Analisis Kebijakan


Analisis kebijakan menurut Dunn (1994)  merupakan suatu aktivitas  intelektual dan praktis yang dimaksudkan untuk menciptakan, memberi penilaian kritis, dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan, sedangkan menurut Quade (1984) dalam Effendi (2000), analisis kebijakan adalah suatu bentuk penilaian terapan yang digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang isu-isu sosioteknis dan memperoleh solusi yang lebih baik, sedangkan menurut Weimer dan Vining (1988), analisis kebijakan merupakan advice yang berorientasi pada masyarakat yang relevan dengan keputusan publik dan dibentuk berdasarkan nilai-nilai sosial.
https://www.tokopedia.com/bungaslangkar/paket-oleh-oleh-khas-banjarmasin-kalimantan-selatan
Secara luas lebih lanjut Dunn (1994) mendefinisikan analisis kebijakan publik adalah satu diantara sejumlah aktor lainnya dalam sistem kebijakan, suatu sistem kebijakan (policy sistem) atau seluruh pola institusional dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara ketiga unsur yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan.

Definisi masalah kebijakan tergantung pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders), karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah, lingkungan kebijakan (policy environment) merupakan konteks khusus dimana kejadian-kejadian disekeliling isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik, sehingga sistem kebijakan merupakan proses yang dialektis dimana dimensi objektif dan subjektif dari pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dari prakteknya. ( Dunn,1994).

Dalam rangka memecahkan masalah ada beberapa tahap penting dari kebijakan publik antara lain (Dunn, 1994) yaitu: penetapan agenda kebijakan (agenda setting), Formulasi kebijakan (policy formulation), adopsi kebijakan      (policy adoption), implementasi kebijakan (policy implementation), dan penilaian kebijakan ( policy assesment), dimana  tahap-tahap tersebut akan dibahas sebagai berikut :

(1). Agenda Setting
Pada tahap penetapan agenda kebijakan, ditentukan apa yang menjadi masalah publik yang perlu dipecahkan, hakekat permasalahan ditemukan melalui proses yang dikenal dengan nama problem structuring. Menurut Peter (1984), bahwa suatu isu kebijakan dapat masuk menjadi agenda kebijakan apabila isu tersebut : 1) Memiliki efek yang besar terhadap masyarakat; 2) Membuat analogi dengan cara mengkiaskannya dengan kebijakan yang telah ada; 3) Menghubungkannya dengan simbol-simbol (nasional/ politik); 4) Terjadinya market failure dan ; 5) Ketersediaan Teknologi bagi penyelesaian masalah tersebut.

Problem structuring didasarkan pada 4 fase pencarian masalah, menurut Dunn (1994) fase tersebut adalah : pencarian masalah (problem search), pendefinisian masalah (problem definition), spesifikasi masalah (problem sfecification), dan pengenalan masalah (problem sensing). Sedangkan untuk merumuskan masalah dapat digunakan berbagai metode yaitu : analisis batasan masalah, analisis klasifikasi, analisis hirarkis,  sinektik, brainstorming, analisis multi persfektif, analisis asumsional, serta pemetaan argumentasi.

(2). Policy Formulation
Pada tahap formulasi kebijakan , para analis mengidentifikasikan kemungkinan kebijakan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, untuk itu diperlukan suatau prosedur yang dinamakan forecasting, dimana konsekuensi dari masing-masing  pilihan kebijakan dapat diungkapkan.

Menurut Peter (1984), formulasi kebijakan berarti pengembangan sebuah mekanisme untuk menyelesaikan masalah publik, pada tahap ini para analis memulai mengaplikasikan beberapa teknik analisis untuk berusaha menjustifikasi bahwa sebuah pilihan kebijakan adalah lebih baik dari yang lain, adapun perangkat yang dapat digunakan bagi formulasi kebijakan adalah; 1) Analisis biaya manfaat; 2) Analisis keputusan dimana sebuah keputusan harus diambil dalam ketidakpastian dan keterbatasan informasi.

(3). Policy Adaption.
Adopsi kebijakan merupakan tahap dimana ditentukan pilihan-pilihan kebijakan melalui dukungan stakeholders, tahap ini detentukan setelah melalui proses rekomendasi, menurut Effendi (1999) langkah rekomendasi meliputi :
a)      Pengidentifikasian alternatif – akternatif kebijakan yang  dilakukan pemerintah untuk merealisasikan masa depan yang diinginkan yang merupakan langkah terbaik dalam upaya mencapai tujuan tertentu.
b)      Pengidentifikasian kriteria-kriteria untuk menilai alternatif yang akan direkomendasikan.
c)      Mengevaluasi alternatif-alternatif tersebut dengan menggunakan criteria-kriteria yang relevan agar efek positif alternatif kebijakan tersebut lebih besar dari efek negatif yang akan ditimbulkannya.

Lebih lanjut Effendi (1999), mengemukakan metode identifikasi alternatif kebijakan adalah sebagai berikut :
1.Researched analysis and experimentation
2.Analisis tidak bertindak
3.Quick surveys
4.Review literature
5.Perbandingan dengan pengalaman dunia nyata
6.Passive collection and classifikasi
7.Tipologi
8.Analogi
9.Brainstorming
10.Perbandingan ideal

Untuk menyeleksi atau memilih alternatif kebijakan yang ada diperlukan kriteria relevan yang standar, dengan menerapkan kriteria tersebut seorang analis dapat merekomendasikan alternatif mana yang paling baik untuk mencapai tujuan kebijakan, berkaitan dengan hal tersebut Patton dan Sawicki (1988) dalam Keban ( 1999) mengemukakan beberapa kriteria penting yang biasa digunakan yaitu: Technical Feasibility, Political Viability, Economic and Financial Possibility dan Administrative Operability.

