseorang untuk mampu mencapai prestasinya secara maksimal. Virus mental dimaksud terdiri dari 3 dorongan yaitu Need of achievement (kebutuhan untuk berprestasi), need of affiliation (kebutuhan untuk memperluas pergaulan), dan need of power (kebutuhan untuk menguasai sesuatu).

Berdasarkan teori McClelland tersebut sangat penting membina virus mental individu dengan cara mengembangkan potensi mereka melalui lingkungan kerja secara efektif agar terwujud produktifitas  organisasi yang berkualitas tinggi dan tercapai tujuan utama organisasi. Pada kesempatan ini membahas virus mental yang berhubungan dengan motif berprestasi.

Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau mengerjakan suatu kegiatan atau tugas  dengan sebaik-baiknya agar  mencapai prestasi dengan predikat terpuji. Hal ini sesuai dengan pendapat Jhonson (1984:101) dalam Mangkunegara (2002:103), yang mengemukakan bahwa “Achivement motive is impetus to do well relative to some standard of excellence”.

David C. McClelland (1961:112) dalam Mangkunegara (2002:103) mengemukakan 6 karaktersitik orang yang mempunyai motif berprestasi tinggi, yaitu sebagai berikut : (1). Memiliki tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi, (2). Berani mengambil dan memikul resiko, (3). Memiliki tujuan yang realistis (4). Memiliki rencana kerja yang menyeluruh dan berjuang untuk merealisasi tujuan. (5). Memanfaatkan umpan balik yang kongret dalam semua kegiatan yang dilakukan. (6). Mencari kesempatan untuk merealisasikan rencana yang telah diprogramkan.

Edward Murray (1957) dalam Mangkunegara (2002:103), berpendapat bahwa karakteristik orang yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi adalah sebagai berikut : (1). Melakukan sesuatu dengan sebaik-baiknya, (2). Melakukan sesuatu untuk mencapai kesuksesan, (3). Menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan usaha dan ketrampilan , (4). Berkeinginan menjadi orang terkenal atau menguasai bidang tertentu, (5). Melakukan pekerjaan yang sukar dengan hasil yang memuaskan, (6). Mengerjakan sesuatu yang sangat berarti (7). Melakukan sesuatu yang lebih baik daripada orang lain, (8). Menulis novel atau cerita yang bermutu.

Dari kedua pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa karakterisitk individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi antara lain : (1). Memiliki tanggung jawab pribadi yang tinggi, (2). Memiliki program kerja berdasarkan rencana dan tujuan yang realistik serta berjuang unutk mereaslisasikannya. (3). Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dan berani mengambil resiko yang dihadapinya. (4). Melakukan pekerjaan yang berarti dan menyelesaikannya dengan hasil memuaskan, (5). Mempunyai keinginan menjadi orang terkemuka yang menguasai bidang tertentu.

Adapun karakteristik individu yang motif prestasinya rendah dapat dikemukakan , antara lain : (1). Kurang memiliki tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan suatu pekerjaan atau kegiatan, (2). Memiliki program kerja tetapi tidak didasarkan pada rencana dan tujuan yang realistik, serta lemah melaksanakannya, (3). Bersikap apatis dan tidak percaya diri, (4). Ragu-ragu dalam mengambil keputusan, (5). Tindakannya kurang terarah pada tujuan.

Landasan Teori : Konsep Membangun


Membangun menurut Marwah Daud Ibrahim (2003 : 24-26) adalah perubahan dan transpormasi sikap dan pola pikir yang diharapkan antara lain : perubahan dari kebiasaan  berpikir negative menjadi positif , kebiasaan berpikir  jangka pendek ke berpikir jangka panjang, bekerja sendiri menjadi bekerja team, mencari-cari masalah menjadi menemukan solusi,  bergantung menjadi mandiri, sentralitis menjadi otonom, elitis menjadi egaliter, prestise menjadi prestasi, asal-asalan menjadi yang terbaik, tiba masa tiba akal menjadi terencana, nepotisme ke meritokrasi, hierarkis ke hiterarkis, sloganistis protokoler menjadi pengamalan substansial.

Membangun sumber daya manusia ditujukan untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk bertindak. Manusia adalah tujuan sentral dari pembangunan. Untuk itu membangun manusia secara mikro berusaha untuk meningkatkan kapasitas pegawai  untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan mengurangi kebergantungannya kepada organisasi . Partisipasi diharapkan dapat meningkatkan kekuatan kolektif.

