Kronik Teori : Pertumbuhan Versus Distribusi Pendapatan


Di negara-negara miskin, perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sangat sulit diwujudkan secara bersama. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain (Todaro, 2000). Dinyatakan lebih lanjut bahwa pembangunan ekonomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi, dan untuk itu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan pilihan yang harus diambil.

Dinyatakan oleh syahrir (1986) pada  akhir dasawarsa 1960-an, banyak negara sedang berkembang menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti pengangguran, kemiskinan di perdesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural Lebih lanjut dinyatakan oleh (Esmara, 1986) dan (Meier, 1989) bahwa Fakta ini pula yang memperkuat keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan (necessary) tetapi tidak mencukupi (sufficient) (lihat Kuncoro, 1997).

Lebih lanjut dinyatakan oleh Todaro (2000 ) kini di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang mulai muncul himbauan dan tuntutan dari masyarakat luas yang semakin lama semakin kuat, bagi dilakukannya peninjauan kembali atas tradisi “pengutamaan GNP” sebagai sasaran kegiatan ekonomi yang utama. Kecenderungan ini mulai berlangsung sejak dekade 1970-an. Upaya pengentasan kemiskinan dan pemerataan pendapatan pun mulai dikedepankan sebagai fokus utama pembangunan.

Perbedaan  tingkat pembangunan antardaerah, mengakibatkan perbedaan tingkat kesejahteraan antardaerah, dan kalau hal ini dibiarkan dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan bagi suatu negara. Gagasan ini timbul setelah melihat kenyataan bahwa kalau perkembangan ekonomi diserahkan pada kekuatan mekanisme pasar, biasanya cenderung untuk memperbesar dan bukannya memperkecil keetidakmerataan antardaerah, karena kegiatan ekonomi akan menumpuk di tempat-tempat dan daerah tertentu, sedangkan tempat-tempat atau daerah lainnya akan semakin ketinggalan (Arsyad, 1999).

Kesenjangan ekonomi antardaerah merupakan fenomena yang sudah lama ada. Ada tiga faktor mengapa terjadi kesenjangan ekonomi yaitu pertama, ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) yang bersifat alamiah dan struktural. Pemilikan faktor produksi yang berbeda di tiap daerah maka timbulnya kesenjangan ekonomi antardaerah dinilai wajar. Meskipun dianggap wajar, kesenjangan tetap tidak diharapkan sehingga pelu berbagai kebijakan pemerintah agar kesenjangan ekonomi antardaerah tidak semakin melebar (menuju proses convergence).

Kedua, mobilitas faktor produksi baik tenaga kerja maupun modal. Migrasi tenaga kerja dan modal dari suatu daerah yang kurang maju ke daerah lain yang lebih maju akan meningkatkan kesenjangan ekonomi antardaerah.

Ketiga, kebijakan pemerintah dalam menetapkan strategi pembangunan Hoover (1975).  Selanjutnya dinyatakan oleh Dumairy (1997) Strategi pembangunan dalam pembangunan jangka panjang tahap pertama ( PJP I) lebih bertumpu pada aspek pertumbuhan, akibatnya sisi pemerataan kurang mendapat perhatian. Tidak mengherankan selama 30 tahun pembangunan yang dilaksanakan masih menimbulkan kesenjangan.

Williamson (1965)  yang meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan data ekonomi negara yang sudah maju dan negara sedang berkembang, ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih matang, ada keseimbangan pertumbuhan ekonomi antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan (lihat Brojonegoro, 1999).

Profesor Kuznets yang telah berjasa besar dalam memelopori analisis pola-pola pertumbuhan historis di negara-negara maju mengemukakan bahwa pada tahap-tahap pertumbuhan awal, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal secara luas sebagai konsep kurva Kuznets “U terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antarwaktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur berdasarkan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita  (lihat Todaro, 2000).

https://www.tokopedia.com/bungaslangkar/paket-oleh-oleh-khas-banjarmasin-kalimantan-selatan