Technical Feasibility mengukur apakah keluaran (outcome) dari kebijakan atau program dapat mencapai tujuan yang ditetapkan, dalam kriteria ini ada dua subkriteria pokok yang dibahas yaitu Effectiveness dan Adequacy, Effectiveness menyangkut sejauh mana kebijakan atau program mencapai apa yang diinginkan, sedangkan Adequacy menyoal sampai seberapa jauh kebijakan/program yang disarankan akan mampu memecahkan persoalan baik keseluruhan ataupun sebagian.

Economic and Financial Possibility menyangkut evaluasi ekonomis dari policy atau program yang ada, yang meliputi aspek perubahan dalam nilai seperti perubahan asset ekonomis, GDP, Human Capital, dan non human resources lainnya, aspek Economis Efficiency, aspek Profitability dan aspek Cost-Effectiveness.

Political Viability menyangkut 5 subkriteria yang harus diperhatikan yaitu Acceptability yang menyangkut apakah suatu alternatif kebijakan dapat diterima oleh aktor-aktor politik dan para klien dan aktor-aktor lainnya dalam masyarakat, Appropriateness berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijakan tidak merusak atau bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam masyarakat, Responsiveness berkenaan dengan apakah suatu alternatif kebijakan akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada, Legal dalam pengertian apakah suatu alternatif kebijakan tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, serta Equity yang mengacu pada kriteria alternatif kebijakan yamg dipilih apakah akan menciptakan keadilan dan pemerataan dalam masyarakat.

Kriteria terakhir adalah Administrative Operability yang menyangkut penilaian pada beberapa elemen Administrative seperti Authority yang berkenaan dengan kewenangan mengimplementasi suatu kebijakan atau program, Institusional Comitment yang menyangkut kesamaan komitment dari administrator level atas sampai bawah, Capability berkenaan dengan kemampuan skill dan staff serta financial suatu implementor agent, dan Organizational Support yang berkaitan dengan ada atau tidaknya dukungan peralatan, fasilitas fisik dan pelayanan- pelayanan lainnya terhadap alternatif kebijakan.

Adapun teknik yang paling praktis untuk memilih dan merekomemdasikan suatu alternatif kebijakan adalah dengan mengunakan sitem rangking (Keban,1999), dimana total skor yang paling sedikit akan dianggap yang paling baik, ataupun dengan menggunakan sistem indeks untuk masing-masing alternatif, sehingga indeks yang tertinggi akan menjadi alternatif terbaik.

(4). Policy Implementation
Implementasi kebijakan merupakan suatu tahap dimana kebijakan yang telah diadopsi dilaksanakan oleh unit-unit administrasi tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya, pada tahap ini monitoring dilakukan, menurut Godon (1986) dalam Keban (1999) implementasi berkenaan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk realisasi program, dalam hal ini administrator mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan, dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah diseleksi. Mengorganisir berarti mengatur sumber daya , unit-unit dan metode-metode untuk melaksanakan program, melakukan interpretasi berkaitan dengan menterjemahkan bahasa atau istilah-istilah program ke dalam rencana dan petunjuk yang dapat diterima dan feasible. Menerapkan berarti menggunakan instrument-instrument, melakukan pelayanan rutin, pembayaran-pembayaran atau merealisasikan tujuan-tujuan program.

Lebih lanjut Effendi (2001) mendefinisikan implementasi adalah apa yang terjadi setelah suatu peraturan perundangan ditetapkan dengan memberikan otorisasi pada suatu program, kebijakan, manfaat atau suatu bentuk output yang jelas ( tangible), sedangkan tugas implementasi kebijakan itu sendiri adalah menjadi penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil (outcomes) melalui aktivitas-aktivitas pemerintah.

(5). Policy Assesment
Penilaian kebijakan adalah tahap terakhir dari tahap pembuatan  kebijakan publik, dimana diadakan penilaian apakah semua proses implementasi sesuai dengan apa yang telah ditentukan sebelumnya atau tidak, pada tahap ini evaluasi diterapkan.

Menurut Samudra, dkk (1994) evaluasi kebijakan ditujukan untuk mengetahui 4 aspek yaitu : 1) Proses pembuatan kebijakan; 2) Proses implementasi; 3) Konsekuensi kebijakan dan; 4) Efektivitas dampak kebijakan, evaluasi terhadap aspek pertama diatas dapat dilakukan sebelum maupun sesudah kebijakan dilaksanakan, keduanya disebut sebagai evaluasi Sumatif dan Formatif, sedangkan evaluasi terhadap aspek kedua disebut sebagi evaluasi implementasi, sedangkan evaluasi terhadap aspek ketiga dan keempat dinamakan evaluasi dampak kebijakan.

Sejalan dengan tahap-tahap kebijakan diatas, untuk mengubah Scientific Information menjadi Policy Relevant Information, seorang analis kebijakan harus melakukan prosedur yang lazim dipakai (Dunn,1994) yaitu :
1.      Perumusan masalah (definisi) untuk menghasilkan informasi masalah kebijakan.
2.      Peramalan (prediksi) untuk menghasilkan gambaran tentang masa depan kebijakan mengenai konsekuensi dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk konsekuensi tidak melakukan sesuatu untuk menyelesaikan masalah.
3.      Rekomendasi (preskripsi) untuk menghasilkan informasi tentang tindakan kebijakan yang paling baik dimana efek positif yang ditimbulkan lebih besar dari pada efek negatifnya.
4.      Pemantauan (diskripsi) untuk menghasilkan informasi hasil kebijakan              (output/outcome).
5.      Evaluasi untuk menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan publik, baik kinerja efficiency, kinerja Efektivenees, kinerja Quality. kinerja Equity, maupun kinerja Sustainability.