Membangun  mempunyai pengertian yang luas yaitu suatu proses yang berkesinambungan dengan dua implikasi utama yaitu;  Change (Perubahan): suatu perubahan masyarakat dari suatu kondisi ke kondisi lainnya, Growth (Pertumbuhan): yaitu adanya perubahan kehidupan manusia ke arah yang lebih baik (Duddley Seers, 1979) dalam  (Made Suwandi, 2004: 4).

Membangun bukanlah suatu konsep yang statis, tapi berubah secara terus menerus. Membangun adalah suatu proses penguatan diri (self sustaining process) berdasarkan kemampuan dari pegawai  itu sendiri dan keinginan untuk menciptakan partisipasi. Partisipasi itu sendiri erat kaitannya dengan kedewasaan suatu bangsa  (Made Suwandi, 2004 : 4).

Prof.Mulyarto dalam (Made Suwandi, 2004 : 4) menyatakan bahwa membangun sumber daya manusia  memerlukan penguatan (reinforcement) manusia sebagai lawan dari kebergantungan yang berpendekatan Top-Down.

Landasan Teori : Konsep Strategi

Konsep strategi merupakan sebuah konsep yang perlu dipahami dan diterapkan oleh setiap  manajer. Sejak beberapa tahun yang lampau, pengertian strategi makin banyak mendapatkan perhatian dan dibahas dalam literature. Adapun perhatian terhadap istilah strategi muncul, oleh karena orang menyadari bahwa setiap organisasi memerlukan sebuah skope yang terumuskan dengan baik, dan arah pertumbuhan dan bahwa sasaran-sasaran saja tidak dapat memenuhi kebutuhan , sehingga dengan demikian diperlukan peraturan-peraturan keputusan  adisional, agar  organisasi yang bersangkutan dapat mencapai pertumbuhan teratur.

Strickland (1996 : 6 ) dalam Winardi (2003 : 106), strategi adalah tindakan-tindakan yang diterapkan oleh pihak manajemen guna mencapai kinerja organisasi yang ditetapkan sebelumnya. Jones et al, (2000 : 231) dalam Winardi (2003 : 108) , strategi merupakan suatu kelompok keputusan, tentang tujuan-tujuan apa yang akan diupayakan pencapaiannya, tindakan-tindakan apa yang perlu dilakukan, dan bagaimana cara memanfaatkan sumber-sumber daya guna mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Strategi  bersifat dinamik, dan ia muncul sedikit demi sedikit, sewaktu organisasi yang bersangkutan berkembang, dan senantiasa perlu direvisi terhadap kondisi-kondisi yang berubah. Strategi memiliki sifat  proaktif  (diintensi) dan reaktif (adaptif).

Menurut Peter Wright, Charles D Pringle, dan Mark J. Kroll (1992), dalam Mulyadi dan Jhoni Setyawan (2001 : 398) , strategi adalah pola tindakan utama yang dipilih  untuk mewujudkan visi organisasi, melalui misi. Lebih jauh dijelaskan , bahwa ada berbagai tipe strategi yang dapat dirumuskan : (1). Grand strategy yaitu usaha secara terus menerus dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan jangka panjang organisasi, (2). Generic strategy yaitu usaha untuk mewujudkan biaya total terendah (low cost) atau diferensiasi luas (broad differentiation) dengan fokus pasar luas atau sempit, dan (3). Value based strategy yaitu usaha untuk mengarahkan manajer agar bertanggung jawab atas : (1). Memberikan value terbaik untuk pemenuhan kebutuhan customer, dan (2). Penciptaan sistem strategic untuk secara berkelanjutan melakukan improvement terhadap value tersebut  dan untuk menunaikan kewajiban organisasi.

Strategi digunakan untuk menyediakan customer value terbaik guna mewujudkan visi organisasi. Di masa lalu, stretegi  lebih dipacu untuk mengadapi pesaing, sehingga perhatian manajemen tidak difokuskan untuk menghasilkan value terbaik bagi customers. Di masa sekarang Manejemen organisasi perlu memfokuskan strateginya ke penyediaan value terbaik bagi pemuasan kebutuhan customers. Karena customers akan memilih mana yang memiliki pelayanan  (value) yang lebih baik.

Siapa yang terlibat dalam  dalam penentuan   strategik ?. Di dalam manajemen tradisional, manajemen strategik merupakan tanggung jawab manajemen puncak. Dengan semakin ekstensifnya pemanfaatan teknologi informasi dalam organisasi, bergeser dari leadership from the top ke responsibility based organization – organisasi yang seluruh  pegawainya bertanggung jawab atas jalannya organisasi. Information sharing memungkinkan  pegawai melakukan akses ke pusat informasi dan pemberdayaan pegawai memungkinkan pegawai melakukan pengambilan keputusan yang bersifat strategik.  

