Konsep Agropolitan



https://www.tokopedia.com/bungaslangkar/amplang-lidya-amplang-ikan-tenggiri-khas-banjarmasin-kalimantan


Agropolitan  adalah suatu wilayah yang dapat didefenisikan sebagai areal perdesaan yang mempunyai kepadatan populasi efektif paling tidak 200 jiwa per kilometer persegi dan jumlah penduduk berkisar 50.000 sampai 150.000 jiwa. Wilayah/distrik agropolitan ini dapat berupa suatu pusat kota atau daerah pedesaan yang mempunyai populasi menyebar (Friedmann dan Douglass, 1975;  Rondinelli,1985: 9)

Berkaitan dengan agropolitan, menyatakan bahwa strategi pengembangan yang dilakukan adalah dengan menyusun suatu sistem perekonomian terpadu yang mandiri dan mempunyai ketergantungan yang minimal dengan metropolis terutama yang berkaitan dengan pengambilan keputusan. Kewenangan dalam pengambilan keputusan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan daerah terutama yang menyangkut pembangunan daerah agar sepenuhnya diserahkan pada daerah yang bersangkutan.

Kunci keberhasilan pengembangan agropolitan adalah dengan memposisikan wilayah ini dalam suatu unit pemerintahan yang mempunyai otonomi sendiri dan mampu merencanakan pemanfaatan akan sumber daya yang dimiliki. Pemerintah pusat lebih berperan untuk mendorong melalui dukungan material, keuangan, dan sumber daya teknis terhadap inisiatif pembangunan yang berasal dari daerah.
Pendekatan agropolitan adalah (Friedmann and Weaver, 1979: 193-194):
“…. the implication of basic-needs strategy for territorial development we shall called it the agropolitan aproach. The specific setting we have choosen is that  of  density populated, agrarian societes characterized by low profiles of social development, high rates population, increase, uncipient urban-based industrilization, high  external dependency, and rising indices of inequality”.

Elemen pokok dari pendekatan konsep agropolitan adalah: (a) the basic conditions for its realization, (b) the territorial framework, (c) the expansion of production, (d) the role of the state (Friedmann dan Weaver (1979: 194)

Menurut Friedmann dan Douglass (1976: 38-40), bahwa kondisi yang diperlukan untuk keberhasilan pengembangan agropolitan atau strategi untuk menafsirkan ide pembangunan perdesaan dipercepat dari konsep agropolitan adalah sebagai berikut:

1.      merubah daerah perdesaan dengan cara memperkenalkan gaya hidup  kota (urbanism) yang telah disesuaikan pada lingkungan perdesaan tertentu. Ini berarti bahwa tidak lagi mendorong perpindahan penduduk desa ke kota, dengan menanam modal  di daerah perdesaan  dan dengan demikian merubah tempat pemukiman yang sekarang ini untuk dijadikan suatu bentuk campuran yang dinamakan  agropolis atau kota di ladang. Atau dengan kata lain   mentransformasikan fasilitas-fasilitas perkotaan ke perdesaan;
2.      memperluas hubungan sosial pedesaan sampai ke luar batas-batas daerahnya, sehingga terbentuk ruang sosio-ekonomi, dan politik yang lebih luas, atau agropolitan districk (agropolitan district dapat disesuaikan untuk dipakai sebagai dasar satuan tempat pemukiman untuk kota-kota besar atau pusat kota-kota tertentu yang berada di sekitarnya  dan yang selalu berkembang);
3.      memperkecil keretakan sosial (social dislocation) dalam proses pembangunan, memelihara kesatuan keluarga, memperteguh rasa aman, dan memberikan kepuasan pribadi dalam sosial dalam membangun suatu masyarakat baru;
4.      menstabilkan pendapatan antara masyarakat desa dengan kota melalui penambahan kesempatan kerja yang produktif dan khususnya  mendukung kegiatan pertanian dengan kegiatan non pertanian di dalam lingkungan masyarakat yang sama;
5.      memanfaatkan tenaga kerja secara efektif dan mengarahkan pada usaha pengembangan sumber-sumber daya alam secara luas di tiap agropolitan district, termasuk peningkatan hasil pertanian, proyek-proyek untuk memelihara dan mengendalikan air, pekerjaan umum di pedesaan, memperluas pemberian jasa-jasa untuk pedesaan dan industri yang berkaitan dengan pertanian;
6.      merangkai agropolitan districts menjadi jaringan regional dengan cara membangun dan memperbaiki sarana hubungan agropolitan districts dan yang ke kota-kota besar, dan menempatkan pada  daerah (regional) jasa-jasa tertentu dengan kegiatan-kegiatan penunjang yang dapat menbutuhkan tenaga kerja  yang lebih besar daripada yang terdapat dalam satu district;
7.      menyusun suatu  pemerintahan dan perencanaan yang sesuai dengan  lingkungannya yang dapat mengendalikan pemberian prioritas-prioritas pembangunan dan pelaksanaannya pada penduduk daerahnya, yang berupa pemberian wewenang kepada agropolitan district untuk mengambil keputusan sendiri agar mereka dapat menggunakan kesempatan lingkungan yang ada (dengan menyadari batas-batas lingkungan yang ada), menyalurkan  pengetahuan dan kepandaian perorangan dari penduduk  setempat  pada ilmu pengetahuan abstrak teoritis dari para ahli-ahli dan orang yang berkecimpung dalam pembangunan agropolitan, dan memupuk rasa persatuan dari penduduk setempat dengan bagian masyarakat yang lebih besar itu, agropolis;
8.      menyediakan sumber-sumber keuangan untuk membangun agropolitan dengan cara: (a) menanam kembali bagian  terbesar  dari tabungan setempat pada tiap-tiap district, (b) menerapkan sistem bekerja sebagai  pengganti pajak bagi semua anggota masyarakat  yang telah dewasa, (c) mengalihkan dana pembangunan  dari pusat-pusat kota dan  kawasan industri khusus untuk pembangunan agropolitan, dan (d) memperbaiki nilai tukar barang-barang yang merugikan antara petani dan penduduk kota agar lebih menguntungkan petani;