Mengapa strategik perlu bersistem ?  Ketika tanggung jawab untuk menjalankan organisasi berada ditangan manajemen pincak,  strategi dapat dilaksanakan secara informal dan tidak terstruktur. Visi ditetapkan oleh manajemen puncak dan dikomunikasikan secara terbatas kepada manajer kalangan dekat dengan menejemen puncak. Strategi juga dirumuskan secara tidak terpola oleh manajemen puncak dan dilaksanakan sendiri dengan bantuan manajemen menengah dan bawah serta pegawai.

Dengan semakin kompleksnya operasi organisasi dan semakin kompleksnya serta turbulen (bergejolaknya) lingkungan yang dihadapi oleh organisasi, manajamen puncak tidak lagi mampu memikul sendiri tanggung jawab atas jalannya organisasi. Diperlukan suatu sistem yang terstruktur untuk melaksanakan manajemen  strategik dengan alasan menjadi dasar  mengapa organisasi sekarang memerlukan sistem untuk melaksanakan  suatu strategi : (1).  Untuk menghadapi lingkungan yang kompleks, dinamis  dan turbulen (2). Perencanaan dan implementasi rencana memerlukan konsensus (3). Keluaran suatu organisasi bersifat maya (tidak kentara) dan tidak terstruktur.

Sistem merupakan “ways of structuring future realities”. Organisasi memerlukan cara untuk mestrukturisasi kenyataan masa depan, sehingga dapat direncanakan langkah-langkah strategik untuk mewujudkannya. Sistem menyediakan sarana pengambilan keputusan sistematik untuk membangun masa depan organisasi.

Dalam menghadapi lingkungan organisasi yang turbulen, manajemen organisasi memerlukan peta perjalanan yang baik untuk menjadikan pengelolaan atas organisasi  efektif. Untuk membuat peta perjalanan organisasi yang akurat, yang mencerminkan  lingkungan yang dimasukinya, manajemen organisasi memerlukan manajemen strategik yang bersistem. Dengan sistem ini , manajemen memiliki working model  untuk mengarahkan semua pemikiran dari manajemen dan pegawai untuk membangun peta perjalanan, memodifikasinya sesuai dengan informasi terbaru tentang lingkungan yang akan dimasukinya, dan bahkan mengubahnya , jika kondisi lingkungan sama sekali sebagaimana yang digambarkan sebelumnya. Sistem menjadikan eksplisit pemilihan dan pengimplementasian strategi, sehingga mampu “provoking thought” berbagai personil organisasi.

Pengertian Kualitas Pelayanan


Pelayanan sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia.

Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi  langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan, Sampara (1999:6). Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang, Sampara (1999:6). Untuk itu , Devrye (1994) dalam Sampara (1999:7) menyatakan bahwa harga diri yang tinggi adalah unsur yang paling mendasar bagi keberhasilan organisasi yang menyediakan jasa pelayanan yang berkualitas.

Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang konvensional hingga yang lebih strategis. Definisi konvensional dari kualitas biasanya menggambarkan karakteristik dari suatu produk seperti : (1) kinerja (performance), (2) keandalan (reliability), (3) mudah dalam penggunaan (ease of use), dan (4) estetika (esthetics) Sampara (1999:7).

Sedangkan dalam pengertian strategis dinyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mempu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the need of customers) Sampara (1999:7).  Gazpersz (1997) dalam Sampara (1999:7) menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok :
(1) Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk.
(2)    Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

Pada bagian lain  Gazpersz (1997) dalam Sampara (1999:7) menyatakan bahwa kualitas sebagai suatu kumpulan aktivitas yang berkaitan dengan kualitas tertentu yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
(1)   kualitas menjadi bagian dari setiap agenda manajemen,
(2)   sasaran kualitas dimasukkan kedalam rencana bisnis,
(3)   jangkauan sasaran diturunkan dari benchmarking  : fokus adalah pada pelanggan dan  pada kesesuaian kompetisi; disana  adalah sasaran untuk peningkatan kualitas tahunan,
(4)   sasaran disebarkan ke tingkat mengambil tindakan,
(5)   pelatihan dilaksanakan pada setiap tingkat,
(6)   pengukuran ditetapkan seluruhnya,
(7)   manajer atau secara teratur meninjau kembali kemajuan dibandingkan dengan sasaran,
(8)   penghargaan diberikan untuk kinerja terbaik, dan
(9)   sistem imbalan (reward system) diperbaiki

Jadi kualitas adalah menjaga janji pelayanan agar pihak yang dilayani merasa puas dan diuntungkan. Meningkatkan kualitas merupakan pekerjaan semua orang karena semua orang adalah pelanggan. Tanggung jawab untuk kualitas produksi dan pengawasan kualitas tidak dapat didelegasikan kepada satu orang.

Landasan Teori : Manajemen Sumber Daya Manusia

Manajemen adalah kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain agar orang tersebut termotivasi dengan menggunakan keahliannya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, Sampara (1999 : 2). Selanjutnya Dwight Waldo (1965) dalam Sampara (1999:2) mendefinisikan manajemen sebagai suatu rangkaian tindakan dengan maksud untuk mencapai hubungan kerjasama yang rasional dalam suatu sistem administrasi.

Kemudian Kristiadi J,B (1997) dalam Sampara (1999:3) mengemukakan beberapa fase pemunculan manajemen dalam beberapa bentuk; (1) manajemen klasik (tradisional), (2) manajemen ilmiah (scientific), (3) menejemen dengan model hubungan manusia., dan (4) manajemen model sumber daya manusia.   Sumber daya  manusia di organisasi publik perlu dikelola secara professional agar terwujud keseimbangan antara  kebutuhan pegawai dengan tuntutan dan kemampuan organisasi publik. Keseimbangan tersebut merupakan kunci utama agar dapat berkembang secara produktif dan wajar. Perkembangan usaha dan organisasi publik sangatlah bergantung pada produktifitas tenaga kerja yang ada di organisasi tersebut.

Manusia dan pelaksanaan  adalah dua bidang yang memerlukan perhatian dalam organisasi public. Manajemen harus menciptakan  lingkungan harmonis sehingga kedua factor tersebut dapat saling melengkapi, tetapi seringkali malah terjadi pertentangan karena perbedaan mendasar antara keduanya. Manajemen harus memaksimalkan efektifitas individu sedangkan setiap saat perhatian individu dapat tersita oleh kepentingan pribadi. Keberhasilan memotivasi pegawai sangat bergantung pada pengaturan keseimbangan antara kepentingan organisasi dan pribadi.

Menciptakan strategi yang sesuai berarti menentukan bagaimana caranya agar setiap individu dalam organisasi membuat komitmen pribadi terhadap tujuan yang direncanakan. Hal ini memerlukan perhatian khusus terhadap berbagai factor yang berkaitan dengan kebutuhan manusia. Pertama, pemusatan perhatian masyarakat masa kini pada hak-hak perorangan telah memperkenalkan pertimbangan dan tuntutan baru yang membuat tugas mengelola dan memotivasi bawahan menjadi tugas yang lebih menantang.keinginan pegawai akan penuntasan dan kepuasan tidak lagi terpusat kepada pekerjaannya saja.

Tambahan lagi, tuntutan penggajian dan program kesejahteraan pegawai telah meningkatkan biaya tenaga kerja. Faktor-faktor ini menjadi semakin rumit dengan pengambil-alihan organisasi dan kegiatan merger yang kini banyak terjadi, sedangkan ekonomi pelayanan yang timbul membuat perbedaan antara pegawai kantor dan pegawai yang tidak bekerja di kantor menjadi semakin besar.   

Landasan Teori : Desentralisasi

Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power),terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat.

Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas Desentralisasi Politik (Political Decentralization); Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization); Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization).
Sedangkan definisi desentralisasi menurut ketentuan dalam UU Nomor 22 tahun 1999 pasal 1 bahwa : ”Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada Daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Berbagai argumen yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995), dan sebagaimana dikutip oleh Litvack et al (1998) yang mengatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum, karena :
  1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya
  2. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;
  3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya
Desentralisasi fiskal, merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif, dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat.

Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada desain, proses implementasi, dukungan politis baik pada tingkat pengambilan keputusan di masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik.