Higgins (1975: 295) mengemukakan beberapa alasan mengapa perencanaan struktur perekonomian dalam skala lebih kecil sangat penting dalam rangka menekan kesenjangan regional sebagai berikut:
1.      sebagai suatu tujuan keadilan sosial;
2.      untuk jangka panjang, penurunan kesenjangan regional penting  dalam kaitannya memacu pertumbuhan ekonomi nasional;
3.      kesenjangan regional akan membawa konsekuensi pada tingkat integrasi atau disintegrasi regional;
4.      saat ini kebijakan negara lebih mengacu pada pola pembangunan perkotaan dengan membatasi pertumbuhan pada kota-kota besar dan mendorong pertumbuhan pada kota menengah dan kota kecil;
5.      pola pembangunan ini mempunyai hubungan erat dengan kualitas hidup dan berimplikasi pada penurunan ketimpangan regional.  

Menurut Badrudin (1999: 175) untuk mengurangi efek polarisasi maka konsep agropolitan disarankan memerlukan suatu pola pertumbuhan yang spesifik:
1.      dirancang untuk daerah pertumbuhan yang mempunyai luas relatif sempit untuk ukuran Indonesia sekitar kecamatan;
2.      adanya kemandirian dalam penyusunan dan penetapan perencanaan pembangunan di wilayah tersebut;
3.      terdapat pembagian yang jelas antara tenaga kerja sektor pertanian dan non pertanian;
4.      terdapat sumber daya di wilayah tersebut yang dapat dikembangkan untuk kegiatan sektor industri;
5.      ketersediaan teknologi lokal  serta kemungkinan pemanfaatannya.
Kendala yang ditemui dalam pengembangan konsep ini diantaranya  adalah tidak meratanya potensi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah akibatnya ada daerah yang berkembang  lebih pesat dibanding daerah sekitarnya, sehingga kota yang kurang beruntung  tersebut akan berperan sebagai daerah pendukung. Kondisi tersebut membawa konsekuensi adanya perbedaan peran dan fungsi dari kota. Menurut Wibisono, et.al. (1993: 24) bahwa potensi yang dimiliki oleh suatu kota akan berkait erat dengan fungsi dari kota tersebut. Apakah kota akan menjadi pusat petumbuhan wilayah ataukah hanya sebagai hinterland. Kota akan menjadi pusat pertumbuhan  disebabkan dua macam proses yang dialaminya.
1.      Proses formal, peran suatu kota sebagai pusat pertumbuhan akibat  dari struktur adminitrasi wilayah.
2.      Proses alamiah, munculnya kota tersebut menjadi pusat pertumbuhan karena pelayanan komersial yang telah diberikannya, hubungan ini  dengan pertimbangan  efisiensi ekonomi. Kota yang mempunyai efisiensi ekonomi yang lebih baik akan berkembang menjai pusat pertumbuhan wilayah.