Landasan Teori : Pertumbuhan Ekonomi (2)

Menurut Kuznets, ” Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada pendudduknya. Kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan yang ada “. Masing-masing dari ketiga komponen pokok, yaitu :
  1. Kenaikan output secara berkesinambungan adalah manifestasi atau perwujudan dari apa yang disebut sebagai pertumbuhan ekonomi, sedangkan kemampuan menyediakan berbagai jenis barang itu sendiri merupakan tanda kematangan ekonomi (economic maturity) di suatu negara yang bersangkutan.
  2. Perkembangan teknologi merupakan dasar atau prakondisi bagi berlangsungnya suatu pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan; ini adalah suatu kondisi yang sangat diperlukan, tetapi tidak cukup itu saja (jadi, disamping perkembangan atau kemajuan teknologi, masih dibutuhkan faktor-faktor lain).
  3. Guna mewujudkan potensi pertumbuhan yang terkandung di dalam teknologi baru, maka perlu diadakan serangkaian penyesuaian kelembagaan, sikap, dan ideologi. Inovasi di bidang teknologi tanpa dibarengi inovasi sosial berarti potensi ada, akan tetapi tanpa input komplementernya maka hal itu tidak bisa membuahkan hasil apapun.
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) didefinisikan sebagai ekspansi dari kapasitas untuk memproduksi barang dan jasa dari suatu perekonomian atau ekspansi dari kemungkinan memproduksi (production possibilities) suatu perekonomian. Keberhasilan pertumbuhan ekonomi daerah, dalam rangka peningkatan kesejahteraan penduduknya, dapat dinilai melalui tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB ini adalah output yang dihasilkan dari input-input yang diperkirakan dalam harga pada suatu tahun dasar (base year) atau disebut juga PDRB pada harga konstan (constant prices).

Landasan Teori : Pengertian Organisasi

Organisasi yang didirikan pada dasarnya ingin mencapai tujuan dan sasaran yang telah disepakati bersama dengan lebih efisien dan efektif dengan tindakan yang dilakukan bersama-sama dengan penuh rasa tanggung jawab. Hal ini dapat dilakukan apabila para manjer dan anggotanya mengerti dan memahami dengan benar tentang organisasi. Karena, organisasi tersebut dapat dipandang sebagai wadah, sebagai proses, sebagai perilaku dan sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi. Namun, pendefinisian organisasi yang banyak dilakukan oleh para ahli sekurang-kurangnya mempunyai unsur-unsur adanya manusia atau orang-orang yang bekerjasama, adanya kerjasama itu sendiri, dan adanya tujuan organisasi yang telah disepakati.

Dessler (1985: 116) mengemukakan pendapatnya tentang organisasi sebagai berikut:
“Organisasi dapat diartikan sebagai pengaturan sumber daya dalam suatu kegiatan kerja, dimana tiap-tiap kegiatan tersebut telah disusun secara sistematika untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pada organisasi tersebut masing-masing personal yang terlibat didalamnya diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab yang dikoordinasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dimana tujuan organisasi tersebut dirumuskan secara musyawarah sebagai tujuan bersama yang diwujudkan secara bersama-sama.”

Sedangkan Dimock (1960: 129) mendefinisikan organisasi sebagai berikut :
“Organization is the systematic bringing together of interdependent part to form a inidied whole through which authority, coordination and control may be exerciseto achive a given purpose.” (Organisasi adalah perpaduan secara sistematika daripada bagian-bagian yang saling ketergantungan berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan yang bulat melalui kewenangan koordinasi dan pengawasan dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditentukan).

Sementara itu Raymond E. Miles (1975: 9) memberi batasan mengenai organisasi sebagai berikut:“....... an organization is nothing more than a collection of people groups togethers arround a technology which is operated to transform inputs from its environment into marketable goods or services.” (.........organisasi tidak lebih daripada sekelompok orang yang berkumpul bersama di sekitar suatu teknologi yang dipergunakan untuk mengubah input-input dari lingkungan menjadi barang atau jasa-jasa yang dapat dipasarkan).

Teori : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas Organisasi

Banyak pendapat yang mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi, namun pada dasarnya pendapat-pendapat tersebut telah terangkum dalam hasil penelitian Richard M. Steers, seperti teori mengenai pembinaan organisasi yang menekankan adanya perubahan yang berencana dalam organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi. Jadi keberhasilan pembinaan organisasi akan mengakibatkan keberhasilan organisasi.

Lain halnya yang dikemukanan oleh Dydiet Hardjito (1997: 65) mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komponen-komponen organisasi yang meliputi (1) struktur, (2) tujuan; (3) manusia, (4) hukum (5) prosedur pengoperasian yang berlaku; (6) teknologi, (7) lingkungan, (8) kompleksitas (9) spesialisasi; (10) kewenangan; (11) pembagian tugas.

Dalam mencapai efektivitas suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berbeda-beda tergantung pada sifat dan bidang kegiatan atau usaha suatu organisasi. Sejalan dengan hal tersebut maka Komberly dan Rottman (dalam Gibson et al, 1996: 32) berpendapat bahwa  efektivitas organisasi ditentukan oleh lingkungan, teknologi, pilihan strategi, proses dan kultur.

Setiap organisasi mempunyai kerangka acuan yang berbeda, hal ini dipertegas lagi oleh pendapat Hall (1991: 248) dikemukakan bahwa dalam menilai efektivitas suatu organisasi baik organisasi publik maupun privat terdapat sejumlah model pendekatan yang dapat digunakan, diantaranya system Resource Model, The Goals Model dan Social Function Model.

Suatu pendekatan didalam arti bagaimana pendekatan atau teori terhadap pencapaian suatu tujuan. Persepektif efektivitas menekankan tentang peran sentral dari pencapaian tujuan organisasi, dimana dalam menilai organisasi apakah dapat bertahan hidup maka dilakukan evaluasi yang relevan bagi suatu tujuan tertentu.

Demikian banyak rangkaian kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi efektivitas organisasi seperti apa yang dikemukakan diatas, tetapi disini akan dituliskan empat saja faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas

Adapun pengaruh 4 faktor tersebut terhadap efektivitas organisasi sebagai berikut:
1)     Karakteristik Organisasi
Karakteristik organisasi terdiri dari struktur dan teknologi. Struktur diartikan sebagai hubungan yang relatif tetap sifatnya, merupakan cara suatu organisasi menyusun orang-orangnya untuk menciptakan sebuah organisasi yang meliputi faktor-faktor seperti deentralisasi pengendalian, jumlah spesialisasi pekerjaan, cakupan perumusan interaksi antar pribadi dan seterusnya. Secara singkat struktur diartikan sebagai cara bagaimana orang-orang akan dikelompokkan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Teknologi menyangkut mekanisme suatu organisasi untuk mengubah masukan mentah menjadi keluaran jadi. Teknologi dapat memiliki berbagai bentuk, termasuk variasi-variasi dalam proses mekanisme yang digunakan dalam produksi, variasi dalam pengetahuan teknis yang dipakai untuk menunjang kegiatan menuju sasaran. Ciri organisasi yang berupa struktur organisasi meliputi faktor luasnya desentralisasi. Faktor ini akan mengatur atau menentukan sampai sejauh mana para anggota organisasi dapat mengambil keputusan. Faktor lainnya yaitu spesialisasi pekerjaan yang membuka peluang bagi para pekerja untuk mengembangkan diri dalam bidang keahliannya sehingga tidak mengekang daya inovasi mereka.

Faktor formalisasi berhubungan dengan tingkat adaptasi organisasi terhadap lingkungan yang selalu berubah, semakin formal suatu organisasi semakin sulit organisasi tersebut untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Hal tersebut berpengaruh terhadap efektivitas organisasi karena faktor tersebut menyangkut para pekerja yang cendenrung lebih terikat pada organisasi dan merasa lebih puas jika mereka mempunyai kesempatan mendapat tanggung jawab yang lebih besar dan mengandung lebih banyak variasi jika peraturan dan ketentuan yang ada dibatasi seminimal mungkin.

Harvey (dalam Steers, 1985: 99) menemukan bahwa semakin mantap teknologi sebuah organisasi, makin tinggi pula tingkat penstrukturannya yaitu tingkat spesialisasi, sentralisasi, spesifikasi tugas dan lain-lain. Efektivitas organisasi sebagian besar merupakan hasil bagaimana tingkat Indonesia dapat sukses memadukan teknologi dengan struktur yang tepat. Keselarasan antara struktur dan teknologi yang digunakan sangat mendukung terhadap pencapaian tujuan organisasi.

2)     Karakteristik Lingkungan
Karakteristik lingkungan ini mencakup dua aspek yaitu internal dan eksternal. Lingkungan internal dikenal sebagai iklim organisasi. Yang meliputi macam-macam atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi dan efektivitas khususnya atribut lingkungan yang mempunyai hubungan dengan segi-segi tertentu dari efektivitas khususnya atribut diukur pada tingkat individual.

Lingkungan eksternal adalah kekuatan yang timbul dari luar batas organisasi yang memperngaruhi keputusan serta tindakan di dalam organisasi seperti kondisi ekonomi, pasar dan peraturan pemerintah. Hal ini mempengaruhi: derajat kestabilan yang relatif dari lingkungan, derajat kompleksitas lingkungan dan derajat kestabilan lingkungan.

Steers (1985: 111) menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan para ahli bahwa keterdugaan, persepsi dan reasionalitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi hubungan lingkungan. Dalam hubungan terdapat suatu pola dimana tingkat keterdugaan dari keadaam lingkungan disaring oleh para pengambil keputusan dalam organisasi melalui ketetapan persepsi yang tepat mengenai lingkungan dan pengambilan keputusan yang sangat rasional akan dapat memberikan sumbangan terhadap efektivitas organisasi.

3)    Karakteristik Pekerja
Karakteristik pekerja berhubungan dengan peranan perbedaan individu para pekerja dalam hubungan dengan efektivitas. Para individu pekerja mempunyai pandangan yang berlainan, tujuan dan kemampuan yang berbeda-beda pula. Variasi sifat pekerja ini yang sedang menyebabkan perilaku orang yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap efektivitas organisasi. Dua hal tersebut adalah rasa keterikatan terhadap organisasi dan prestasi kerja individu.

Menurut Katz dan Kahn (dalam Steers, 1985: 135) peranan tingkah laku dalam efektivitas organisasi harus memenuhi tiga persyaratan sebagai berikut:
a.    Setiap organisasi harus mampu membawa dan mempertahankan suatu armada kerja yang mantap yang terjadi dari pekerja pria dan wanita yang terampil. Berarti disamping mengadakan penerimaan dari penempatan pegawai, organisasi juga harus mampu memelihara para pekerja dengan imbalan yang pantas dan memadai sesuai dengan kontribusi individu dan yang relevan bagi pemuasan kebutuhan individu.
b.    Organisasi harus dapat menikmati prestasi peranan yang dapat diandalkan dari para pekerjanya. Sering terjadi manajer puncak yang seharusnya memikul tanggung jawab utama dalam merumuskan kebijakan perusahaan, membuang terlalu banyak waktu untuk keputusan dan kegiatan sehari-hari yang sepele dan mungkin menarik, akan tetapi tidak relevan dengan perannya sehingga berkurang waktu yang tersedia bagi kegiatan ke arah tujuan yang lebih tepat. Setiap anggota bukan hanya harus bersedia berkarya, tetapi juga harus bersedia melaksanakan tugas khusus yang menjadi tanggung jawab utamanya.

Disamping prestasi peranan yang dapat diandalkan organisasi yang efektif menuntut agar para pekerja mengusahakan bentuk tingkah laku yang spontan dan inovatif, job description tidak akan dapat secara mendetail merumuskan apa yang mereka kerjakan setiap saat, karena bila terjadi keadaan darurat atau luar biasa individu harus mampu bertindak atas inisiatif sendiri dan atau luar biasa individu harus mampu bertindak atas inisiatif sendiri dan atau mengambil keputusan dan mengadakan tanggapan terhadap yang paling baik bagi organisasinya.

4)    Kebijakan dan praktek manajemen
Karena manajer memainkan peranan sentral dalam keberhasilan suatu organisasi melalui perencanaan, koordinasi dan memperlancar kegiatan yang ditujuan ke arah sasaran. Kebijakan yang baik adalah kebijakan tersebut secara jelas membawa kita ke arah tujuan yang diinginkan. Kebijakan harus dipahami tidak berarti bahwa kebijakan harus ditulis (Amstrong, 1993: 49). Pada intinya manajemen adalah tentang memutuskan apa yang harus dilakukan kemudian melaksanakannya melalui orang-orang (Amstrong, 1993: 14). Definisi ini menekankan bahwa dalam organisasi merupakan sumber daya terpenting.
Dari faktor kebijakan dan praktek manajemen ini, sedikitnya diindentifikasikan menjadi enam variabel yang menyumbang efektivitas yaitu: 1) penyusunan tujuan strategis, 2) pencarian dan pemanfaatan sumber daya, 3) menciptakan lingkungan prestasi, 4) proses komunikasi, 5) kepemimpinan dan pengambilan keputusan dan 6) inovasi dan adaptasi.

Dari keempat faktor yang mempengaruhi efektivitas organisasi yang dinyatakan oleh Steers tersebut dapat dijelaskan secara ringkas bahwa: 1) struktur yang dibangun dan teknologi yang digunakan dalam organisasi akan sangat berpengaruh terhadap proses dan pencapaian tujuan, 2) organisasi sebagai organisasi yang terbuka, kelangsungan hidupnya akan sangat tergantung kepada lingkungan sekitarnya baik yang berada di dalam organisasi maupun diluar organisasi, 3) bahwa manusia sebagai unsur penting dari organisasi memiliki kemampuan, pandangan motivasi dan budaya yang berbeda, dan 4) kebijakan dan praktek manajemen yang ditetapkan oleh pimpinan dalam mengatur dan mengendalikan organisasi sangat berpengaruh bagi organisasi maupun bagi pencapaian tujuan.

Alat Analisis : Scalogram & Model Gravitasi


Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian adalah deskriptif yang menggambarkan mengenai situasi yang terjadi berdasarkan data-data yang ada dengan teori dan perhitungan kwantitatif. Adapun alat analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Analisis Scalogram
Alat analisis scalogram membahas mengenai fasilitas perkotaan yang dimiliki suatu daerah sebagai indikator difungsikannya daerah tersebut sebagai salah satu pusat pertumbuhan. Tujuan digunakannya analisis ini adalah untuk mengidentifikasi kota-kota yang dapat dikelompokkan menjadi pusat-pusat pertumbuhan berdasarkan pada fasilitas kota yang tersedia (Blakely, 1994: 94-99).

Analisis scalogram mengelompokkan klasifikasi kota berdasarkan pada tiga komponen fasilitas dasar yang dimilikinya yaitu:
1.      differentiation  adalah  fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Fasilitas ini menunjukkan bahwa adanya struktur kegiatan ekonomi lingkungan yang kompleks, jumlah dan tipe fasilitas komersial akan menunjukkan derajat ekonomi kawasan/kota dan kemungkinan akan menarik sebagai tempat tinggal dan bekerja;
2.      solidarity adalah fasilitas yang berkaitan dengan aktivitas sosial. Fasilitas ini menunjukkan tingkat kegiatan sosial dari kawasan/kota. Fasilitas tersebut dimungkinkan tidak seratus persen merupakan kegiatan sosial  namun pengelompokan tersebut masih dimungkinkan jika fungsi sosialnya relatif lebih besar dibandingkan sebagai kegiatan usaha yang berorientasi pada keuntungan (benefit oriented);
3.      centrality adalah fasilitas yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi-politik/pemerintahan. Fasilitas ini menunjukkan bagaimana hubungan dari masyarakat  dalam sistem kota/komunitas. Sentralitas ini diukur melalui perkembangan hierarki dari institusi sipil, misalnya kantor pos, sekolahan, kantor pemerintahan dan sejenisnya.

Menurut Blakely (1994: 96-98) pemberian skor untuk setiap fasilitas dari masing-masing fasilitas perkotaan (fasilitas ekonomi, sosial, dan faslitas ekonomi-politik/pemerintahan) diberi nilai 1 (satu) tanpa ada pembagian,  perbedaanya dengan analisis ini adalah pada pemberian skor dan pembagian kelas yang disesuaikan dengan skala pelayanan, tingkat kepentingan, jumlah tenaga kerja, spesifikasi dan lain-lain dari fasilitas perkotaan yang dimiliki. Perubahan pemberian skor dan pembagian kelas merupakan modifikasi dari yang kemukakan oleh Blakely tersebut sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan di Kabupaten Soppeng (Haeruddin,  2001: 43-49)

Analisis Model Gravitasi
Konsep dasar dari analisis gravitasi adalah membahas mengenai ukuran dan jarak antara pusat pertumbuhan  dengan daerah sekitarnya. Menurut Blakely (1994: 105) bahwa penggunaan teknik ini akan dapat menghitung kekuatan relatif dari hubungan komersial antara pusat pertumbuhan yang satu dengan pusat pertumbuhan yang lainnya (Warpani, 1984: 111).

Analisis model gravitasi ini masih berkaitan dengan analisis scalogram, setelah diketahui kota kecamatan yang dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan maka langkah selanjutnya adalah menghitung indeks gravitasi pada masing-masing hinterland.  Metode analisis model gravitasi ini digunakan untuk: (1) mengukur kekuatan keterkaitan antara sentra komoditi dengan pusat pengembangan wilayah; (2) menentukan kekuatan tempat kedudukan dari setiap pusat kegiatan ekonomi, produksi dan distribusi (sentra-sentra komoditi) dalam sistem jaringan jasa, distribusi dan transfortasi.

Indeks ini berlaku relatif artinya jika indeks gravitasi suatu daerah hinterland (daerah A) dengan pusat pertumbuhan X lebih besar dibandingkan dengan indeks gravitasi daerah A dengan pusat pertumbuhan Y, maka daerah A tersebut akan dikategorikan sebagai daerah hinterlandnya pusat pertumbuhan X. Posisi sebagai hinterland  dari suatu daerah akan ditentukan berdasarkan besarnya indeks yang dihitung.